Sabtu, 09 Maret 2013

Tim COE UNIFIL Terkesan Model Panser Anoa

Tim COE UNIFIL memeriksa Panser AnoaADA sesuatu hal yang sangat berkesan pada saat pemeriksaan Armoured Personnel Carrier (APC) yaitu panser Anoa oleh Tim COE (Contingent Owned Equipment) UNFIL (United Nations Interim Force In Lebanon yang dipimpin Ketua Tim COE Mr. Sergiy Mazarov di lapangan Sudirman Camp, Naqoura, Lebanon, kemarin.

Mayor Franz dari Austria menyampaikan,” Well done for your Anoa.” Ternyata peacekeeper tersebut sudah mengetahui bahwa Anoa yang diproduksi PT Pindad karya anak bangsa Indonesia sudah dipesan oleh beberapa negara. Hal ini diperoleh dari internet dan dijelaskan kepada Ketua Tim COE Mr. Sergiy.

Bahkan, Mr Sergiy memuji kesiapan operasional materiil dan perlengkapan Satgas FPC (Force Protection Company) TNI Konga XXVI-E2/UNIFIL yang tengah melaksanakan misi perdamaian PBB.


Pemeriksaan kesiapan operasional terhadap materiil dan perlengkapan adalah pemeriksaan rutin yang digelar oleh UNIFIL untuk mengetahui tingkat kesiapan materiil agar dapat mendukung operasional setiap Satgas.

UNIFIL sebagai perwakilan PBB di wilayah Lebanon menuntut seluruh satuan yang dikirimkan oleh negara-negara pengirim atau Troops Contributing Country (TCC) memiliki kesiapan operasional sesuai standar yang telah ditetapkan, baik kesiapan personil, materiil maupun perlengkapannya.

Sebelum melakukan pemeriksaan, Mr. Sergiy Mazarov memberikan penjelasan singkat tentang maksud dan tujuan kedatangannya beserta tim, selanjutnya Ketua Tim COE tersebut memperkenalkan beberapa orang yang membantunya dalam pemeriksaan materiil Satgas meliputi komunikasi, kendaraan, senjata, akomodasi, perkantoran, kesehatan hingga kebersihan.

Setiap anggota Tim COE yang berasal dari kalangan sipil dan militer ini akan melaksanakan pemeriksaan didampingi oleh perwakilan dari anggota Satgas Indo FPC Konga XXVI-E2 sesuai bidang tanggung jawabnya.

Selanjutnya, Tim COE UNIFIL bergerak menuju lapangan Sudirman Camp, tempat dilaksanakannya pengecekan terhadap materiil Satgas Indo FPC TNI. Dansatgas Konga XXVI-E2, Mayor Inf Yuri Elias Mamahi turut serta turun ke lapangan mendampingi Ketua Tim COE selama pemeriksaan berlangsung.

  ● Pelita  

Kodam I/Bukit Barisan Terima Alutsista Baru

Mabes TNI Tambah Alutsista Kodam I/BB
Anoa 2 (Kenyot 10) 
Medan | Peremajaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) mulai berlangsung di Komando Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan. Sejumlah peralatan tempur yang baru sudah tiba pada Jumat (8/3/2013).

Alutsista tersebut terdiri dari empat unit panser APS Anoa-2 6X6 buatan PT Pindad, beberapa truk penarik meriam 105 mm buatan Korea. Kemudian ambulance Mitsubishi Strada Triton, serta Jeep Toyota Fortuner.

Peralatan tempur yang diangkut dengan kapal khusus itu tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, pada Jumat pagi. Setelah proses bongkar muat, pada sore harinya dibawa ke Makodam I/BB, Jalan Gatot Subroto Km 7,5, Medan dan diterima Panglima Kodam (Pangdam) I/BB Mayjen TNI Lodewijk F. Paulus.

Pangdam Lodewijk menyatakan, kehadiran Alutsista baru ini merupakan perkuatan TNI sesuai dengan UU TNI Nomor 34 tahun 2004. "Yakni menegakkan kedaulatan, melindungi dan mempertahankan NKRI," kata Lodewijk.

Panser Anoa-2 menjadi andalan Alutsista yang datang ini. Panser itu merupakan kendaraan tempur lapis baja pengangkut personel yang dirancang khusus untuk kebutuhan TNI AD. Dapat mengangkut 10 personil dengan 3 orang kru, 1 driver, 1 commander dan 1 gunner.

Kendaraan ini juga dilengkapi dengan mounting senjata 12,7 mm yang dapat berputar 360 derajat. Panser ini seterusnya diserahkan pada Batalyon Kavaleri 6/Serbu.

Kehadiran panser Anoa ini, kata Pangdam, bukan untuk pasang aksi tebar pesona, namun menjadi obat dahaga bagi satuan Kavaleri 6/Serbu yang sejak lama mendambakan hadirnya kendaraan tempur buatan lokal.

"Spesifikasi dan konstruksinya cocok dengan postur tubuh dan 'kebiasaan’ prajurit TNI AD," kata Lodewijk dalam kesempatan yang turut dihadiri Kapolda Sumut Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro tersebut.

Akan Diperkuat 51 Unit Anoa-2 

 KM 250 TNI AD (Fs169)
TNI AD bertugas melindungi segenap tumpah darah Indonesia, menegakkan kedaulatan, dan mempertahankan NKRI. Dalam pelaksanaannya tugas ini dibagi menjadi dua, yakni Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Untuk OMP artinya akan menghadapi kemungkinan invasi dari negara asing.

Ini sangat mungkin karena wilayah Sumut posisinya sangat dekat dengan Selat Malaka. Untuk OMSP, TNI AD harus melindungi bangsa dan rakyatnya. Jadi, semua Alat Utama Sistim Persenjataan (Alutsista) yang baru tiba ini akan digunakan untuk pembangunan kekuatan dengan melihat tugas pokok TNI tadi.

Demikian dikatakan Pangdam I/BB Mayjen TNI Lodewijk F Paulus usai acara penerimaan dan penepungtawaran 4 Panser APS Anoa-2 dan 6 Kenderaan Rik Mer Km 250 buatan PT Pindad yang baru tiba dari Pelabuhan Belawan, Jumat (8/3) sore.

Dalam waktu dekat, tambah Mayjen TNI Lodewijk F Paulus, Kodam I/BB juga akan menerima satu armada helikopter untuk membantu tugas Kodam I/BB dalam memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat di Sumut.

Selain itu, Alutsista ini juga akan digunakan untuk mengamankan jalannya Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Minister Meeting yang akan diselenggarakan di Sumut. Dalam Rencana Strategis (Renstra) tahun ini juga telah dianggarkan pembelian sejumlah Peluru Kendali (Rudal) untuk melengkapi persenjataan Batalyon Arhanudse 11 dan 13, termasuk Rudal di Dumai.

Untuk SDM prajurit yang akan mengoperasikan Alutsista ini, menurut Jenderal Bintang Dua itu, tidak ada masalah. Karena kendaraan ini masuk Batalyon Infantri Mekanis. Kodam I/BB memiliki Batalyon Kavaleri yang akan mentransfer ilmu mereka kepada prajurit Batalyon Infantri. Untuk sementara Batalyon Kavaleri yang akan merawat seluruh Alutsista yang baru tiba tersebut. Peruntukkannya juga masih untuk satu pleton. Ke depan, direncanakan untuk satu batalyon, yakni 51 Panser Anoa-2.

