Senin, 03 Juni 2013

Sila-sila Pancasila yang Belum Mewujud

Peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni, hendaknya jangan sebatas seremonial, tapi ada agenda aksi penyelenggara negara untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Puncak peringatan nasional Hari Pancasila 2013 dipusatkan di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ende dipilih karena merupakan salah satu lokasi diasingkannya Bung Karno oleh penjajah Belanda. Di tempat inilah presiden pertama berkontemplasi memikirkan konsep negara Indonesia. Di bawah pohon sukun dia berimajinasi dan berkreasi merumuskan dasar negara.

Daya imajinasi dan kreativitas budi para pendiri negeri mestinya ditindaklanjuti generasi bangsa sekarang. Sayangnya, bangsa Indonesia kini justru tidak mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam era globalisasi. Elite bangsa semakin tidak berdaya mewujudkan keadilan sosial. Padahal, keadilan sosial merupakan faktor sangat krusial pada saat ini. Di masa lalu, meneguhkan keadilan sosial berarti melawan kolonialisme dan imperialisme. Kini, hal itu tidaklah cukup karena Indonesia telah masuk pusaran globalisasi yang sangat transformatif.

Tidak ada jalan pintas untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan kreativitas dan kekuatan inovasi, segenap bangsa secara alamiah bisa mempercepat perwujudan keadilan sosial. Apalagi jalan untuk mewujudkan keadilan sosial telah dirusak praktik korupsi yang terjadi di mana-mana. Tak bisa dimungkiri, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang merupakan sila kelima adalah bagian penting dari filosofi kenegaraan Indonesia.

Dalam sidang BPUPKI, Bung Karno menekankan bahwa merdeka bukan hanya dalam arti politik dan teritori, melainkan juga dalam arti sosial dan ekonomi. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 mengatakan Indonesia Merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik), tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Proses globalisasi telah mengubah kehidupan warga dunia.

Globalisasi bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri dan korporasi perdagangan raksasa, namun di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global yang menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan turbulensi.

Globalisasi

Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa, menarik menyimak pernyataan Naisbitt sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada keruntuhan negara Uni Soviet yang memunculkan subbudaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulu terdiri dari berbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis.

Situasi semacam itu telah disadari benar para founding fathers negara Indonesia sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pengakuan nilai-nilai subbudaya yang bineka (berbeda-beda). Semua itu diikat satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis.

Dalam peringatan Hari Lahir Pancasila kali ini, banyak rakyat bertanya bisakah keadilan sosial terwujud di negeri ini mengingat budaya dan mentalitas para penyelenggara negara sedemikian korup? Budaya menilap sepertinya telah mengooptasi Pancasila dan menjadi "ideologi" baru para elite bangsa. Ada baiknya warga menengok daya kreativitas China dalam mewujudkan keadilan sosial.

Negeri Tirai Bambu itu berpenduduk 1,34 miliar, jauh lebih besar ketimbang jumlah penduduk Indonesia. Padahal, neraca sumber daya alamnya masih di bawah Indonesia. Dunia mengakui bahwa keadilan sosial bagi China hampir terwujud. Hal itu ditandai dengan dinamika kelas menengah yang luar biasa. Peran signifikan untuk mewujudkan keadilan sosial terletak pada 350 juta warga kelas menengah.

Padahal, pada tahun 1990-an, Beijing masih tergolong miskin dengan produk domestik bruto per kapita di bawah 1.000 dollar AS. Bahkan masih banyak penduduk yang berpenghasilan di bawah 300 dollar AS. Kini, wajah keadilan sosial bangsa China terlihat dalam angka. Pada tahun 2011 saja, 17 juta mobil terjual di sana sehingga menempatkannya sebagai pasar terbesar dunia yang mengalahkan AS. Hebatnya lagi, rata-rata pembeli Mercedes Benz berusia 39 tahun, sedangkan di AS sudah berusia 53 tahun.

Kini, gaya hidup 1,34 miliar warga RRC telah memengaruhi roda perekonomian dunia. Tak pelak lagi, semua perusahaan multinasional telah menggantungkan produk-produknya pada pasar Negeri Panda. Hal itu terlihat dari 40 persen omzet KFC dunia berasal China. Kemudian, setiap tahun sekitar 50 juta warganya berwisata ke seantero dunia.

Jika para pemimpin Beijing mampu mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat, mestinya pemimpin di negeri ini juga bisa. Berbagai masalah yang menjadi halangan dan rintangan untuk mewujudkan keadilan sosial harus dicarikan solusi bersama.

Wajah kusut keadilan sosial di Indonesia kini tecermin dari kesulitan pemerintah dalam mengatur subsidi BBM. Hingga kini, pemerintah masih galau menempatkan proporsi dan reposisi kebijakan ekonomi yang bernama subsidi. Kebijakan ekonomi pemerintah terkesan antisubsidi. Ironisnya, dalam kebijakan lain, pemerintah justru memberi banyak insentif dan sangat memanjakan para investor yang notabene adalah kapitalis asing.

Secara tidak langsung, pemerintah juga telah menyubsidi warga negara asing lewat berbagai mekanisme investasi pertambangan dan energi. Salah satu contoh, pembangunan jalur pipa gas alam dari Indonesia ke negara tetangga. Gas alam itu langsung didistribusikan untuk kebutuhan industri dan rumah tangga tetangga dengan harga sangat murah.
Padahal, industri dalam negeri justru setengah mati mencari gas untuk proses produksi. Tidak berlebihan jika kebijakan pemerintah dianalogikan dengan peribahasa "anak di pangkuan dicampakkan, beruk di seberang lautan disusui".

Arah kebijakan penghapusan subsidi yang akan dilakukan pemerintah telah mengingkari sekaligus menampar esensi nilai keadilan sosial yang telah digariskan pendiri republik. Paham keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya adalah sosialisme yang mampu mengendalikan kapitalisme tanpa menghancurkannya. Ada baiknya dikaji lebih dalam tentang faham sosial-demokrat di beberapa negara Eropa yang telah berhasil mengubah negara yang berlandaskan free fight liberalism menjadi negara kesejahteraan (welfare state).

Negara macam ini menekankan instrumen keadilan sosial, termasuk proporsi dan penguatan posisi berbagai program subsidi yang dijalankan pemerintah.
Sekadar catatan, dalam tataran ekonomi neoklasik sekalipun, tidak ada ketentuan eksplisit yang menolak subsidi. Justru dalam teori fundamental ekonomi menyatakan bahwa gabungan antara mekanisme pasar dan transfer kekayaan yang tiada lain adalah subsidi bisa menghasilan alokasi yang ideal dalam konteks perwujudan keadilan sosial.

Itulah kunci keadilan sosial yang paling hakiki. Sayang, pada saat ini, para penyelenggara bangsa belum mampu mentransformasikan warga menjadi unggul dengan cara mengkreasi dan menginovasi nilai-nilai keadilan sosial sesuai dengan kemajuan zaman.

Oleh Hemat Dwi Nuryanto
Penulis adalah alumnus UPS Toulouse Prancis

  ● Koran Jakarta  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.