Rabu, 11 Desember 2013

Australia Gundah, normalisasi Hubungannya dengan Indonesia Masih Lama

Menlu Marty Natalegawa dan Menlu Julie Bishop(smh.com.au)
Jakarta 9 Desember 2013. Setelah Indonesia menyatakan memberhentikan kerjasama pada beberapa bidang dengan Australia, nampaknya Australia menilai kemarahan Presiden SBY serta para pejabat Indonesia terbaca sangat serius. Presiden SBY menyatakan memberhentikan kerjasama intelijen, militer serta kerja sama antar kepolisian negara. Australia sangat khawatir karena Polri membekukan kerjasama dengan Australia dalam bentuk intelijen dan Satuan Tugas Penyelundupan Manusia (Satgas People Smuggling). "Sementara kita hentikan," kata Kapolri, Jenderal Pol Sutarman, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2013).

Satgas People Smuggling merupakan satuan tugas yang dibentuk Polri dalam mengupayakan manusia-manusia perahu yang akan menuju ke Christmas Island, Australia. Mereka yang akan menyebrang ke pulau tersebut kerap berangkat dari perairan di Indonesia. Selain itu, Polri juga memberhentikan informasi intelijen terkait masalah terorisme.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan sesuai dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan penting menindaklanjuti kasus penyadapan tersebut. "Kebijakan pertama adalah pemberhentian kerja sama tukar menukar data informasi dan data intelijen antara Indonesia dan Australia. Kedua, menghentikan latihan militer bersama," katanya saat acara National Internet Security Day (NISD), Kamis (21/11). TNI langsung merespons, bahkan langsung menarik lima F-16 TNI AU yang sedang mengikuti latma Elang-Ausindo di Darwin. Juga latihan antara TNI AL dengan Royal Australian Navy, dan Kopassus dengan special forces Australia.

Sebelumnya, diketahui ketika Perdana Menteri Tony Abbot mengunjungi Jakarta pada 30 September 2013, kabarnya Australia akan memberikan bantuan keuangan sekitar 420 juta dolar Australia untuk mengatasi penyeludupan manusia dari Indonesia. Rencananya pemerintah Australia akan menggunakan uang itu untuk membeli kapal-kapal nelayan, memberi insentif uang kepada masyarakat dan kepala desa di Indonesia yang memberikan informasi tentang manusia perahu (Bisnis.com, 21/11/2013).

Dua hal prinsip yang sangat ditakuti oleh Australia yaitu masalah perkembangan dan penanganan terorisme serta kasus imigran gelap. Australia jelas masih trauma dengan peristiwa Bom Bali-1 yang menewaskan 202 orang, mayoritas warga negara Australia, serta pemboman kedubes Australia di Jakarta. Badan intelijen serta polisi federal Australia jelas sangat berkepentingan mengikuti perkembangan terorisme di Indonesia yang merupakan salah satu ancaman utama terhadap warga, simbol dan kepentingan mereka di Indonesia. Oleh karena itu mereka banyak memberikan asistensi dan perlengkapan kepada Densus 88 dalam menanggulangi terorisme.

Kini dengan diberhentikannya informasi intelijen oleh Polri, jelas pihak intelijen dan polisi Federal dipastikan merasa tidak nyaman karena akses mapping teroris ditutup. Penyadapan dalam kasus penyelidikan yang bisa mereka lakukan terhadap tindak teror tidaklah cukup, yang dibutuhkan dari Polri, khususnya Densus adalah analisa arah perkembangan kelompok teror yang semakin militan dan berbahaya dengan bentuk sel-sel kecil. Mereka sulit memanipulasi melalui jalur intelijen arah serangan teror. Bukan tidak mungkin polisi yang kini menjadi prominent target akan kembali berubah arahnya ke warga Australia, Amerika dan kepentingannya. (Baca artikel penulis "Amerika Kembali Diancam Al-Qaeda, termasuk di Jakarta?", http://ramalanintelijen.net/?p=7184).

Dilain sisi, setelah Indonesia menolak menerima pemulangan kembali kapal sekelompok pencari suaka yang diselamatkan Australia di sekitar perairan Indonesia, Menteri Imigrasi Scott Morrison akhirnya menginstruksikan pencari suaka itu dikirim ke Pulau Christmas dan Nauru. Keputusan ini menempatkan kebijakan ‘pemulangan kembali kapal pencari suaka’ oleh pemerintah koalisi Australia dalam bahaya.

Juru bicara Menteri Imigrasi Partai Buruh, Richard Marles mengatakan tidak terelakan lagi Australia harus mundur dari kebijakannya untuk mengembalikan perahu pencari suaka. "Diplomasi Pemerintah Abbott dengan Indonesia sekitar pencari suaka benar-benar tidak kompeten," katanya. "Kita semua tahu bahwa hubungan kita dengan Indonesia terkait pencari suaka harus didasarkan pada kerjasama." Disinilah pemerintahan Tony Abbott mendapat tekanan karena harus berbicara dengan baik kepada pemerintah Indonesia, sementara Polri sudah menghentikan Satgas People Smuggling.