Sementara itu, Kapolda Sumut Irjen Polisi Wisjnu Amat Sastro sangat berharap peralatan yang baru tiba ini nantinya juga akan dapat membantu tugas-tugas pihak kepolisian bila suatu saat diperlukan.

Karena pembeliannya menggunakan uang rakyat, maka Alutsista ini harus dipelihara dengan baik.

Adapun spesifikasi teknik Panser APS Anoa-2 adalah tipe pengangkut personil. Kendaraan tempur ini digerakkan oleh sistim enam roda simetris dan dirancang khusus untuk kebutuhan Alutsista TNI AD, khususya Kavaleri.

  ● Detik | Analisa Daily  

Kodam Siagakan Ribuan Personel di Perbatasan RI-Malaysia

Sangatta | Sebanyak 1.560 personel pasukan TNI dari Kodam VI/Mulawarman ditempatkan di pos-pos wilayah perbatasan untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya pihak-pihak luar terkait terkait konflik antara Malaysia dengan pasukan Kerajaan Sulu Filipina.

Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam VI) Mulawarman, Mayjen TNI Dicky Wainal Usman SIP MSi di Sangatta, Jumat (8/3), mengatakan pihaknya sudah mengantisipasi dengan menempatkan pasukan di pos-pos perbatasan lengkap dengan berpakaian siap tempur. "Itu saya proyeksikan dan pasukan cadangan sudah saya siapkan di wilayah perbatasan sebanyak dua Batalion, untuk mengantisipasi kemungkinan masuk ke wilayah Indonesia," katanya.

Pangdam) VI/Mulawarman Mayjen TNI Dicky Wainal Usman SIP MSi dalam jumpa pers di Sangatta, mengungkapkan di sana pasukan TNI sebanyak 560 orang itu ditempatkan di perbatasan dan yang siaga 2 Batalion atau sekitar 1.000 orang, jadi seluruhnya 1.560 personel.

Menurut Panglima, situasi dan kondisi saat ini di wilayah perbatasan masih aman dan tidak ada tanda-tanda mereka mau masuk ke wilayah Indonesia. Panglima menegaskan Indonesia khususnya TNI, tidak ingin melibatkan diri di Sabah, Malaysia. "Kita menghargai mereka untuk menyelesaikannya, itu urusan mereka Malaysia dengan Kerajaan Sulu Filipina," tegas Mayjen TNI Dicky W Usman.

Dikatakannya, sejauh ini Mabes TNI belum mengirimkan tambahan pasukan untuk membantu pengamanan di wilayah perbatasan, dan saat ini dinilai tidak perlu ada tambahan. Pasukan TNI Kodam VI/Mulawarman siap siaga penuh menjaga dan mengamankan kedaulatan negara khususnya diwilayah perbatasan.

"Saya kira belum diperlukan bantuan dari Mabes TNI, karena saya yang ditugaskan tetap menjaga wilayah. Karena kita yakin dengan kompartemen strategis Kodam VI/Mulawarman yang menggelar kekuatannya akan cukup," tegasnya.

  ● Republika    

☆ Ide Serangan Umum 1 Maret dari HB IX

Jogyakarta | Ide Serangan Umum 1 Maret 1949 berasal dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hal itu berdasarkan dokumen yang disimpan Departemen Luar Negeri Belanda.

"Dokumen penting itu berupa tulisan tangan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dengan kop surat di kanan atas 'Hamengkoe Boewono, Menteri Negara' mengenai serangan umum. Dokumen itu saya temukan di arsip Departemen Luar Negeri Belanda," kata Suhartono, sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Yogyakarta, Rabu.

Menurut Suhartono, pada diskusi "Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949", setelah mendengar siaran UNO, Sultan HB IX menyusun ide pokok untuk mengadakan serangan umum. Dalam dokumen itu juga ada perintah untuk menangkap lurah-lurah antek NICA.

Bahkan, kata dia, dalam dokumen tersebut juga terdapat foto-foto gerobak sapi yang merupakan alat transportasi saat revolusi dan press conference langsung Sultan HB IX dengan wartawan asing yang mengelilingi beliau.

"Setelah membaca dokumen tulisan Sultan HB IX tersebut, saya berkesimpulan bahwa ide Serangan Umum 1 Maret 1949 dari raja keraton. Secara umum, ide serangan umum itu sangat spesifik dengan intelijen tinggi," katanya.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan dokumen tulisan tangan Sultan HB IX dua lembar bolak balik itu ditemukan intelijen Belanda di Kepatihan Yogyakarta, kemudian dibawa ke Belanda.

Selain itu juga ditemukan dokumen dengan kop "Sangat Rahasia" dalam bahasa Belanda yang berisi laporan Jenderal Belanda kepada Pemerintah Belanda di Den Haag.

"Laporan itu menjelaskan bahwa aksi 1 Maret 1949 merupakan tindakan permusuhan yang berasal dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," katanya.(Investor Daily/tk/ant)


  ● Investor  

Southeast Asia from the Corner of 18th and K Streets: Dynamic Equilibrium: Indonesia’s Blueprint for a 21st Century Asia Pacific

The term “dynamic equilibrium” has been bandied among Indonesian officials and U.S. interlocutors with surprising frequency since Indonesia assumed the ASEAN chairmanship in 2012. As shorthand for Indonesia’s regional foreign policy goals, the term is not new, but it is widely misunderstood.

Indonesia, as a rising middle power itself, seeks to strengthen the role of middle and rising powers in the Asia Pacific region in order to avoid a regional conflict or condominium of power between the resident superpowers, the United States and China. The knee-jerk reaction has been to see this as a twenty-first-century balance of power strategy, but it is more than that.

Indonesia does not seek an Asia Pacific in which it, the United States, China, India, Australia, Japan, South Korea, and Russia avoid conflict only through a balance of force, either individually or in coalition. The preponderance of the United States and China makes such a traditional balance of power improbable, if not impossible. Instead, Indonesia and its like-minded neighbors have set their sights on building a series of regional mechanisms, driven by middle powers, in which none are dominant and none excluded.

Dynamic Equilibrium : Indonesia's Blueprint For A 21st Century Asia Pasific

By Gregory Poling
Research Associate, Sumitro Chair for Southeast Asia Studies, CSIS

The term “dynamic equilibrium” has been bandied among Indonesian officials and U.S. interlocutors with surprising frequency since Indonesia assumed the ASEAN chairmanship in 2012. As shorthand for Indonesia’s regional foreign policy goals, the term is not new, but it is widely misunderstood.

Indonesia, as a rising middle power itself, seeks to strengthen the role of middle and rising powers in the Asia Pacific region in order to avoid a regional conflict or condominium of power between the resident superpowers, the United States and China. The knee-jerk reaction has been to see this as a twenty-first-century balance of power strategy, but it is more than that.

Indonesia does not seek an Asia Pacific in which it, the United States, China, India, Australia, Japan, South Korea, and Russia avoid conflict only through a balance of force, either individually or in coalition. The preponderance of the United States and China makes such a traditional balance of power improbable, if not impossible. Instead, Indonesia and its like-minded neighbors have set their sights on building a series of regional mechanisms, driven by middle powers, in which none are dominant and none excluded.

This is the heart of the “dynamic equilibrium” idea—the creation and maintenance of a system that builds trust among and norms between all involved. The centerpieces of that system are the expanded ASEAN institutions, including the East Asia Summit (EAS), ASEAN Defense Ministers’ Meeting Plus (ADMM+), and the Expanded ASEAN Maritime Forum (AMF) as well as the web of burgeoning bilateral and trilateral relationships around the region.

