Senin, 15 September 2014

Under Licensed Country : Makelar Teknologi ≠ Transfer Teknologi

Under Licensed Country dan Karoseri Teknologi AsingJosaphat Tetuko Sri Sumantyo {kiri}

Selama menjadi peneliti BPPT dan TNI-AD di Indonesia pada tahun 1989-1999 dan peneliti di Chiba University & ISAS JAXA 2002-sekarang, setiap tahun lebih dari enam kali saya berkunjung ke instansi penelitian dan pendidikan Indonesia, selain untuk mengunjungi mantan mahasiswa saya yang telah banyak kembali ke instansi pemerintah dan swasta di Indonesia. Biasanya juga untuk melakukan ground survey penelitian saya mengenai perubahan lingkungan Indonesia dan pengamatan menggunakan satelit dan peta-peta kuno saya, serta mengumpulkan naskah-naskah lama Indonesia. Setiap terbang dalam negeri Indonesia, saya selalu atur jauh hari untuk mendapatkan posisi kursi dalam pesawat agar mempermudahkan saya melakukan survey perubahaan lingkungan dari dalam pesawat di setiap jalur penerbangan yang sering saya lewati, misalnya jalur pantura Jakarta – Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar dll.

Syukur hingga beberapa tahun yang lalu saya selalu menggunakan dana sendiri untuk kunjungan ke Indonesia, walau akhir-akhir ini mulai banyak instansi yang mau membantu untuk akomodasi agar mempermudah saya berkunjung ke Indonesia, terimakasih atas bantuannya ! Saya juga sering mengajak peneliti dan professor Jepang, Amerika, Taiwan, Korea, Malaysia dll yang saya danai mereka agar bisa ikut berkontribusi untuk memajukan pendidikan dan penelitian Indonesia. Walau sering saya menemukan pengalaman lucu, dimana rekan-rekan Indonesia mengira saya yang dibayari oleh orang asing, sehingga mereka terpusat menjamu orang asing dan melupakan saya, maklum juga itu adalah salah satu etika buruk orang Indonesia, bahkan orang terdidikpun selama ini. Saya perhatikan banyak rekan Indonesia secara psikologi keilmuan merasa di bawah orang asing, sehingga memberikan penghormatan yang berlebihan dan sebaliknya tidak dapat menghargai kemampuan sendiri dan orang Indonesia lainnya.

Pada saat berada di instansi penelitian, pertahanan dan keamanan dll saya perhatikan adanya kebanggaan akan produk asing. Sehingga pada saat saya tanyakan apa produk atau usaha Anda untuk meningkatkan mutu, efisiensi, keakuratan pekerjaan Anda ? Semua hampir tidak bisa menjawab. Bila kita tidak bisa menjawab, lalu selama ini apa yang bisa kita kontribusikan kepada masyarakat dari hasil pekerjaan kita sehari-hari ? Sebenarnya kita, orang Indonesia berangkat setiap pagi dan pulang sore untuk bekerja bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan yang bisa mencukupi kehidupan sehari-hari diri sendiri dan keluarga, tetapi kita bekerja keras untuk masyarakat, negara dan dunia. Pada saat kita bekerja agar kita dapat memberikan yang terbaik untuk dunia, maka kita perlu perlengkapan yang baik, bermutu, berefisien tinggi, harga murah, akurat hingga ‘cantik’ atau cocok dan mudah dipakai sehari-hari, dari hanya pensil, ballpoint hingga pesawat tempur.

