Senin, 04 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (4)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Kontroversi Sejarah Pencetus Ide SU 1 Maret 1949 dan Salah Siapa Jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta


Dikemudian hari terjadi kontoversi berkenaan sejarah perang gerilya periode Desember 1948 – Maret 1949 yang dramatis itu, sampai ada 2 kontoversi. Kontoversi yang satu bersifat saling tuding, sedangkan kontoversi satunya lagi bersifat saling mengaku. Yaitu saling menuding kesalahan berkenaan jatuhnya Ibukota RI pada 19 Desember 1948, dan kemudian saling mengaku sebagai pengasas Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terbukti telah membawa Indonesia pada kemerdekaan nasional secara de facto.

Perbedaan lain dari dua kontroversi tersebut ialah waktu pecahnya. Kontoversi mengenai siapa pencetus ide SU 1 Maret 1949 itu, bisa saya pastikan baru akan berkembang lama dikemudian hari, selama cara saya mengisahkan peranan saya dalam sejarah itu bisa-bisa saja tanpa disertai nada meng-claim bahwa yang benar ini dan yang itu salah. Sedangkan saling tuding siapa yang paling bersalah atas jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta hanya dalam tempo beberapa jam pada 19 Desember 1949, kontoversinya langsung pecah pada masa itu juga. Siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh, langsung ditudingkan pada AH. Nasution.

Mengenai siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh pada pagi hari 19 Desember 1949, pada hari-hari itu juga langsung ditudingkan kepada Kolonel AH. Nasution sebagai Panglima Komando Djawa. Terlebih, karena pada hari-hari itu Panglima Besar Sudirman baru aktif kembali setelah lama cuti sakit, sementara Nasution yang padahal sudah tahu pasti segera akan terjadinya agresi Belanda itu ternyata masih sempat-sempatnya melakukan perjalanan meninggalkan ibukota sampai beberapa hari tanpa lebih dulu melakukan persiapan-persiapan yang matang dalam menghadapi serangan Belanda, sebagaimana dikatakan perwira intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, sudah diketahui jelas akan terjadi! Nasution bersama hampir semua staf Markas Besar Komando Djawa sejak beberapa hari sebelum 19 Desember sedang melakukan perjalanan dinas ke Jawa Timur. Lantaran itulah, maka para perwira dan pemimpin politik yang menyesalkan tindakan Nasution tersebut lantas memunculkan sindiran : “MBKD itu singkatan dari Markas Belanda Keliling Djawa!”

Lapangan terbang Maguwo yang sudah jelas menjadi gerbang utama masuknya tentara Belanda, persiapannya sangat jauh dari memadai. Bom-bom yang sudah dipasang di sisi-sisi landasan belum bisa difungsikan alat pemicu ledaknya, cuma tinggal detonatornya tapi ternyata juga tidak beres. Satuan keamanan lapangan terbang cuma berjumlah seratusan orang dengan persenjataan sangat minim. Tadinya sempat ditambah perkuatan pasukan AD dengan persenjataan lengkap, tapi hanya 1 Kompi, dan itupun malah ditarik lagi hanya beberapa jam sebelum serangan Belanda tiba. Akibatnya parah. Pesawat-pesawat AURI yang ada di Maguwo dihancurkan semua. Pasukan payung Belanda diterjunkan dengan aman, pesawat-pesawat Dakota pengangkutnya bolak balik lenggang kangkung dengan amannya mendrop pasukan dan perlengkapan. Di Jogja, TNI kocar kacir tanpa adanya kordinasi yang memadai. Baik kordinasi untuk melakukan perlawanan seperlunya, maupun pengungsian kedaerah gerilya. Meski sudah ada Perintah Siasat Panglima Besar sejak bulan Juni 1948 untuk bergerilya, tapi pada 19 Desember itu ternyata tetap saja banyak pasukan yang bingung mau melakukan apa dan bagaimana. Hasilnya ya seperti saya lihat sendiri pada jam-jam serangan Belanda tiba. Eksodus dan pengungsian pasukan-pasukan TNI beserta keluarganya mengalir dengan banyaknya kearah barat. Cuma sedikit satuan yang berinisiatif melakukan penghambatan. Diantaranya Brigade X Letkol Soeharto yang tetap bertempur menghambat kemajuan musuh dari Maguwo, juga Brigade XVI pasukan saya yang berinisiatif sendiri melakukan penghambatan dan memberi perlindungan dibelakang pasukan-pasukan Siliwangi yang ribuan jumlahnya ber long march untuk kembali ke Jawa Barat.
 