The multiplicity of mechanisms involved is precisely why the equilibrium is dynamic, and also why Indonesia hopes it will work. If successful, each Asia Pacific country, especially the two regional giants, would be caught in a web of mutually beneficial relationships and separate forums. There would be no grand coalitions of “us” and “them” cutting across all interests. Such a system could hopefully offer what a balance of power cannot—a situation in which a win for one great power is not necessarily a loss for the other.

The only way such a system of “dynamic equilibrium” can be created is through the voluntary step-by-step immersion of each regional player in the multiplicity of overlapping institutions, with no single power predominant. This is why Indonesia pushed for the inclusion of India, Australia, New Zealand, Russia, and the United States in the ADMM+ and the Expanded AMF. It is also why Indonesia has been hard at work developing an Indian Ocean strategy with India and Australia and why it takes part in the Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation, which it will chair from late 2015 to late 2017.

Indonesia individually, and ASEAN as a group, recognize that the big question is whether China will agree to this new system. The South China Sea dispute is proving a key test in answering that question. Beijing has been eager to take part in regional economic architecture, but has proved far less comfortable with enmeshing its security and political interests in regional frameworks. Its desire to deal with the multilateral disputes in the South China Sea bilaterally stems from a traditional concept that China, as the larger power, can simply browbeat smaller states into aligning with its interests. But this mindset increasingly clashes with the preferences of both ASEAN and the other Asia Pacific powers to avoid a might-makes-right ethos in the region.

A modest step toward moving China away from such bullying tactics came with the signing of the 2002 ASEAN-China Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). The nonbinding agreement has failed for over a decade to resolve the disputes, but in the eyes of Indonesia and most of its fellow ASEAN members, it remains the best hope of a lasting, nonviolent solution. This is why Indonesian foreign minister Marty Natalegawa made a whirlwind tour of Southeast Asia last summer to salvage a modicum of agreement following the breakdown of consensus over the South China Sea during the July ASEAN Ministerial Meeting.

It is also why ASEAN members have so eagerly courted, and received, the support of the other seven members of the East Asia Summit—Australia, India, Japan, New Zealand, Russia, South Korea, and the United States—on the issue. If the multilateral process that began with the DOC is allowed to crumble, then the prospects of convincing China that its interests are best served via peaceful, mutually agreed-upon mechanisms do not look good. The same is true if China is allowed to impose its will and drive the process.

To one degree or another, most of the region’s powers have rallied around the goal of a peaceful, institution-driven Asia Pacific, if only implicitly. They have read history and recognize the dangers of U.S.-China rivalry. They are also not excited about the possibility of a U.S.-China condominium of power. Both scenarios would relegate the middle powers to the background, and neither would likely be sustainable. A “dynamic equilibrium” could well prove the best alternative.

The one thing that such a future has working for it is that one of the two great powers in the region, the United States, has at least proved open to the notion. The Obama administration’s “pivot” to the Asia Pacific has focused on engaging and strengthening multilateral institutions as much as bilateral relationships. It has supported but not sought to lead ASEAN in its efforts, creating the right perceptions in the region and avoiding provoking China unnecessarily. It has also engaged in more inclusive multilateral military exercises and has sought creative new mechanisms like the burgeoning U.S.-India-Japan trilateral relationship.

Now the United States should double-down on a “dynamic equilibrium” in the Asia Pacific. It will have neither the ability nor the desire to drive Asia Pacific institutions in the twenty-first century as it did Atlantic ones in the twentieth century. It also does not want a rivalry with a rising China. The best option is therefore to facilitate middle powers to help lead on regional issues. Indonesia should be a lynchpin in that effort, and its “dynamic equilibrium” offers as good a blueprint as any.

  ● CSIS  

Jumat, 08 Maret 2013

Uji Coba KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB)

Danrem 102/Pjg Kolonel Czi Irwan didampingi Kasrem beserta para Kasi dan juga para Dan/Kabalak Aju Rem 102/Pjg pada Rabu (6/2) menghadiri pelaksanaan kegiatan uji coba KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) yang bertempat di Pelabuhan Rambang Palangkaraya dan dilanjutkan dengan patroli sungai di wilayah Puntun.

KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) merupakan Kapal cepat pengadaan dari TNI AD Tahun 2012 dan dalam penggunaanya langsung diserahkan kepada Denbekang XII-44-01 PLK. Dalam kesempatan tersebut Danden Bekang XII-44-01 PLK Letkol Cba Frans Surya Ginting menyampaikan bahwa KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) ini merupakan Kapal cepat yang berukuran sedang dengan panjang 9 meter, lebar 3,18 meter serta tingi 1,30 meter ysng dilengkapi dengan mesin penggerak Motor Tempel (OBM) 250 HP 4 Tak Type F 250 GTEX dan motor tempel (OBM) 250 HP 4 Tak Type FL 250 GTEX.

KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) berkapasitas tempat duduk 10 orang serta dilengkapi dengan peralatan yang terbilang modern seperti kelengkapan radio komunikasi, perlengkapan Navigasi yang menggunakan Satelit Global Positioning (GPS) perlengkapan listrik perlengkapan tambat serta dilengkapi juga Trailer (Trolly) dan alat keselamatan lainnya.

Dalam uji coba tersebut Danrem 102/Pjg beserta jajaran berkesempatan menaiki KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) bergerak menyisiri Sungai Kahayan +10 km, uji coba ini juga diikuti oleh satu regu dari anggota Yonif 631/Atg serta anggota Denbekang XII-44-01 PLK. Di akhir kegiatan Danrem 102/Pjg mengharapkan kepada anggota Denbekang XII-44-01 PLK agar supaya merawat KMC Rigid Bouyancy Boat (RBB) tersebut sehingga masa pakainya bisa lebih lama/panjang.

Selain itu Danrem memerintahkan kepada Dandim 1016/Plk dan Komandan Yonif 631/Atg untuk memanfaatkan kapal tersebut untuk patroli sungai di wilayahnya.Kegiatan uji coba dan patroli sungai berjalan tertib aman dan lancar.

  ● Kodam Tanjung Pura  

Helikopter Nyangkut di Tiang Listrik

 Helikopter Bolcow TNI AD (Yodotucu)
Kebumen | Sebuah pesawat helikopter milik TNI AD tersangkut di kabel listrik tegangan tinggi, di Desa Setro Jenar, Bulus, Kebumen. Setelah tersangkut kabel, helikopter tersebut akhirnya oleng. Beruntung pilot berhasil mengendalikan helikopter dan mendarat darurat di area persawahan.

Tak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Tapi, akibat kejadian itu, aliran listrik di wilayah Desa Setrojenar sempat padam selama beberapa jam, karena kabel yang putus. Sempat terjadi ledakan keras, saat helikopter tersangkut kabel.

“Pesawat tersebut oleng, pilot berusaha mengendalikan dan bisa mendarat, tapi olengnya semakin kencang, pilot itu akhirnya mendaratkan di sawah,” kata Nur Hidayat seorang saksi mata di lokasi kejadian.

Helikopter jenis Bocco buatan tahun 1994 itu terbang rendah di Kebumen dan pantai Selatan Kebumen dalam rangka latihan dari Skuadron 31 Serbu. Helikopter tersebut tak mengalami kerusakan, setelah mendarat darurat, Helikopter tersebut melanjutkan penerbangannya.

