Oleh : Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA
(Kasi-2/Operasi Brigif Linud 17 Kostrad)
“Adaptabilitas
dan inovasi merupakan kunci keberhasilan di era yang penuh dengan
ketidakpastian… Kita harus berani keluar dari zona kenyamanan untuk
mentransformasi diri, dan maju kedepan”
Warm Peace: Kompleksitas Dan Ketidakpastian Abad 21.
Dengan
berakhirnya perang dingin dua dekade silam, tidaklah berlebihan jika
kita semua berharap bahwa dunia akan semakin aman, dimana bangsa-bangsa
dapat hidup tenang dan damai berdampingan, tanpa harus terkotak-kotak
atas dasar pertentangan ideologi “kapitalisme vs komunisme”. Namun
sejarah berkata lain, peristiwa 9/11 justru telah menyuguhkan pembuktian
terbalik dari ekspektasi tersebut. Euforia pergantian milenium, serta
“headlines” tentang pesatnya kemajuan teknologi diawal abad 21 sekejap
sirna, tergantikan oleh kampanye global melawan terorisme. Tak
terelakkan upaya Amerika Serikat dan aliansinya, yang seringkali membabi
buta, dalam memburu Osama Bin Laden dan Al-Qaeda telah melahirkan
ketegangan-ketegangan baru, yang berujung pada “clash of civilizations”
antara dunia barat dan dunia Islam.
Di
samping itu, dunia yang semakin padat dan terhubung dalam sebuah rezim
globalisasi dan revolusi informasi dewasa ini, selain telah menghadirkan
berbagai peluang, mengandung begitu banyak tantangan yang tidak
sederhana. Globalisasi menjadikan dunia seolah-olah “borderless”,
menjamin terbukanya pasar bebas, serta berkembangnya berbagai kegiatan,
termasuk kejahatan transnasional. Sedangkan 7 milyar manusia
mengisyaratkan persaingan yang semakin sengit dalam memperebutkan sumber
daya yang tak tergantikan, termasuk energi, pangan dan air. “Survival
of the most competitive” tidak hanya menjadi norma, tapi juga berpotensi
melahirkan konflik antar negara, termasuk konflik bersenjata antar
militer di berbagai kawasan.
Kita
juga masih menyaksikan sejumlah konflik tradisional di berbagai belahan
dunia, seperti di Semenanjung Korea, Kashmir dan Israel-Palestina;
proliferasi senjata pemusnah masal, baik oleh negara maupun aktor bukan
negara; serta “intra-state conflict” atas dasar etnisitas dan agama. Di
sisi lain, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan gelombang reformasi
politik yang berakhir pada “civil war” di sejumlah negara di Afrika
Utara dan Timur Tengah, juga telah menambah daftar panjang karakteristik
era “warm peace”, sebuah era dimana situasi dunia tidak dalam keadaan
perang (ala Perang Dunia I dan II), namun belum sepenuhnya aman dan
damai.
Era “warm peace” meniscayakan sebuah kompleksitas dan
ketidakpastian. Ragam dan intensitas konflik akan lebih sulit untuk
diestimasi. Diprediksi, peperangan dimasa depan akan lebih bersifat
“hybrid”, artinya merupakan kombinasi antara pertempuran yang bersifat
konvensional, asimetris dan nonreguler, seperti yang kita amati di Iraq
dan Afghanistan. “Proxy war” seperti yang terjadi di Syria saat ini,
dimana sejumlah kekuatan eksternal melakukan intervensi politik, serta
memberikan dukungan intelijen maupun logistik kepada faksi-faksi yang
bertikai, juga diperkirakan akan semakin mengemuka. Dari semua
kemungkinan tersebut, yang pasti adalah bahwa setiap negara dan setiap
militer, harus memiliki kesiapan dan adaptabilitas yang tinggi. Untuk
dapat menghadapi ancaman dan tantangan yang bersifat “hybrid” dan
adaptif, maka diperlukan angkatan bersenjata yang berkemampuan “hybrid”
dan adaptif pula. Jika kurang cermat dan cepat untuk mengikuti
perkembangan situasi keamanan dunia dan kawasan, maka kita tidak akan
mampu menghadirkan kekuatan yang efektif dalam rangka mengawal
kepentingan nasional kita.
Nafas Transformasi TNI AD
Penulis
merasa bangga dan menaruh harapan yang tinggi terhadap upaya
transformasi di jajaran TNI, khususnya TNI AD, yang tengah berjalan saat
ini, dalam rangka menuju institusi yang semakin profesional, modern,
efektif, dan menentukan (decisive) di masa depan. Generasi muda TNI AD
harus menjadi bagian dari upaya besar ini. Ketika visi transformasi
telah ditetapkan, maka tentu terlebih dahulu kita harus menyusun
strategi dan rencana aksi yang realistis. Transformasi harus dilakukan
secara menyeluruh, meliputi semua aspek utama militer profesional, di
antaranya adalah: sumber daya manusia, organisasi dan kepemimpinan yang
unggul dan efektif; teknologi, sistem senjata dan logistik yang modern;
serta pendidikan dan latihan yang berkelas dunia. Semua diorientasikan
pada kesiapan penyelenggaraan operasi militer di masa kini dan yang akan
datang.
