Jumat, 01 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N Sumual (1)

Artikel ini dikutip teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Integrasi KRIS dalam TRI

Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak lahir Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje H.N Sumual.

Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada partai yang berseberangan.

Bagaimanapun, faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi Detasemen Stoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.

Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reorganisasi, restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah yang konsekuannya berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.

Brigade XII Divisi 17 Agustus

Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun sub-etnis.

Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.

Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.

Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.

Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.

Agustus 1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.

Upacara militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.

Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.

Brigade Seberang

Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :

Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual

Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya.

Peristiwa Kahar Muzakkar dan Jan Rapar

Pasa masa-masa awal laskar baru bertransisi menjadi tentara reguler macam-macam ekses sempat terjadi. Dalam kesatuan kami biasanya saya yang menangani, meskipun saya bukan komandan maupun kepala staf. Ada beberapa masalah interen yang timbul. Terbilang serius yang saya sampai tidak akan lupa sampai sekarang, antara lain adalah peristiwa Letkol Kahar Muzakkar, Letkol Rapar, dan terbunuhnya Mayor Soekardi. Beliau dirampok dan dibunuh. Soekardi adalah ipar Letkol Soeharto, Komandan Brigade X yang meliputi Yogyakarta hingga Kedu. Soekardi pun adalah kakak daripada Mayor Soedarman, Komandan Pasukan Zeni TP. Mayor Soekardi sendiri adalah Kepala Bagian Keuangan di Resimen.

Waktu itu saya menjabat sebagai Komandan Gerilya Sektor Barat. Pelaku pembunuhan adalah anggota pasukan Brigade Seberang, Sersan Mahmud dan teman-temannya dari Pasukan 1001, yang terdiri dari orang-orang asal Kalimantan. Saya langsung tangkap. Pemeriksaan juga juga dilakukan terhadap Kapten Frits Runtunuwu dan Kapten Felix Tuyuh, karena Frits adalah komandan sektor 1 dan Felix wakilnya, sementara pelaku berasal dari wilayah sektornya. Tapi mereka semua mengemukakan alasan-alasan yang logis, bahwa Soekardi memang bersalah, dan bahwa tindakan mereka adalah benar dalam situasi perang. Akhirnya saya putuskan : menyarankan para pelaku dipecat secara resmi, tapi saya minta mereka pergi menyusup ke daerahnya di Kalimantan untuk meneruskan perjuangan pro-RI di daerahnya masing-masing. Jalan, cara bagaimana, transportasi, dana, cari sendiri.

Dengan berat hati mereka meninggalkan kesatuan, meningalkan tanah Jawa. Tapi masih lebih baik daripada kena hukuman militer. Lagi pula, saya pikir kami tidak mempunyai penjara yang aman dalam situasi perang gerilya seperti sekarang ini. Adalah bukan sesuatu yang sulit misalnya terjadi balas dendam dan kemungkinan penyusup menghabisi mereka di penjara. Begitu juga halnya terhadap Felix dan Frits. Dua perwira andalan Kawanua sejak KRIS ini saya perintahkan untuk cepat berinflintrasi ke Sulawesi. Tapi mereka tidak dipecat, terbukti di pedalaman Minahasa mereka aktif memimpin gerilya pro-RI. Saya putuskan untuk mengambil alih tanggungjawab masalah ini. Saya bersama Maulwi Saelan pergi mengurus penyelesaiannya dan menjelaskan semua duduk perkaranya.

Waktu menghadap Letkol Soeharto, Letnan Wim Sigar saya ajak serta. Setelah penjelasan Soeharto tidak langsung menanggapi. Kami diam dan menunggu jawaban dari Komandan Brigade X ini. Tapi dia tetap diam, lama sekali. Berpikir keras sambil berjalan mondar mandir disekitar kami. Kami duduk diam, tegang, Maulwi Sealan sudah membatu dari tadi. Tiba-tiba Letnan Wim berbisik,

“Bekeng mati jo.....Soeharto kita bereskan.....”

Wahhh...saya marah sekali! Tanpa suara saya pelototin Wim. Yang begini inilah sering menjadi masalah dalam pasukan ex-laskar, ekses-ekses seperti Sersan Mahmud yang sudah mengakibatkan masalah ini. Letnan Wim rupanya masih terbawa-bawa dengan sifat jelek kelaskaran yang sering bertindak sembrono dan sembarangan, hanya mengandalkan fisik, apalagi dia sekarang menjadi pimpinan pasukan combat yang terlatih, bukan laskar lagi!. Wim lupa kalau ini adalah proses hukum yang sedang saya selesaikan dengan cara baik-baik. Wim langsung diam menunduk.

