Sabtu, 26 Januari 2013

Kontrak Kapal Perang dengan Palindo Berlanjut

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS6EQc0_zOagtmdsJcmwkialx_YoffhLMJDSneJB1BdMutPhSdj2Boeutlnlq-JvPuAoVj_XtSTuuskUYeogMsVUelzyVC3AfbTJK0rcPkw-S5tcnWzTBrUnAn8oDVbZoaYrBxNcoKUDWR/s1600/25012013_Kota_KRI_Beladau_643_Argi_01.jpg
KRI Beladau 643 (Foto Tribunnews Batam/Argyanto)
Jakarta | Kementerian Pertahanan berencana untuk menyerahkan sisa kontrak kebutuhan kapal cepat rudal 40 kepada PT. Palindo Marine, Batam. Sebelumnya perusahaan ini sukses memproduksi KRI Clurit 641, KRI Kujang 642 dan KRI Beladau 643.

Palindo masih punya 'hutang' satu unit KCR 40 lainnya yang ditargetkan rampung akhir tahun ini. Jika selesai, TNI AL akan memiliki empat unit kapal dari 16 unit KCR 40 yang ditargetkan hingga tahun 2019 mendatang.

"Dari kajian TNI AL, kami cenderung untuk menyerahkan kontrak produksi KCR 40 kepada Palindo," ujar Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Mayor Jenderal Ediwan Prabowo kepada Tempo, Jumat, 25 Januari 2013 usai menerima protocol of delivery KRI Beladau 643 dari Palindo.

Palindo Marine sendiri baru menandatangani kontrak untuk produksi empat unit kapal cepat rudal dari 16 kapal yang ditargetkan dalam target minimum pengadaan alat utama sistem persenjataan. "Pertimbangan untuk meneruskan kontrak dengan Palindo antara lain masalah perawatan kapal," ujar dia.

Direktur Utama Palindo Marine Harmanto mengaku siap untuk meneruskan kontrak produksi KCR 40. "Kami tidak masalah jika target pengadaan kapal dipercepat," kata Harmanto.

Pembuatan KCR 40, ujar dia, membutuhkan waktu 12 bulan untuk setiap unit. "Tapi tidak masalah karena kami bisa kerjakan secara paralel." Ahak--panggilan akrab Harmanto, mengaku mampu membangun lima kapal cepat rudal sekaligus.

Namun Kementerian Pertahanan mengakui masalah pendanaan masih menghambat percepatan produksi KCR 40. Tiga unit kapal yang sudah diproduksi, seluruhnya menggunakan skema pinjaman dalam negeri. Bank Mandiri selaku bank milik pemerintah ikut membiayai pembuatan kapal senilai Rp 75 miliar per unit.

Kapal cepat rudal sepanjang 44 meter ini terbuat dari high tensile steel pada bagian lambung dan aluminium alloy di bagian atas. KCR 40 dapat melaju hingga 30 knot, atau kurang lebih 60 kilometer per jam.

Polri Beli Anjing dan Kuda Seharga Rp 16,5 Miliar

mabes-polriJakarta | Mabes Polri beberkan soal pembelian kuda dan anjing yang harganya mencapai Rp 16,650 miliar. Hewan-hewan tersebut rencananya dibeli dari Belanda maupun negera lainnya yang kwalistasnya mumpuni untuk kebutuhan reserse.

Menurut, Asisten Perencanaan Polri (Asrena) Irjen Sulistyo Ishak, pembelian hewan tersebut diambil dari pos sarana prasarana sebesar Rp 1,356 triliun. Selain untuk kebutuhan hewan satwa juga dianggarkan untuk alat komunikasi dan transportasi.

“Untuk anjing, Polri menganggar dana Rp 13,5 miliar untuk pembelian 90 ekor anjing. Dengan estimasi satu ekornya dihargai USD 8-9 ribu. Namun itu tidak hanya dilihat harganya akan tetapi kebutuhan dan manfaatnya,” jelas Irjen Sulistyo Ishak.

Hewan tersebut memang dibeli di luar negeri sehingga ada biaya tambahan dalam anggaran ini. Seperti PPh, PPn, biaya akomodasi, biaya transportasi pengiriman dari lokasi pembelian ke Indonesia, biaya karantina, biaya pajak masuk, serta biaya transportasi lokal untuk pengiriman ke satuan wilayah yang akan disalurkan.

“Anjing-anjing tersebut untuk didistribusikan ke 31 Polda dalam rangka pengamanan Pemilu 2014,” ungkapnya.

Sedangkan masalah pembelian kuda, Polri mengganggarkan Rp 3 miliar untuk pembelian tujuh ekor kuda yang dihargai masing-masingnya mencapai USD 20 ribu.

“Anggaran tersebut sudah transparan dan boleh dilihat diinternet harga hewan tersebut,” bebernya.

Sementara itu, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Suhardi Alius, menambahkan, spesifikasi anjing dan kuda ini juga bukan sembarangan. Menurut Suhardi, 90 anjing ini akan didatangkan dari Belanda dan memiliki kualifikasi berbeda.

“Anjing tersebut mampu mengendus adanya bahan peledak atau narkotika. Memang hewan tersebut spesifikasinya khusus tidak sembarangan,” sambungnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Kepolisian rencananya mengalokasikan dana untuk pembelian satwa anjing dan kuda sebear Rp 16,650 miliar. Jumlah tersebut digunakan untuk membeli 90 ekor anjing dengan anggaran Rp 13,5 miliar, dengan kisaran harga anjing dunia di harga USD 8-9 ribu.

Sementara sisanya sebesar Rp 3 miliar, Polri akan membelanjakan untuk pembelian 7 ekor kuda yang masing-masing seharga sekitar Rp 450 juta.(Adin)

Poskota

Kepala Staf TPN/OPM & 858 Anggotanya Serahkan Diri

(Ilustrasi, Foto: Reuters)
(Ilustrasi, Foto Reuters)
Jayapura | Kepala Staf TPN/OPM, Daniel Kogoya, beserta 858 anggota TPN/OPM dan keluarganya, menyerahkan diri kepada Kodam XVII/Cendrawasih dan Polda Papua. Selain itu, tiga pucuk pistol dan senjata laras panjang juga mereka serahkan.

Penyerahan diri tersebut disaksikan oleh pejabat Provinsi Papua di Distrik Muara Tami, berdekatan dengan perbatasan Papua Nugini, pada Jumat, 25 Januari 2013 sore.

Mereka mengucapkan ikrar dan menandatangani perjanjian tidak akan melakukan teror bersenjata lagi kepada kemasyarakat dan aparat keamanan.

Daniel mengatakan, dia dan pengikutnya menyerahkan diri tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Selanjutnya, pihak Pemprov Papua akan menampung mereka di sebuah lokasi. Rencananya, pemprov akan membangunkan perumahan sehingga mereka bisa bermasyarakat lagi.

Daniel dan pasukannya juga akan berupaya mengajak anggota TPN/OPM yang masih tinggal di hutan untuk menyerahkan diri. Dia berharap kedamaian akan tercipta di Bumi Cendrawasih ehingga warga luar tidak takut masuk ke Papua.

Daniel juga meminta maaf atas serangkaian aksi teror selama ini.

Sementara itu, Pangdam XVII/Cendrawasih, Mayjen TNI Christian Zebua, mengatakan, para anggota TPN/OPM akan diterima dengan baik. TNI juga akan menjamin keamanan mereka.

Hal senada disampaikan Wakapolda Papua Brigjen Pol Paulus Waterpauw. Selain menjamin keamanan, polisi akan membantu anggota TPN/OPM lain yang akan bergabung kembali dengan NKRI.(Herawati/Sindoradio/ton)

Okezone

Menjadi Co-Pilot OV 10 Broncho

Di Tulis Oleh Joesoef Adipatah

Sebagai Kepala Staf Korem 121 Manokwari, saya pernah ditugaskan di Timika, Irian Jaya, berstatus sebagai Komandan Komando Mobil (DAN KOMOB) Korem 121, yang membawahi Kodim Fak-Fak, Kodim Manokwari dan Kodim Sorong.

Kodim yang terlibat dalam operasi adalah Kodim Fak-Fak yang wilayahnya meliputi Kawasan Timika–Tembagapura, dan Kodim Manokwari yang wilayahnya meliputi daerah pegunungan Tengah mulai dari Enarotali sampai Ilaga, perbatasan dengan kabupaten Jaya Wijaya.