Kekuatan militer di negara manapun dibangun dalam rangka
melawan ancaman militer musuh. Artinya, walaupun kita konsisten dengan
diktum bahwa “perang merupakan jalan terakhir”, TNI AD setiap saat
dipersiapkan untuk menghadapi skenario-skenario terburuk, termasuk
terlibat secara langsung dalam situasi pertempuran yang menentukan.
Dengan demikian, segala pemikiran, energi, dan upaya harus kita
prioritaskan untuk memenangkan pertempuran-pertempuran modern, serta
berhasil dalam berbagai bentuk operasi militer selain perang, baik di
dalam maupun luar negeri. TNI AD harus menjadi yang terdepan dalam
menjaga kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI dari berbagai
format ancaman dan tantangan, serta turut aktif dalam misi-misi
kemanusiaan dan perdamaian dunia, sesuai dengan amanah konstitusi. Tidak
dapat ditawar, bahwa semua tugas tersebut membutuhkan kerja keras,
dedikasi, dan pengabdian terbaik dari seluruh prajurit.
Memahami Esensi Doktrin Militer Dengan Benar
Dengan
memahami dimensi penugasan TNI AD dikaitkan dengan luasnya spektrum
ancaman pertahanan dan tantangan keamanan matra darat, maka penataan
doktrin menjadi langkah yang fundamental sebelum transformasi menyentuh
aspek-aspek lainnya. Sebelum membahas lebih jauh tentang transformasi di
bidang doktrin, yang dilakukan untuk dapat menjawab tantangan masa
depan, mari kita awali dengan mencermati pemaknaan terhadap doktrin
militer itu sendiri. Sebenarnya cukup banyak literatur yang menjelaskan
definisi doktrin militer, namun terkadang tidak cukup mengungkap esensi
yang sesungguhnya. Dalam konteks ini penulis sependapat dengan Dennis
Drew dan Don Snow dalam tulisan mereka berjudul “Military Doctrine”,
bahwa “Doktrin Militer adalah hal-hal yang kita yakini sebagai cara-cara
terbaik dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan dan tugas militer”.
Definisi ini cukup sederhana, namun akurat.
Kata “yakin” menjadi
kunci dari definisi tersebut, dimana mengandung makna bahwa doktrin
merupakan hasil dari analisa terhadap hal-hal yang telah dilakukan,
serta interpretasi terhadap bukti-bukti keberhasilan dan kegagalan yang
telah terjadi sebelumnya. Artinya, setiap doktrin berbasis pada kumpulan
pengalaman berharga, atau “lessons learned” dimasa lalu, yang kita
yakini relevan dengan apa yang kita hadapi di masa kini dan masa depan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa doktrin bukanlah kitab suci, yang
tidak dapat diubah. Sebaliknya, doktrin harus dinamis, mengikuti
perkembangan situasi dari masa kemasa. Jika saat ini kita menemukan
bukti empiris baru yang dengan sendirinya menganulir bukti-bukti
terdahulu, maka kita harus berani untuk melakukan penyesuaian dan
perubahan secara substansial. Karena tidak ada jaminan bahwa taktik,
teknik dan prosedur yang telah memenangkan pertempuran dimasa lalu, akan
juga memenangkan pertempuran dimasa kini, apalagi dimasa depan.
VARIABEL KONSTAN VS. VARIABEL DINAMIS DALAM PERTEMPURAN.
Introduksi
berbagai teknologi mutakhir dalam sistem persenjataan merupakan salah
satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan doktrin militer
dari generasi ke generasi. Tidak dapat dibayangkan sebelumnya bahwa
teknologi “long-range precision guided missile” telah memungkinkan
pertempuran dilakukan dari jarak yang sangat jauh dan dengan tingkat
akurasi yang tinggi. Tidak dapat dibayangkan pula sebelumnya bahwa
pesawat tanpa awak, telah memungkinkan dilakukannya operasi intelijen
hampir tanpa batas, dengan resiko yang sangat kecil. Masih banyak lagi
sebenarnya kecanggihan teknologi abad 21 yang telah merubah cara
bertempur militer di dunia. Seperti yang kita saksikan melalui media
dewasa ini, layaknya bermain “video games”, pertempuran di masa depan
akan lebih banyak dijalankan dari depan LCD, dengan hasil yang lebih
sering ditentukan oleh kalkulasi komputer. Bahkan kalau kita cermati
lebih jauh, walaupun tidak sepenuhnya benar, seolah-olah fungsi manusia
secara fisik dalam pertempuran, perlahan tergantikan oleh kehadiran
teknologi dan mesin perang yang super jenius.
