Selasa, 05 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (5)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Mengakhiri Sisa-sisa Kolonialisme di Indonesia Timur

Keberhasilan dan dampak strategis dari Serangan Umum 1 Maret 1949 segara mengubah situasi Perkembangan dihari-hari berikutnya terus meningkatkan posis RI. Pemimpin tentara Belanda di Indonesia yang mungkin masih menilai peristiwa 1 Maret itu hanya semacam keuntungan sesaat bagi Indonesia, segera melancarkan apa yang mereka sebut pembersihan. Lebih 150.000 tentara lengkap dengan mesin-mesin perangnya yang baru dikerahkan. Tapi dari pasukan gerilya justru disambut dengan perlawanan yang lebih hebat lagi dan meluas. Tidak hanya disekitar Yogyakarta, tapi pula hampir diseluruh Jawa, timur, tengah sampai kebarat, begitu pula di Sumatera. Keberhasilan di Yogyakarta telah menaikan semangat semua pasukan TNI.

RI kemudiannya berhasil mempertahankan eksitensinya sebagai negara merdeka dan berdaulat, dimulai dengan ditandai pengembalian kota Yogyakarta kepada RI. Ini merupakan wujud nyata dari spirit kemerdekaan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Maka, target perjuangan selanjutnya ialah melenyapkan sisa-sisa dan peluang kolonialisme dinegeri ini, antara lain adalah sistem federalisme yang digalang oleh Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Van Mook. Sistem federalisme itu sendiri baik, tetapi itu sudah dijadikan sebagai alat muslihat untuk pihak kolonialis mencengkeram lagi bangsa ini. Salah satu masalah penting yang masih terhalang antara lain adalah Irian Barat. Dalam struktur federalisme dalam RI Serikat, dimana Negara Indonesia Timur (NIT) dan sejumlah daerah adalah negara berdaulat yang setara dengan RI, maka konsekuensinya ialah selama NIT tidak mengklaim Irian Barat, maka Irian Barat akan selamanya menjadi milik Belanda. NIT sulit diharapkan untuk mengklaim wilayah Indonesia paling timur itu, karena pengaruh politik kolonialis masih sangat kuat mengendalikan NIT.

Memimpin Bagian Pendidikan Angkatan Perang, Gugurnya Lembong


Pada hari-hari dimana posisi politik Belanda di Jawa mulai melemah, RI maupun TNI terus melancarkan konsolidasi. Untuk tujuan jangka panjang TNI mulai menyusun sistem pendidikan, yang akan dipusatkan di Yogyakarta dan Bandung. Di Yogyakarta, sebagai kelanjutan Akademi Militer yang sudah ada, muncul usulan akan dipindahkan ke Jakarta. Tapi ada pula rencana agar dipusatkan di suatu tempat di Jawa Tengah. Sedang yang di Bandung untuk memanfaatkan sarana peninggalan lembaga-lembaga pemdidikan militer Hindia Belanda, dan kemudian BFO yang sudah tersedia memadai.

Saya teringat waktu Adolf Lembong datang bergabung dengan pasukan KRIS. Dia, sebagai militer profesional langsung kami minta untuk melatih pasukan. Saya lihat dia hebat sekali, langsung saja saya berfikir jauh kemudian hari dia bisa melatih perwira-perwira muda TNI. Lembong adalah mantan KNIL dengan pangkat Letnan, bahkan kemudian dalam pasukan Sekutu dia naik menjadi Kapten. Bandingkan dengan Nasution cs. Yang sekarang menjadi penentu garis kebijakan TNI, termasuk mengarahkan Panglima Besar Sudirman. Waktu Lembong berpangkat Letnan KNIL, Nasution masih Sersan Taruna. Belum selesai pendidikan, hanya dipercepat karena perang Pasifik keburu berkobar. Dalam pasukan Sekutu, Kapten Lembong bahu membahu dengan serdadu Inggris, Australia, New Zealand, India, dan Malaya mempertahankan benteng terakhir Inggris di Asia, pulau Singapura menghadapi serbuan bala tentara Jepang. Setelah Singapura jatuh, dia menyusup keluar hingga berhasil mencapai Sumatera.

Saya kembali mempromosikan Letkol Adolf Lembong buat memimpin Bagian Pendidikan TNI. Semula ada hambatan, tetapi kemudian lancar saja. Hambatannya bukan saja banyaknya saingan, yaitu perwira tamatan sekolah tinggi militer Belanda dan sudah membuktikan kerjanya yang bagus di Akademi Militer Yogyakarta, tapi juga masalah sekitar pribadi Lembong sendiri. Letkol Lembong dulu sempat di isukan sebagai mata-mata Belanda, sekarang isu itu ditiupkan kembali. Tidak ikutnya Lembong dalam perang gerilya seolah menjadi pembuktian tuduhan itu. Maka saya harus makin berjuang keras. Boleh dibilang, sayalah yang menjadi ‘penyebab’ tertangkapnya lembong oleh tentara Belanda pada saat Agresi 19 Desember 1948 itu.