Tugas pokok adalah penumpasan OPM dan pengamanan obyek vital, terutama kawasan pertambangan mulai dari Timika sampai dengan daerah pertambangan Tembagapura.. Pengamanan kawasan pertambangan Tembagapura terutama diarahkan untuk mencegah terjadinya gangguan kemanan terhadap kegiatan pertambangan dan pengamanan terhadap instalasi penting, asset dari Tembagapura misalnya pipa-pipa besar dan panjang yang mengalirkan bijih tembaga dari Tembagapura ke Timika. Khusus untuk pengamanan di Tembaga pura dan Timika, pasukan pengamanan menduduki pos-pos sepanjang jalan mulai dari Timika samapi dengan Tembagapura. Sedangkan pasukan yang diluar kawasan ini menduduki pos-pos yang tersebar di daerah pegunungan tengan seperti di Ilaga  Enarotali dan Sugapa.

Kodam Trikora Irian Jaya mendapat perkuatan Bawah Perintah 1 Squadron  pesawat OV-10 yang stand by di Timika. Sasaran udara dalam operasi penumpasan OPM memang jarang di temukan. Pada suatu hari Kas Dam Trikora Kolonel Kosasih meninjau pos di Ilaga beserta Ass Ops Kas Dam.. Kami di Timika mendapat perintah dari Kasdam Trikora agar melakukan serangan udara terhadap suatu lokasi dekat Ilaga, yang diperkirakan menjadi daerah konsentrasi musuh.


Perintah saya teruskan kepada satuan Angkatan Udara di Timika. Tindak lanjutnya AU mengerahkan dua pesawat tempur OV-10 Broncho yang dilengkapi dengan roket-roket. Penerbangan dipimpin oleh Kapten Penerbang Tamtomo.
 

Saya sebagai Dan KOMOB ikut dalam penerbangan ini. Setelah diadakan briefing, dibantu oleh seorang bintara AU saya mengenakan perlengkapan layaknya pilot. Saya naik pesawat yang dipiloti oleh Kapten Tamtomo Duduk dikursi belakang sebagai Co-Pilot. Kapten Tamtomo memberikan beberapa petunjuk kepada saya seperti tindakan menggunakan alat-alat, petunjuk mengenai keselamatan, keadaan darurat dan lain-lain termasuk memegang handel (flight stick) dan menggerak-gerakkannya.

Setelah Kapten Tamtomo memberikan komando, dua pesawat OV-10 take off dan terbang menuju sasaran.  Kami mendapat komando dari Ass Op yang berada di Ilaga.


Kami terbang kearah utara, melintasi puncak-puncak pegunungan Jaya Wijaya yang bersalju. Masuk kewilayah pegunungan tengah, di atas Ilaga. Kami benar-benar menikmati penerbangan ini. Melihat pemandangan puncak-puncak gunung yang indah.


Mulailah kami mendapat komando dari bawah, dari Ass Ops yang berada di Ilaga. Kami berputar-putar dulu sambil mendengar komando tentang petunjuk sasaran, mana yang harus ditembak.

Setelah mengetahui sasaran kami terbang menjauh, kemudian kembali dan menukik dan tembak. Setelah menembak pesawat naik lagi.


Karena menukiknya tadi cukup tajam maka naiknyapun hampir vertikal. Terbang menjauh lagi, kembali menukik lagi dan menembak lagi. Naik lagi. Demikian beberapa kali. Kata pilot, roket tak pernah ditembakkan, maka sekarang ditembakkan sepuas-puasnya. Wah rupanya sudah penasaran menembakkan roket pilot-pilot ini.


Tadi saya katakan nikmat betul naik OV-10, yang terbang biasa. Tetapi sekarang mau saya ceritakan bagaimana rasanya naik pesawat OV-10 yang lagi menembak.


Menerima perintah untuk menyerang memang menyenangkan, karena kita dapat menyerang dengan mudah menembak dengan lancar.

Tetapi setelah menembak dan kembali terbang vertikal keatas, waduh baru saya kaget setengah mati; berat badan saya menjadi berlipat ganda. Dada rasa sesak, dan tangan saya sendiri tak mampu saya angkat. Seperti mengangkat beban satu kwintal rasanya. Sayapun tak sabar untuk bertanya kepada pilot Tamtomo. Kenapa begini. Kapten Tamtomo pun tertawa “Ndak apa-apa mas, mas Joesoef rasa mual apa nggak?” Saya jawab tidak. “Baik, mas Joesoef pantas jadi pilot.” Katanya bercanda.

Setelah selesai penembakan baru dijelaskan bahwa itu adalah tarikan gravitasi yang sangat kuat karena kita terbang vertikal dan cepat. Istilahnya dalam penerbangan saya lupa (G Force pak).


Laporan ke KasDam serangan selesai dan kami kembali terbang biasa kembali ke Timika. Dalam perjalanan ini kami banyak ngobrol mengenai soal-soal penerbangan.

Setelah kami melintasi puncak-puncak jajaran gunung bersalju, kami hampir mendekati bandara Timika. Saat ini kapten Tamtomo mengatakan “Mas kita akan membuat pendadakan (surprise) masuk bandara Timika dengan tidak diketahui.” Lalu pesawat terbang rendah, suarapun tidak terlalu keras (silent). Setelah mendekati bandara, kami seperti keluar dari semak-semak, cepat dan suara menggelegar.

Demikian pengalaman saya menjadi co-pilot OV-10 Bronco dan menembak sasaran dengan roket.



Darmasadtri

Satkopaska Koarmatim Latihan Anti Teroris di Selat Madura

Surabaya | Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska) Koarmatim, berhasil melumpuhkan sekelompok “teroris” yang membajak sebuah kapal di perairan Selat Madura, Jum’at (25/01). Letusan suara tembakan menggema diperairan tersebut, ketika tim Visit Boarding Search and Seizure (VBSS) Kopaska, yang didukung satu kapal selam KRI Cakra-401 dan kapal patroli cepat KRI Badau-841, mendekat ke kapal sasaran.

KRI Badau-841 dan sebuah kendaraan tempur atas air Combat Boat melakukan manuver dengan kecepatan tinggi untuk mengecoh dan memberikan perlindungan terhadap tim VBSS yang akan boarding ke atas kapal. Teroris menyambut kedatangan mereka dengan tembakan membabi buta. Perhatian musuh terpecah menuju ke kapal-kapal cepat itu, sehingga satu tim VBSS Kopaska bersenjatakan lengkap, dapat melakukan boarding ke atas kapal. Pasukan anti teror itu dipimpin oleh Kapten Laut (S) Bambang, beranggotakan enam orang prajurit Kopaska.



Berhasil naik ke atas kapal, tim VBSS melakukan pergerakan (Ship Movement), untuk menguasai objek vital di kapal. Terjadi kontak tembak antara tim Kopaska dengan sisa-sisa teroris yang menguasai anjungan. Berkat kesigapan prajurit Kopaska, kelompok teroris itu dapat dilumpuhkan.

Beberapa orang teroris tertembak mati dan mengalami luka-luka. Mereka yang selamat langsung ditangani (
Personal Handling), kemudian dievakuasi ke darat. Tim anti teror di darat didukung satu unit Chetah, Commob dan motor trail mengevakuasi musuh yang berhasil ditawan oleh tim VBSS.


Operasi tempur laut tersebut, merupakan simulasi pembebasan kapal atau Maritime Interdiction Operation (MIO), yang diselenggarakan oleh jajaran Koarmatim, dengan melibatkan satu kapal selam KRI Cakra-401, satu kapal korvet kelas SIGMA KRI Sultan Hasanudin-366, satu kapal patroli cepat KRI Badau-841, satu tim VBSS dari Satkopaska Koarmatim dengan didukung kendaraan tempur laut Rigid Hul Inflatble Boat (RHIB) berupa Combat Boat dan Sea Rider.

Dispenarmatim

Menyiapkan Doktrin Bertempur Di Era “Warm Peace”

Oleh : Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA
(Kasi-2/Operasi Brigif Linud 17 Kostrad)


“Adaptabilitas dan inovasi merupakan kunci keberhasilan di era yang penuh dengan ketidakpastian… Kita harus berani keluar dari zona kenyamanan untuk mentransformasi diri, dan maju kedepan”

Warm Peace: Kompleksitas Dan Ketidakpastian Abad 21.

Dengan berakhirnya perang dingin dua dekade silam, tidaklah berlebihan jika kita semua berharap bahwa dunia akan semakin aman, dimana bangsa-bangsa dapat hidup tenang dan damai berdampingan, tanpa harus terkotak-kotak atas dasar pertentangan ideologi “kapitalisme vs komunisme”. Namun sejarah berkata lain, peristiwa 9/11 justru telah menyuguhkan pembuktian terbalik dari ekspektasi tersebut. Euforia pergantian milenium, serta “headlines” tentang pesatnya kemajuan teknologi diawal abad 21 sekejap sirna, tergantikan oleh kampanye global melawan terorisme. Tak terelakkan upaya Amerika Serikat dan aliansinya, yang seringkali membabi buta, dalam memburu Osama Bin Laden dan Al-Qaeda telah melahirkan ketegangan-ketegangan baru, yang berujung pada “clash of civilizations” antara dunia barat dan dunia Islam.