Namun penulis
meyakini bahwa sampai kapanpun “war is a human endeavor”, yang penuh
dengan “uncertainty”. Manusialah yang bertanggung jawab dalam
menciptakan sebuah perang atau sebuah perdamaian, bukan teknologi.
Manusia jugalah yang paling menentukan kemenangan atau kekalahan dalam
sebuah pertempuran, bukan mesin. Pendek kata, faktor manusia tidak akan
tergantikan. Kehadiran para prajurit di lapangan, atau “boots on the
ground”, yang cerdas, kuat, dan bermental baja akan terus mendominasi
jalannya pertempuran dimasa depan. Sejarah panjang perjuangan
kemerdekaan Indonesia; merdekanya Algeria dari kolonialisme Perancis;
kegagalan Amerika Serikat memenangkan Perang Vietnam; mundurnya pasukan
USSR dari Afghanistan; sulitnya pasukan koalisi menangkap Osama Bin
Laden, serta melumpuhkan Al-Qaeda dan Taliban; semua menjadi bukti bahwa
kekuatan dan kecanggihan persenjataan (aspek kuantitatif) yang dimiliki
oleh sebuah militer bukanlah segalanya, dan sebaliknya bahwa
ketangguhan dan semangat berjuang manusia (aspek kualitiatif) tidak
dapat dinegasikan. Kalkulasi secara kuantitatif perbandingan daya tempur
relatif antara pasukan sendiri dan musuh, termasuk hitung-hitungan
hasil pertempuran yang lebih dikenal dengan istilah “body-counts” atau
“weapon-counts”, memang merupakan parameter penting dalam memprediksi
jalannya pertempuran. Namun jika aspek kualitatif dengan mudah
diabaikan, maka akan sangat mungkin berulang realitas menang dalam
pertempuran, tapi (pada akhirnya) kalah dalam perang, atau “win the
battles, but loose the war”.
Penulis telah menguraikan bahwa
terdapat faktor teknologi yang kerap mempengaruhi terjadinya
perubahan-perubahan dalam sebuah pertempuran, dan sebaliknya terdapat
sejumlah hal yang konstan, yang tidak berubah dalam perjalanan sejarah
perang dunia. Doktrin militer seharusnya juga mengakomodasi kedua nilai
tersebut, “the constants, and the nature of change in war”. Nilai-nilai
yang berlaku universal, klasik, dan tidak usang dari waktu kewaktu,
seperti yang ditulis oleh Sun Tzu dalam “The Art of War”, atau Carl von
Clausewitz dalam “On War”, atau Jenderal A.H. Nasution dalam bukunya
“Pokok-pokok Perang Gerilya”, sepatutnya tetap dipertahankan. Namun
demikian, TNI AD harus terbebas dari sebuah kecenderungan, yang juga
terjadi di sejumlah militer negara lain, yaitu menempatkan doktrin dalam
situasi yang stagnan dan konstan, seolah-olah mengabaikan berbagai
variabel baru yang berpengaruh terhadap situasi keamanan global,
regional dan nasional.
Kita mengetahui bahwa dunia militer telah
maju dengan pesatnya, dimana karakter perang menjadi semakin
“non-linear” dan multidimensional. Ini semua menuntut kecerdasan kita
untuk bersikap adaptif, mengikuti trend terkini. Yang tidak boleh
berubah adalah semangat pantang menyerah dan daya juang yang tinggi
untuk meraih sebuah kemenangan pertempuran atau keberhasilan tugas.
Namun, secara progresif kita harus senantiasa menemukan dan
memperbaharui taktik dan teknik bertempur terbaik, sehingga kemenangan
dapat diraih secara lebih cepat, lebih menentukan, dan dengan kerugian
yang minimal.
Teknologi Pengaruhi Doktrin, Atau Sebaliknya?
Sebagaimana
yang telah diulas sebelumnya, di era yang semakin modern ini, faktor
teknologi dan sistem persenjataan menjadi aspek penting dalam kalkulasi
kekuatan sebuah militer. Dengan demikian, langkah-langkah strategis TNI
AD dalam rangka memodernisasi Alutsista dewasa ini sangatlah tepat,
ketika memang ekonomi Indonesia telah memungkinkan pemerintah
mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk pertahanan dan belanja
militer. Pertanyaan yang muncul adalah, “apakah modernisasi Alutsista
yang akan mempengaruhi terjadinya penyesuaian dan atau perubahan
doktrin?” Atau sebaliknya, “apakah perubahan doktrin yang seharusnya
menuntun arah modernisasi Alutsista TNI AD?” Lalu, “lebih baik mana,
modernisasi dulu, atau merubah doktrin dulu?” Diskusi ini juga
berkembang sepanjang masa di berbagai militer di dunia.
