Minggu, 27 April 2014

Militer dan Kepolisian Berbeda Doktrin Penanggulangan Teror

Pemerintah menempatkan pasukan anti teror milik TNI berada di belakang Polri Di negara negara demokratis pada umumnya penangangan teroris yang terjadi di dalam negeri dilakukan oleh unsur-unsur non militer seperti kepolisian yang dibantu departemen terkait. Karena memang rata-rata tindak terorisme lebih didekatkan ke unsur pidana. Sama halnya negara kita, terorisme berdasarkan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme, oleh karenanya lembaga yang dianggap berwenang menangani hal ini adalah Polri. Tetapi karena terorisme juga tidak melulu membawa dampak korban sipil yang tidak berdosa saja, amat mungkin keamanan nasional juga menjadi taruhannya, banyak negara juga menyertakan militernya untuk berperan aktif dalam penanggulangan terorisme. Oleh karena banyak negara yang mengantisipasi hal ini dengan membentuk satuan anti teror yang fleksibel yang berbasiskan kepolisian namun mempunyai kemampuan seperti dimiliki militer yang biasa disebut sebagai paramiliter.

Contohnya Perancis memiliki Groupe d’Internvention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) dan Jerman dengan Grenzschulzgruppe (GSG-9). GIGN meski dalam struktur organisasinya dibawah militer, tetapi dalam beroperasi menggunakan aturan pada umumnya kepolisian. Sedangkan GSG-9 jelas satuan ini berada di bawa kepolisian federal Jerman. Namun, negara seperti Inggris menggunakan militernya seperti SAS (Special Air Service) untuk menangani terorisme tetapi jelas tidak berdiri sendiri tapi “in conjunction with” pihak kepolisian. Jadi memang tampaknya institusi non-militer, atau tidak purely military yang digerakkan duluan untuk penanggulangan teror yang terjadi.

Lalu dimanakah militer negeri kita ditempatkan dalam upaya penanggulangan terorisme? Pemerintah kita tampak lebih cenderung menempatkan pasukan anti teror milik TNI berada di belakang Polri seperti yang tampak saat ini. Densus 88 menjadi leading sector dalam operasi penanggulangan tindak terorisme di negeri ini. Densus 88 sendiri lebih mirip seperti GIGN dan GSG-9 yang dicontohkan di atas. Berbasis kepolisian dan dilatih serta dilengkapi untuk mampu melakukan close quarters battle (CQB), atau pertempuran jarak dekat melawan teroris bersenjata. Ada catatan saya dalam hal ini. Dalam latihan gabungan TNI-Polri yang pernah saya ikuti, dua doktrin yang berbeda dijadikan satu menangani suatu kasus terorisme bersama-sama dengan beban tanggungjawab yang dipikul sama mempunyai kelemahan. Lalu dimana letak kelemahannya? Militer dan kepolisian di manapun di dunia diciptakan berbeda doktrinnya. Militer adalah instrumen kekerasan milik negara yang diberi otoritas untuk menggunakan senjata dalam mempertahankan negara dari serangan militer negara lain. Itu adalah hakekat universal, tapi tentu saja dalam perkembangannya militer digunakan bukan melulu untuk mengatasi agresi militer negara lain. Mengatasi bencana dan penanggulangan terorisme adalah bagian dari tugas yang juga umum dilakukan militer dimanapun di dunia. Sedangkan kepolisian pada umumnya didefinisikan bebas sebagai institusi penegakan hukum, melindungi masyarakat di dalamnya serta menciptakan ketertiban. Namun, juga dipersenjatai, tapi jelas senjata ini adalah dalam rangka menegakkan hukum itu sendiri.