Di samping itu, dunia yang semakin padat dan terhubung dalam sebuah rezim globalisasi dan revolusi informasi dewasa ini, selain telah menghadirkan berbagai peluang, mengandung begitu banyak tantangan yang tidak sederhana. Globalisasi menjadikan dunia seolah-olah “borderless”, menjamin terbukanya pasar bebas, serta berkembangnya berbagai kegiatan, termasuk kejahatan transnasional. Sedangkan 7 milyar manusia mengisyaratkan persaingan yang semakin sengit dalam memperebutkan sumber daya yang tak tergantikan, termasuk energi, pangan dan air. “Survival of the most competitive” tidak hanya menjadi norma, tapi juga berpotensi melahirkan konflik antar negara, termasuk konflik bersenjata antar militer di berbagai kawasan.

Kita juga masih menyaksikan sejumlah konflik tradisional di berbagai belahan dunia, seperti di Semenanjung Korea, Kashmir dan Israel-Palestina; proliferasi senjata pemusnah masal, baik oleh negara maupun aktor bukan negara; serta “intra-state conflict” atas dasar etnisitas dan agama. Di sisi lain, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan gelombang reformasi politik yang berakhir pada “civil war” di sejumlah negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, juga telah menambah daftar panjang karakteristik era “warm peace”, sebuah era dimana situasi dunia tidak dalam keadaan perang (ala Perang Dunia I dan II), namun belum sepenuhnya aman dan damai.

Era “warm peace” meniscayakan sebuah kompleksitas dan ketidakpastian. Ragam dan intensitas konflik akan lebih sulit untuk diestimasi. Diprediksi, peperangan dimasa depan akan lebih bersifat “hybrid”, artinya merupakan kombinasi antara pertempuran yang bersifat konvensional, asimetris dan nonreguler, seperti yang kita amati di Iraq dan Afghanistan. “Proxy war” seperti yang terjadi di Syria saat ini, dimana sejumlah kekuatan eksternal melakukan intervensi politik, serta memberikan dukungan intelijen maupun logistik kepada faksi-faksi yang bertikai, juga diperkirakan akan semakin mengemuka. Dari semua kemungkinan tersebut, yang pasti adalah bahwa setiap negara dan setiap militer, harus memiliki kesiapan dan adaptabilitas yang tinggi. Untuk dapat menghadapi ancaman dan tantangan yang bersifat “hybrid” dan adaptif, maka diperlukan angkatan bersenjata yang berkemampuan “hybrid” dan adaptif pula. Jika kurang cermat dan cepat untuk mengikuti perkembangan situasi keamanan dunia dan kawasan, maka kita tidak akan mampu menghadirkan kekuatan yang efektif dalam rangka mengawal kepentingan nasional kita.

Nafas Transformasi TNI AD

Penulis merasa bangga dan menaruh harapan yang tinggi terhadap upaya transformasi di jajaran TNI, khususnya TNI AD, yang tengah berjalan saat ini, dalam rangka menuju institusi yang semakin profesional, modern, efektif, dan menentukan (decisive) di masa depan. Generasi muda TNI AD harus menjadi bagian dari upaya besar ini. Ketika visi transformasi telah ditetapkan, maka tentu terlebih dahulu kita harus menyusun strategi dan rencana aksi yang realistis. Transformasi harus dilakukan secara menyeluruh, meliputi semua aspek utama militer profesional, di antaranya adalah: sumber daya manusia, organisasi dan kepemimpinan yang unggul dan efektif; teknologi, sistem senjata dan logistik yang modern; serta pendidikan dan latihan yang berkelas dunia. Semua diorientasikan pada kesiapan penyelenggaraan operasi militer di masa kini dan yang akan datang.

Kekuatan militer di negara manapun dibangun dalam rangka melawan ancaman militer musuh. Artinya, walaupun kita konsisten dengan diktum bahwa “perang merupakan jalan terakhir”, TNI AD setiap saat dipersiapkan untuk menghadapi skenario-skenario terburuk, termasuk terlibat secara langsung dalam situasi pertempuran yang menentukan. Dengan demikian, segala pemikiran, energi, dan upaya harus kita prioritaskan untuk memenangkan pertempuran-pertempuran modern, serta berhasil dalam berbagai bentuk operasi militer selain perang, baik di dalam maupun luar negeri. TNI AD harus menjadi yang terdepan dalam menjaga kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI dari berbagai format ancaman dan tantangan, serta turut aktif dalam misi-misi kemanusiaan dan perdamaian dunia, sesuai dengan amanah konstitusi. Tidak dapat ditawar, bahwa semua tugas tersebut membutuhkan kerja keras, dedikasi, dan pengabdian terbaik dari seluruh prajurit.

Memahami Esensi Doktrin Militer Dengan Benar


Dengan memahami dimensi penugasan TNI AD dikaitkan dengan luasnya spektrum ancaman pertahanan dan tantangan keamanan matra darat, maka penataan doktrin menjadi langkah yang fundamental sebelum transformasi menyentuh aspek-aspek lainnya. Sebelum membahas lebih jauh tentang transformasi di bidang doktrin, yang dilakukan untuk dapat menjawab tantangan masa depan, mari kita awali dengan mencermati pemaknaan terhadap doktrin militer itu sendiri. Sebenarnya cukup banyak literatur yang menjelaskan definisi doktrin militer, namun terkadang tidak cukup mengungkap esensi yang sesungguhnya. Dalam konteks ini penulis sependapat dengan Dennis Drew dan Don Snow dalam tulisan mereka berjudul “Military Doctrine”, bahwa “Doktrin Militer adalah hal-hal yang kita yakini sebagai cara-cara terbaik dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan dan tugas militer”. Definisi ini cukup sederhana, namun akurat.

Kata “yakin” menjadi kunci dari definisi tersebut, dimana mengandung makna bahwa doktrin merupakan hasil dari analisa terhadap hal-hal yang telah dilakukan, serta interpretasi terhadap bukti-bukti keberhasilan dan kegagalan yang telah terjadi sebelumnya. Artinya, setiap doktrin berbasis pada kumpulan pengalaman berharga, atau “lessons learned” dimasa lalu, yang kita yakini relevan dengan apa yang kita hadapi di masa kini dan masa depan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa doktrin bukanlah kitab suci, yang tidak dapat diubah. Sebaliknya, doktrin harus dinamis, mengikuti perkembangan situasi dari masa kemasa. Jika saat ini kita menemukan bukti empiris baru yang dengan sendirinya menganulir bukti-bukti terdahulu, maka kita harus berani untuk melakukan penyesuaian dan perubahan secara substansial. Karena tidak ada jaminan bahwa taktik, teknik dan prosedur yang telah memenangkan pertempuran dimasa lalu, akan juga memenangkan pertempuran dimasa kini, apalagi dimasa depan.

VARIABEL KONSTAN VS. VARIABEL DINAMIS DALAM PERTEMPURAN.

Introduksi berbagai teknologi mutakhir dalam sistem persenjataan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan doktrin militer dari generasi ke generasi. Tidak dapat dibayangkan sebelumnya bahwa teknologi “long-range precision guided missile” telah memungkinkan pertempuran dilakukan dari jarak yang sangat jauh dan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tidak dapat dibayangkan pula sebelumnya bahwa pesawat tanpa awak, telah memungkinkan dilakukannya operasi intelijen hampir tanpa batas, dengan resiko yang sangat kecil. Masih banyak lagi sebenarnya kecanggihan teknologi abad 21 yang telah merubah cara bertempur militer di dunia. Seperti yang kita saksikan melalui media dewasa ini, layaknya bermain “video games”, pertempuran di masa depan akan lebih banyak dijalankan dari depan LCD, dengan hasil yang lebih sering ditentukan oleh kalkulasi komputer. Bahkan kalau kita cermati lebih jauh, walaupun tidak sepenuhnya benar, seolah-olah fungsi manusia secara fisik dalam pertempuran, perlahan tergantikan oleh kehadiran teknologi dan mesin perang yang super jenius.