Tidak ada
jawaban yang bersifat “straightforward”. Kedua-duanya memiliki
keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Ada yang berpendapat bahwa
sebaiknya konsep operasi atau doktrin militer yang terlebih dahulu
diperbaharui, sehingga dapat diikuti dengan pengembangan teknologi,
termasuk pembelian Alutsista yang hanya benar-benar dibutuhkan. Dengan
demikian akan terjadi efisiensi, baik dalam konteks pemenuhan kemampuan
militer yang harus dimiliki (capability-based), maupun pemenuhan
kekuatan ditinjau dari persepsi ancaman terkini, aktual dan potensial
(threat-based). Kelemahan dari argumentasi ini adalah bahwa terkadang
akan membatasi ruang inovasi dibidang teknologi, yang justru
kontraproduktif terhadap upaya besar “Revolution in Military Affairs”
(RMA) secara keseluruhan.
Pendapat kedua menekankan pentingnya
pengembangan sistem persenjataan yang harus terus dilakukan tanpa batas
dengan mengikuti kemajuan teknologi dewasa ini. Hal ini didasari bahwa
dalam menghadapi ancaman keamanan dimasa depan yang semakin kompleks dan
tidak menentu, setiap militer dipersyaratkan memiliki beragam “arsenal”
berteknologi tinggi untuk mengungguli lawan-lawan potensialnya. Dengan
demikian, kapan dibutuhkan, militer tersebut dapat secara cepat memilih
sistem senjata terbaik yang diyakini akan memenangkan pertempuran yang
dihadapi. Dalam konteks ini, penyesuaian terhadap doktrin bertempur
dinomorduakan. Kelemahannya adalah bahwa ketidaksesuaian antara
Alutsista dan doktrin tersebut akan berimplikasi pada “combat power”
yang kurang efektif. Selain itu, jika prinsip harus memiliki Alutsista
sebanyak dan secanggih mungkin menjadi norma di abad 21 ini, maka sangat
mungkin dunia akan kembali kerezim “arms race” seperti era Perang
Dingin yang lalu.
Pendapat ketiga lebih cenderung menggarisbawahi
pentingnya dilakukan pembaharuan doktrin dan modernisasi secara
simultan, tidak menunggu salah satunya dilakukan terlebih dahulu.
Diharapkan bahwa seiring dengan waktu karena memang kedua aspek tersebut
membutuhkan proses yang tidak sederhana, serta mengkonsumsi waktu yang
tidak singkat akan terjadi sinkronisasi yang tepat antara: Pertama,
konsep operasi yang relevan dengan prediksi ancaman jangka menengah dan
panjang; dan Kedua, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh militer di
lapangan untuk mengaktualisasikan konsep operasi tersebut. Pemikiran ini
cukup realistis, karena di satu sisi, militer tidak harus kehilangan
waktu untuk melakukan modernisasi Alutsista sampai dengan rampungnya
penyempurnaan doktrin. Perlu disadari bahwa dalam sebuah proses
transformasi, pada prinsipnya, tidak ada kata sempurna. Artinya, apa
yang mungkin sempurna hari ini belum tentu sempurna untuk menghadapi
situasi serupa dikemudian hari. Di sisi lain, dengan secara bersamaan
dan terus menerus melakukan penataan doktrin, militer dapat menyusun
prioritas-prioritas untuk memodernisasi dirinya dengan lebih baik. Perlu
diingat bahwa anggaran untuk belanja Alutsista tidak tak terbatas.
Nampaknya
apa yang dilakukan oleh TNI AD saat ini lebih mirip dengan prinsip
ketiga, dimana dalam waktu yang hampir bersamaan dilakukan revisi
doktrin secara menyeluruh (baik pada tataran strategis, operasional,
taktis maupun teknik) dan modernisasi Alutsista untuk memenuhi kebutuhan
postur “Minimum Essential Force” (MEF) matra darat. MEF sendiri harus
disikapi sebagai kekuatan pokok minimum yang dapat menghadirkan efek
penggentar atau “deterrence effect”, yang diperlukan dalam rangka
menghadapi berbagai bentuk ancaman dan tantangan keamanan di masa kini
dan yang akan datang.
Secara tegas tersirat bahwa agenda utama
TNI AD adalah mengejar ketertinggalannya selama ini untuk dapat
menjalankan tugas-tugas negara di bidang pertahanan matra darat secara
optimal. Tanpa berkeinginan untuk menjadi kekuatan yang agresif, kita
ingin agar TNI AD dapat menjadi bagian dari aspek “hard power” yang
kredibel, untuk melengkapi keunggulan aspek “soft power” yang telah
menempatkan Indonesia di posisi-posisi terhormat dalam percaturan
politik internasional lima tahun terakhir ini. Kedua aspek kekuatan
nasional tersebut harus mendapatkan prioritas yang berimbang, dalam
sebuah kerangka pembangunan “smart power”, yang kita yakini akan menjadi
formula menuju kejayaan bangsa.
Integrasi Dan Sinergi: Faktor Kritis Menuju Daya Tempur Yang Efektif.