  ● Okezone  

Habibie: Yang Beli Tank Leopard Bodoh, Cuma Mau Uang

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQz9YY8IR4kZriFx0veaXqfrMqxZLEBOLy4DxUdFtzFhu2X19h_PNUYLqibRodnnpxyga66M6q_xhkcJfx8fqDk8f-Acf7p7P3ClwUGSvVPTfhfwG5ZUwAFkLZeVFk42pdBVYVzbbm6Ng/s1600/1.jpg
Leopard 2 Revolution 
Berdiri di podium selama dua jam, mantan presiden RI ketiga, BJ Habibi terus memaparkan problematika di Indonesia. Mulai dari hal kecil hingga besar, mulai dari politik hingga militer.

Salah satunya terkait pembelian tank Leopard oleh Kementerian Pertahanan. Menurut Habibie, pemakaian tank tersebut tidak efisien di Indonesia.

"Lihat saja perang di Vietnam satu tank Leopard pun tidak pernah dimanfaatkan kok kita malah ikut-ikutan. Mau dimanfaatkan di jalan, rusak, mau di hutan, dibawa pakai kapal nanti keburu ditembak," kata Habibie berargumen di Bappenas, Jakarta, Jumat (8/3).

Bahkan dengan lugas Habibie menuding jika orang yang membeli tank Leopard sebagai orang bodoh pencari keuntungan. Makanya sudah sering kali Habibie terus mendorong pembatalan pembelian tank ini.

"Sekarang mereka bodoh beli tank itu untuk hanya untuk dapat uangnya. Kita harus tahu yang tepat di darat dan di udara. Saya sudah sampaikan pada yang bersangkutan supaya direview tidak tepat dan tidak wajar beli tank Leopard untuk pertahanan sipil," terangnya.

Pembelian Tank Leopard ini sempat menuai polemik. Kala itu sejumlah pihak termasuk DPR menilai tank kelas berat tak cocok digunakan di Indonesia. Tetapi Kementerian Pertahanan tetap bersikeras membeli 100 tank itu.

100 Tank Leopard dari Jerman pesanan TNI akan mulai datang pada tahun ini. Tank tersebut akan datang secara bertahap, selama tiga tahun. Pembelian menggunakan alokasi pinjaman luar negeri sebesar USD 280 juta.

Menhan Purnomo Yusgiantoro mengaku kalau Tank Leopard ini sesuai dengan permintaan TNI AD. Kemhan hanya memfasilitasi saja.

"Kita kan dengarkan spek teknis dari TNI AD, prosesnya bottom up. Mereka bilang bahwa untuk MBT dari Kemhan bilang MBT perlu, terus mereka bilang Leopard. Ini sudah diproses di mabes TNI, keluarnya begitu kan kita ikut," ungkap Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro di Istana Kepresidenan, Jumat (6/7).(mdk/ian)


  ● Merdeka  

Glagaspur Kopaska Ditutup

paska-subJakarta | Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska) Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) melaksanakan Latihan Geladi Tugas Tempur (Glagaspur) Setingkat K-2 selama 12 hari di berbagai tempat dan telah berakhir dengan upacara penutupan yang dilaksanakan di Markas Komando (Mako) Satpaska Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (8/3).

Sebelumnya upacara pembukaan telah dilaksanakan pada 25 Februari 2013 di Lapangan Mako Satpaskaarmabar Pondok Dayung dengan Inspektur Upacara Wakil Komandan (Wadan) Satkopaskaarmabar Letkol Laut (T) L. Sihombing.

Selama latihan, telah dilaksanakan materi latihan diantaranya pencarian ranjau laut dengan mengunakan Circle Search, fast rope, Helly water jump, Ship Boarding, dan CQC (Close Quarter Combat) dengan menggunakan tempat latihan di lapangan Pondok Dayung, Perairan teluk Jakarta serta gedung hotel Kemayoran.

Latihan Glagaspur Setingkat K-2 prajurit Satkopaskaarmabar bertujuan untuk memelihara, meningkatkan dan memantapkan keterampilan serta kesiapan operasional prajurit Satkopaska Koarmabar dalam mewujudkan kemampuan baik perorangan maupun kerjasama tim agar mampu menguasai tehnik maupun taktik prosedur di lapangan guna mendukung tugas pokok TNI khususnya TNI Angkatan Laut.

Wadan Satkopaska Koarmabar dalam amanatnya pada upacara penutupan menyampaikan, dinamika dan tantangan tugas yang dihadapi dimasa depan akan semakin komplek, hal inilah yang menuntut setiap prajurit Satkopaskaarmabar untuk selalu siap setiap saat untuk diterjunkan keberbagai bentuk penugasan.

Lebih lanjut Wadan Satkopaskaarmabar mengatakan, materi dan permasalahan yang menjadi bagian dari latihan tempur dapat diselesaikan sesuai dengan rencana latihan (Renlat) yang telah disusun oleh Staf dan Detasemen Latihan. Adanya kendala dan permasalahan yang dihadapi dilapangan bukan merupakan suatu halangan bagi prajurit Satkopaskaarmabar, tetapi merupakan tantangan yang harus diselesaikan bersama. Seiring harapan untuk latihan-latihan berikutnya dapat ditingkatkan baik materi maupun kualitas latihan sehingga kualitas prajurit tempur yang sejati dapat terwujud.

Diakhir amanatnya Wadan Satkopaskaarmabar mengatakan, profesionalisme tidak diraih secara tiba-tiba tetapi diperlukan jerih payah seluruh prajurit Satkopaska melalui latihan. Selanjutnya keberhasilan jangan membuat prajurit menjadi lengah, lupa diri, sombong bahkan takabur melainkan selalu waspada dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan.

(dispenarmabar/sir)

Teks Gbr- Wadan Satkopaskaarmabar Letkol Laut (T) L. Sihombing selaku Inspektur Upacara pada penutupan Latihan Glagaspur Setingkat K-2 di Mako Satpaskaarmabar Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara.


  ● Poskota  

Hercules Droping Logistik Di Kalijati

 Droping Logistik
Jakarta | MEMASUKI hari kedua latihan Rajawali Perkasa 2013, pada Jumat  8 Maret melaksanakan droping logistic dengan pesawat C-130 Hercules dari Skadron Udara 31 dengan Kapten Pilot Mayor Pnb Rony di Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang.

“Droping logostik ini untuk melatih dan meningkatkan kemampuan awak pesawat dalam menghadapi bencana alam atau  kontijensi”  ujar Komandan Wing 1 Lanud Halim  Kolonel Pnb Fajar Prasetyo sebagai penangung jawab latihan Rajasa 2013.

Latihan ini dititik beratkan pada pelaksanaan tugas–tugas Lanud Halim Perdanakusuma, namun perlu diingat perlibatan kekuatan Alutsista tidak akan menghasilkan out put yang diinginkan apabila tidak diimbangi dengan kesungguhan dari seluruh peserta latihan, jelas Kolonel Pnb Fajar Prasetyo.

Keterangan gambar: Pesawat C-130 Hercules saat melakukan Dropping Logistik dari ketinggian 500 meter Di Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang.

Sekilas Mengenai Densus 88

 Cikal Bakal Detasemen Khusus 88 Antiteror Dibentuk 

Begini Detasemen Khusus 88 Antiteror DibentukJakarta | Sebuah video yang beredar di YouTube berisi tindakan kekerasan Detasemen Khusus 88 Antiteror memunculkan keinginan supaya satuan khusus ini dibubarkan. Padahal, kemunculan tim elite di Kepolisian RI itu tak lepas dari aksi kekerasan, bahkan teror dari para teroris di Indonesia.