Namun penulis meyakini bahwa sampai kapanpun “war is a human endeavor”, yang penuh dengan “uncertainty”. Manusialah yang bertanggung jawab dalam menciptakan sebuah perang atau sebuah perdamaian, bukan teknologi. Manusia jugalah yang paling menentukan kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pertempuran, bukan mesin. Pendek kata, faktor manusia tidak akan tergantikan. Kehadiran para prajurit di lapangan, atau “boots on the ground”, yang cerdas, kuat, dan bermental baja akan terus mendominasi jalannya pertempuran dimasa depan. Sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia; merdekanya Algeria dari kolonialisme Perancis; kegagalan Amerika Serikat memenangkan Perang Vietnam; mundurnya pasukan USSR dari Afghanistan; sulitnya pasukan koalisi menangkap Osama Bin Laden, serta melumpuhkan Al-Qaeda dan Taliban; semua menjadi bukti bahwa kekuatan dan kecanggihan persenjataan (aspek kuantitatif) yang dimiliki oleh sebuah militer bukanlah segalanya, dan sebaliknya bahwa ketangguhan dan semangat berjuang manusia (aspek kualitiatif) tidak dapat dinegasikan. Kalkulasi secara kuantitatif perbandingan daya tempur relatif antara pasukan sendiri dan musuh, termasuk hitung-hitungan hasil pertempuran yang lebih dikenal dengan istilah “body-counts” atau “weapon-counts”, memang merupakan parameter penting dalam memprediksi jalannya pertempuran. Namun jika aspek kualitatif dengan mudah diabaikan, maka akan sangat mungkin berulang realitas menang dalam pertempuran, tapi (pada akhirnya) kalah dalam perang, atau “win the battles, but loose the war”.

Penulis telah menguraikan bahwa terdapat faktor teknologi yang kerap mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan dalam sebuah pertempuran, dan sebaliknya terdapat sejumlah hal yang konstan, yang tidak berubah dalam perjalanan sejarah perang dunia. Doktrin militer seharusnya juga mengakomodasi kedua nilai tersebut, “the constants, and the nature of change in war”. Nilai-nilai yang berlaku universal, klasik, dan tidak usang dari waktu kewaktu, seperti yang ditulis oleh Sun Tzu dalam “The Art of War”, atau Carl von Clausewitz dalam “On War”, atau Jenderal A.H. Nasution dalam bukunya “Pokok-pokok Perang Gerilya”, sepatutnya tetap dipertahankan. Namun demikian, TNI AD harus terbebas dari sebuah kecenderungan, yang juga terjadi di sejumlah militer negara lain, yaitu menempatkan doktrin dalam situasi yang stagnan dan konstan, seolah-olah mengabaikan berbagai variabel baru yang berpengaruh terhadap situasi keamanan global, regional dan nasional.

Kita mengetahui bahwa dunia militer telah maju dengan pesatnya, dimana karakter perang menjadi semakin “non-linear” dan multidimensional. Ini semua menuntut kecerdasan kita untuk bersikap adaptif, mengikuti trend terkini. Yang tidak boleh berubah adalah semangat pantang menyerah dan daya juang yang tinggi untuk meraih sebuah kemenangan pertempuran atau keberhasilan tugas. Namun, secara progresif kita harus senantiasa menemukan dan memperbaharui taktik dan teknik bertempur terbaik, sehingga kemenangan dapat diraih secara lebih cepat, lebih menentukan, dan dengan kerugian yang minimal.

Teknologi Pengaruhi Doktrin, Atau Sebaliknya?

Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, di era yang semakin modern ini, faktor teknologi dan sistem persenjataan menjadi aspek penting dalam kalkulasi kekuatan sebuah militer. Dengan demikian, langkah-langkah strategis TNI AD dalam rangka memodernisasi Alutsista dewasa ini sangatlah tepat, ketika memang ekonomi Indonesia telah memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk pertahanan dan belanja militer. Pertanyaan yang muncul adalah, “apakah modernisasi Alutsista yang akan mempengaruhi terjadinya penyesuaian dan atau perubahan doktrin?” Atau sebaliknya, “apakah perubahan doktrin yang seharusnya menuntun arah modernisasi Alutsista TNI AD?” Lalu, “lebih baik mana, modernisasi dulu, atau merubah doktrin dulu?” Diskusi ini juga berkembang sepanjang masa di berbagai militer di dunia.

Tidak ada jawaban yang bersifat “straightforward”. Kedua-duanya memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya konsep operasi atau doktrin militer yang terlebih dahulu diperbaharui, sehingga dapat diikuti dengan pengembangan teknologi, termasuk pembelian Alutsista yang hanya benar-benar dibutuhkan. Dengan demikian akan terjadi efisiensi, baik dalam konteks pemenuhan kemampuan militer yang harus dimiliki (capability-based), maupun pemenuhan kekuatan ditinjau dari persepsi ancaman terkini, aktual dan potensial (threat-based). Kelemahan dari argumentasi ini adalah bahwa terkadang akan membatasi ruang inovasi dibidang teknologi, yang justru kontraproduktif terhadap upaya besar “Revolution in Military Affairs” (RMA) secara keseluruhan.

Pendapat kedua menekankan pentingnya pengembangan sistem persenjataan yang harus terus dilakukan tanpa batas dengan mengikuti kemajuan teknologi dewasa ini. Hal ini didasari bahwa dalam menghadapi ancaman keamanan dimasa depan yang semakin kompleks dan tidak menentu, setiap militer dipersyaratkan memiliki beragam “arsenal” berteknologi tinggi untuk mengungguli lawan-lawan potensialnya. Dengan demikian, kapan dibutuhkan, militer tersebut dapat secara cepat memilih sistem senjata terbaik yang diyakini akan memenangkan pertempuran yang dihadapi. Dalam konteks ini, penyesuaian terhadap doktrin bertempur dinomorduakan. Kelemahannya adalah bahwa ketidaksesuaian antara Alutsista dan doktrin tersebut akan berimplikasi pada “combat power” yang kurang efektif. Selain itu, jika prinsip harus memiliki Alutsista sebanyak dan secanggih mungkin menjadi norma di abad 21 ini, maka sangat mungkin dunia akan kembali kerezim “arms race” seperti era Perang Dingin yang lalu.

Pendapat ketiga lebih cenderung menggarisbawahi pentingnya dilakukan pembaharuan doktrin dan modernisasi secara simultan, tidak menunggu salah satunya dilakukan terlebih dahulu. Diharapkan bahwa seiring dengan waktu karena memang kedua aspek tersebut membutuhkan proses yang tidak sederhana, serta mengkonsumsi waktu yang tidak singkat akan terjadi sinkronisasi yang tepat antara: Pertama, konsep operasi yang relevan dengan prediksi ancaman jangka menengah dan panjang; dan Kedua, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh militer di lapangan untuk mengaktualisasikan konsep operasi tersebut. Pemikiran ini cukup realistis, karena di satu sisi, militer tidak harus kehilangan waktu untuk melakukan modernisasi Alutsista sampai dengan rampungnya penyempurnaan doktrin. Perlu disadari bahwa dalam sebuah proses transformasi, pada prinsipnya, tidak ada kata sempurna. Artinya, apa yang mungkin sempurna hari ini belum tentu sempurna untuk menghadapi situasi serupa dikemudian hari. Di sisi lain, dengan secara bersamaan dan terus menerus melakukan penataan doktrin, militer dapat menyusun prioritas-prioritas untuk memodernisasi dirinya dengan lebih baik. Perlu diingat bahwa anggaran untuk belanja Alutsista tidak tak terbatas.

Nampaknya apa yang dilakukan oleh TNI AD saat ini lebih mirip dengan prinsip ketiga, dimana dalam waktu yang hampir bersamaan dilakukan revisi doktrin secara menyeluruh (baik pada tataran strategis, operasional, taktis maupun teknik) dan modernisasi Alutsista untuk memenuhi kebutuhan postur “Minimum Essential Force” (MEF) matra darat. MEF sendiri harus disikapi sebagai kekuatan pokok minimum yang dapat menghadirkan efek penggentar atau “deterrence effect”, yang diperlukan dalam rangka menghadapi berbagai bentuk ancaman dan tantangan keamanan di masa kini dan yang akan datang.

Secara tegas tersirat bahwa agenda utama TNI AD adalah mengejar ketertinggalannya selama ini untuk dapat menjalankan tugas-tugas negara di bidang pertahanan matra darat secara optimal. Tanpa berkeinginan untuk menjadi kekuatan yang agresif, kita ingin agar TNI AD dapat menjadi bagian dari aspek “hard power” yang kredibel, untuk melengkapi keunggulan aspek “soft power” yang telah menempatkan Indonesia di posisi-posisi terhormat dalam percaturan politik internasional lima tahun terakhir ini. Kedua aspek kekuatan nasional tersebut harus mendapatkan prioritas yang berimbang, dalam sebuah kerangka pembangunan “smart power”, yang kita yakini akan menjadi formula menuju kejayaan bangsa.

Integrasi Dan Sinergi: Faktor Kritis Menuju Daya Tempur Yang Efektif.

Ada dua hal penting yang perlu dihindari dalam upaya transformasi di bidang doktrin. Yang pertama, terjadinya “mismatch” antara apa yang tengah dilakukan secara terpisah oleh masing-masing matra, TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Perang modern akan semakin meniscayakan keterpaduan semua unsur kekuatan, darat, laut dan udara. Kita tidak memiliki “luxury” untuk dapat memilih ruang pertempuran kita. Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah duduk bersama untuk menyusun doktrin operasi militer gabungan yang benar-benar relevan, serta meningkatkan intensitas dan kualitas latihan tri-matra, yang pada akhirnya bermuara pada kesiapan kekuatan TNI secara terintegrasi untuk: memenangkan pertempuran konvensional di “multiple-fronts“; melawan terorisme dan ancaman nontradisional lainnya; mencegah dan menyelesaikan konflik bersenjata di berbagai “flashpoints”; dan menanggulangi bencana alam di seluruh wilayah tanah air.

