Minggu, 27 Januari 2013

Kisah Ibukota Pindah Ke Yogyakarta

 Kisah menegangkan Soekarno pindah ke ibu kota Yogyakarta

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia benar-benar merdeka. Belanda masih ingin berkuasa di Indonesia setelah Jepang dikalahkan sekutu. Tentara Belanda ikut membonceng bersama Pasukan Sekutu yang bertugas melucuti dan memulangkan tawanan Jepang dari Indonesia.

Pasukan Belanda yang dinamakan Netherlands-Indies Civil Administration atau NICA sangat buas meneror penduduk Indonesia yang pro kemerdekaan. Situasi Jakarta menjadi sangat tidak aman. Mereka menembak membabi buta. Jika ada pemuda yang mengenakan lencana merah putih, maka mereka akan memaksa agar orang itu menelan lencananya.

NICA mencoba membunuh Soekarno berkali-kali. Soekarno harus tidur berpindah-pindah untuk menghindari teror NICA. Mereka mencoba menabrak mobil yang dikendarai Soekarno. Untungnya Soekarno selamat.

Tanggal 3 Januari 1946, karena menyadari situasi gawat darurat, Soekarno menggelar rapat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Hanya Yogya yang dirasa aman dari gangguan Belanda. Fasilitas di kota ini pun cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara.

"Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak," kata Soekarno seperti ditulis Cindy Adams dalam biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Masalah selanjutnya bagaimana berangkat dari Jakarta ke Yogya tanpa diketahui tentara NICA. Jika ketahuan Soekarno dan seluruh pejabat RI akan dibunuh.

Maka disusun satu rencana nekat. Setelah gelap, sebuah gerbong kereta dan lokomotif yang dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno yang terletak di pinggir rel. Tentara NICA menyangka kereta tersebut hanya kereta biasa yang lewat kemudian akan kembali ke stasiun.

"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu. "Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian."

Maka tanggal 4 Januari 1946, kereta api membawa Soekarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan. Tapi rupanya Tuhan memberikan kekuatan pada rombongan kecil itu mencapai Yogyakarta.

Yogyakarta kemudian dikenal sebagai Kota Hijrah dan Ibu Kota Perjuangan. Di sinilah hampir dua tahun Republik Indonesia yang masih bayi mengatur pemerintahan.(mdk/ian)

 Kebaikan Sultan HB IX saat Ibu Kota pindah ke Yogyakarta

Sejarah mencatat Ibu Kota telah beberapa kali pindah sebelum akhirnya kembali di Jakarta. Sejarah juga mencatat, Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota Indonesia saat republik ini baru dilahirkan.

Saat Belanda kembali datang ke Indonesia ketika membonceng Sekutu, keamanan Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia terancam. Belanda bahkan bisa menduduki Jakarta 29 September 1945.

Tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibu kota dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan ini pun diterima dengan baik oleh Soekarno. Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 4 Januari Ibu Kota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang saat itu di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX memiliki juga andil besar dalam sejarah berdirinya NKRI. Bahkan saat agresi militer Belanda ke II saat Yogyakarta diserang Belanda tahun 1949 saat banyak pimpinan negara yang ditawan Belanda, Sultan bahkan menyiapkan pemerintahan darurat.

Namun Yogyakarta kembali bisa direbut dalam perang rakyat 1 Maret 1949 dan pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta. Tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan dan tanggal 17 Desember 1949 di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta (bukan di Gedung Negara), Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI.

Saat itulah Sultan HB IX menyerahkan dana 6 juta gulden untuk menjalankan pemerintahan Indonesia kepada Soekarno. Hal itu dikarenakan pemerintah memang belum memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan.

"Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silahkan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta," kata Sri Sultan saat itu kepada Soekarno sembari menyerahkan selembar cek 6 juta Gulden.

Air mata Sri Sultan pun berurai kala itu. Para hadirin yang menyaksikan kejadian saat itu juga hanya bisa menyeka air mata mereka tanpa bisa berkata-kata. Presiden Soekarno pun menangis menerima selembar cek tersebut.

Kala itu memang Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menopang keuangan RI yang pindah ke Yogyakarta. Hampir semua biaya operasional untuk menjalankan roda pemerintahan, misalnya kesehatan, pendidikan, militer, dan pegawai-pegawai RI, saat itu dibiayai Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Maka tak salah bila ada yang hingga kini menyebut bila Republik ini masih berhutang kepada Sultan sebesar 6 juta Gulden.

*dari berbagai sumber(mdk/hhw)


Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.