Dikemudian hari, antara lain oleh Jenderal AH. Nasution, kontoversi peristiwa 19 Desember itu dialihkan topiknya. Bukan lagi soal siapa yang paling bertanggungjawab atas kenyataan begitu gampangnya ibukota jatuh ketangan musuh, tapi ke soal Soekarno-Hatta yang tidak mau bergerilya. Topik ini dikembangkan sampai menuju perdebatan mengenai peranan pihak mana yang lebih penting, militer atau politisi sipil? Perang gerilya atau diplomasi internasional?. Terjadi polarisasi bersifat hitam putih, terbentuk dikotomi opini. Perdebatan membesar hingga sedemikian rupa, sehingga pada sepanjang puluhan tahun pemerintahan Jenderal Soeharto, dimana banyak sejarahwan berusaha menyenangkan hati pihak militer, sampai terbentuk opini yang serba memuja pihak militer, semua sejarah peran militer jadi serba mulia tanpa cacat. Apa yang sebelumnya dikritik para pengamat sebagai kelalaian besar Nasution, jadi terlupakan. Meski peran diplomasi pun tidak sampai dinihilkan sama sekali.

Langkah Soekarno-Hatta tidak turut bergerilya sebenarnya memang sudah menjadi keputusan Sidang Pemerintah RI dan dalam sidang kabinet 19 Desember pagi itu pun terlibat para pimpinan APRI, kecuali Nasution tentunya yang sedang tour keluar kota. Pertemuan dan hasil sidang ini sudah disepakati bersama Panglima Besar Sudirman. Ternyata kemudian langkah politik Soekarno-Hatta ini sangat tepat. Jenderal Spoor, pucuk pimpinan tentara Belanda, kecewa luar biasa mendengar laporan bahwa tidak terjadi pertempuran dikediaman Presiden dan Wakil Presiden RI. Karena itu berarti tidak bisa menembak pucuk pimpinan RI itu. Tatakrama politik internasional hanya bisa memaklumi kalau tewas pada saat pertempuran, killed during action.

Jenderal Spoor lebih marah besar lagi mendengar Soekarno-Hatta ditawan karena menyerah, tidak melakukan perlawanan. Padahal dalam rencana operasi militer Belanda ini, bilamana pucuk pimpinan RI turut bergerilya maka pasukan elit Belanda yang sudah dipersiapkan dan dilengkapai perlengkapan tempur dalam jumlah besar akan langsung menyerbu kemanapun Soekarno-Hatta berada. Belanda berpikir, dengan begitu maka sempurnalah operasi pemusnahan RI, Agresi Militer ke II Ibukota RI diduduki, dan pucuk pemerintahan RI tewas terbunuh dalam pertempuran. Namun karena hanya menyerah maka hanya bisa ditawan, tidak bisa dieksekusi pada saat itu.

Setelah dicoba untuk memaksa pemerintahan Soekarno-Hatta untuk menyerahkan kekuasaan, seperti ketika pucuk pemerintahan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada tentara Jepang tahun 1942, maka diperintahkan agar diusahakan agar Bung Karno-Hatta terdorong untuk melarikan diri, supaya ada alasan untuk ditembak ditempat. Namun semua muslihat Belanda gagal. Dengan langkah serta sikap Bung Karno-Hatta yang berani dan konsisten itu maka perjuangan diplomasi diarena politik internasional pun mancapai hasil yang terbaik.
 