Syaratnya, harus dihilangkan sikap persaingan antar angkatan yang terlalu berlebihan, yang justru akan melemahkan upaya besar TNI untuk membangun kekuatannya. Setiap angkatan memiliki prioritas dan strategi pemenuhan MEF, namun hendaknya saling melengkapi, dan tidak menciderai satu sama lain. TNI AD harus berbesar hati bahwa, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia harus memiliki kekuatan maritim yang unggul. Sama halnya bahwa untuk menjamin kecepatan dalam aksi pencegahan dan penindakan, TNI sangat bergantung pada kekuatan dirgantara (air power), yang juga menjamin “air superiority”.

Sebaliknya TNI AL dan TNI AU juga harus memahami, bahwa bagaimanapun, negara kita juga memiliki wilayah daratan yang sangat luas, dengan sejumlah batas negara yang mengandung potensi konflik, serta telah diuji oleh berbagai konflik komunal dan vertikal dari Aceh sampai Papua. Oleh karena itu, kekuatan TNI AD kita juga harus terus meningkat, baik dari aspek kualitas prajuritnya maupun Alutsista yang diawakinya. Melalui penataan doktrin yang tepat, dibarengi dengan upaya modernisasi yang dilakukan secara terintegrasi, kita optimis dalam waktu dekat TNI kita akan menjadi kekuatan yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Hal kedua yang perlu diantisipasi dalam proses transformasi doktrin, sebenarnya lebih menyentuh pada kondisi internal TNI AD yang belum sepenuhnya terintegrasi sebagai satu kesatuan yang utuh. Secara obyektif harus kita akui bahwa daya tempur pasukan TNI AD saat ini belum pada level yang seharusnya dicapai. Hal ini secara umum disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk bertempur secara sendiri-sendiri. Unsur-unsur utama pertempuran, yaitu Infanteri, Kavaleri, dan Artileri, belum memiliki keterpaduan yang solid untuk melaksanakan pertempuran di darat. Peran dan fungsi seluruh komponen bantuan tempur dan bantuan administrasi juga belum terintegrasi dengan baik untuk menjamin keberhasilan tugas pokok satuan-satuan manuver di depan. Terkadang seperti ada semacam “psychological barrier” untuk saling membuka diri dalam rangka “melebur doktrin” yang dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh masing-masing kesenjataan dan kecabangan selama ini, kedalam sebuah “melting-pot“ yang akan melahirkan doktrin bertempur bersama yang jauh lebih efektif.


Setiap komponen TNI AD memiliki kemampuan atau keunggulan, serta batas kemampuan atau kerawanannya tersendiri. Penulis, yang merupakan perwira Infanteri, menyadari bahwa kesenjataannya tidak dapat bertempur sendirian. Infanteri tidak cukup cepat dan kuat untuk mencapai, merebut dan atau menghancurkan sasaran. Terlebih jika pasukan musuh merupakan kekuatan militer yang berkarakteristik “generic”, atau gabungan antara komponen “mechanized-, motorized-, and light-infantry”, yang juga didukung oleh meriam jarak jauh dan Kavaleri udara. Menghadapi musuh seperti ini, dibutuhkan kendaraan-kendaraan taktis dengan mobilitas yang tinggi untuk mendukung manuver pasukan Infanteri kita. Dibutuhkan pula dukungan “firepower” oleh kekuatan Artileri, “main battle tanks”, dan “attack helicopters”. Pasukan manuver juga harus selalu terlindung dari “close air support” musuh. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kunci keberhasilan operasi militer sangat ditentukan oleh dukungan intelijen, logistik dan komando pengendalian yang mengalir setiap saat. Jika semua aspek dukungan tersebut dapat dihadirkan secara tersinkronisasi, maka dapat diproyeksikan bahwa TNI AD akan memiliki “combat power” yang handal untuk dapat memenangkan setiap level pertempuran darat.

Kita sangat bergembira atas inisiatif TNI AD untuk melahirkan sebuah konsep kekuatan baru yang secara organik menjamin integrasi dari seluruh kesenjataan dan kecabangan dalam sebuah format “Combined Arms Maneuver Battalion” (CAMB), atau Batalyon Manuver Gabungan Kesenjataan. Batalyon ini diharapkan akan menjadi embrio dari Brigade Tim Pertempuran Berat, atau “Heavy Brigade Combat Team”, dengan karakter utamanya yaitu “modularity” dan “self-sustainability”, yang terbukti efektif dalam memenangkan sejumlah pertempuran yang menentukan militer negara maju.

Tantangan Tranformasi Doktrin: Pentingnya Mindset Yang Tepat.

Penulis berpendapat bahwa di dalam menyusun atau merevisi doktrin, dibutuhkan ketelitian dalam menginterpretasikan “lessons learned” yang dimiliki oleh TNI AD sendiri. Permasalahan utama yang biasanya terjadi adalah terdapat perbedaan perspektif terhadap suatu keberhasilan tertentu. Dan yang lebih sering, terdapat keengganan untuk mengungkap cerita sebenarnya yang melatarbelakangi sebuah kegagalan, apalagi jika terjadi korban jiwa, di lapangan. Jika suatu peristiwa tidak diungkap secara utuh, dan apa adanya, maka akan menimbulkan kesulitan bagi siapapun yang diberi tugas untuk menganalisanya. Ketika subyektivitas mewarnai sebuah doktrin, maka akan sangat membahayakan bagi para prajurit yang memedomaninya.

Kita sering mendengar seloroh, bahwa “doktrin tidak penting, segala sesuatunya akan berkembang di lapangan”. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi mengandung sebuah kerawanan yang perlu kita sikapi. Memang benar, bahwa doktrin tidak diciptakan untuk mengatur seorang komandan atau seorang prajurit untuk mengerjakan segala sesuatunya secara “text-book”. Semua tentu harus disesuaikan dengan situasi yang dihadapi saat itu. Bisa saja situasi yang dihadapi benar-benar sesuatu yang baru, yang belum tercantum dalam doktrin manapun. Di sini dibutuhkan kecerdasan seorang komandan untuk segera mengambil keputusan, dilanjutkan dengan aksi yang paling menguntungkan. Inilah yang dimaknai dengan “berkembang di lapangan”.

Namun perlu kita ingat, bahwa pada hakikatnya doktrin yang baik tidak mendikte prajurit dengan: “what to think and what to do”, melainkan menekankan pada sebuah “mindset”: “how to think and how to do things critically and effectively”. Artinya, sebenarnya dalam doktrin militer, masih terdapat keleluasaan bagi seorang komandan dan prajurit yang dipimpinnya untuk berinisiatif dalam koridor “guidelines” yang disuguhkan. Dengan demikian, memahami doktrin justru menjadi sangat penting bagi prajurit untuk melakukan inisiatif, terutama dalam situasi kritis. Prinsip untuk memberikan keleluasaan berinisiatif bagi para prajurit, khususnya pemimpin di lapangan, harus terus mendasari upaya para konseptor dalam menyusun dan merevisi doktrin TNI AD.

Gali Pengalaman Sendiri, Pelajari Pengalaman Orang Lain.

Dalam menyusun doktrin militer sebenarnya tidak harus dibatasi dengan lingkup pengalaman TNI AD sendiri. Setiap pengalaman adalah guru yang terbaik, namun tidak semua peristiwa, terutama kegagalan dan kekalahan, harus kita alami sendiri. Tidak semua pula harus kita awali dari nol, atau “start from scratch”. Cukup banyak pengalaman berharga yang dimiliki oleh militer negara lain yang dapat diadopsi dan dijadikan sebagai basis penyusunan doktrin TNI AD. Justru yang paling baik adalah jika kita dapat memadukan berbagai “lessons learned”, milik sendiri dan milik militer lain, yang kita nilai relevan terhadap skenario-skenario yang mungkin akan kita hadapi di kemudian hari.

Dalam konteks operasi lawan insurjensi misalnya, TNI AD punya pengalaman yang cukup luas dalam melumpuhkan gerakan separatis bersenjata di dalam negeri. Namun kita juga dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh militer lain yang terlibat dalam “counterinsurgency operations” di luar negaranya. Mungkin di sana-sini akan terdapat kesamaan prinsip bertempur. Namun dengan mempelajari karakteristik daerah operasi yang berbeda (misalnya “jungle vs urban terrain”), maka akan semakin memperkaya substansi dari doktrin operasi lawan insurjensi yang telah kita miliki selama ini. Yang perlu dihindari adalah upaya untuk menelan mentah-mentah apa yang berlaku di militer negara lain, karena di dalam menyelesaikan suatu konflik tidak ada istilah “one-fits-all formula”.