Ada
dua hal penting yang perlu dihindari dalam upaya transformasi di bidang
doktrin. Yang pertama, terjadinya “mismatch” antara apa yang tengah
dilakukan secara terpisah oleh masing-masing matra, TNI AD, TNI AL, dan
TNI AU. Perang modern akan semakin meniscayakan keterpaduan semua unsur
kekuatan, darat, laut dan udara. Kita tidak memiliki “luxury” untuk
dapat memilih ruang pertempuran kita. Hal terbaik yang dapat kita
lakukan adalah duduk bersama untuk menyusun doktrin operasi militer
gabungan yang benar-benar relevan, serta meningkatkan intensitas dan
kualitas latihan tri-matra, yang pada akhirnya bermuara pada kesiapan
kekuatan TNI secara terintegrasi untuk: memenangkan pertempuran
konvensional di “multiple-fronts“; melawan terorisme dan ancaman
nontradisional lainnya; mencegah dan menyelesaikan konflik bersenjata di
berbagai “flashpoints”; dan menanggulangi bencana alam di seluruh
wilayah tanah air.
Syaratnya, harus dihilangkan sikap persaingan
antar angkatan yang terlalu berlebihan, yang justru akan melemahkan
upaya besar TNI untuk membangun kekuatannya. Setiap angkatan memiliki
prioritas dan strategi pemenuhan MEF, namun hendaknya saling melengkapi,
dan tidak menciderai satu sama lain. TNI AD harus berbesar hati bahwa,
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia harus memiliki
kekuatan maritim yang unggul. Sama halnya bahwa untuk menjamin kecepatan
dalam aksi pencegahan dan penindakan, TNI sangat bergantung pada
kekuatan dirgantara (air power), yang juga menjamin “air superiority”.
Sebaliknya
TNI AL dan TNI AU juga harus memahami, bahwa bagaimanapun, negara kita
juga memiliki wilayah daratan yang sangat luas, dengan sejumlah batas
negara yang mengandung potensi konflik, serta telah diuji oleh berbagai
konflik komunal dan vertikal dari Aceh sampai Papua. Oleh karena itu,
kekuatan TNI AD kita juga harus terus meningkat, baik dari aspek
kualitas prajuritnya maupun Alutsista yang diawakinya. Melalui penataan
doktrin yang tepat, dibarengi dengan upaya modernisasi yang dilakukan
secara terintegrasi, kita optimis dalam waktu dekat TNI kita akan
menjadi kekuatan yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Hal
kedua yang perlu diantisipasi dalam proses transformasi doktrin,
sebenarnya lebih menyentuh pada kondisi internal TNI AD yang belum
sepenuhnya terintegrasi sebagai satu kesatuan yang utuh. Secara obyektif
harus kita akui bahwa daya tempur pasukan TNI AD saat ini belum pada
level yang seharusnya dicapai. Hal ini secara umum disebabkan oleh
adanya kecenderungan untuk bertempur secara sendiri-sendiri. Unsur-unsur
utama pertempuran, yaitu Infanteri, Kavaleri, dan Artileri, belum
memiliki keterpaduan yang solid untuk melaksanakan pertempuran di darat.
Peran dan fungsi seluruh komponen bantuan tempur dan bantuan
administrasi juga belum terintegrasi dengan baik untuk menjamin
keberhasilan tugas pokok satuan-satuan manuver di depan. Terkadang
seperti ada semacam “psychological barrier” untuk saling membuka diri
dalam rangka “melebur doktrin” yang dimiliki dan diyakini kebenarannya
oleh masing-masing kesenjataan dan kecabangan selama ini, kedalam sebuah
“melting-pot“ yang akan melahirkan doktrin bertempur bersama yang jauh
lebih efektif.
Setiap komponen TNI AD memiliki kemampuan atau
keunggulan, serta batas kemampuan atau kerawanannya tersendiri. Penulis,
yang merupakan perwira Infanteri, menyadari bahwa kesenjataannya tidak
dapat bertempur sendirian. Infanteri tidak cukup cepat dan kuat untuk
mencapai, merebut dan atau menghancurkan sasaran. Terlebih jika pasukan
musuh merupakan kekuatan militer yang berkarakteristik “generic”, atau
gabungan antara komponen “mechanized-, motorized-, and light-infantry”,
yang juga didukung oleh meriam jarak jauh dan Kavaleri udara. Menghadapi
musuh seperti ini, dibutuhkan kendaraan-kendaraan taktis dengan
mobilitas yang tinggi untuk mendukung manuver pasukan Infanteri kita.
Dibutuhkan pula dukungan “firepower” oleh kekuatan Artileri, “main
battle tanks”, dan “attack helicopters”. Pasukan manuver juga harus
selalu terlindung dari “close air support” musuh. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bahwa kunci keberhasilan operasi militer sangat
ditentukan oleh dukungan intelijen, logistik dan komando pengendalian
yang mengalir setiap saat. Jika semua aspek dukungan tersebut dapat
dihadirkan secara tersinkronisasi, maka dapat diproyeksikan bahwa TNI AD
akan memiliki “combat power” yang handal untuk dapat memenangkan setiap
level pertempuran darat.