Akhirnya saya lihat, Letkol Soeharto mulai mengangguk-angguk perlahan. Ia bilang,

“Ya sudah Je...selesai disini saja ya......”

Letkol Kahar Muzakkar kecewa ketika Resimen Hasanuddin, badan kelaskaran yang dibangunnya saat itu dilebur ke dalam KRU-X dan hanya menjadi 1 Batalyon. Dia mengingatkan pada kesepakatan awal berdirinya KRIS, bahwa kepemimpinan harus berasakan keseimbangan antara Sulawesi Utara dan Selatan. Kahar pura-pura tidak mau tahu bahwa kepemimpinan dalam Brigade diputuskan oleh pimpinan di MBT dan Pemerintah. Kami dari pasukan hanya mengusulkan. Lagipula kami sebenarnya sudah menyiapkan draf pengusulan yang didalamnya termasuk Letkol Kahar Muzakkar sebagai Wakil Komandan dan Mayor M. Saleh Lahade sebagai Kepala Staf.

Begitulah, Kahar sudah terlanjur panas hati, dia juga sudah terlanjur memanas-manaskan sejumlah pimpinan pasukan Resimen Hasanuddin. Suatu hari, saat kami sudah menjadi Brigade XVI, Kahar memimpin pasukan yang telah dihasutnya menduduki markas Brigade XVI di Saidan, Jogja. Semua staf dan pasukan yang ada di markas dilucuti. Sejumlah senjata juga mereka ambil, dibawa ke Klaten. Kolonel Lembong lagi tidak ada. Letkol Joop F. Warouw sebagai pemegang komando tidak bisa apa-apa, dia hanya melaporkan ke Markas Besar Komando Djawa. Kolonel AH. Nasution sendiri bingung, harus bertindak...tapi bagaimana caranya...? Saya lantas bilang kepada Warouw,

“Biar jo...kita urus!”

Tanpa membuang waktu, saya langsung berangkat ke Klaten, Markas Pasukan Kahar. Turut serta bersama saya 2 Kompi dari Yon Palar. Satu dipimpin Gerard Lombogia, dan satunya oleh Lucas Palar sendiri. Arahan strategi baru saya infokan diperjalanan. Saya bilang, jangan harap untuk dapat berunding dengan Kahar. Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya, keras seperti batu!. Begitu sampai di markas Kahar di Klaten, posisi tempur langsung digelar. Resiman Hasanuddin dan 2 Kompi Yon Palar, 2 pasukan sepulau dan begitu akrabnya waktu di KRIS saling berhadap-hadapan. Saya langsung memberi ultimatum ke Kahar.

Perhitungan saya tidak meleset, pertempuran sengit sesama saudara pecah di siang bolong. Pasukan Kahar menyambut kami dengan tembakan gencar, mereka stelling disektar markasnya.

Tembakan gencar berlangsung, saling balas-balasan berlangsung sekitar 2 jam. Tiba-tiba terdengar teriakan dari markas Kahar meminta cease fire. Rupanya 1 perwira andalan Resimen Hasanuddin tertembak, gugur ditempat, saya lupa namanya. Saya lantas memenuhi tuntutan Kahar. Saya juga berfikir, untuk apa juga harus saling menghabisi, toh mereka kan teman sendiri, sepulau, saudara, bukan musuh. Pelor-pelor yang sangat berharga ini sayang sekali kalau harus buat menumpahkan darah sesama bangsa sendiri. Dari Resimen Hasanuddin gugur 4 orang, luka-luka 12 orang. Dari Yon Palar gugur 2 orang, luka-luka 8 orang. Salah satunya yang gugur saya masih ingat namanya, Bert Polii asal Airmadidi.

Perundingan akhirnya digelar di Markas CPM. Komandan CPM Kapten Soenarso yang memimpin. Waktu itu, saya sampai di Markas CPM, Soenarso dan Kahar sudah ada. Begitu melihat saya, Soenarso langsung bilang sambil menunjuk ke Kahar,

“Hij is uw gevangene.... Ini dia tawanan anda !”

Sejenak saya bingung juga. Tanpa perundingan, Kahar sudah menyerah? Ya sudah, langsung Kahar saya ambil, saya juga membawa Palar dan Lambogia untuk mengurus pengembalian senjata yang dirampas dari Markas Brigade. Tiba di Jogja, Kahar saya serahkan ke CPM, ditahan oleh Mayor Sudirgo. Namun atas berbagai macam pertimbangan, Letkol Joop F. Worouw melepaskannya.