Doktrin Harus Aplikatif, Mudah Dipahami Dan Inspiratif.

Terkait dengan teknis pengembangan doktrin militer, kita tentu sepaham bahwa doktrin harus aplikatif, dan pemilihan bahasa tulis haruslah yang paling mudah dipahami, sehingga menjamin kejelasan, ketegasan, namun juga mengandung ruang untuk berinisiatif bagi prajurit di lapangan. Hal ini tentunya dilakukan dengan tidak bermaksud menyederhanakan substansi atau situasi pertempuran tertentu. Di samping itu, akan sangat baik jika doktrin dilengkapi dan diperkuat dengan beragam ilustrasi yang kontekstual. Ilustrasi yang dimaksud dapat berupa oleat operasi, diagram, grafik atau tabel data, pencitraan udara terhadap kontur dan karakteristik medan tertentu, maupun foto-foto terkait dengan kemampuan dan batas kemampuan Alutsista, serta kegiatan prajurit di lapangan. Stratifikasi atau pohon doktrin militer juga sebaiknya disusun sesederhana mungkin, sehingga benar-benar akan memudahkan prajurit yang ingin mengupas secara mendalam suatu bidang, atau aspek pertempuran, tertentu.

Sebagai kumpulan dari “lessons learned”, yang diyakini dapat dijadikan sebagai “soldiers’ guidance for actions”, maka seyogyanya doktrin juga memuat berbagai kisah nyata, baik tentang keberhasilan maupun kegagalan operasi tertentu. Karena pada umumnya kita akan lebih merasa tergugah untuk mengetahui suatu peristiwa tertentu, ketika kita tahu bahwa peristiwa tersebut merupakan kisah nyata yang pernah terjadi di masa lalu. Sama halnya ketika kita menyaksikan sebuah film dokumenter, maupun film populer yang berdasarkan kisah nyata, atau “based on true events”. Jika didalam doktrin militer, kita pilih dan angkat sejumlah kisah nyata yang ditulis secara menarik, dimana memuat “details” tentang waktu, tempat, tokoh yang terlibat, suasana pertempuran, senjata dan taktik yang digunakan, dan lain sebagainya, maka diharapkan seluruh prajurit yang membacanya akan lebih mudah membayangkan situasi serupa yang mungkin akan mereka hadapi di kemudian hari. Di samping itu, berbagai kisah heroik para pejuang, senior dan pendahulu kita tentu akan menginspirasi generasi-generasi TNI AD selanjutnya.

Kisah yang diangkat tidak harus selalu merupakan operasi dengan pengerahan pasukan yang besar, atau kontak senjata dengan hasil yang bernilai tinggi, seperti tertembaknya tokoh penting atau pimpinan musuh. Setiap peristiwa dalam pertempuran pasti memiliki nilai tersendiri. Walaupun dalam skala yang kecil, jika diungkap dengan obyektif, maka kita akan memperoleh sejumlah pelajaran berharga, sebagai contoh: kerugian personel akibat aplikasi taktik yang salah; keberhasilan operasi yang didasari oleh keberanian dan kepemimpinan yang efektif di lapangan; terganggunya komando dan pengendalian pasukan yang didominasi oleh faktor cuaca dan medan; atau dukungan moril yang tinggi karena serius dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat. Dalam doktrin juga tidak ditabukan untuk menampilkan berbagai insiden atau peristiwa pertempuran yang dialami oleh militer negara lain, sejauh itu aplikatif dan memiliki nilai yang tinggi.

Seluruh Prajurit Harus Miliki Peluang Akses Yang Sama.
 
Doktrin militer merupakan pedoman seluruh prajurit. Selama ini, buku-buku doktrin seolah-olah milik eksklusif perwira. Padahal kita ingin seluruh prajurit yang kita pimpin dapat setiap saat meningkatkan keterampilan bertempurnya, serta memperluas pengetahuan dan wawasannya. Oleh sebab itu, doktrin militer harus lebih mudah lagi untuk diakses oleh seluruh prajurit di lapangan. Tanggung jawab para komandan adalah membimbing para prajuritnya untuk mengenal lebih dekat doktrin-doktrin yang relevan dengan ruang lingkup tugas pokok masing-masing, sehingga dapat diaplikasikan secara benar di dalam latihan maupun pelaksanaan operasi sebenarnya.

Dalam era yang semakin “mobile” dan “virtual”, doktrin juga selayaknya dapat diakses secara “online”. Hal ini akan memberikan peluang akses yang sama bagi seluruh personel TNI AD, baik para instruktur yang berdinas di lembaga-lembaga pendidikan, para prajurit yang bertugas di wilayah-wilayah perbatasan, maupun pasukan Garuda yang sedang mengemban misi perdamaian dunia. Di samping itu, dengan menghadirkan produk-produk doktrin dalam format “electronic” tersebut, sebenarnya akan menghadirkan efisiensi. Karena, tanpa harus memiliki “hard-copy” dari produk doktrin tertentu, prajurit dapat membaca dan mempelajarinya melalui perangkat komputer maupun perangkat komunikasi portabel, seperti “tablets” dan “smartphones”, yang dewasa ini semakin meluas dalam kehidupan militer sehari-hari. Lalu, “bagaimana dengan aspek kerahasiaan dokumen militer?; dan bagaimana jika doktrin militer yang berklasifikasi konfidensial jatuh ke pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?” Memang akan selalu ada resiko bagi semua pengguna teknologi. Namun, jika kekhawatiran ini kita sikapi secara tepat, maka kita dapat terhindar dari resiko tersebut. Yang pertama harus dilakukan adalah memperkuat struktur pengamanan berlapis jaringan “online” internal TNI AD dengan sistem-sistem tertentu, seperti “encryption”, “anti-malware”, “complex-password”, dan lain sebagainya. Namun langkah ini tidak cukup. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita dapat mengedukasi seluruh prajurit agar lebih “melek” teknologi, sehingga dapat memahami manfaat sekaligus “vulnerability” yang dihadirkan oleh teknologi tersebut. Dengan demikian seluruh prajurit akan memiliki “awareness” yang lebih baik terhadap pentingnya aspek pengamanan dokumen militer.

Butuh Cukup Waktu Untuk Mengembangkan Doktrin.
 
Transformasi dibidang doktrin merupakan kerangka dasar bagi upaya besar transformasi di tubuh TNI AD. Cukup sulit menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyusun doktrin dalam rangka mengakomodasi kemampuan dan batas kemampuan Alutsista baru dalam pertempuran. Semua tergantung dari konteks dan substansinya. Menentukan target waktu, atau “timeline”, dalam penyusunan sebuah doktrin memang perlu dilakukan oleh seluruh “stakeholders”, khususnya Kodiklat yang memang memiliki otoritas untuk membina dan mengembangkan doktrin TNI AD. Hal ini dilakukan dalam rangka mengukur “progress”, serta menentukan langkah-langkah selanjutnya. Namun demikian, kita tidak boleh terjebak dalam situasi yang serba “terburu-buru”, sehingga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas produk doktrin yang dihasilkan.

Harus dipahami bahwa dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk dapat menganalisa “lessons learned”; begitu pula untuk dapat mempelajari suatu situasi pertempuran yang belum pernah kita alami; maupun karakteristik Alutsista yang baru kita miliki. Terhadap situasi yang tidak pernah TNI AD alami sebelumnya, namun sangat mungkin terjadi di masa yang akan datang, tentu dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk dapat melakukan “ekstrapolasi” secara akurat. Artinya, ketika kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang situasi operasi militer di suatu wilayah tertentu, maka perlu dimunculkan sejumlah peranggapan (asumsi) bahwa trend yang berlaku akan terus berlanjut, dimana metode atau cara-cara penyelesaian konflik yang ditempuh akan tetap relevan dan efektif dimasa yang akan datang.

Transformasi Bukan Tujuan Akhir.

Yang jelas transformasi bukanlah tujuan akhir yang ingin kita capai. Transformasi adalah sebuah proses yang kompleks, panjang, dan tiada akhir. Sehingga perlu dibangun sebuah “mindset” bahwa walaupun hari ini kita telah melahirkan doktrin baru atau telah merevisi suatu doktrin, maka bukan berarti kita kemudian akan diam dan berpuas diri. TNI AD harus setiap saat merefleksi diri atas apa yang telah dilakukan dan belum dilakukan, sehingga proses transformasi akan terus berkelanjutan.