Alat-alat tersebut adalah barang-barang sehari-hari yang ada di sekitar kita hingga perlengkapan tercanggih untuk pertahanan dan keamanan negara. Kita masih sering temukan perlengkapan kecil hingga besar yang berlabelkan made in (buatan) negara asing yang mutunya tidaklah sebagus yang kita harapkan. Seakan negara kita ini adalah laboratorium atau kelinci percobaan bagi negara-negara asing untuk menguji produk-produk mereka. Negara asing sangat beruntung mendapat income besar dari hasil penjualan produk teknologi rendah (low technology) mereka, berupa barang-barang bermutu rendah dan terkadang membahayakan kita. Hasil keuntungan tersebut menjadi pemasukan mereka untuk mengembangkan teknologi yang lebih bagus, dan kita menjadi pasar mereka lagi untuk mendapatkan produk yang lebih mahal. Hasil pemasukan mereka dari penjualan produk di Indonesia dapat menghidupi peneliti-peneliti asing, pada saat peneliti-peneliti kita kekurangan dana dan pendapatan, sehingga sudah menjadi rahasia umum mereka banyak mempunyai pekerjaan kedua ketiga dsb berupa mengajar di beberapa universitas, wiraswasta, jual-beli saham dll. Bila kita beri angket kepada seluruh peneliti kita akan pekerjaan kedua, ketiga dst (side business), bisa kita petakan kondisi sebenarnya kwalitas peneliti kita dan proyeksikan terhadap hasil penelitian selama ini, berikut kontribusinya pada kemajuan negara dan dunia. Walau tidak disalahkan seorang peneliti juga mengajar di universitas lain untuk mendapatkan tambahan pendapatan, tetapi bila seorang peneliti juga merangkap menjadi dosen dibeberapa Universitas, sebenarnya dia telah mengambil lapangan pekerjaan untuk orang lain pula, sehingga lapangan pekerjaan berkurang. Bahkan banyak peneliti lembaga penelitian yang mempunyai jabatan sebagai ketua jurusan atau dekan dll, sehingga pekerjaan yang seharusnya sebagai peneliti tertinggalkan untuk pekerjaan 'administrasi'. Akhirnya yang terkorbankan adalah masyarakat dan negara, karena seharusnya mereka dipekerjakan untuk meneliti, tetapi merangkap pekerjaan yang menjauhkan dari kegiatan penelitian sendiri.

Profesi peneliti memerlukan konsentrasi tersendiri yang berlanjut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sang peneliti sendiri, instansi, masyarakat dan dunia. Profesi peneliti di negara mana saja hampir saya dalam artian berkorban waktu, dana, perasaan dll untuk menghasilkan suatu produk dan pengetahuan yang cocok, bermanfaat, efisien, murah dll sesuai manusia dan lingkungan negaranya, bahkan untuk dunia. Masih banyaknya masyarakat yang silau dan terkagum-kagum akan produk hasil teknologi dan ilmu pengetahuan negara asing, dapat diartikan sebagai masih rendahnya hasil para peneliti dan dukungan serta kepercayaan pemerintah dan masyarakat untuk membuat produk yang cocok untuk kita sendiri.

Seringnya kunjungan ke Indonesia dalam puluhan tahun terakhir, saya sering perhatikan di bungkusan produk-produk di pasar tradisional, super market, toko swalayan, warung dll yang tertuliskan ‘under license …’. Hampir separuh lebih produk yang dikonsumsi masyarakat kita tertera kalimat ini. Sejak merdeka, sudah 69 tahun masihkan kita harus tergantung pada negara lain untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat kita, terutama obat-obatan, makanan kaleng, bungkus kering, sepeda motor, mobil, bahkan pesawat terbang. Walau ada perusahaan mobil, pesawat, kapal dll di Indonesia, kalau kita cermati baik-baik, ternyata mesin, sistem elektronik dll di dalamnya juga under license negara lain, walau saat launching mereka menggembor-gemborkan sebagai produk anak bangsa. Sepertinya ada kesalahan persepsi terhadap 'produk anak bangsa', karena kita sering melihat dari tampilan produk saja, tanpa teliti melihat jeroan produk tsb. Kita menginginkan negara mandiri teknologi dan ilmu pengetahuan, bukan negara pembungkus teknologi asing dengan hanya merakit dan membungkus dengan bodinya saja, kemudian mempromosikan sebagai ‘produk anak bangsa’. Kita bukan 'karoseri teknologi asing'. Jangan salah artikan capaian teknologi bisa dicapai hanya dengan merakit dan membangun bodi mobil, pesawat, kapal dll, dimana didalamnya ternyata komponen produk asing.
Makelar TeknologiJosaphat Laboratory Experimental Large Scale Unmanned Aerial Vehicle (JX-1) for Microwave Sensors experiments. [Josaphat Tetuko Sri Sumantyo's Photos]