Waktu dalam perjalanan membawa Kahar dari Kalten, sepanjang perjalanan dalam pikiran saya masih bertanya-tanya. Mengapa Kahar yang terkenal sangat kepala batu dan keras hati begitu mudah menyerah, tanpa syarat pula? Apakah dia benar-benar sudah insaf atas perbuatannya, dan ingin menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak? Ataukah karena CPM sudah menyiagakan pasukan besar dari Siliwangi yang berada di Klaten untuk meringkus Kahar jika tetap membangkang?

Saya sering berfikir tentang Kahar, bahkan sampai sekarang. Ia teman seperjuangan yang baik, cerdas dan luar biasa beraninya. Dulu kami sama-sama sebagai perintis penggabungan APIS dan GAPEIS dalam KRIS. Melalui wadah KRIS, kami sama-sama banyak mencatat sukses besar, sehingga kami disegani baik kawan maupun lawan. Ia sangat disegani dilingkungan MBD, MBT dan pemerintahan. Bahkan Kolonel AH. Nasution, Gatot Subroto sangat segan padanya. Memang ia luar biasa beraninya, bahkan cenderung nekad, sayang sifatnya yang kepala batu dan cepat panas. Ia sudah berpangkat Letkol waktu kejadian, sedangkan saya masih Kapten. Walau sudah Letkol, Kahar Cuma mengurusi kesibukannya “keatas” dan kurang diimbangi dengan membina prestasi pasukan-pasukan yang menjadi tanggungjawabnya. Makanya, meski ia memegang mandat berupa Surat Perintah Panglima Besar Sudirman untuk memimpin kesatuan yang kelak akan menjadi TRIP Sulawesi, ketika KRU-X Brigade Seberang terbentuk yang salah satu mandatnya sama dengan mandat Pangsar, ternyata oleh Nasution, Kahar tidak termasuk dalam hitungan, apalagi memegang komando pasukan.

Begitu juga setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Kahar mendapat mandat langsung dari Pangsar Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno agar ia beserta Komando Grup Seberang akan memimpin APRIS di Indonesi Timur. Namun ternyata APRIS telah lebih dulu berdiri, dan pasukan-pasukan harus melalui proses perjuangan yang berat, tanpa Kahar. Kekecewaan inilah yang kemudiannya menjadi latar belakang pemberontakannya kelak, yang berakhir dengan kematian tragis patriot besar ini. Sungguh tragis nasibnya, mungkin saja seandainya dia tidak ikut campur dalam hal-hal politik, dan sedikit bisa sabaran dan tidak keras kepala, mungkin nasibnya tidak berakhir tragis begini. Apapun, sejarah bangsa tetap mengenangnya sebagai salah satu patriot besar, jasa-jasanya besar dalam perjuangan kemerdekaan.

Kisah Jan Rapar lain lagi. Tapi sama-sama tragisnya. Dia adalah komandan kami sejak KRIS, bahkan dari sebelumnya. Komandan kami ini ternyata mengalami ketidak seimbangan emosional saat berada dalam sistem militer reguler. Terlebih ketika kemudiannya, sebagai mantan Panglima KRIS, ia sekarang aktif sebagai bawahan dari bekas orang yang pernah menjadi bawahannya. Rapar semaki sering berulah, baik ketika komandan dijabat Lembong, maupun Joop Worouw. Tapi, selama tidak sampai mengganggu policy kesatuan, kami berusaha memakluminya, sebagai seorang senior dan seorang pemberani yang juga berjasa besar.

Sekali waktu, Rapar sudah bertindak keterlaluan. Waktu itu yang menjadi Komandan sudah saya, juga merangkap sebagai Komandan Pasukan Gerilya Sektor Barat. Suatu hari, kami sedang menuju ke kota Jogja untuk menyerang beberapa pos-pos tentara Belanda, tiba-tiba Jan Rapar bilang tidak mau terus. Ini jelas-jelas pelanggaran berat disiplin militer, meninggalkan tugas dalam perang!. Tapi saya izinkan saja, berusaha memakluminya. Begitu juga, sering dalam gerilya apabila pasukan terpaksa menyeberangi sebuah sungai misalnya, ia selalu memerintahkan sampai 4 orang prajurit untuk membopong tubuhnya yang besar menyeberangi sungai, hanya karena tidak mau kena air, basah-basahan!.

Waktu itu kami baru saja kembali dari bertempur, mendekati markas gerilya kami di Godean, seorang staf berlari-lari menyampaikan laporan : Letkol Jan Rapar sudah melucuti semua pasukan yang berada di Markas!. Tindakan Rapar yang keterlaluan ini tidak mungkin lagi saya tolelir, langsung saya cari dia. Saya menemukannya sedang bersantai dibawah pohon. Ternyata ia kaget juga tiba-tiba saya muncul dihadapannya dan langsung membentaknya. Mungkin tidak pernah dia bayangkan, saya sebagai junior sanggup membentaknya yang lebih senior. Ia lantas berjanji akan mengembalikan semua senjata yang telah dirampasnya.