Waktu itu, Lembong memang sudah bukan Komandan Brigade XVI lagi, ia disiapkan untuk menjadi Atase Pertahanan RI di Filipina. Ketika Komandan Brigade XVI Letkol Joop F. Worouw menyertai rombongan MBKD ke Jawa Timur, kepemimpinan Brigade banyak dipercayakan kepada saya. Begitu Agresi Belanda tiba, suasana agak kacau. Banyak yang tak jelas arah karena kurangnya informasi dan kordinasi dari pucuk pimpinan. Keadaan pasukan-pasukan kacau balau, banyak diantara kami yang melaksanakan rencana yang tidak tepat dan tidak jelas arahnya. Pada waktu itu saya bilang ke Lembong,

“Ngana disini jo, nyanda usah iko pa torang barundur maso kampung!”
“Kiapa dang kita nyanda iko?” tanya Lembong.
“Kita tentara kwa!” balasnya lagi.
“Sudah jo, ngana iko torang pe nasehat” balas saya memutuskan pembicaraan.

Sebenarnya saya khawatir, dalam situasi serba kacau seperti ini mungkin akan lantas dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang berniat membunuhnya, akibat tuduhan mata-mata tadi. Jadi saya sarankan sembunyi saja dulu dalam kota, nanti setelah selesai konsolidasi dan satuan-satuan gerilya sudah tersusun dikantong-kantong perlawanan, baru dia akan saya jemput. Tak disangka kalau pendudukan Belanda atas Ibukota RI itu betul-betul luar biasa, betul-betul hendak memusnahkan RI. Sejak 19 Desember 1948, mereka tiap hari melakukan razia-razia siang dan malam. Yang dicurigai langsung ditangkap. Lembong tertangkap oleh razia Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa.

Setelah TNI Kembali ke Jogja, saya berusaha mempercepat pembebasan Lembong di Ambarawa. Setelah bebas, sesuai prosedur, Lembong tetap harus menjalani pemeriksaan oleh CPM di Jogja. Sebelumnya saya sudah jelaskan ke Nasution tentang soal tidak ikutnya Lembong bergerilya. Jadi pemeriksaan ini hanya sekedar formalitas saja sesuai tata cara tentara.

Didalam struktur terbaru pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Kolonel AH. Nasution menjadi KSAD, Pangsar Sudirman menjadi KSAP dengan pangkat Letnan Jenderal. Wakil KSAP Kolonel TB. Simatupang. Mendampingi Nasution di MBAD, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf G atau Umum. Kolonel Hidayat menjadi Kepala Staf Q, Letkol Soehoed menjadi Kepala Staf A (Ajudan Jenderal). Para pimpinan AD yang bermarkas di Jl. Merdeka Barat Jakarta itu langsung menerima usul saya agar mengangkat Letkol A.G. Lembong jadi Kepala Pendidikan AD dan akan dikembangkan menjadi Pendidikan Angkatan Perang RIS. Saya tidak tahu apakah ada pengaruh keberhasilan kami dalam perang gerilaya yang berpuncak dengan Serangan Umum 1 Maret itu sehingga mereka sangat terbuka menerima usul saya. Kemudian saya bahkan langsung diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pendidikan, mendampingi Lembong.

Saya dan Lembong naik bus dari Jogja ke Semarang. Di Semarang harus urus Surat Jalan dari Tentara Belanda untuk ke Jakarta. Kami naik kereta api ke Jakarta, setiba disana langsung menghadap Nasution dan Bambang Sugeng di MBAD. Kemudiannya, Letkol Lembong harus berkantor di Bandung, saya kembali ke Jogja. Kami berdua di instruksikan untuk mempersiapkan seluruh sistem pendidikan APRIS, untuk semua angkatan. Di Jogja diadakan serah terima pimpinan Pendidikan Militer AD RI dari Letkol Sitompul kepada saya. Saya sekarang membawahi Akademi Militer yang ada di Yogyakarta. Pusat Pendidikan APRIS di Bandung dipimpin Lembong, dimulai dengan jabatan Kepala Bagian Pendidikan TNI-AD, saya Wakil Kepala tetap berkantor di Jogja.