Pada awalnya, cikal bakal Densus 88 Antiteror lahir dari Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini dipicu oleh maraknya teror bom hebat sejak 2001. Aturan ini kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 dan 2 Tahun 2002.

Pengamat kepolisian dari Universitas Padjajaran, Muradi, dalam bukunya Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik menyebutkan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan merespons perintah itu dengan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada 2002. Desk ini langsung berada di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan. Desk ini berisi kesatuan Antiteror Polri, yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri, dan tiga organisasi antiteror TNI dan intelijen.

Dalam perjalanannya, institiusi-institusi antiteror tersebut melebur menjadi Satuan Tugas Antiteror di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Namun inisiatif Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan saat itu, berantakan. "Masing-masing kesatuan antiteror tersebut lebih nyaman berinduk kepada organisasi yang membawahinya," Muradi menjelaskan.

Satgas Antiteror pun tidak berjalan efektif. Masing-masing kesatuan antiteror berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, eskalasi teror tetap meningkat. Polri terpaksa membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri. Tugas pertama Satgas Bom adalah mengusut kasus Bom Natal pada 2001 dan dilanjutkan dengan tugas-tugas yang terkait dengan ancaman bom lainnya.

"Satgas Bom Polri ini menjadi begitu dikenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang terkait dengan kalangan luar negeri, sebut saja Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia," kata Muradi yang juga dosen hubungan internasional Universitas Paramadina ini.

Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Namun, di samping ada satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, kepolisian memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Antiteror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Antiteror ini tumpang-tindih dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri.


Karena itulah Mabes Polri akhirnya mereorganisasi Direktorat VI Antiteror, di mana kemudian secara resmi Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar menerbitkan Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003. Sejak itulah Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang disingkat Densus 88 AT Polri terbentuk.(Tempo)

 Densus 88 Dikecam di Poso 

Peran Densus 88 Antiteror Polri sangat menonjol dalam pemberantasan aksi-aksi terorisme di Tanah Air. Walaupun kemudian, Video yang beredar di Youtube itu memperlihatkan aksi kekerasan Detasemen Khusus 88 Antiteror di Poso. Peristiwa itu diduga adalah rekaman dari aksi 18 anggota Densus 88 dan Brimob kala menangkap 14 warga Kalora, Poso, Desember 2012.

Terungkap sebagian isi video adalah rekaman peristiwa penyerbuan Densus 88 ke Tanah Tinggi, Poso, pada 2007. Sejumlah tersangka yang sepintas tampak sedang dianiaya adalah para pelaku pengeboman gereja dan pelaku mutilasi warga. Kepolisian mengatakan dua di antaranya, Wiwin Kalahe alias Tomo dan Basri,. kini sudah dipenjara.

Sebenarnya, pasukan anti teror tak hanya dimiliki Polri. TNI mempunyai kesatuan antiteror yang andal dan punya pengalaman lebih lama. Lalu, mengapa hanya Densus 88 yang diberi wewenang dalam pemberantasan terorisme?


Pengamat keamanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, dalam bukunya Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik, mengakui berkembangnya anggapan bahwa peran Densus 88 AT Polri terlalu memonopoli pemberantasan terorisme di Tanah Air. "Ini membuat beberapa institusi lain yang memiliki organisasi antiteror merasa tidak mendapatkan porsi yang memadai dan tidak terberdayakan," kata Muradi.

Muradi menjelaskan, hampir semua angkatan di TNI memiliki struktur organisasi antiteror. TNI AD punya Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor), yang bernama Group 5 Antiteror dan Detasemen 81 yang tergabung dalam Kopassus; TNI AL punya Detasemen Jalamangkara (Denjaka), yang tergabung dalam Korps Marinir; serta TNI AU punya Detasemen Bravo (DenBravo), yang tergabung dalam Paskhas TNI AU.

Menurut Muradi, ada tiga alasan hanya Densus 88 yang lebih berperan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, saat Densus 88 Antiteror terbentuk pada 2003, TNI masih mengalami embargo persenjataan dan pendidikan militer oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Ini terkait dengan tuduhan pelanggaran HAM oleh TNI di masa lalu. "Sehingga salah satu strategi untuk mendirikan kesatuan antiteror tanpa terjegal masa lalu TNI adalah dengan mengembangkannya di kepolisian," kata Muradi.

Di sisi lain, pembentukan kesatuan khusus antiterorisme yang andal dan profesional pasti perlu dukungan peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas. Sebagaimana diketahui, pembentukan Densus 88 ini menghabiskan dana lebih dari Rp 15 miliar, termasuk penyediaan senjata, peralatan intai, alat angkut pasukan, operasional, dan pelatihan. Biaya tersebut berasal dari bantuan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia.

Alasan kedua adalah pemahaman bahwa kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara, dan melibatkan banyak faktor yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu, terorisme dalam konteks Indonesia saat ini dimasukkan dalam domain kriminal, bukan aksi separatisme seperti di tahun 1950-an. Aksi teror sekarang ini dilihat sebagai gangguan keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa masyarakat. "Karenanya terorisme masuk ke dalam kewenangan kepolisian," kata Muradi.

Alasan terakhir adalah menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional jika pemberantasan terorisme dilakukan oleh TNI dan intelijen. Sebagaimana diketahui, sejak rezim Soeharto tumbang, TNI dan lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan antiteror yang profesional akhirnya berada di kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat sehingga keamanan dalam negeri terpelihara.

"Harus diakui peran yang diemban oleh Densus 88 AT Polri memberikan satu persfektif bahwa pemberantasan terorisme di Indonesia dapat dikatakan berhasil," kata Muradi. "Setidaknya bila dikaitkan berbagai keberhasilan organisasi tersebut dalam menangkap dan memburu pelaku dari jaringan terorisme di Indonesia, serta mempersempit ruang geraknya."(Tempo)

 Unik '88' dan AT pada Densus yang Dikecam di Poso 

Unik '88' dan AT pada Densus yang Dikecam di Poso  
Sejumlah pertanyaan muncul mengenai penamaan Densus 88 AT Polri. Dari soal arti di balik angka 88 hingga AT atau Antiteror di belakang nama Densus. Sebenarnya, apa arti penamaan tersebut?

Pengamat kepolisian dari Universitas Padjajaran, Muradi, dalam bukunya, Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik, menjelaskan banyak dugaan soal latar belakang penamaan Densus 88. "Misalnya adanya angka 88 di depan penamaan Densus dianggap mengekor pada Delta 88, pasukan khusus Amerika Serikat," kata Muradi.

Di samping itu ada juga yang menganggap angka 88 sebagai angka keramat. Alasannya, angka tersebut merupakan jumlah korban terbanyak dalam Bom Bali I pada 2002, korbannya merupakan warga negara Australia. "Padahal angka 88 di belakang nama Densus adalah simbolisasi sepasang borgol yang identik dengan tugas kepolisian," kata pria yang pernah menjadi dosen di PTIK ini.


Bagi Densus, angka 88 dimaknai sebagai pekerjaan pemberantasan terorisme yang tak kenal henti dan berkesinambungan. Pola angka delapan memang berkesinambungan tanpa terputus.