Beda dengan kontroversi sejarah peristiwa 19 Desember 1948 yang sudah cukup ramai semenjak masa di Jogja dulu, mengenai sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 baru terjadi kontroversi lama kemudiannya. Baru setelah kepemimpinan Jenderal Soeharto sebagai Kepala Negara mulai banyak dikritik. Sebelumnya, SU 1 Maret 1949 itu tidak dibahas, dan umunya orang cuma tahu pemimpin perangnya adalah Soeharto. Dimasa Orde Baru, saat peran militer pada umumnya dan peran Soeharto pada khususnya sedang diagung-agungkan, juga dalam rangka legitimasi historis doktrin politik Dwi-Fungsi ABRI, maka sejarah 1 Maret 1949 diangkat sampai mendetail. Kemudian sampai muncul bahasan untuk membedakan antara pemimpin pelaksana operasi perang dan pencetus ide. Sebabnya ada beberapa, yaitu :

Satu, karena banyak pelaku sejarah yang ingat bahwa sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto Komandan Brigade X, memang sudah ada perintah untuk serangan umum, bahkan sudah menjadi teori yang seharusnya dalam perang gerilya. Maka mulai ada keraguan pada peran Soeharto dalam hal asalnya ide atau keaslian ide. Dua, karena perintah yang ada itu dari pihak yang lebih tinggi dari Soeharto, biasanya perintah pelaksaan, dan simpul mereka Soeharto hanya sebagai pelaksana. Tiga, karena munculnya suara saksi-saksi hidup, seperti Marsoedi yang bersaksi tentang pertemuan rahasia antara Soeharto dan Sultan. Lalu ada lagi kesaksian yang bicara tentang perintah Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng untuk Letkol Soeharto. Dan lain-lain kesaksian berkaitan dengan pemimpin lain diatas Soeharto. Semua sebab tersebut menjadi satu, menjadi sangat kuat menopang pendapat bahwa bukan Soeharto pencetus ide yang sebenarnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Kolonel Bambang Sugeng. Sehingga menjadi 3 nama yang paling sering dibicarakan di media massa, sebab Soeharto secara eksplisit menegaskan perananya itu sambil menolak pendapat yang menyebut nama Sultan.

Dalam perkembangan selanjutnya, para peneliti mendapat kejelasan bahwa Bambang Sugeng pasti bukan. Karena Surat Perintahnya sebagai Panglima Divisi III untuk Letkol Soeharto itu itu baru bertanggal 1 Januari 1949 dan entah kapan tiba ditangan Soeharto, sementara Soeharto sendiri sudah melaksanakan serangan umum sejak 29 Desember 1948 dengan surat perintah operasi dari Soeharto sendiri yang diedarkan ke seluruh SKW-SWK sekitar menjelang Natal 1948. Tidak mungkin menghubungkan dalam sebuah garis komando antara SP Bambang Sugeng tanggal 1 Januari itu dengan serangan umum yang dilaksanakan pada 1 Maret 1949. Karena sesudah Januari, ada 3 kali serangan umum sebelum serangan umum 1 Maret. Meskipun ada perintah lain, perintah tersebut tidak membicarakan tentang serang pada siang hari atau menduduki posisi musuh.

