Jumat, 01 Agustus 2014

[World Article] Dari Genosida Hingga Kawin Paksa

Dua bekas pemimpin Khmer Merah menjalani sidang kedua dalam pengadilan yang didukung PBB di Kamboja, dan menghadapi sejumlah dakwaan termasuk genosida orang Vietnam dan etnik Muslim, kawin paksa dan pemerkosaan. Kasus rumit atas dua tokoh rezim yang hingga kini masih hidup itu dipecah dalam sejumlah pengadilan-pengadilan kecil, yang awalnya difokuskan pada kasus pemindahan paksa rakyat ke kamp-kamp kerja paksa di desa serta sejumlah kejahatan melawan kemanusiaan.

Pengadilan pertama atas “Kakak Nomor Dua” Nuon Chea, 88, dan bekas kepala pemerintahan Khieu Samphan, 83, telah digelar sejak tahun lalu, dengan vonis – kemungkinan penjara – akan diumumkan pada 7 Agustus.

Pada sesi pembukaan pengadilan kedua, hakim Nil Nonn membacakan tuduhan atas kedua terdakwa, termasuk diantaranya melakukan genosida serta kejahatan kemanusiaan lainnya, dalam pengadilan yang disaksikan langsung lebih dari 300 orang.

Nuon Chea tidak hadir karena alasan kesehatan, sementara Khieu Samphan duduk di pengadilan di samping tim pengacaranya. Kedua tokoh Khmer Merah itu menolak semua dakwaan.

Anne Heindel, penasihat hukum Documentation Center of Cambodia yang melakukan riset mengenai sejarah berdarah negeri itu, mengatakan pengadilan kedua ini ”sangat penting bagi para korban selamat atau penyintas.”

“Subyek persidangan pertama cukup terbatas, mendiskusikan hanya peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi ketika atau sesaat setelah Khmer Merah mengambil kekuasaan.

“(Pengadilan baru ini) focus pada beberapa kejahatan yang terjadi setelah Khmer Merah bercokol dan melaksanakan rencana lama untuk mengubah masyarakat Kamboja, yang hingga kini tak satupun dianggap bertanggungjawab,” kata dia.

Pembunuhan massal saat itu diperkirakan menewaskan 100.000 hingga 500.000 etnik Muslim Cina, Cham, dan 20.000 orang Vietnam yang menjadi dasar tuduhan genosida atas Nuon Chea dan Khieu Samphan.

Sebelum dakwaan-dakwaan ini didaftarkan, perlakuan terhadap kelompok minoritas Muslim dan komunitas Vietnam jarang didiskusikan.

Kob Tiyum, penyintas berumur 65 tahun dari suku Chum yang selamat dari rezim Khmer Merah 1975-1979 , mengatakan pengadilan itu akan “menjadi pengakuan atas penderitaan kami”.

Ia kehilangan dua anak, ayahnya serta dua saudara laki-lakinya yang mati kelapan di kamp kerja paksa.

“Khmer Merah membunuh Chams karena mereka ingin menghilangkan ras itu. Mereka tidak memperbolehkan kami bicara bahasa Cham atau berdoa,“ kata dia setelah menghadiri sidang.

 Kawin Paksa 

Nuon Chea dan Khieu Samphan juga menghadapi rangkaian dakwaan telah menyebabkan kematian hingga dua juta orang akibat kelaparan, kelebihan beban kerja atau eksekusi selama rezim berkuasa.

Sebagian besar yang tewas tidak dimasukkan ke dalam dakwaan genosida, yang didefinisikan PBB sebagai “tindakan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah bangsa, etnik, rasial atau kelompok agama“.

“Pengadilan ini sangat penting bagi saya sebagai korban yang kehilangan kedua orang tua di Tuol Sleng," kata penyintas bernama Norng Chan Phal, 45, merujuk pada penjara yang disebut juga S-21, yang terkenal sebagai tempat penyiksaan paling brutal.