Kita sangat bergembira atas inisiatif
TNI AD untuk melahirkan sebuah konsep kekuatan baru yang secara organik
menjamin integrasi dari seluruh kesenjataan dan kecabangan dalam sebuah
format “Combined Arms Maneuver Battalion” (CAMB), atau Batalyon Manuver
Gabungan Kesenjataan. Batalyon ini diharapkan akan menjadi embrio dari
Brigade Tim Pertempuran Berat, atau “Heavy Brigade Combat Team”, dengan
karakter utamanya yaitu “modularity” dan “self-sustainability”, yang
terbukti efektif dalam memenangkan sejumlah pertempuran yang menentukan
militer negara maju.
Tantangan Tranformasi Doktrin: Pentingnya Mindset Yang Tepat.
Penulis
berpendapat bahwa di dalam menyusun atau merevisi doktrin, dibutuhkan
ketelitian dalam menginterpretasikan “lessons learned” yang dimiliki
oleh TNI AD sendiri. Permasalahan utama yang biasanya terjadi adalah
terdapat perbedaan perspektif terhadap suatu keberhasilan tertentu. Dan
yang lebih sering, terdapat keengganan untuk mengungkap cerita
sebenarnya yang melatarbelakangi sebuah kegagalan, apalagi jika terjadi
korban jiwa, di lapangan. Jika suatu peristiwa tidak diungkap secara
utuh, dan apa adanya, maka akan menimbulkan kesulitan bagi siapapun yang
diberi tugas untuk menganalisanya. Ketika subyektivitas mewarnai sebuah
doktrin, maka akan sangat membahayakan bagi para prajurit yang
memedomaninya.
Kita sering mendengar seloroh, bahwa “doktrin
tidak penting, segala sesuatunya akan berkembang di lapangan”.
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi mengandung sebuah
kerawanan yang perlu kita sikapi. Memang benar, bahwa doktrin tidak
diciptakan untuk mengatur seorang komandan atau seorang prajurit untuk
mengerjakan segala sesuatunya secara “text-book”. Semua tentu harus
disesuaikan dengan situasi yang dihadapi saat itu. Bisa saja situasi
yang dihadapi benar-benar sesuatu yang baru, yang belum tercantum dalam
doktrin manapun. Di sini dibutuhkan kecerdasan seorang komandan untuk
segera mengambil keputusan, dilanjutkan dengan aksi yang paling
menguntungkan. Inilah yang dimaknai dengan “berkembang di lapangan”.
Namun
perlu kita ingat, bahwa pada hakikatnya doktrin yang baik tidak
mendikte prajurit dengan: “what to think and what to do”, melainkan
menekankan pada sebuah “mindset”: “how to think and how to do things
critically and effectively”. Artinya, sebenarnya dalam doktrin militer,
masih terdapat keleluasaan bagi seorang komandan dan prajurit yang
dipimpinnya untuk berinisiatif dalam koridor “guidelines” yang
disuguhkan. Dengan demikian, memahami doktrin justru menjadi sangat
penting bagi prajurit untuk melakukan inisiatif, terutama dalam situasi
kritis. Prinsip untuk memberikan keleluasaan berinisiatif bagi para
prajurit, khususnya pemimpin di lapangan, harus terus mendasari upaya
para konseptor dalam menyusun dan merevisi doktrin TNI AD.
Gali Pengalaman Sendiri, Pelajari Pengalaman Orang Lain.
Dalam
menyusun doktrin militer sebenarnya tidak harus dibatasi dengan lingkup
pengalaman TNI AD sendiri. Setiap pengalaman adalah guru yang terbaik,
namun tidak semua peristiwa, terutama kegagalan dan kekalahan, harus
kita alami sendiri. Tidak semua pula harus kita awali dari nol, atau
“start from scratch”. Cukup banyak pengalaman berharga yang dimiliki
oleh militer negara lain yang dapat diadopsi dan dijadikan sebagai basis
penyusunan doktrin TNI AD. Justru yang paling baik adalah jika kita
dapat memadukan berbagai “lessons learned”, milik sendiri dan milik
militer lain, yang kita nilai relevan terhadap skenario-skenario yang
mungkin akan kita hadapi di kemudian hari.
Dalam konteks operasi
lawan insurjensi misalnya, TNI AD punya pengalaman yang cukup luas dalam
melumpuhkan gerakan separatis bersenjata di dalam negeri. Namun kita
juga dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh militer lain yang
terlibat dalam “counterinsurgency operations” di luar negaranya. Mungkin
di sana-sini akan terdapat kesamaan prinsip bertempur. Namun dengan
mempelajari karakteristik daerah operasi yang berbeda (misalnya “jungle
vs urban terrain”), maka akan semakin memperkaya substansi dari doktrin
operasi lawan insurjensi yang telah kita miliki selama ini. Yang perlu
dihindari adalah upaya untuk menelan mentah-mentah apa yang berlaku di
militer negara lain, karena di dalam menyelesaikan suatu konflik tidak
ada istilah “one-fits-all formula”.