Khusus dalam persiapan serangan umum 1 Maret, saya termasuk yang turut dalam dalam pertemuan-pertemuan dengan Soeharto yang terjadi menjadi sangat sangat sering, terutama menjelang hari H nya. Satu orang lainnya Letkol Soedarto. Juga dalam pertemuan-pertemuan itu, saya tidak pernah sama sekali mendengar Soeharto menyebut tentang kordinasi dengan pasukan WK-1 dan WK-II. Hal yang tentunya tidak mungkin kalau kordinasi Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng itu memang ada, karena pasti sangat penting, baik untuk kepentingan teknis operasional maupun moral pasukan kami. Juga kalau memang benar ide SU dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, mengapa pasukan-pasukan yang berada di SWK I dan SWK II yang juga organik dari Divisi III tidak sama-sama melancarkan serangan umum ke Jogja? Atau setidaknya mengikat pasukan Belanda yang berada diwilayah teritori masing-masing, agar tidak membantu temen-teman mereka yang dikepung gerilyawan di dalam kota Jogja. Kenyataannya bala bantuan pasukan Belanda mengalir dari Semarang, Magelang, Solo, dan kota-kota kecil lainnya memasuki kota Jogja. Serangan Umum 1 Maret 1949 murni hanya dilakukan oleh pasukan-pasukan SWK III, terutamanya organik Brigade X dan Brigade XVI, disamping juga tentunya pasukan-pasukan lain yang menyingkir dari pendudukan Belanda, berlindung diwilayah SWK III.

Sekarang tinggal dua, antara Sultan dan Soeharto, belakangan menjadi tiga. Nama saya dimasukkan belakangan. Beda dengan pertentangan antara pendukung pendapat mengenai peran Sultan dan peran Soeharto, yang tidak ada saksi dalam pertemuan mereka kecuali mereka berdua saja, perhadapan antara peran saya sebagai pengusul ide dan pengakuan Soeharto yang yang tidak menyebut peran saya (walau juga tidak pernah membantah, karena mungkin tidak ada yang mengingatkannya) itu ada saksi lain disamping saya dan Soeharto, yaitu Letkol Soedarto. Kelak Letkol Soedarto pensiun dengan pangkat Mayjen TNI jabatan terakhir di militer Kepala Direktoret Zeni TNI-AD dan selaku Pemimpin Proyek Pembnagunan Masjid Istiqlal Jakarta.

Di bab terdahulu sudah saya singung tentang rapat kami bertiga. Dalam rapat kami, Soeharto, Soedarto, dan saya di Semaken Kulon Progo, saya dan Soedarto ingat persis bahwa Soeharto tidak pernah sekalipun menyebut-nyebut tentang usul atau perintah dari siapapun. Tidak sekalipun Soeharto dalam rapat mengucapkan kata-kata bahwa pertemuan ini adalah untuk penjabaran atau untuk menindak lanjuti perintah dari atas, atau seseorang. Juga tidak pernah ada ucapan Soeharto yang mengomentari bahwa usul saya tersebut sama dengan yang diusulkan sebelumnya oleh siapa-siapa. Padahal kalau memang ada, sebagai pemimpin perang, Soeharto tentu akan dengan semangatnya menyampaikan kepada kami bahan penting bagi kebutuhan teknis operasi militer maupun untuk membesarkan moril kami sebagai pelaksana operasi yang akan maju ke fornt terdepan. Lagi pula tidak ada alasan untuk Soeharto menyembunyikan hal itu pada kami berdua. Toh, waktu itu belum ada urusan meng-claim siapa pencetus ide. Malah sebagai pemimpin yang baik tentu Soeharto akan menyebut usul saya itu dengan mengatakan, “Bagus! Usul kamu sama dengan Sri Sultan!” atau paling tidak mengatakan “Bagus, Saya juga berpikir seperti itu” Tapi ternyata tidak satupun komentar seperti itu yang saya dan Soedarto dengar dalam rapat bertiga kami.

Mayjen Ir. H.R. Soedarto selalu, dan dimana-mana, bersaksi bahwa sayalah yang pertama kali mencetuskan ide seranagn umum di siang hari, serangan umum yang akan dimuat di media massa sehingga membawa dampak yang resonasi yang luas. Pak Soedarto bahkan, kalau dia lihat saya yang diam saja pada saat orang-orang merayakan peristiwa bersejarah itu, sering bicara ke saya dengan nada mengingatkan bahwa sayalah pencetus ide aslinya. Di mengira saya lupa karena saya memang lebih suka diam.