Karena saya sama sekali baru dalam pendidikan tinggi militer formal, saya angkat Lettu Leo Kailola menjadi asisten saya. Leo adalah tamatan Akademi Militer Yogyakarta Angkatan I. Sesudah cukup mengerti, dan saya nilai Leo ini hebat dalam soal pendidikan militer, dia saya suruh ke Bandung menjadi ajudan Lembong, sekaligus berfungsi menjadi pembantu/asisten. Say tidak apa-apa, toh di Jogja rencananya hanya sementara, yang penting adalah pengembangan kedepannya buat TNI secara menyeluruh. Ternyata betul, Lembong kemudian cerita kepada saya tentang kerja Leo yang bagus dan sangat membantu semua rencana kami kedepannya.

Semua berjalan bagus sesuai rencana, tapi tiba-tiba berubah......! Malam itu di Jogja, saya mendengar berita radio:


DI BANDUNG TERJADI PEMBERONTAKAN TENTARA KNIL YANG MENAMAKAN DIRINYA ANGKATAN PERANG RATU ADIL. SEJUMLAH PERWIRA TNI TERBUNUH, DIANTARANYA....LETKOL A.G. LEMBONG!

Sejumlah politisi Belanda pro-kolonialisme rupanya telah menghasut KNIL, para pendukung Negara Pasundan, dan bahkan pasukan DI/TII di Jawa Barat. Mereka menamakan dirinya dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Mereka berencana untuk mengkudeta pemerintahan RIS di Jakarta, untuk itu mereka harus melumpuhkan Divisi Siliwangi dulu di Bandung. Sejak tanggal 22 Januari 1950 mereka mulai bergerak.

Pagi-pagi menjelang subuh tanggal 23 Januari di Bandung, sepasukan besar bersenjata lengkap terdiri dari sekitar seribuan personil bergerak dari Batujajar, dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Dengan beringasnya, mereka menyerbu Markas Divisi Siliwangi dan sarana-sarana APRIS lainnya. Mereka menembak siapa saja anggota TNI yang ditemui. Pagi itu, Lembong datang ke kantornya seperti biasa didampingi ajudan Lettu Leo Kailola, mereka tidak tahu kalau markasnya sudah dikuasai oleh APRA. Begitu masuk ke halaman kantornya, Lembong dan Leo langsung diberondong tembakan dari berbagai arah. Mereka gugur seketika. Staf Lembong lainnya yang juga tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, turut bernasib sama. Jenazah mereka bergelimpangan dipintu masuk Markas Komando Pendidikan APRIS di Bandung.


Besok paginya saya langsung ke Jakarta menumpang pesawat terbang AURI, dan langsung melapor ke MBAD. Nasution sedang tidak berada di Jakarta. Saya menghadap wakilnya Kolonel Bambang Sugeng. Saya bicara sebagai Wakil Kepala Pendidikan AD, mengenai gugurnya Lembong yang menjadi Kepala saya. Kolonel Bambang Sugeng langsung bilang,

“Tje, langsung oper...ambil alih!”
“Siappp..!”

Padahal sejak semalam, dan sepanjang perjalanan dari Jogja tadi, saya sudah berpikiran lain. Peristiwa APRA itu telah mendorong saya untuk harus segera ke Indonesia Timur. Disana kekuatan pro-kolonialisme maupun kekuatan militer yang bisa mereka manfaatkan masih sangat besar, terutama pasukan KNIL. Lagi pula, pengambilan kekuasaan militer untuk kepentingan RI di Indonesia Timur memang merupakan misi kami, Brigade XVI/Brigade Seberang. Apa yang telah APRA lakukan di Bandung dan Jakarta, bisa jauh lebih besar di Indonesia Timur, berupa bom waktu bagi RI. Saya harus segera ke Makassar. Saya pun sudah bicara dengan Kolonel Bambang Supeno yang meminta saya untuk memimpin Komisi Militer RIS yang khusus di Sulawesi Utara.

Tapi tentunya tanggung jawab Bagian Pendidikan AD tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Saya berangkat ke Bandung, melanjutkan tugas yang ditinggalkan mendiang Lembong.

Saya sedih mengenang kematiannya yang tragis. Apalagi 2 hari setelah gugurnya Lembong, Jan Rapar ditembak mati di Jakarta. Ini ironi sejarah daripada dua komandan kami di pasukan KRIS. Letkol Jan Rapar, komandan kami, yang sejak awal dikenal penuh semangat patriotisme Indonesia, justru terbunuh oleh tentara Indonesia lantaran dituduh terlibat gerakan pro-Belanda. Sebaliknya, Letkol Adolf Lembong, juga komandan kami, tapi yang berawal dari tentara Belanda dan masih sering dituduh sebagai mata-mata Belanda, terbunuh oleh tentara pro-Belanda karena menjadi pemimpin pendidikan militer Inonesia. Sungguh ironis sekali.!

Bersambung ...



♜
Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.