Doktrin Harus Aplikatif, Mudah Dipahami Dan Inspiratif.
Terkait
dengan teknis pengembangan doktrin militer, kita tentu sepaham bahwa
doktrin harus aplikatif, dan pemilihan bahasa tulis haruslah yang paling
mudah dipahami, sehingga menjamin kejelasan, ketegasan, namun juga
mengandung ruang untuk berinisiatif bagi prajurit di lapangan. Hal ini
tentunya dilakukan dengan tidak bermaksud menyederhanakan substansi atau
situasi pertempuran tertentu. Di samping itu, akan sangat baik jika
doktrin dilengkapi dan diperkuat dengan beragam ilustrasi yang
kontekstual. Ilustrasi yang dimaksud dapat berupa oleat operasi,
diagram, grafik atau tabel data, pencitraan udara terhadap kontur dan
karakteristik medan tertentu, maupun foto-foto terkait dengan kemampuan
dan batas kemampuan Alutsista, serta kegiatan prajurit di lapangan.
Stratifikasi atau pohon doktrin militer juga sebaiknya disusun
sesederhana mungkin, sehingga benar-benar akan memudahkan prajurit yang
ingin mengupas secara mendalam suatu bidang, atau aspek pertempuran,
tertentu.
Sebagai kumpulan dari “lessons learned”, yang diyakini
dapat dijadikan sebagai “soldiers’ guidance for actions”, maka
seyogyanya doktrin juga memuat berbagai kisah nyata, baik tentang
keberhasilan maupun kegagalan operasi tertentu. Karena pada umumnya kita
akan lebih merasa tergugah untuk mengetahui suatu peristiwa tertentu,
ketika kita tahu bahwa peristiwa tersebut merupakan kisah nyata yang
pernah terjadi di masa lalu. Sama halnya ketika kita menyaksikan sebuah
film dokumenter, maupun film populer yang berdasarkan kisah nyata, atau
“based on true events”. Jika didalam doktrin militer, kita pilih dan
angkat sejumlah kisah nyata yang ditulis secara menarik, dimana memuat
“details” tentang waktu, tempat, tokoh yang terlibat, suasana
pertempuran, senjata dan taktik yang digunakan, dan lain sebagainya,
maka diharapkan seluruh prajurit yang membacanya akan lebih mudah
membayangkan situasi serupa yang mungkin akan mereka hadapi di kemudian
hari. Di samping itu, berbagai kisah heroik para pejuang, senior dan
pendahulu kita tentu akan menginspirasi generasi-generasi TNI AD
selanjutnya.
Kisah yang diangkat tidak harus selalu merupakan
operasi dengan pengerahan pasukan yang besar, atau kontak senjata dengan
hasil yang bernilai tinggi, seperti tertembaknya tokoh penting atau
pimpinan musuh. Setiap peristiwa dalam pertempuran pasti memiliki nilai
tersendiri. Walaupun dalam skala yang kecil, jika diungkap dengan
obyektif, maka kita akan memperoleh sejumlah pelajaran berharga, sebagai
contoh: kerugian personel akibat aplikasi taktik yang salah;
keberhasilan operasi yang didasari oleh keberanian dan kepemimpinan yang
efektif di lapangan; terganggunya komando dan pengendalian pasukan yang
didominasi oleh faktor cuaca dan medan; atau dukungan moril yang tinggi
karena serius dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat. Dalam doktrin
juga tidak ditabukan untuk menampilkan berbagai insiden atau peristiwa
pertempuran yang dialami oleh militer negara lain, sejauh itu aplikatif
dan memiliki nilai yang tinggi.
Seluruh Prajurit Harus Miliki Peluang Akses Yang Sama.
Doktrin
militer merupakan pedoman seluruh prajurit. Selama ini, buku-buku
doktrin seolah-olah milik eksklusif perwira. Padahal kita ingin seluruh
prajurit yang kita pimpin dapat setiap saat meningkatkan keterampilan
bertempurnya, serta memperluas pengetahuan dan wawasannya. Oleh sebab
itu, doktrin militer harus lebih mudah lagi untuk diakses oleh seluruh
prajurit di lapangan. Tanggung jawab para komandan adalah membimbing
para prajuritnya untuk mengenal lebih dekat doktrin-doktrin yang relevan
dengan ruang lingkup tugas pokok masing-masing, sehingga dapat
diaplikasikan secara benar di dalam latihan maupun pelaksanaan operasi
sebenarnya.
