Rabu, 27 Februari 2013

V dan Organisasi Tanpa Nama


 Sebagai tawanan perang, Belanda berusaha melawan Jepang dengan mendirikan organisasi rahasia.

OLEH: HENDRI F. ISNAENI

SEPERTI Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan Gerakan Djojobojo di bawah komando Mohammad Joesoeph, bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) membentuk organisasi bawah tanah untuk menentang Jepang. Namanya kelompok “V” (dari kata Victory).

Menurut L. De Jong dalam Pendudukan Jepang di Indonesia, anggota dari kelompok “V” menggunakan tanda pengenal seperti sapu tangan merah atau sebuah bulu berwarna putih. Pemimpinnya seorang Indo-Belanda, berpangkat sersan mayor KNIL, AW Ledoux. Pada Maret 1943, Ledoux ditangkap polisi rahasia Jepang (Kenpeitai). “Setelah kejadian itu, semua eks militer KNIL yang tertangkap dan padanya terdapat sapu tangan merah atau bulu putih mendapat hukuman berat,” tulis De Jong.

Sebanyak 35 orang diajukan ke pengadilan: Ledoux, seorang Tionghoa, seorang Sunda, dua orang Timor, empat orang Menado, dan 19 orang Ambon. Sepuluh orang di antaranya dihukum seumur hidup.

Pada Mei 1943, Kenpeitai berhasil menangkap seorang KNIL berpangkat sersan mayor. Dari mulutnya-lah Kenpeitai mengetahui sebuah organisasi rahasia tak bernama yang didirikan Overakker dan Gosenson.

Jenderal Overakker komandan teritorial Sumatra Tengah, sementara Kolonel GVF Gosenson komandan teritorial Aceh dan Sumatra Timur. Keduanya adalah tawanan Jepang di Uni Kampung Belawan. Di kamp inilah Overakker dan Gosenson membentuk organisasi rahasia tak bernama itu.

Kepada Klooster, pemimpin redaksi harian Belanda Deli Courant yang juga jadi tawanan, Overakker mengatakan mendirikan organisasi rahasia untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi kedatangan Sekutu. Organisasi rahasia tersebut bertugas memberikan informasi militer, menyediakan senjata, menjaga kamp tawanan wanita, menyediakan uang dan makanan, membangun kepolisian, dan memulihkan transportasi yang dihancurkan oleh Jepang.

Dua bulan sebelum dipindahkan, semula ke Singapura kemudian ke Formosa (Taiwan), Overakker sempat memerintahkan Kapten cadangan Kees ten Velde dan Kapten cadangan Ir C Woudenberg untuk menjadi komandan teritorial di Sumatra Timur dan Tapanuli serta memimpin organisasi rahasia. Keduanya dipilih karena memiliki semangat juang tinggi. Sebagai tenaga kerja Jepang, mereka juga relatif bisa bergerak bebas. Ten Velde, bekas pengacara sebuah maskapai minyak, bekerja di Pusat Percobaan dan Penelitian Pertanian; sedangkan Woudenberg, insinyur dinas perairan, bekerja di Dinas Pekerjaan Umum di Medan.

Klooster mengklaim organisasi itu berkembang pesat: “Di beberapa ondernaming telah dibuat senjata tajam, orang-orang Tionghoa mendapat dan menyimpan beberapa senapan mesin dan pistol, uang berdatangan dari orang Tionghoa, orang Indonesia, dan orang Belanda yang masih menyimpan uang dalam jumlah besar. Sebagian kecilnya saja sudah mencapai setengah ton uang Hindia Belanda.”

Klooster, yang bertugas mengumpulkan informasi militer, juga mengaku tahu jumlah tentara Jepang yang keluar-masuk Sumatra, kegiatan mereka, jalan dan rel keretaapi yang digunakan, dan tempat penyimpanan senjata. “Kapten Kees Ten Velde punya hubungan dengan para bekas anggota KNIL Ambon dan dengan kelompok Cina, yang bila kelak dianggap perlu, bersedia untuk membuat perhitungan dengan orang Jepang,” kata Klooster. Ini bisa jadi petunjuk hubungan antara kelompok “V” dengan organisasi rahasia bentukan Overakker dan Gosenson.

Setelah mendapat pengakuan dari seorang KNIL berpangkat sersan mayor, Jepang menangkapi para pembantu Overakker. Komisaris Polisi De Bruyn dan sembilan opsir KNIL ditangkap, di antaranya komandan teritorial Sumatra Barat Letnan Kolonel JHM Blogg. Hanya Blogg yang mengalami masa perang; yang lainnya tewas dalam tawanan atau dihukum mati.

Jepang juga mengembalikan Overakker dan Gosenson dari Formosa ke Sumatra pada Agustus 1943. Menurut De Jong, selama proses pengadilan terhadap para pemuka organisasi rahasia, Overakker mengaku bertanggung jawab atas kegiatan organisasi rahasianya. Meski pengakuan itu membuat kagum kalangan Jepang, hakim tetap menjatuhkan hukuman berat. Overakker dan Gosenson dihukum mati pada Januari 1945.

Kenpeitai terus melanjutkan penangkapan terhadap anggota organisasi rahasia di Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan Bengkulu

  ●  Historia  

1 komentar:

  1. Jangan2 masih eksis nih organisasi rahasia, tujuan baru Balkanisasi Indonesia.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.