Dalam kondisi tekanan psikologis dan diplomatik, pemerintah mengirimkan Menlu Julie Bishop untuk mengadakan kunjungan kepada Menlu Indonesia Marty Natalegawa di Pejambon Jakarta, Kamis (05/12). Kunjungan Menlu Australia dengan rombongan delegasi tingkat tinggi untuk pertama kali dalam rangka membicarakan kelangsungan hubungan kedua negara yang memburuk sejak terungkapnya penyadapan oleh Australia.

Di antara delegasi yang dibawa oleh Bishop adalah mantan Kepala the Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) Dennis Richardson, yang kini menjabat sebagai sekretaris Kementerian Pertahanan Australia. Bishop juga membawa serta Sekretaris Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Andrew Shearer. Sebelumnya Shearer adalah penasihat kebijakan luar negeri dan saat ini juga menjabat sebagai penasihat senior untuk keamanan nasional dari Perdana Menteri Tony Abbott.

Pertemuan antara Marty dengan Julie Bishop berlangsung hampir 4 jam. Dalam konferensi pers usai pertemuan tersebut, Julie mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan Australia yang menyebabkan bangsa Indonesia marah besar. Julie juga menyebut bahwa Australia tidak akan mengulangi perbuatan yang merugikan Indonesia lagi.

Menlu RI Marty Natalegawa mengatakan hasil pertemuan ini akan segera ia laporkan kepada Presiden SBY. Pertemuan yang dikatakan sangat konstruktif itu, merupakan tahapan pertama dari 6 tahap yang disyaratkan oleh Presiden SBY. Dikatakan pertemuannya dengan Menlu Australia, Julie Bishop, akan berkontribusi pada kelanjutan hubungan RI dengan Australia. Namun pertemuan tersebut saat ini tidak berdampak pada kerjasama antar kedua negara. Marty menyatakan belum akan mengirimkan Dubes RI ke Australia. "Kerjasama yang ditangguhkan tetap ditangguhkan. Tidak ada perubahan sama sekali. Seperti pernyataan Bapak Presiden, (kerjasama RI-Australia) itu kan langkah ke 6, jadi ini masih jauh," kata Marty di kantor Kemenlu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2013).

Indonesia mengajukan prasyarat bagi perumusan protokol dan kode etik kerja sama bilateral, setelah tercapai kesepakatan bersama. Jika Australia dinilai sudah menunjukkan komitmen terhadap kode etik diplomatik dan kepercayaan Indonesia pulih, maka kerja sama bilateral akan dilanjutkan kembali. Yang sulit adalah bagaimana memulihkan kepercayaan Presiden SBY yang sudah mereka garap sisi pribadinya, itulah tugas berat Menlu Julie Bishop. Sementara PM Abbott tetap bersikeras dengan prinsip kebenaran semunya.

Dengan demikian, nampaknya normalisasi hubungan Indonesia dengan Australia masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Masih ada 5 langkah lagi hingga pembahasan mencapai pada kelanjutan kerjasama antar kedua negara. Kemudian code of conduct tersebut akan dipelajari secara langsung oleh Presiden. Setelah itu Presiden dan Menteri akan menandatangani code of conduct tersebut. Setelah itu dilakukan review, pasca review tersebut, barulah ada pembahasan mengenai kerjasama antar kedua negara. "Setelah betul-betul nyaman, baru kita ngomong tentang kemungkinan kerjasama itu dipulihkan," terang Marty.

Kini pemerintah Australia mendadak baru menyadari sepenuhnya bahwa mereka mempunyai ketergantungan dengan Indonesia sebagai negara terdekatnya. Selama ini keangkuhannya yang merasa sebagai negara maju hanya melihat Indonesia sebagai negara besar tetapi kecil artinya dan dapat diatur-atur. Mereka lupa, Indonesia sebagai negara yang sudah mengadopsi sistem demokrasi serupa dengan Australia, keberanian serta sikap para pemimpin negara ini mampu memainkan kartu diplomatik geografi dalam menekan Australia. Azas kesetaraan dilupakan oleh Australia.

Publik Australia kini sadar bahwa mereka akan menerima akibat yang lebih merugikan apabila Indonesia tetap menguncinya. Indonesia marah, tetapi marah yang terukur, terbukti rakyatnya mempercayai pemerintah, tidak melakukan perusakan atau istilah menakutkan "sweeping," seperti masa lalu. Rakyat sadar bahwa pemerintah mampu menangani tetangganya yang iseng dan mau menang sendiri itu. Makin lama Australia jelas akan semakin gundah pastinya, kita lihat saja nanti, kalau pemimpinnya tetap tidak mau sadar dan mengalah, ya pasti akan pusing sendiri. Begitulah kira-kira membacanya.

Oleh : Prayitno Ramelan, pengamat intelijen

  Ramalan Intelijen  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.