Mari kita sadari selama 69 tahun sejak merdeka, bahwa kita sudah membangun sistem 'Makelar Teknologi' raksasa yang mengusai hampir seluruh tatanan departemen dalam pemerintah pusat hingga daerah, serta swasta. Perpanjangan tangan pemerintah hingga swasta asing banyak sekali di Indonesia dan mereka seolah ikut membangun negeri ini. Peneliti Indonesia mendapat posisi dilemma, dimana bila mereka membuat produk baru menggunakan material dalam negeri dan berharga murah akan menjadi pesaing bagi produk asing, sehingga agen-agen dalam pemerintah dan swasta merasa tersaingi, sehingga produk-produk perundanganpun kurang mendukung untuk kegiatan penelitian produk dalam negeri yang dapat membangkitkan semangat para peneliti kita. Tarik ulur profit antara mengembangkan dan memproduksi sendiri dengan hanya mendapatkan komisi sebagai makelar teknologi asing, masih sangat kental di Indonesia. Saat ini kita masih lebih menguntungkan menjadi makelar teknologi dengan mendapatkan komisi dari penjualan produk asing. Sehingga harga barang lebih mahal, karena kita harus menyisipkan komisi bagi banyak pihak, yaitu makelar, orang dalam, perantara dll, bahkan marked up harga merupakan kebiasaan tepatnya budaya bisnis Indonesia dalam pengadaan barang. Sehingga pada saat kita membeli produk asing tersebut dengan harga mahal dapat berarti kita membeli terlalu mahal 'kebodohan’ kita. Hal lucu bila kita menanamkan modal (invest) terus untuk mempertahankan kebodohan kita selama ini, khususnya sejak kemerdekaan. Kalau kita perhatikan, komisi tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan devisa yang mengalir ke luar negeri. Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?

Komisi sebagai perantara memang dapat menghidupi sebagian besar agen-agen atau makelar teknologi di Indonesia. Tetapi mengalirnya devisa karena kita membeli produk asing, kita dapat menghidupi lebih banyak orang di luar negeri. Apakah tidak terpikir selama ini untuk membangun basis-basis teknologi yang dapat mendukung produk-produk yang dibutuhkan oleh orang Indonesia ? Jumlah penduduk 250 juta orang merupakan power atau kekuatan sangat besar sekali yang dapat menggerakkan Indonesia dan dunia. Bahkan kita bisa menguasai dunia ini hingga planet lain dengan memanfaatkan material yang ada di Indonesia sebelum disedot habis ke negara lain untuk membuat produk lain yang akhirnya dijual kembali ke Indonesia dengan harga lebih mahal.

Kita membangun banyak universitas dan lembaga pendidikan selama ini, kita mendidik ratusan juta anak-anak kita dengan memberikan berbagai macam ilmu. Tetapi kalau kita kupas lebih dalam, isi ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita sampaikan kepada mereka, ternyata adalah hasil pemikiran orang asing, baik ilmu eksakta, budaya hingga agama hampir semua 'under licensed' negara asing. Banyak yang bangga setelah menguasainya, bahkan menganggap ini semua yang terbaik untuk kita, tapi kita telah melakukan kesalahan besar di sini dengan tidak memberikan ruang pemikiran untuk pengembangan berdasarkan cara pikir dan alam Indonesia ! Kajian ilmu sosialpun banyak kita dapatkan menggunakan metoda pendekatan pemikiran orang asing. Walau cara pemikiran orang asing semua tidaklah buruk, tetapi mengapa kita tidak memikirkan sendiri dengan alur pikiran, budaya, etika, tata krama dll yang telah kita miliki selama ini ? Teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling cocok, adalah teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan alam Indonesia. Mari kita lebih banyak berdiskusi dan berkreasi untuk membangun teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia berdasarkan pemikiran dan material yang bersumberkan SDA dan SDM Indonesia untuk melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cocok dan nyaman dipakai oleh orang Indonesia. Niscaya suatu saat makelar teknologi kita selama ini dapat membantu kita, tidak hanya menjajakan produk kita di dalam negeri, tetapi bahkan ke luar negeri bersamaan memperkenalkan budaya, etika, tata krama dan kepercayaan asli Indonesia. Semua akan happy atau senang dapat meningkatkan pendapatan atau devisa negara, sehingga kegiatan penelitian dan pendidikanpun dapat terus meningkat !
Operator TeknologiMicrosatelit yang dikembangkan oleh Josaphat Laboratory (JMRSL) dengan nama "GAIA-I" atau "Tanah Air-I" yang akan diluncurkan pada tahun 2017 dengan tujuan misi pengamatan lapisan Ionosfer dengan menggunakan GNSS-RO dan EDTP sensor yang dikembangkan di Josaphat Laboratory. [Josaphat Tetuko Sri Sumantyo's Photos]