Pak Darto menceritakan dimana-mana, dan bukan nanti setelah Soeharto tidak berkuasa lagi sebagai Presiden. Soedarto meninggal sebelum Soeharto turun. Banyak teman-teman kami di Yayasan Serangan Umum 1 Maret maupun PaguyubanWehrkreise III, yang semula tidak tahu, dia ceritakan. Soedarto bahkan sering menceritakan peran saya itu pada orang-orang sejak dulu. Bahkan sebelum Soeharto menjadi Presiden, jauh sebelum Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 mendapat apresiasi oleh masyarakat seperti sekarang. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, kisah perjuangan kami yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 itu memang kurang dirayakan. Mungkin karena pemimpin militer pada saat itu, Nasution tidak terlalu suka kalau cerita itu diungkit-ungkit. Setelah masa orde baru, pada saat peran militer pada umunya, dan lebih khusus lagi peran Jenderal Soeharto diangkat luar biasa, Soedarto beberapa kali mengisahkan cerita yang sebenarnya mengenai usul saya saat kami rapat didaerah sektornya itu kepada para wartawan-wartawan yang mewawancarainya. Tapi katanya, ternyata tidak ditulis oleh wartawan-wartawan tersebut. Mungkin dianggap soal kecil.

Tahun 1996, dalam rangka menyongsong 50 Tahun Perang Gerilya yang akan dirayakan pada tahun 1998, Yayasan 19 Desember 1948 menyiapkan penerbitan buku sejarah dan kesaksian-kesaksian para pelaku sejarah. Judulnya, Perang Gerilya - Perang Rakyat Semesta. Di dalam buku ini, pada kesaksian tertulis Mayjen TNI Purn. Ir. HR. Soedarto mengenai pengalaman perang gerilya, tegas dikatakan peran saya sebagai pencetus ide serangan umum disiang bolong. Saya juga diminta untuk menulis pengalaman perang gerilya dalam buku itu, dan saya pun menceritakan tentang usul saya kepada Soeharto untuk melakukan serangan umum disiang hari, dan kalau bisa menduduki kota Jogja walau cuma beberapa jam saja. Buku ini diterbitkan dimasa puncaknya kekuasaan Jenderal Soeharto, penerbitannya pun menjadi apresiasi luar biasa bagi Soeharto, karena pada tahun 1997 dianugerahkan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima. Sama sekali tidak ada bantahan Soeharto mengenai tulisan dibuku tersebut.

Lain dengan orang-orang yang bermacam latar belakang dan motivasi berusaha mengecilkan peran sejarah Soeharto, terlebih setelah Soeharto tidak berkuasa lagi, Pak Soedarto tidak ada alasan untuk mengecilkan peran sejarah Pak Harto. Seperti saya, Soedarto pun sangat sering memuji-muji jasa-jasa dan kelebihan Soeharto yang memang nyata. Memang beda dengan Pak Soedarto yang bersaksi, atau orang lain. Kalau saya, karena masalah ini sudah sedemikian ramai, saya justru jadi sungkan, ndak enak hati. Apalagi kalau langsung membantah peran orang lain, kecuali kalau ditanya, pasti akan saya jelaskan dengan serincinya. Bukan takut, saya hanya tidak mau berbantahkan dengan Pak Harto. Lagipun Soeharto juga tidak pernah mengiyakan maupun membantah kenyataan saya. Pak Harto tidak pernah, langsung maupun tidak langsung mengucapkan kata-kata yang bernada negatif mengenai diri saya maupun peran sejarah saya itu. Tidak pernah sekalipun. Di bab-bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai hubungan baik saya dengan Soeharto, semenjak saya ditahan akibat Permesta, maupun setelah kami sama-sama sepuh. Hubungan kami cukup rapat.



Bersambung ...


Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.