Sedangkan tulisan AT atau antiteror yang berada di belakang angka 88 dianggap sebagian orang sebagai klaim Polri terhadap keseluruhan lembaga antiteror di Indonesia. "Tak heran jika kemudian ini dianggap sebagai upaya mengambil porsi kewenangan kesatuan antiteror lain yang masih aktif, baik di TNI maupun BIN," kata Muradi.


Padahal, penggunaan kata antiteror di belakang angka 88 sesungguhnya merujuk pada reinkarnasi dari Satgas Bom dan Direktorat VI Antiteror yang berada di bawah kendali Bareskrim Polri saat melebur menjadi Densus 88 AT Polri.


"Penegasan antiteror ini juga untuk membedakan dan membatasi wewenang Densus 88 AT Polri hanya terbatas pada fungsi kontra-teror, khususnya terhadap aksi teror dengan bahan peledak," Muradi menjelaskan.

Densus 88 mencuat setelah adanya desakan pembubaran Densus 88. Desakan dipicu beredarnya video yang berisi kekerasan oleh satuan tersebut. Video itu diduga rekaman peristiwa 18 anggota Densus 88 dan Brimob kala menangkap 14 warga Kalora, Poso, Desember 2012. Warga Kalora ini diperiksa atas dugaan keterlibatan mereka dalam penembakan empat anggota Brimob di Tamanjeka, Gunung Biru, Poso. Pada saat pemeriksaan, 14 orang ini dipukuli dan mengalami luka lebam dan luka fisik lainnya.

Belakangan terungkap bahwa sebagian isi video adalah rekaman peristiwa penyerbuan Densus 88 ke Tanah Tinggi, Poso, pada 2007. Sejumlah tersangka yang sepintas tampak sedang dianiaya adalah para pelaku pengeboman gereja dan mutilasi warga. Kepolisian menyebut dua di antaranya, Wiwin Kalahe alias Tomo dan Basri. Keduanya kini sudah dipenjara.(Tempo)

 Densus 88 Dilatih CIA dan FBI 

Sejumlah keberhasilan Datasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI dalam memberantas terorisme membuat kesatuan ini menuai pujian dari masyarakat. Keberhasilan itu tak lepas dari pendidikan dan latihan yang diterima setiap personelnya. Mereka tidak hanya mendapatkan ilmu dari internal Polri, tapi juga pendidikan dan pelatihan anti-terorisme dari organisasi intelijen Amerika: CIA dan FBI.

Pengamat keamanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, mengatakan jumlah personel Densus 88 di tingkat pusat tak lebih dari 400 orang. "Mereka adalah personel dengan kualifikasi antiteror terbaik yang dimiliki kepolisian," kata Muradi dalam buku Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik. "Sedangkan di tingkat kepolisian daerah, personel Densus 88 berkisar 50 hingga 75 orang."

Sebelum perekrutan, anggota polisi terlebih dahulu dilatih di Pusat Pendidikan Reserse Polri, berlokasi di kawasan Mega Mendung, Puncak, Jawa Barat. Mereka juga berlatih di Pusat Pendidikan Antiteror Nasional (Platina) di Kompleks Akademi Kepolisian, Semarang.

"Para pengajar, internal Polri, instruktur CIA, FBI, National Service Australia, dan jaringan organisasi intelijen Barat lain," kata Wakil Ketua Pusat Studi Keamanan Nasional Universitas Padjajaran itu.

Calon anggota Densus 88 ini tak hanya belajar soal teori dan metodologi antiteror. Mereka juga mendapatkan fasilitas berlatih seperti simulator dan sarana pendukung latihan lainnya. Dukungan peralatan serta finansial itu mengalir dari negara-negara Barat. "Apalagi pada saat kampanye global antiterorisme berlangsung," kata Muradi. "Berbagai bantuan dan dukungan, baik persenjataan, pelatihan, hingga pendanaan pasukan antiteror dari negara Barat, masuk ke Polri."

Tapi bantuan negara barat tak mengalir ke pasukan antiteror TNI. Ini karena ada embargo senjata untuk TNI. Menurut Muradi, hal itu menimbulkan keirian dari tiga angkatan TNI, dan BIN, terhadap Polri. Apalagi legalitas Densus 88 sebagai kesatuan yang berwenang menghadapi dan memberantas terorisme di Indonesia hanya ditegaskan dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2001. "Yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," ujarnya.(Tempo)


 Informasi Densus 88 Lebih Lengkap daripada BIN 

Densus 88 Dikecam di Poso, Begini Nasib Tim TNIBeberapa pihak menuntut Datasemen 88 Antiteror Polri (Densus 88) untuk dibubarkan. Namun, bagi penasihat senior International Crisis Group (ICG) untuk Indonesia, Sidney Jones, keberadaan Densus 88 justru harus dipertahankan. Bukan sekadar soal efektivitas Densus 88 dalam pemberantasan aksi terorisme di Indonesia, bahkan informasi yang dimiliki Densus 88 tentang jaringan terorisme di Indonesia dinilai lebih lengkap dibandingkan yang dimiliki Badan Intelijen Negara (BIN).

Menurut Sidney, Densus 88 jangan hanya dilihat sebagai strike force atau lembaga yang menangkap orang. Tapi lebih dari itu, Densus 88 merupakan kesatuan yang mempunyai informasi dan pemetaan paling lengkap terhadap jaringan ekstremis di Indonesia. "Karena sepuluh tahun mengumpulkan data-data jaringan itu, saya kira informasi di Densus 88 jauh lebih lengkap daripada di BIN atau di lembaga-lembaga lain. Karena itu, menurut saya, harus tetap dipertahankan," kata Sidney kepada Tempo, Kamis, 7 Maret 2013, di kantor ICG, Jalan Thamrin, Jakarta.

Urgensi mempertahankan keberadaan Densus 88, Sidney menambahkan, juga disebabkan masih rawannya ancaman keamanan dari jaringan teroris. Jika melihat fakta dua tahun belakangan ini, memang benar ada penurunan jumlah orang yang meninggal akibat serangan teroris, dan kebanyakan korban adalah polisi yang tidak terkait dengan operasi Densus 88. "Tapi jumlah kelompok dan jumlah plot atau rencana serangan teroris lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa rekrutmen dan minat dengan terorisme masih sangat tinggi," kata Sidney.

Dengan memperhatikan hal tersebut, Sidney menilai kampanye melemahkan Densus yang dilakukan beberapa pihak sangat tidak etis. "Penting sekali Densus 88 tidak diganggu oleh kampanye yang tidak bertanggung jawab." (Baca berita lainnya di edisi khusus Kontroversi Densus)(Tempo)


 Sederet Peralatan Canggih Densus 88 

Detasemen Khusus 88 Antiteror memiliki sejumlah peralatan dan persenjataan canggih dalam beroperasi. Pengamat kepolisian dari Universitas Padjajaran, Muradi, mengatakan, dukungan persenjataan dan peralatan Densus 88 memang sangat modern. Misalnya, senapan serbu jenis Colt M4 5.56 milimeter, Steyr-AUG, Armalite AR-10, dan shotgun model Remington 870 yang ringan dan sangat andal buatan Amerika Serikat.

"Tak hanya persenjataan, tiap personel Densus 88 juga memiliki perlengkapan pribadi dan tim," tulis Muradi dalam buku Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik. "Misalnya, alat komunikasi personal, GPS, kamera pengintai malam, alat penyadap dan perekam mikro, pesawat interceptor, dan mesin pengacak sinyal."