Dengan doktrin demikian maka penggerakan satuan penanggulangan teror TNI adalah apabila derajat ancamannya sudah sedemikian serius yang membahayakan keamanan nasional secara umum. Oleh karena amat mungkin kelompok teroris yang melawan dipastikan berakhir dengan kematian. Sebaliknya satuan anti teror milik Polri diharapkan lebih ditujukan untuk melumpuhkan daripada mematikan personil teroris. Satuan Gultor milik TNI dibekali senjata utama sub-machine gun seperti Hk MP-5 kaliber 9mm untuk keperluan close quarters battle (CQB). Sedangkan Densus 88 saat ini menggunakan senjata M4A1, assault rifle sebagai kelengkapan utama disamping pistol semi otomatik 9mm. Kaliber senapan serbu M4A1 ini 5,56 mm jelas tidak masuk katagori sub-machine gun. Dalam hal daya bunuh M4A1 lebih besar dari pada Hk MP5. Ini adalah terbalik, seharusnya satuan gultor Polri menggunakan sub-machine gun sedangkan TNI bisa menggunakan sub-machine gun dan assault rifle. Tergantung dengan jenis operasi yang dilakukan. Menggunakan sub-machine gun apabila satuan Gultor TNI dioperasikan untuk pembebasan sandera. Sub machine gun yang berkaliber 9 mm ini pada umumnya tidak akan menembus tubuh sasaran sehingga tidak membahayakan orang yang ada di baliknya. Dengan demikian kemungkinan kematian jiwa karena ketidak sengajaan dapat diminimalisir. Dalam operasi pembebasan sandera, keselamatan sandera adalah prioritas tertinggi yang harus dicapai oleh satuan penindaknya.

Perbedaan doktrin ini juga yang mendasari satuan penanggulangan teror yang berbasis kepolisian dilatih bukan untuk membunuh tetapi melumpuhkan. Contoh pasukan khusus anti teror milik Perancis, GIGN dilatih untuk menembak dengan senjata utama sub machine gun dengan sasaran di bahu untuk melumpuhkan sasaran teroris. Tujuannya memang diharapkan para begundal teroris ini masih hidup dan dapat diseret ke pengadilan. Kalau akhirnya dijatuhi hukuman mati pelakunya itu berdasarkan keputusan pengadilan. Sebaliknya satuan Gultor TNI dilatih untuk mematikan. Oleh karena mereka di latih untuk menggunakan senjatanya menembak di kepala, dengan cara double tap (menembak cepat dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati.

Jadi dalam konteks penanggulangan teror di negeri kita memang tampak ada ironi dalam kasus ini, TNI menggunakan standar submachine gun untuk CQB sedangkan Polri malah menggunakan assault rifle. Jadi semua tersangka teroris sudah bisa dipastikan mati secara extra judicial. Di luar keputusan pengadilan. Ini jelas tidak sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU yang menyebutkan terorisme sebagai tindak pidana, yang semestinya para teroris dilumpuhkan kerena kesaksiannya diperlukan di pengadilan.
Mekanisme Penggerakan Militer yang DiharapkanLalu bagaimana mekanisme hubungan antara militer dan Polri yang diharapkan dalam latihan gabungan anti teror yang baru saja berlalu? Pengalaman saya pada saat membawa Sat-81 Gultor Kopassus beberapa tahun lalu (mudah-mudahan tidak sama dengan mekanisme latihan yang baru lalu), semua unit anti teror (Sat-81 Kopassus, Den Bravo-90, Den Jaka dan Brimob/Gegana, Densus 88 belum ada) diberi sasaran yang berbeda dalam suatu kurun waktu yang sama yang Gedung DPR-RI Senayan disimulasikan sedang dikuasai kelompok teroris. Artinya semua satuan penanggulangan teror baik milik TNI maupun Polri mempunyai level yang sama dalam melakukan tugasnya. Tidak ada mekanisme penyerahan kewenangan penindakan dari kepolisian ke militer.

Latihan di masa lalu tiap satuan anti teror TNI dan Polri di beri sasaran masing masing. Setelah tiap satuan selesai melaksanakan tugasnya yang ditandai dengan terbunuh dan tertangkapnya teroris maka hasilnya dilaporkan ke komando yang lebih tinggi dalam struktur manajemen krisis. Berbeda secara mekanisme, seperti contoh di Inggris, tanggunjawab penanggulangan teror dalam negeri pada umumnya tetap di pundak kepolisian. SAS digerakkan apabila memang kapasitas kepolisian dipandang tidak bisa mengatasi situasi yang terjadi. Artinya level SAS lebih tinggi dari kepolisian dalam konteks kemampuan penindakan terorisme, namun kepolisian berdasar UU lebih berwenang. Terjadi serah terima kewenangan dalam hal ini. Setelah melakukan penindakan SAS menyerahkan kewenangannya kembali di pihak kepolisian. Sampai bertemu lagi di pengadilan.

Disinilah diharapkan latihan yang diadakan tampak mengatur mekanisme penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri kepada TNI, dan setelah selesai diserahkan kembali ke tangan Polri. Sehingga mekanisme ini sejalan dengan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme yang memberikan kewenangan Polri dalam upaya penanggulangan terorisme di tanah air. Mekanisme ini sekaligus menampakkan bahwa kemampuan penindakan terorisme TNI mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding satuan milik Polri.