Mengakhiri tulisan ini, penulis kembali mengajak diri sendiri dan seluruh generasi muda TNI AD untuk senantiasa menjadi bagian integral dalam proses transformasi yang akan menentukan masa depan institusi yang sama-sama kita cintai. Hanya dengan kerja keras, optimisme, dan kolaborasi seluruh komponen, kita dapat mewujudkan TNI AD yang semakin profesional, modern, efektif, dan menentukan. TNI AD harus siap menghadapi berbagai bentuk ancaman pertahanan dan keamanan nasional di era “warm peace”, yang penuh dengan ketidakpastian.

“Apa yang kita lakukan dan tidak kita lakukan hari ini akan menentukan masa depan generasi penerus kita selanjutnya… We simply cannot afford the price of inaction and egotism”

Insya Allah, kita bisa!


Endnotes.


  1. Military Doctrine, Reprinted from Making Strategy: An Introduction to National Security Processes and Problems, Chapter 11, Air University Press, Dennis M. Drew and Donald M. Snow (1988).
  2.  Idem.

TNI AD

Jumat, 25 Januari 2013

Kemenhan Terima 1 Unit Combat Boat

Combat Boat (Kenyot10)
Selain meresmikan kapal perang KRI Beladau 643, Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI juga menerima satu unit combat boat yang diproduksi di PT Palindo Marine Shipyard, Batam siang tadi.

Combat boat ini kata Kabalitbang Kemenhan Eddy Sumarno Siradj merupakan salah satu proyek prototype antara Kemenhankam dan PT Palindo Marine Shipyard menggunakan dana dari APBN tahun 2012.

Pembuatan kapal yang bisa mengangkut 8 kru dan 6 orang penumpang itu dilakukan sejak Maret hingga November 2012.

Edi juga mengatakan Combat boat ini memiliki spesifikasi panjang 17,7 meter, lebar 4,0 meter serta mampu berlayar hingga 50 knots.

Combat boat ini berbahan aluminium alloy dengan dua unit mesin masing-masing 900 tenaga kuda

Batampost

RI Siap Produksi Rudal Sendiri

Batam | Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro berharap Rudal C-705 yang dipergunakan untuk Kapal Cepat Rudal (KCR) 40 KRI Beladau 643 dan kapal sejenisnya yang selama ini didatangkan dari China bisa dibuat di Indonesia.

Rudal C-705 buatan China
Rudal C705
"Kami sedang mengupayakan alih teknologi agar nantinya rudal tersebut bisa diproduksi di dalam negeri," kata Menteri pertahanan (Menhan) setelah serah terima KRI Beladau 643 dari PT Palindo Marine Sipyard Batam di Dermaga Selatan Pelabuhan Batuampar, Batam, Jumat.

Menteri mengatakan, bila rudal dengan jarak jelajah hingga 150 kilometer tersebut bisa diproduksi di dalam negeri maka banyak keuntungan yang didapat.

"Kami tengah berupaya menuju kemandirian alat utama sistem senjata (alutsista) dengan berbagai upaya yang telah dikembangkan didalam negeri. Termasuk pembuatan KCR 40 yang diserahterimakan hari ini," katanya.

Sebagai negara yang besar, kata dia, Indonesia membutuhkan tambahan alutsista baik untuk TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara.

Untuk TNI AL, kata menteri, hingga 2014 akan ada 16 kapal sejenis KRI Beladau 643 yang akan digunakan untuk mengamankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pembangunan kapal ini merupakan upaya peningkatan alat utama sistem senjata (alutsista) yang tengah dibangun bagi seluruh angkatan.

Ia mengatakan produksi alutsista tidak akan berhenti pada KCR. Pemerintah akan terus melengkapi persenjataan TNI dengan beberapa kapal lain. Selanjutnya, akan dibuat kapal perusak dan kapal selam.

TNI AL, kata Menteri, membutuhkan kapal yang kuat hingga mampu hadir dan mengamankan perairan di laut jauh. Untuk angkatan udara dan angkatan darat, kata dia, juga akan diserahterimakan beberapa alutsista baru untuk menjaga keamanan NKRI.

"Tahun ini anggaran untuk Kementerian Pertahanan dan TNI sekitar Rp 81 triliun. Dengan anggaran tersebut, kami akan terus menambah alutsista sesuai dengan kebutuhan secara bertahap," kata Purnomo.

Republika

25 Kapal Perang Armada Timur Bombardir Pulau Gundul

KAPAL Perang Republik Indonesia (KRI) jajaran Koarmatim, “membombardir” Pulau Gundul yang berada di sebelah utara Semarang, Selasa (22/01). Pulau tak berpenghuni itu menjadi sasaran tembak meriam-meriam kapal perang, yang sedang melakukan manuver lapangan gladi tempur laut diwilayah itu. Pulau Gundul merupakan daerah latihan TNI AL, berada di sekitar perairan Laut Jawa.

Dentuman meriam dari kapal perang secara bertubi-tubi, menghujam Pulau tak berpenghuni itu. Kompetisi artileri menggunakan senjata kapal perang, meriam kaliber 76 mm, dengan jarak tembak dari kapal menuju sasaran Pulau Gundul sejauh kurang lebih 5,1 Noutical mille.

Unsur kapal perang yang terlibat adalah, KRI Slamet Riyadi 352, KRI Oswald Siahaan 354, KRI Abdul Halim Perdana Kusuma 355, KRI Sultan Hasannudin 366, KRI Sultan Iskandar Muda 367, KRI Fans Kaisiepo 368, KRI Lambung Mangkurat 374, KRI Hasan Basri 382, KRI Mandau 621, KRI Badik 623, KRI Keris 624,KRI Hiu 804 dan KRI Layang 805 dengan melibatkan 1425 personel serta didukung oleh dua Pesawat Udara (Pesud) jenis Cassa serta Helikopter BO-105.

Penembakan senjata artileri meriam kapal perang tersebut, merupakan tahapan puncak manuver lapangan Latihan Parsial I/2013. Gladi tempur laut ini dipimpin langsung oleh Komandan Satuan Kapal Eskorta (Satkor) Koarmatim Kolonel Laut (P) Bambang Supriyadi, serta dipantau tim penilai dari Komando Latihan (Kolat) Koarmatim.

Kompetisi artileri berlanggsung pada hari Selasa (22/01), selama kurang lebih setengah hari mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 13.00 WIB. Selanjutnya seluruh unsur KRI, melakukan persiapan kembali menuju pangkalan Surabaya. Dalam perjalanan Lintas Laut (Linla) tersebut, kapal-kapal perang itu tetap membentuk formasi tempur sambil melakukan latihan peperangan laut, siang dan malam hari.

Adapun kegiatan serial Latihan Parsial I/2013 ini, di antaranya adalah latihan melewati medan ranjau, penembakan malam dengan senjata anti serangan udara atau Anti Air Rapid Open Fire Exercise (Aarofex) menggunakan meriam kaliber 20 mm, menembak malam Night Gunery Exercise (GUNEX) menggunakan meriam Kaliber 76 mm.

Tujuan dilaksanakan latihan ini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan unsur operasional Koarmatim, dan memberikan rasa kebanggaan serta semangat bersaing secara positif. Keberhasilan operasional Latihan Parsial I/2013 ini, sebagai salah satu tolak ukur kesiapan operasional prajurit dan persenjataan kapal perang yang berada di jajaran Koarmatim.

(Dispenarmatim).

Berita Jatim

Panser Anoa Beraksi di Lebanon

 Mengikuti kegiatan pengamanan dan pengawalan perjalanan komandan UN. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Fqha9f3Eo8gbMVipSnxtdY-EnfqGdVd3tWjSZW_8Xd2xwdkxpB67CnKuYYBTTjuL3oj1UowANMJcK3L0SX3xCYw7NYHBS84N8t5N0jT3dHP2VEuPUyb65GM-nk-ItcjQRuC7vrZF8kWY/s1600/Panser-anoa-UNIFIL.jpgJakarta | Panser Anoa memperlihatkan kemampuannya dengan turut menjaga keamanan di Lebanon. Kali ini, panser buatan PT Pindad itu turut mengamankan dan mengawal perjalanan Komandan United Nations Interim Force in Lebanon (Unifil) Mayjen Paolo Serra.

Wakil Komandan Satgas Indo Force Protection Company (FPC) TNI Konga XXVI-E2/Unifil Kapten Inf Fardin Wardhana mengatakan kegiatan pengaman itu dilakukan dalam rangka pertemuan tripartit di perbatasan Lebanon dan Israel.

“Dansatgas Indo FPC TNI Konga XXVI-E2/Unifil Mayor Inf Yuri Elias Mamahi memerintahkan personelnya menggunakan panser Anoa untuk mengawal perjalanan Mayjen Paolo,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima redaksi Jumat (25/1).