Kemudian saya tahu, tindakannya itu terutama bukanlah maksud “kudeta”. Ia rupanya membutuhkan senjata dalam jumlah tertentu untuk pasukan kecilnya yang rencananya akan dibawanya menyusup ke Jakarta. Jan Rapar ternyata merencanakan perang gerilya didalam kota, terutama Jakarta karena ia memang mengenal sekali seluk beluknya. Waktu Rapar dan beberapa teman Kawanua lainnya meninggalkan kami, kami sangat terharu. Banyak tingkah lakunya membuat menitikkan airmata. Sedih berpisah dengan pemimpin yang khas, pemberani dan berkarakter ini. Jan Rapar menasehati kami semua,

“Kita pesan pa ngoni-ngoni semua...jaga torang pe keluarga Minahasa di Jogja !”

Itu memang seakan menjadi etos bagi kami semua, sejak KRIS masih berdiri. Saya memberinya sejumlah senjata yang ia minta, juga bekal buat mereka di perjalanan.

Sebagai gerilyawan Rapar tahu apa yang harus ia lakukan dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Jalan-jalan telah mereka pilih untuk dilalui dan aman. Memasuki wilayah Jawa Barat, dimana wilayah-wilayah pedalaman ternyata dikuasai oleh DI/TII. Rapar kemudian memilih bergerilya dari kota ke kota dalam perjalanan ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Beberapa kali ia pura-pura menyerahkan diri, kemudian melarikan diri setelah membawa sejumlah senjata dan perbekalan. Pasukan Belanda benar-benar kesal dibuatnya. Mereka akhirnya bisa selamat semua berkumpul di Jakarta setelah pengakuan kedaulatan RI pada akhir 1949. Tidak ada yang gugur maupun terluka.

Tapi menyusul peristiwa APRA di Bandung akhir Januari 1950, TNI mencurigai Rapar dan pasukannya sebagai pro Belanda. Apalagi ketika ditempat mereka kemudiannya ditemukan persenjataan yang demikian banyaknya. Namun sebagaimana berita beberapa teman kemudian yang memberi kesaksian, Rapar dan pasukannya memang sengaja masuk APRA dengan target untuk mengeksekusi Westerling dari jarak dekat. Rapar memang suka aneh-aneh, menempuh taktik seperti dalam filem-filem, ia mau buat suprise besar dengan melumpuhkan jagoan sekaliber Westerling. Pada waktu itu, setelah peristiwa Pembantaian di Sulawesi, banyak usaha-usaha untuk mengeksekusi Westerling yang dilakukan baik oleh TNI maupun kelaskaran, namun semua gagal. Mungkin atas dasar itu Rapar melaksanakan taktiknya.

Dalam suatu peristiwa, Rapar dan pasukannya yang bersiap-siap untuk mengawal Westerling dan selanjutnya sesuai rencana akan dieksekusi disuatu tempat, di ambush oleh pasukan TNI yang tidak mengetahui akan taktiknya, ditangkap dan langsung dieksekusi atas tuduhan pro-Belanda. Tragis! Jan Rapar dan kawan-kawan – patriot perintis perang mempertahankan kemerdekaan RI, justru tewas atas tuduhan pro Belanda, bahkan langsung dieksekusi! Untuk kesekian kalinya Westerling terselamatkan nyawanya, justru oleh pasukan TNI sendiri.

Kehidupan pribadi Jan Rapar memang penuh liku-liku dramatis. Cerita-cerita sekitar dirinya, sejak kami masih di Asrama Kaigun, Jakarta pun sangat banyak dibungkus mitos. Para jagoan Senen bilang, pernah Rapar memukul seorang preman kawakan yang sedang bersandar di tiang listrik, preman itu berhasil mengelak, hasilnya tinju Rapar mendarat ditiang listrik yang lantas....bengkok!

Waktu di Jogja, ia sudah menjadi Komandan Reguler Pasukan sebuah Brigade yang berwibawa, yaitu Brigade XII. Rapar masih suka melakukan kebiasaan lamanya dengan kemana-mana membawa ular Python besar yang dililitkan dibadannya. Banyak sekali kisah tentang Jan Rapar, namun latar belakangnya tidak banyak diketahui orang. Ada yang bilang Rapar itu nama ibunya, sebenarnya dia vam (marga) Waworuntu.

Bersambung ...

Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.