Sabtu, 30 Agustus 2014

Mengakhiri Ketegangan RI dan Australia Soal Penyadapan

Lewat perjanjian khusus, RI ingin Australia jangan lagi menyadap. Presiden SBY menyaksikan penandatanganan Kode Perilaku RI-Australia yang dilakukan Menlu Marty Natalegawa (kanan) dan Menlu Australia Julie Bishop (kiri) di Nusa Dua, Bali, Kamis (28/8/2014)

Setelah sempat memanas gara-gara terbongkarnya skandal penyadapan Australia atas para petinggi Indonesia November tahun lalu, hubungan kedua negara berangsur pulih. Di Pulau Dewata, 28 Agustus 2014, Australia bersedia tandatangani suatu perjanjian khusus seperti yang selama ini diminta Indonesia.

Nama resmi perjanjian itu adalah Tata Perilaku (Code of Conduct/CoC) dalam rangka Implementasi Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan Kedua Negara. Namun, kalangan media massa Australia dan Indonesia lebih suka menyebutnya Tata Perilaku soal Penyadapan.

Di atas kertas perjanjian itu, masing-masing pihak bersepakat bahwa, sebagai dua negara yang sudah lama bersahabat, tidak etis kalau sampai harus menyadap satu sama lain. Bila ingin minta informasi, tinggal tanya dan berkoordinasi saja dengan lembaga-lembaga terkait dari kedua negara.

Indonesia dan Australia masing-masing diwakili menteri luar negeri masing-masing, yakni Marty Natalegawa dan Julie Bishop. Penekenan CoC itu juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu pejabat Indonesia yang menjadi "korban" penyadapan badan intelijen Australia, Defence Signals Directorate (DSD).

Marty pun mengaku lega. Sebab, proses enam langkah (six road maps) yang diajukan Presiden SBY sebagai prasyarat pemulihan hubungan kedua negara sudah sampai di langkah keempat.

Apa saja isi CoC itu? Marty menjawab ada dua poin penting.

Pertama, Indonesia dan Australia tidak akan menggunakan setiap sumber daya intelijen mereka, termasuk kapasitas penyadapan atau sumber-sumber lain yang dapat merugikan kepentingan dari kedua pihak.

Kedua, Indonesia dan Australia akan mendorong kerja sama intelijen antarlembaga dan badan-badan relevan sesuai dengan hukum dan peraturan nasional masing-masing.

"Untuk melaksanakan hal tersebut, para kepala badan intelijen kedua negara akan bertemu dan berkonsultasi," kata Marty. Dengan kode perilaku itu, Marty bisa memastikan, kedua negara tidak akan membiarkan skandal penyadapan kembali terulang.

Di sisi lain, dia juga yakin hubungan Indonesia dan Australia akan kembali ke tatanan yang positif seperti sebelumnya. "Pemulihan kerja sama intelijen dan komunikasi antar angkatan bersenjata kedua negara akan kembali pulih," imbuh Marty.

Hal ini diamini Menlu Australia Julie Bishop. Australia dan Indonesia sepakat untuk meningkatkan kerja sama di bidang intelijen setelah kedua negara meneken Kode Perilaku itu. Salah satu realisasi meningkatnya kerja sama di bidang intelijen itu adalah, pemimpin badan intelijen kedua negara sepakat melakukan kontak secara reguler.

"Kontak ini sangat penting untuk bekerja sama, meningkatkan, dan menjawab tantangan serta isu keamanan di negara kami, kawasan Asia dan dunia," kata Bishop.

Dia menambahkan, salah satu ancaman yang kini tengah melanda adalah paham ekstrimis. yang tumbuh di negara asal. Para jihadis ini kemudian berangkat untuk berperang dengan kelompok militan di Irak dan Suriah. Lalu, mereka kembali ke negara asal dengan paham radikal. "Kami menantikan kerja sama yang erat dan menguntungkan untuk mencapai hal tersebut," imbuh dia.

Dengan adanya peningkatan kerja sama di bidang intelijen itu, Indonesia pun yakin bahwa pengumpulan informasi di luar koridor, seperti penyadapan, sudah tidak lagi diperlukan. Untuk itu, Marty memastikan bahwa kode perilaku itu lebih dari sekadar dokumen.

Dengan adanya CoC, imbuhnya, komunikasi dua negara kembali seperti sedia kala. Selain itu, kerja sama di bidang pertahanan dan angkatan bersenjata seperti patroli perbatasan bersama dan latihan bersama akan dipulihkan. Namun, Marty menambahkan tidak ada waktu khusus kapan kedua aktivitas itu berjalan normal.

CoC merupakan syarat sebagai perwujudan six road maps yang dituntut oleh Presiden SBY, setelah pada akhir tahun lalu menjadi korban penyadapan badan intelijen Australia (DSD). Informasi itu terkuak di media Australia yang mengutip bocoran dokumen intelijen milik Edward J Snowden.

Usai CoC diteken, maka masih tersisa dua langkah lagi yaitu pembuktian CoC sungguh dipenuhi dan dijalankan. Sementara, langkah terakhir. Dua langkah itu adalah kedua negara memastikan bahwa kode perilaku ini dipatuhi. Terakhir, kerja sama tiga bidang yang sempat dipetieskan, akan kembali di buka.

Adapun ketiga bidang kerja sama itu adalah saling tukar-menukar informasi intelijen, kerja sama polisi, dan patroli gabungan di perbatasan laut untuk mencegah manusia perahu.

 Tak Cukup 

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana memiliki pandangan lain mengenai kode perilaku dua negara bertetangga itu. Dia menilai penyadapan tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan CoC.