Menurut Fardin, pengawalan dengan menggunakan panser Anoa yang dilakukan prajurit TNI itu sangat membanggakan. Sebab, produksi anak bangsa tersebut ikut serta dalam sistem pengamanan yang dilakukan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz9q1MxcHxYTZXc-KPTBLxDX5a2IchyphenhyphenmF_QPVtk9DsFaigHSpR6QjbUqFnaNXWcRTASwNT0D0mJstPUgGw6-ZlQN6jFURB-N_Gw0On_Lo6X6iV13l1QuPYNFrg5oAn4xXMTjkaFrVsllJ_/s1600/Panser-Anoa_UNIFIL.jpgDikatakan, dalam kegiatan pertemuan tripartit itu, Satgas Indo FPC TNI Konga XXVI-E2 melibatkan 16 personel di bawah pimpinan Lettu Mar Deni Kusmana. Pasukan TNI mengerahkan dua unit jenis kendaraan, yakni armoured personnel carrier (APC) berupa Panser Anoa dan light vehicle untuk kendaraan peninjau depan.

Selain Satgas Indo FPC TNI Konga XXVI-E2, pasukan lain yang terlibat dalam operasi pengawalan itu adalah Srilanka FPC dan close protection team (CPT) dari Italia. FPC dari Srilanka melibatkan 12 personel dan satu unit panser buatan Finlandia.

Fardin yang mengutip Mayor Yuri mengaku bangga dan mengucapkan terima kasih atas kinerja personel Satgas Indo FPC TNI yang telah berhasil menjalankan tugas pengawalan tersebut. Dia berharap, seluruh personel TNI menjadikan kegiatan itu sebagai wahana menambah ilmu taktik pengamanan untuk meningkatkan profesionalisme.

Berita Satu

Atraksi Hercules di Jogja Air Show

Yogyakarta | Dinas Pariwisata Pemerintah DI Yogyakarta dan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) DIY menghelat agenda Jogja Air Show (JAS) pada 8-10 Februari 2013.

Kepala Dinas Pariwisata DIY Tazbir Abdullah mengatakan dalam event yang akan dipusatkan di pantai Parang Tritis dan Pantai Depok itu akan diramaikan dengan sejumlah cabang olahraga kedirgantaraan.

"Salah satunya, sensasi terjun payung dengan menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU," katanya usai pertemuan dengan Ketua DPRD DIY Youke Indra Agung Laksana Kamis 24 Januari 2013.

Tazbir mengatakan selain atraksi dengan pesawat Herculer itu sejumlah olahraga kedirgataan akan ikut meramaikan. Mulai dari gantole, para layang, aeromodelling, terjun payung, microlight, terbang layang, paramotor, fotografi dan lomba sepatu roda.

"Event ini khususnya untuk mengkampanyekan olahraga-olahraga itu bagi warga sekalian memberi ruang atlet aero sport tanah air bersilaturahmi," kata dia.

Dalam pertemuan itu FASI DIY meminta agar pemerintah melalui DPRD DIY semakin mendukung olahrga yang ikut mengusung promo wisata alternative itu.

FASI mengaharpkan DIY dapat menjaga sterilisasi kawasan landasaran di pesisir pantai itu agar senantiasa steril dari bangunan apapun.

"Agar ruang bagi olahraga ini tetap ada. Kami juag berharap olahraga ini bisa didukung adanya pembangunan landasan baru untuk operasionalisasi olahraga kedirgantaraan," kata pengurus FASI DIY Kepala Dinas Operasi Landasan Udara Adisutjipto Kolonel Minggit Tribowo. Baca juga pameran dirgantara di Indonesia.

Tempo.Co

Menhan Resmikan KRI Beladau 643

Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro dijadwalkan akan meresmikan KRI Beladau 643, yang dibuat PT Palindo Marine Shipyard Batam, di Dermaga Selatan Pelabuhan Batuampar Batam, Jumat (25/1) pagi.

Kepala Dispenal, Laksamana Pertama TNI Untung Suropati mengatakan kapal tersebut memiliki spesifikasi teknologi tinggi dengan panjang 44 meter, lebar 8 meter, tinggi 3,4 meter dan sistem propulasi fixed propeller 5 daun. Kapal itu mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot dengan biaya pembuatan sekitar Rp 75 miliar.

Bank Mandiri Kembali Danai KCR Ke-3 Pallindo Batam

Bank Mandiri kembali membiayai pembangunan kapal perang jenis kapal cepat rudal buatan dalam negeri guna memperkuat Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) nasional. Untuk itu, perusahaan menyalurkan pinjaman sebesar Rp 42,14 miliar kepada PT Palindo Marine berupa kredit modal kerja (KMK) Rp 22,67 miliar dan bank garansi Rp 19,47 miliar untuk pembangunan KRI Beladau-643.

Peresmian kapal cepat rudal, KRI Beladau-643 tersebut dilakukan oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Purnomo Yusgiantoro di Dermaga Pelabuhan Batu Ampar, Batam Kepulauan Riau, Jumat (25/1) dengan disaksikan oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio, dan Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi.

Sebelumnya, Bank Mandiri telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 65,97 miliar untuk membangun dua unit kapal cepat rudal pertama dan kedua produksi dalam negeri, yaitu KRI Clurit dan KRI Kujang.

Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi mengatakan Bank Mandiri ingin terus mendukung industri strategis nasional dalam mengembangkan teknologi alutsista sehingga menciptakan kemandirian bangsa dalam memperkuat kedaulatan nasional.

“Kami bangga dengan kemampuan putra-putra bangsa di PT Palindo Marine yang telah menghasilkan kapal cepat rudal buatan dalam negeri ketiga ini. Untuk itu, kami juga telah memberikan komitmen untuk pembangunan kapal rudal cepat yang keempat,” ungkap Riswinandi

Riswinandi menjelaskan, Bank Mandiri menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 162,51 miliar untuk membantu PT Palindo Marine membangun empat kapal cepat rudal tersebut. Dari jumlah tersebut, Rp 85,57 miliar merupakan kredit modal kerja (KMK), sedangkan Rp 76,94 miliar adalah fasilitas bank garansi.

Riswinandi menambahkan bahwa hingga saat ini, Bank Mandiri telah menyalurkan pembiayaan untuk alutsista lebih dari Rp 1,18 triliun yang disalurkan kepada beberapa industri strategis, seperti PT Pindad dan PT Dok Kodja Bahari.

“Penyaluran pembiayaan untuk pembangunan kapal cepat rudal ini merupakan salah satu komitmen Bank Mandiri dalam mendukung pengadaan alutsista. Dengan keberhasilan ini, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah mampu membangun dan mengembangkan alutsista secara mandiri di dalam negeri,” ujar Riswinandi.

Kapal Cepat Rudal (KCR) KRI Beladau - 643 dibangun oleh PT Palindo Marine, Tanjunguncang, Batam. Kapal yang memiliki panjang 44 meter ini mampu melaju hingga kecepatan 30 knot yang sepenuhnya dikerjakan putra-putri Indonesia. Sebagian besar material kapal perang tersebut pun di produksi di dalam negeri. Sehingga, peresmian kapal KCR-3 berbahan baja-alumunium ini ikut menandai sejarah baru industri perkapalan di Indonesia.

KRI Beladau-643 dilengkapi sistem persenjataan modern (Sewaco/Sensor Weapon Control), diantaranya meriam kaliber 30 milimeter enam laras sebagai sistem pertempuran jarak dekat (CIWS) dan peluru kendali 2 set Rudal C-705. Bagian lambung KCR terbuat dari baja khusus yang bernama High Tensile Steel. Baja ini diperoleh dari PT Krakatau Steel. Kapal dengan sistem pendorong fixed propeller lima daun itu juga dilengkapi dua unit senapan mesin caliber 20 mili meter di anjungan kapal. 

Menteri Pertahanan Terima Kapal Perang Beladau

Menteri Pertahanan Terima Kapal Perang Beladau  Kementerian Pertahanan resmi menerima kapal perang baru. Kapal Cepat Rudal 40 ini merupakan produksi PT Palindo Marine, Batam. Kapal ini merupakan kapal ketiga yang dikerjakan Palindo dari empat kapal yang dipesan.

"Dengan ini KCR 40 resmi menjadi kapal perang Republik Indonesia," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro usai menerima penyerahan kapal tersebut di Dermaga Batu Ampar, Batam, Jumat, 25 Januari 2013.

Nilai kontrak per unit KCR 40 diperkirakan mencapai Rp 75 miliar. Pemerintah menargetkan 16 armada jenis kapal perang ini dimiliki hingga 2014. Managing Director Palindo, Harmanto, mengatakan untuk menyelesaikan satu unit kapal membutuhkan waktu 12 bulan.

Kapal perang baru ini diberi nama Beladau 643, sesuai dengan nama senjata tradisional Riau-Mentawai. Dua KCR sebelumnya bernama KRI Clurit 641 dan KRI Kujang 642.
 

Metrotvnews | Tempo.Co