Untuk mendukung keberhasilan operasional, Densus 88 juga bekerja sama dengan operator telepon seluler dan Internet. Tujuannya guna mendeteksi tiap pergerakan kelompok teroris dalam berkomunikasi. Sementara untuk unit penjinak bom, mereka memiliki peralatan pendeteksi logam terbaru, sarung tangan dan masker khusus, rompi serta sepatu anti-ranjau darat, dan kendaraan taktis peredam bom.

Sempat juga beredar isu, Densus 88 memiliki pesawat Hercules seri C-130, untuk mempermudah mobilisasi personel. Tapi isu itu sulit dibuktikan. Karena faktanya Mabes Polri telah membentuk Densus 88 di tingkat polda. "Ini berarti isu itu sepenuhnya tidak benar," kata Muradi.

Densus 88 tak hanya mendapatkan sederet peralatan canggih itu dari Kepolisian RI. Mereka juga mendapatkan dukungan pelatihan, biaya, dan peralatan dari badan intelijen negara Barat. Sebut saja CIA, FBI, atau National Service Australia.(Tempo)


 Kualifikasinya Menjadi Personel Densus 88 

Datasemen Khusus 88 Anti-Teror Kepolisian RI memiliki kualifikasi tersendiri, berbeda dengan anggota polisi lainnya. Kata pengamat keamanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, ada tiga hal khusus dari tiap anggota Densus 88.

Pertama, karena Densus berada di Badan Reserse dan  Kriminal Markas Besar Polri dan Direktorat Serse kepolisian Daerah, maka personel datasemen ini harus seorang reserse yang handal. "Karena itu, hampir setiap aktivitas Bareskrim dan Ditserse menyertakan personel Densus 88 di lapangan," kata Muradi dalam buku Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik. "Terutama terkait dengan kejahatan khusus, seperti narkoba, pembalakan liar, atau pencurian ikan."

Kedua, personel Densus memiliki kualifikasi anggota intelijen keamanan. Mereka mampu melakukan pendeteksian, analisis, dan kontra intelijen. Di beberapa kasus, kata Muradi, keterlibatan aktif anggota Densus dalam kerja intelijen kepolisian mampu meningkatkan kinerja Mabes Polri serta Polda setempat. "Misalnya pada polda yang daerahnya menggelar pilkada atau terjadi konflik," katanya.

Kualifikasi ketiga, kemampuan bernegosiasi. Personel Densus adalah seorang negoisator yang baik. Mereka mampu meminimalkan jatuhnya korban jiwa yang lebih besar. Misalnya, dalam kasus penyanderaan oleh anggota terorisme. "Mereka bernegosiasi untuk menekan korban jiwa, tapi juga tetap menegakkan hukum," kata Muradi.

Contoh kemampuan negosiasi ini terlihat pada saat pengepung tempat persembunyian buronan teroris, Dr. Azahari dan Noordin M. Top. Meski Azahari meledakkan diri dan Noordin M. Top berhasil lolos,  tetapi prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator Densus relatif berhasil. "Mereka tidak sampai melukai atau berdampak negatif pada masyarakat sekitarnya," kata Muradi.(Tempo)
(Amirullah)

  ● Tempo  

Mengapa TNI dan Polri Baku Hantam di OKU

 Kejadian ini mencoreng citra TNI dan Polri di mata rakyat. 

 Polres OKU Sumsel dibakar
Konflik antara anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri kembali terjadi. Kamis pagi, 7 Maret 2013, puluhan anggota Batalyon Armed 15/ 105 TNI Tarik Martapura membakar Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.

Sekitar 90 anggota Batalyon Armed 15/ 105 TNI mendatangi Mapolres OKU pada pukul 07.30 WIB. Mereka menggunakan truk dan motor. Sebagian dari tentara itu membawa sangkur. Mereka datang untuk menanyakan perkembangan kasus penembakan anggota Batalyon 15/ 105, Pratu Heru Oktavinus oleh anggota Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya.

Entah apa yang terjadi, pada pukul 09.30 WIB, para tentara itu naik pitam. Mereka merusak dan membakar Mapolres OKU. "Mungkin mereka tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Maka terjadi keributan yang berujung dengan pembakaran," kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul kepada VIVAnews.

Akibatnya, sebagian kantor Polres OKU ludes dilalap si jago merah. Selain itu, 4 mobil dan 70 motor turut dirusak dan dibakar. Kekacauan ini juga menyebabkan 16 tahanan kabur, lainnya dievakuasi.

Tak hanya itu, aksi brutal ini juga menyebabkan tiga anggota Polres OKU terluka dan harus dirawat di ruhah sakit. Mereka adalah Briptu Berlin Mandala yang mengalami luka tusuk di dada dan tangan, Aiptu Marwani luka tusuk di paha, dan Bripka M yang mengalami luka bakar.

Usai melakukan pembakaran, puluhan anggota Batalyon 15/ 105 itu meninggalkan Mapolres OKU yang sebagian telah habis dilahap api. Namun, para tentara itu tidak berhenti melakukan perusakan. Di perjalanan, mereka juga menghancurkan dua pos lalu lintas dan pos sub sektor. Mereka bahkan menyerbu Mapolsek Martapura. Akibatnya, Kapolsek Martapura Kompol Ridwan terluka dan dalam kondisi kritis.

"Kapolsek dalam keadaan luka cukup parah dan diterbangkan ke Sumsel untuk dievakuasi, semoga bisa diselamatkan jiwanya," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jendral Suhardi Aliyus. Namun dia memastikan, tidak ada korban jiwa dalam insiden ini.

 Pemicu 

Kerusuhan ini adalah buntut tewasnya Pratu Heru Oktavinus. Anggota Batalyon 15/ 105 ini ditembak mati oleh anggota Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa Sukajadi, OKU, pada 27 Januari 2013.

Perkelahian malam itu bermula saat Brigadir Wijaya dan sejumlah polisi lalu lintas menggelar razia kendaraan bermotor. Setelah melakukan razia, Brigadir Wijaya duduk di Pos Polisi 902, Jalan Lintas Tengah Sumatra.

Lalu, melintaslah rombongan Pratu Heru Oktavianus yang berjumlah lima motor. Mereka baru pulang dari acara sunatan di Lorong Duku, Kelurahan Kemala Raja, Baturaja Timur, OKU, melintas di depan pos. Saat berada di lokasi razia, Pratu Heru yang tertinggal dari rombongannya dihentikan, namun berhasil meloloskan diri sambil menghina polisi.

Menengar hinaan itu, Brigadir Wijaya menjadi naik pitam dan lantas mengejar Briptu Heru. Brigadir Wijaya berhasil menyusul Briptu Heru. Dia kemudian menendang motor Briptu Heru hingga terjatuh. Kemudian, terjadilah percekcokan yang berujung pada adu fisik. Namun kemudian, Brigadir Wijaya menembak Briptu Heru dua kali. Satu tembakan mengenai punggung, satu lagi menembus leher.

Briptu Heru kemudian dibawa ke Rumah Sakit Santo Antonius Baturaja. Namun beberapa saat kemudian dia tewas. Sejak itulah situasi di Baturaja, OKU, menjadi tegang. Mapolres OKU dijaga ketat untuk mengantisipasi kemungkinan serangan. Hingga akhirnya, polisi menetapkan Brigadir Wijaya ditetapkan sebagai tersangka tunggal kasus pembunuhan Briptu Heru.