Saya pribadi, sejak kecil selalu berusaha berpikir, membuat hingga mengoperasikannya sendiri segala sesuatu. Saat kecil tinggal di dalam Pangkalan Udara TNI-AU yaitu Lanud Sulaiman – Bandung dan Lanud Adisumarmo – Solo, dimana sering membuat mainan sendiri, baik mainan ringan hingga membuat pistol dan bom sendiri. Radio, amplifier, radio amateur, gerobak, terowongan, teropong kapal selam, pesawat aeromodelling dll. Percobaan juga sering dilakukan sendiri atau bersama adik (Frans) dan teman-teman anak kolong sekitar (Tutut dll). Kecelakaan percobaan sering terjadi, termasuk jari telunjuk tangan kananpun hampir putus karena terkena ledakan mesiu pistol di telapak tangan. Banyak hal yang sering membuat repot Ibu dan Bapak saya, bahkan para tetangga, sehingga sering disebut ‘anak aneh’ di dalam komplek dan kampung sekitar.

Setelah menjadi peneliti BPPT, TNI-AD hingga Chiba University & ISAS-JAXA, saya pribadi sering keluar masuk instansi pendidikan dan penelitian dunia, termasuk Indonesia. Nilai kebanggaan peneliti di masing-masing negarapun berbeda terhadap hasil pekerjaan dan produk mereka. Bila berkunjung ke Indonesia, banyak kita temukan peneliti kita yang kebingungan mendapatkan alat ukur ini itu. Sehingga saya sering membantu mereka untuk mendapatkan dan meminjamkan alat ukur, material penelitian, bantuan konsultasi dll. Kurangnya dukungan alat bantu penelitian juga sangat menghambat proses penelitian sendiri. Sehingga saat saya diangkat menjadi Associate Professor di Chiba University, maka pertama kali yang saya bangun adalah perlengkapan penelitian microwave, khususnya radar, pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit sendiri. Syukur saat ini sudah lengkap, bahkan terlengkap di Jepang, sehingga saya tidak perlu pinjam ke instansi lain, sebaliknya banyak peneliti Jepang dan asingpun sering pinjam ke laboratorium saya. Ini semua impian saya saat di Indonesia, khususnya saat menjadi peneliti pada tahun 1989-1999, sayang sekali saat ini malah didukung di luar negeri.

Saya kira banyak peneliti di Indonesia yang mempunyai perasaan dan cita-cita seperti saya, tetapi perhatian dari masyarakat & pemerintah kurang. Kita sadar masyarakat dan pemerintah juga mempunyai pemikiran dan prioritas tersendiri untuk membangun negeri, tetapi kita sudah 69 tahun merdeka, terlalu lama untuk pikun atau melupakan kondisi peneliti kita. Bagaikan badan kita, peneliti adalah otak dalam tubuh kita, bila otak tidak pernah diasah, maka kita akan menjadi pengemis ‘teknologi dan ilmu pengetahuan’ asing terus. Bila kita akumulasikan dana yang mengalir keluar negeri untuk membayar produk-produk yang seharusnya dapat dibuat di Indonesia sebagai hasil penelitian kita, maka seharusnya kita sudah menjadi negara besar di dunia sejak puluhan tahun yll. Jadi sudah saatnya memberikan kesempatan kepada peneliti Indonesia untuk membangun pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran dan usaha manusia dan alam asli Indonesia.