“Para kriminal yang melakukan genosida dan membunuh rakyat mereka sendiri harus dihukum serius.“

Dipimpin oleh ”Kakak Nomor Satu” Pol Pot, Khmer Merah berencana mengubah masyarakat Kamboja menjadi masyarakat sosialis petani. Utopia ini antara lain dijalankan dengan membunuh orang terpelajar yang tinggal di perkotaan, atau memaksa mereka pindah menjalani kerja paksa ke desa mengolah pertanian.

Persidangan baru ini juga akan menjadi ajang keadilan bagi ribuan suami dan istri yang dipaksa kawin, yang seringkali dilakukan melalui perayaan massal, sebagai bagian dari metode Khmer Merah untuk menambah populasi angkatan kerja. Tuduhan pemerkosaan itu merujuk kepada pemerkosaan lewat perkawinan paksa.ab/rn (afp,ap,rtr)
Elit Khmer Merah: Ada Pembagian Tanggung Jawab Orang nomor dua Khmer Merah mengaku untuk pertama kalinya pada Kamis (30/05) bahwa ada pembagian tanggungjawab di dalam rezim yang ketika berkuasa menyebabkan kematian hampir dua juta orang pada akhir `70 an.

“Saya tidak sedang mencoba untuk menghindari tanggung jawab saya,” kata Nuon Chea, 86, yang membantah tuduhan kejahatan perang, genosida dan kejahatan atas kemanusiaan, katanya di depan pengadilan Phnom Penh yang digelar atas dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.

“Sebagai seorang pemimpin, saya harus bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi, sebuah bahaya bagi bangsa saya,” kata dia sambil mengungkapkan “belasungkawa paling dalam” kepada para keluarga korban yang bersaksi di persidangan tentang hilangnya orang-orang yang mereka cintai di bawah rezim yang menjalankan eksperimen tentang Marxisme dengan cara brutal.

 Mengaku Tidak Tahu 

Pada saat sama Nuon Chea mengatakan bahwa ia tidak menyadari semua tindakan Khmer Merah karena ia memainkan peran di bagian pendidikan dan propaganda.

“Sementara untuk bagian pemerintahan, saya tidak punya kekuasaan apapun. Jadi tentang apa yang terjadi selama periode Khmer Merah – ada hal-hal yang jelas saya ketahui, tapi untuk hal-hal lain, saya tidak menyadarinya,” tambah dia.

Nuon Chea, adalah pemimpin paling senior yang masih hidup dari era “Killing Fields”, saat ini menghadapi pengadilan bersama-sama bekas kepala pemerintahan Khmer Merah Khieu Samphan, 81, yang juga menolak tuduhan atas kejahatan perang, genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan.

Khieu Samphan di hadapan pengadilan hari Kamis mengatakan bahwa pada saat itu dia tidak menyadari “penderitaan luar biasa” rakyat Kamboja selama pemerintahan Khmer Merah.

Dia juga mengungkapkan “permohonan maaf yang tulus” kepada para korban sambil pada saat bersamaan mencoba memisahkan dirinya dari tindakan yang pernah diambil rezim pada masa lalu.

 Rezim Brutal 

Dipimpin “Saudara Nomor Satu” Pol Pot, yang mati pada tahun 1998, rezim Khmer Merah yang berkuasa sejak 1975-1979 “menghapus” hampir seperempat populasi Kamboja melalui praktek pembunuhan dan kerja paksa, serta mengakibatkan kelaparan yang membuat hampir dua juta orang tewas pada masa itu, demi menegakkan utopia tentang sebuah Negara agraris.

Salah satu pendiri rezim brutal ini, Ieng Sary mati pada Maret lalu di usia 87 tahun, lolos dari hukuman pengadilan atas perannya dalam rezim teror yang ingin menciptakan hanya satu kelas dalam masyarakat yakni kelas petani, dengan membunuh kelas menengah dan memaksa mereka yang tinggal di kota untuk pindah menjalani kerja paksa ke desa.ab/ek (afp/ap/dpa)

  dw.de  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.