 Jangan meluas 

Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo mengaku terkejut dengan aksi penyerangan ini. "Saya dapat laporan saat memberi pengarahan di Makostrad. Saya terkejut dan tidak senang. Saya perintahkan Pangdam untuk investigasi. Siapa salah harus dihukum," katanya.

"Saya dapat laporan kalau anak-anak saya mendatangi, tapi tidak baku tembak. Terus terang mungkin ada rangkaian sebelumnya. Dulu ada anggota TNI ditembak mati polisi. Terus polisi sudah mengikuti perkembangan, saya tidak mengerti karena sudah sekian lama baru terjadi," dia menambahkan.

Setelah insiden itu, Pramono segera melakukan komunikasi dengan aparat di OKU. Dia meminta semua anggota TNI di OKU menahan diri. Para prajurit itu dilarang meninggalkan barak. "Kami sudah mengadakan pembicaraan dan saya minta kepada Pangdam, kejadian ini tidak boleh berkembang. Titik," ujar Pramono.

Dia menambahkan, TNI juga langsung mengirim tim investigasi untuk mencari fakta terkait pembakaran Mapolres OKU ini. Tim investigasi ini dipimpin oleh Wakil Asisten Pengamanan KSAD Brigjen Irwansyah. Pramono berjanji akan menghukum anggotanya yang terlibat aksi pembakaran. "Saya tetap, prinsipnya siapa yang salah harus dihukum," katanya.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga meminta para perusak dan pembakar Mapolres OKU ini dihukum. Sebab, mereka telah membakar kantor polisi yang merupakan simbol negara. "Saya minta panglima TNI melakukan pemeriksaan dan kalau melanggar hukum tentu harus diproses hukum, saya kira itu," kata Timur di kantor Wakil Presiden, Jakarta.

Polisi, kata dia, saat ini sedang melakukan investigasi terkait aksi pembakaran ini. Sehingga fakta yang benar terkait pembakaran dan penyerangan dapat diungkap. "Sekali lagi, semuanya sedang dalam proses," ujarnya.

Komisioner Kompolnas, Hamidah Abdurahman, mengatakan aksi brutal itu seharusnya bisa diredam dengan pendekatan persuasif melalui komandan masing-masing institusi. "Apabila koordinasi dua lembaga tersebut bagus, peristiwa penyerbuan tidak akan terjadi," kata Hamidah.

Kompolnas menilai tindakan anggota TNI yang merusak markas dan menusuk anggota Polri dengan tombak sebagai perbuatan yang sangat brutal dan kejam. Kejadian ini, katanya, mencoreng citra TNI dan Polri di mata masyarakat.

Sementara itu Kadiv Humas Polri Irjen Suhardi mengatakan mengatakan, pimpinan Polri dan TNI telah memerintahkan anggotanya di OKU untuk menahan diri. Dia memastikan tindakan ini dilakukan tanpa sepengetahuan atasannya. "Ini saya katakan tidak sepengetahuan komandannya, jadi tidak terencana. Pimpinan berusaha menghalau anak buahnya yang melakukan pengerusakan tapi tidak dihiraukan karena jumlah cukup besar," katanya.

  ● Vivanews  

Prajurit Kostrad Penyelamat Nasabah Bank Dapat Penghargaan Kasad


JAKARTA | Aksi heroik Prada Yayang Puput Suroso Putro menyelamatkan nasabah BCA yang menjadi korban perampokan pada 26 Februari lalu membuahkan hasil. Pangkostrad Letjen TNI M. Munir atas nama Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo dalam acara syukuran Hari Ulang Tahun ke-52 Kostrad memberikan penghargaan kepada Yayang berupa kenaikan pangkat.

Yayang naik pangkat dari prada menjadi pratu. Penghargaan diberikan pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) di Ruang Mandala Markas Komando Kostrad.

Pratu Yayang diberi penghargaan istimewa lantaran secara heroik menyelamatkan korban perampokan nasabah BCA Kota Malang, pada 26 Februari 2013.

“Akibat aksi heroiknya itu, Prada Yayang mendapatkan kenaikan pangkat istimewa karena mengharumkan nama Kostrad dan tindakan heroiknya patut menjadi contoh bagi setiap masyarakat,” kata pembawa acara HUT Kostrad ke 52 di Mako Kostrad.

Pratu Yayang melakukan aksi penyelamatan bersama rekannya Serma Abdul Wahab. Mereka mendengar teriakan dari seorang korban perampokan ketika melintasi pertigaan Bank BCA Pusat Kota Malang.

“Waktu itu kita melihat seorang lelaki berlari dikejar seorang lelaki juga di belakangnya. Dan dugaan kita dialah perampoknya. Karena itu kita kejar sehingga kita kejar-kejaran di tengah jalan raya,” tutur Serma Abdul Wahab.

Dalam kejar-kejaran itu, lanjut dia, Pratu Yayang berhasil melumpuhkan perampok tersebut. Kemudian perampok dibawa ke pinggir jalan untuk diamankan. Dalam aksinya, Pratu Yayang dan Serma Abdul Wahab berhasil merebut Rp 38,5 juta bersama surat-surat milik korban dari tangan pelaku.

“Kita juga menunggu Polisi datang sehingga pelaku tidak di kroyok massa,” ucap Serma Abdul Wahab.

Pratu Yayang mengucapkan terima kasihnya kepada kesatuan TNI yang telah memberikan kenaikan pangkat istimewa. Dia berharap aksi heroik semacam ini bisa memotivasi masyarakat untuk ikut bahu-membahu menolong sesama.

“Harapan saya, ini bisa memotivasi semuanya agar banyak membantu sesama masyarakat,” ungkap Pratu Yayang yang lahir di Lamongan, 29 Januari 1992 ini.

(dispenad/sir)

  ● Poskota  

Tinggalkan Berlin Menuju Budapest, Pesawat SBY Dikawal Jet Tempur Jerman

Berlin | Setelah tiga hari melakukan kunjungan kenegaraan dan kerja di Berlin, Jerman, Presiden SBY terbang menuju Budapest, Hungaria untuk melanjutkan lawatannya.

Dalam penerbangannya, pesawat kepresidenan Airbus 330-300 dikawal oleh 2 Jet tempur milik Jerman. Pesawat kepresidenan take off dari Bandara Internasional Tegel, pukul 09.00 waktu Berlin atau pukul 15.00 WIB, Rabu (6/3/2013).

Setelah kurang lebih 15 menit mengudara, 2 pesawat jet tempur Jerman tipe Euro Fighter mengawal pesawat kepresidenan dari sisi kanan dan kiri.

Hanya sekitar 20 menit 2 pesawat jet tempur tersebut mengapit pesawat kepresidenan. Setelah melewati batas udara Jerman, 2 pesawat jet tempur tersebut meninggalkan pesawat kepresidenan.

Peristiwa ini menarik perhatian para rombongan yang ikut dalam pesawat kepresidenan. Mereka langsung mendokumentasikan momen tersebut.

Pengawalan yang disebut VVIP Escort ini merupakan prosedur tetap dari pihak militer Jerman bagi setiap kepala negara yang meninggalkan wilayah udara Jerman. Perjalanan dari Berlin menuju Budapest ditempuh dengan waktu 1,5 jam.

Presiden SBY melakukan kunjungan kenegaraan dan kerja ke Berlin, Jerman sejak 3-6 Maret 2013. Sementara itu pada 6-8 Maret Presiden SBY bersama para delegasi berada di Budapest, Hungaria dalam rangkaian kunjungan yang sama.(mpr/fdn)

  ● Detik