Penanganan terorisme dalam negeri di USA juga bukan langsung di pundak militer, tetapi di era kini lebih ke Homeland Security dan dinas federal FBI yang memang mempunyai unit-unit anti teror. Militernya digerakkan di luar negeri untuk menggebuk terrorist. Namun dalam kondisi tertentu militer juga dapat digerakkan untuk menangani terorisme di dalam negeri seperti terorisme yang terkait dengan Nubika (nuklir, biologi dan kimia), dimana militer mempunyai alat, skill dan personel yang lebih lengkap dibanding institusi lain. Dengan demikian militer ditempatkan sebagai institusi yang digerakkan sebagai upaya terakhir terakhir (last resort) atau karena pertimbangan derajat ancaman yang pada akhirnya harus ditangani oleh militer apabila terjadi di dalam negeri. Tetapi penggerakan militer tetap dengan mekanisme menyerahkan tugas dan kewenangan dari tangan institusi non militer seperti kepolisian ke militer.

Mengapa demikian? Karena rata-rata negara demokratik menggolongkan tindakan terorisme di dalam negeri adalah sebagai tindak pidana. Oleh karena kepolisian lebih tepat menangani. Di negeri kita jelas menyatakan terorisme sebagai tindak pidana, dengan demikian satuan penanggulangan teror milik TNI ditempatkan berada di belakang Polri dalam posisi siap membantu kapan diperlukan. Latihan yang baru lalu mudah-mudahan sudah mengambarkan penyerahan kewenangan penindakan dari Polri ke TNI.

TNI sebagai the last resort dalam penanggulangan teror mengandung konsekwensi untuk dilengkapi dengan baik. Asumsinya adalah sebagai pamungkas manakala diperlukan harus berhasil. Oleh karena tidak semestinya dalam era kini ada yang masih berpikir kalau TNI tidak diberiperan dalam upaya penanggulangan teror. Karena hal ini hanya masalah waktu dan kesempatan. Anggapan ini seharusnya tidak ada apabila satuan anti teror TNI juga dilengkapi dengan alat, tingkat ketrampilan, dan personel yang lebih baik dari satuan sejenis milik Polri. Mudah-mudahan situasi saat ini demikian dan bukan sebaliknya justru alat milik TNI amat tertinggal dibanding milik rekan Polri. Pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk memperhatikan isu ini.
Penutup Hal yang lebih penting lagi tidak perlu ada diskusi mana yang lebih tepat menangani militer atau kepolisian hingga seolah ada “rebutan” pelaksanaan tugas. Apabila kita mengetahui posisi masing masing tampaknya kita bisa saling menyiapkan dari menghadapi setiap kemungkinan ancaman yang terkait dengan terorisme. Satuan Gultor TNI akan digerakkan manakala derajat ancaman semakin meningkat dan berada di luar kemampuan satuan anti teror Polri untuk menangani. Mudah-mudahan pimpinan kita juga tidak mengambil “middle route,” antara tugas militer atau kepolisian dalam penindakan terorisme dengan digelarnya latihan bersama yang justru malah mengaburkan tingkat kewenangan dan kemampuan ke dua institusi yang berlatih bersama. Tapi sudah harus jelas memberikan batasan kemampuan antara TNI dan Polri. Latihan gabungan ini seyogjanya bertujuan untuk melatihkan mekanisme, dan prosedur penanggulangannya.

Bukan seperti di masa lalu yang lebih cenderung menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI dan Polri kompak dalam pemberantasan terorisme. Saat ini yang dibutuhkan adalah mekanisme yang sesuai dengan aturan hukum dan perundangan yang sudah efektif. Militer membantu tugas Polri dalam penanggulangan terorisme manakala Polri mempunyai keterbatasan. Apabila belum terakomodasi dalam peraturan maka perlu dibuat aturannya tentang kapan waktu penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri ke TNI. Sehingga akan tampak batasan Polri dan kemampuan TNI dalam penanggulangan terorisme yang terjadi di negeri kita. Dengan demikian komentar orang seperti Neta S. Pane tidak perlu membuat dongkol kita semua, tetapi dijadikan sebagai bagian dari materi evaluasi latihan yang akan datang.

Oleh: Kol. Inf Joko Putranto MSc.

  JKGR  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.