Dalam era yang semakin “mobile” dan “virtual”,
doktrin juga selayaknya dapat diakses secara “online”. Hal ini akan
memberikan peluang akses yang sama bagi seluruh personel TNI AD, baik
para instruktur yang berdinas di lembaga-lembaga pendidikan, para
prajurit yang bertugas di wilayah-wilayah perbatasan, maupun pasukan
Garuda yang sedang mengemban misi perdamaian dunia. Di samping itu,
dengan menghadirkan produk-produk doktrin dalam format “electronic”
tersebut, sebenarnya akan menghadirkan efisiensi. Karena, tanpa harus
memiliki “hard-copy” dari produk doktrin tertentu, prajurit dapat
membaca dan mempelajarinya melalui perangkat komputer maupun perangkat
komunikasi portabel, seperti “tablets” dan “smartphones”, yang dewasa
ini semakin meluas dalam kehidupan militer sehari-hari. Lalu, “bagaimana
dengan aspek kerahasiaan dokumen militer?; dan bagaimana jika doktrin
militer yang berklasifikasi konfidensial jatuh ke pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab?” Memang akan selalu ada resiko bagi semua pengguna
teknologi. Namun, jika kekhawatiran ini kita sikapi secara tepat, maka
kita dapat terhindar dari resiko tersebut. Yang pertama harus dilakukan
adalah memperkuat struktur pengamanan berlapis jaringan “online”
internal TNI AD dengan sistem-sistem tertentu, seperti “encryption”,
“anti-malware”, “complex-password”, dan lain sebagainya. Namun langkah
ini tidak cukup. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita dapat
mengedukasi seluruh prajurit agar lebih “melek” teknologi, sehingga
dapat memahami manfaat sekaligus “vulnerability” yang dihadirkan oleh
teknologi tersebut. Dengan demikian seluruh prajurit akan memiliki
“awareness” yang lebih baik terhadap pentingnya aspek pengamanan dokumen
militer.
Butuh Cukup Waktu Untuk Mengembangkan Doktrin.
Transformasi
dibidang doktrin merupakan kerangka dasar bagi upaya besar transformasi
di tubuh TNI AD. Cukup sulit menentukan berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk menyusun doktrin dalam rangka mengakomodasi kemampuan
dan batas kemampuan Alutsista baru dalam pertempuran. Semua tergantung
dari konteks dan substansinya. Menentukan target waktu, atau “timeline”,
dalam penyusunan sebuah doktrin memang perlu dilakukan oleh seluruh
“stakeholders”, khususnya Kodiklat yang memang memiliki otoritas untuk
membina dan mengembangkan doktrin TNI AD. Hal ini dilakukan dalam rangka
mengukur “progress”, serta menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Namun demikian, kita tidak boleh terjebak dalam situasi yang serba
“terburu-buru”, sehingga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas
produk doktrin yang dihasilkan.
Harus dipahami bahwa dibutuhkan
waktu yang tidak singkat untuk dapat menganalisa “lessons learned”;
begitu pula untuk dapat mempelajari suatu situasi pertempuran yang belum
pernah kita alami; maupun karakteristik Alutsista yang baru kita
miliki. Terhadap situasi yang tidak pernah TNI AD alami sebelumnya,
namun sangat mungkin terjadi di masa yang akan datang, tentu dibutuhkan
waktu yang lebih panjang untuk dapat melakukan “ekstrapolasi” secara
akurat. Artinya, ketika kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup
tentang situasi operasi militer di suatu wilayah tertentu, maka perlu
dimunculkan sejumlah peranggapan (asumsi) bahwa trend yang berlaku akan
terus berlanjut, dimana metode atau cara-cara penyelesaian konflik yang
ditempuh akan tetap relevan dan efektif dimasa yang akan datang.
Transformasi Bukan Tujuan Akhir.
Yang
jelas transformasi bukanlah tujuan akhir yang ingin kita capai.
Transformasi adalah sebuah proses yang kompleks, panjang, dan tiada
akhir. Sehingga perlu dibangun sebuah “mindset” bahwa walaupun hari ini
kita telah melahirkan doktrin baru atau telah merevisi suatu doktrin,
maka bukan berarti kita kemudian akan diam dan berpuas diri. TNI AD
harus setiap saat merefleksi diri atas apa yang telah dilakukan dan
belum dilakukan, sehingga proses transformasi akan terus berkelanjutan.
Mengakhiri
tulisan ini, penulis kembali mengajak diri sendiri dan seluruh generasi
muda TNI AD untuk senantiasa menjadi bagian integral dalam proses
transformasi yang akan menentukan masa depan institusi yang sama-sama
kita cintai. Hanya dengan kerja keras, optimisme, dan kolaborasi seluruh
komponen, kita dapat mewujudkan TNI AD yang semakin profesional,
modern, efektif, dan menentukan. TNI AD harus siap menghadapi berbagai
bentuk ancaman pertahanan dan keamanan nasional di era “warm peace”,
yang penuh dengan ketidakpastian.
“Apa yang kita lakukan dan tidak kita lakukan hari ini akan menentukan masa depan generasi penerus kita selanjutnya… We simply cannot afford the price of inaction and egotism”
Insya Allah, kita bisa!
Endnotes.
- Military
Doctrine, Reprinted from Making Strategy: An Introduction to National
Security Processes and Problems, Chapter 11, Air University Press,
Dennis M. Drew and Donald M. Snow (1988).
- Idem.
● TNI AD