Jika memang kesal dengan kelakuan Australia, Pemerintah Indonesia lebih baik mengusir pejabat diplomat Negeri Kanguru. Gaya yang dipilih SBY untuk menuntaskan skandal ini, ujar Hikmahanto, mengadopsi gaya orang Jawa yang ingin melakukan penanganan secara pelan-pelan.

"Yang namanya intelijen suatu negara, di satu waktu tertentu, akan melakukan penyadapan untuk kepentingan tertentu. Penyadapan itu lazim dilakukan oleh suatu negara. Yang tidak lazim itu jika terbongkar," imbuh pria yang pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum UI itu. Oleh sebab itu, Hikmahanto tidak yakin, Australia akan betul-betul menghentikan aksi penyadapannya dengan hanya CoC itu.

Selain itu, Hikmahanto turut menyebut sikap marah Presiden SBY atas skandal penyadapan Australia, lebih didasari kemarahan personal dan bukan mengatasnamakan negara.

Sebab, aksi penyadapan sudah pernah dilakukan Australia, sebelumnya. Ketika mantan kontraktor Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA) Edward J Snowden mengungkap di media massa, soal adanya ruang khusus di gedung Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan yang digunakan untuk menyadap.

"Dia baru marah, ketika namanya dan Ibu Ani Yudhoyono masuk ke dalam daftar penyadapan. Masalah ini dijadikan personal matters," kata Hikmahanto.

Hikmahanto juga menyebut, Pemerintah Indonesia tidak bisa hanya menimpakan kesalahan dalam skandal penyadapan kepada Australia semata. Karena, bila diingat kembali ke belakang, aksi penyadapan itu, dilakukan atas permintaan Amerika Serikat. "Seharusnya Indonesia, juga berani marah ke AS. Jangan hanya ke Australia saja," kata dia.

 Skandal penyadapan 

November 2013, Indonesia berang. Gara-garanya Australia ketahuan telah melakukan aksi mata-mata dan membangun jejaring spionase mereka di Tanah Air, melalui kantor kedutaan besar mereka di Jakarta. Hal itu justru diketahui Indonesia dari media massa Australia, The Sydney Morning Herald.

Bahkan media Australia lainnya, Fairfax, menyatakan pos-pos diplomatik Australia yang tersebar di Asia mempunyai fasilitas untuk mencegat lalu lintas data dan panggilan telepon dari pejabat-pejabat penting di negara-negara di kawasan ini.

Belum selesai dengan masalah ini, kekesalan Jakarta atas Canberra bertambah setelah muncul laporan terbaru dari dua media yang kerap memberitakan bocoran Snowden, The Guardian dan Sydney Morning Herald. Muncul kabar bahwa telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para menterinya, bahkan sampai Ibu Negara Ani Yudhoyono pun, pernah disadap intelijen Australia.

Jakarta makin marah. Sebagai reaksi atas kabar penyadapan telepon itu, pemerintah RI memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, selama waktu yang tidak ditentukan.

Penarikan dubesnya dari Australia ini bukan kali pertama dilakukan pemerintah Indonesia. Sebelum masalah penyadapan ini, pada Maret 2006 pun Pemerintah Indonesia menarik dubesnya dari Australia. Pemulangan dubes RI saat itu untuk memprotes keputusan Australia memberikan visa kepada 42 pencari suaka asal Papua.

"Ini merupakan perbuatan yang tidak bersahabat dan berdampak serius bagi hubungan kedua negara," kata Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa saat mengumumkan pemulangan Dubes Nadjib dari Australia, Senin 18 November 2013.

The Guardian dan The Sydney Morning Herald menjelaskan cukup gamblang skandal penyadapan telepon SBY dan para pejabatnya oleh Australia.

Suatu hari pada bulan Agustus 2009, ada panggilan telepon dari Thailand yang masuk ke ponsel E90-1 milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panggilan itu dari nomor tak dikenal. Badan Intelijen Australia bersiap menjalankan misinya: mencegat dan menyadap panggilan telepon itu. Sayang perbincangan telepon itu tak berlangsung lama. DSD tak berhasil memenuhi tugasnya.

“Informasi lebih lanjut saat ini nihil (tak memenuhi batas waktu – perbincangan hanya berlangsung satu menit,” demikian catatan yang tertulis di bagian bawah slide presentasi berjudul Indonesian President Voice Intercept (August ’09) milik Departemen Pertahanan Australia dan DSD. Kata-kata "Top Secret" tercantum di bagian atas slide berformat PowerPoint itu.

Itulah salah satu dokumen yang dibocorkan Snowden dan dipublikasikan luas oleh Guardian bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald, Senin 18 November 2013. Penyadapan semacam ini dilakukan Australia sejak teknologi 3G masuk ke Asia.

Bukan hanya Presiden SBY dan Ibu Negara Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono saja yang disadap. Ada delapan pejabat RI lainnya, yakni Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.

Kesepuluh nama orang penting di RI itu terpampang berurutan dalam slide berjudul IA Leadership Targets + Handsets. Di samping nama-nama mereka, tercantum pula jenis ponsel yang mereka gunakan. Presiden SBY, Ani Yudhoyono, Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan Sofyan Djalil pada tahun 2009 sama-sama memakai ponsel Nokia E90-1.

Sementara Boediono dan Dino Patti Djalal menggunakan BlackBerry Bold 9000, Jusuf Kalla menggunakan Samsung SGH-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71-1, dan Widodo AS menggunakan Nokia E66-1.

Satu hal jelas, seluruh ponsel itu memiliki teknologi 3G.(ren)


  ★ Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.