Bila kita perhatikan nilai kebocoran uang negara lewat kejadian-kejadian korupsi selama ini, kita sebenarnya dapat mengembangkan pusat penelitian sangat besar dan disegani dunia, bila menggunakan dana yang dapat mengalir ke para koruptor. Tetapi mengapa bisa terjadi uang negara mengalir ke ‘makelar proyek’ dan ‘makelar administrasi’, pada saat para peneliti kita gigit jari kekurangan dana untuk menghasilkan sesuatu dan memberikan nilai tambah ke SDA dan SDM Indonesia ? Para peneliti bukan bermaksud mengemis untuk mendapatkan fasilitas untuk membuat sesuatu bagi negara dan dunia, tetapi ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan tanpa campur tangan dan bantuan pemerintah dan masyarakat. Kegiatan penelitian bukanlah hal yang patut disayangkan atau buang-buang uang, karena keberhasilan dan kegagalanpun pasti mempunyai banyak nilai berharga. Bahkan banyak hasil dari kegagalan penelitian dapat melahirkan banyak penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat nantinya.

Pada saat berkunjung ke instansi penelitian, pendidikan hingga pertahanan Indonesia. Saya sering temukan banyak peneliti hingga tentara yang bangga mengoperasikan produk asing, seakan mereka menemukan sesuatu yang ‘hilang’ dari negeri ini. Tapi mereka tidak sadar sebenarnya mereka hanyalah ‘operator teknologi’ asing. Sehingga pada saat saya tanyakan sistem kerja, olahan data dan control di dalamnya, data mentah dll, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu cara menjalankan dan outputnya saja. Bila terjadi sesuatu, mereka tidak bisa memperbaiki sendiri. Mereka berusaha lewat makelar teknologi, tetapi makelar teknologi juga tidak men-handling nya, karena mereka hanya perantara dan mengambil komisi saja. Bila minta diperbaiki ke negara produsen, maka biayanya mahal. Sehingga kita banyak dapatkan alat-alat berteknologi tinggi yang mahal saat membelinya, tetapi saat rusak, kita tidak bisa memperbaiki sendiri, dan akhirnya banyak perangkat mahal yang tidak bisa dioperasikan di Indonesia. Bila kita beri angket, milyaran bahkan puluhan triyulan rupiah terbuang karena kita tidak bisa memperbaiki sendiri peralatan tsb dan dalam kondisi mangkrak sekarang. Demikian juga banyak bangunan dan fasilitas yang dibangun dengan bantuan asing dan sekarang tidak terawat karena tidak ada dana untuk memelihara, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan bangun kalau tidak bisa memelihara !

Bila kita perhatikan pula para lulusan akademi dan Universitas kita, hampir setiap tahun jutaan pengangguran diproduksi. Kita berlomba-lomba membangun sekolah dan universitas untuk mengejar keuntungan dari bisnis pendidikan, tetapi tanpa mempertimbangkan outputnya. Departemen atau program studipun tidak mempunyai tanggung jawab untuk mendapatkan pekerjaan bagi para lulusannya. Kita didik dan luluskan mahasiswa, kemudian kita biarkan mereka mencari sendiri pekerjaan, dan lembaga pendidikan lepas tangan terhadap mantan anak didik mereka. Mereka hanya welcome terhadap alumni yang berhasil untuk dimintai sumbangan ini itu. Pertanyaan besar mengapa kita membangun sistem pendidikan yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib peserta didik ? Peserta didik dan keluarga yang mendukung sistem pendidikan pasti mempunyai harapan besar akan proses dan hasil pendidikan, termasuk tanggungjawab mendapatkan pekerjaan bagi lulusannya.

Selama ini kita perhatikan banyak lulusan lembaga pendidikan baik bidang ilmu alam hingga sosial yang akhirnya hanya mengoperasikan produk, sistem dan peralatan asing, sehingga mereka hanya menjadi ‘operator teknologi’ asing. Apakah ini cita-cita kita dan kita cukup bangga dan cocok menggunakan teknologi-teknologi asing ? Sehingga bila ada produk asing, kita sibuk mempromosikan dan memakai teknologi mereka ? Kita cukup puas dengan menghasilkan alumni yang menjadi operator teknologi asing, jual beli hingga management pemasaran produk asing ? Bahkan para tentara kita sendiri banyak yang bangga dengan produk persenjataan asing tanpa mengetahui isi ‘jeroan’nya. Sehingga kalang kabut bila terjadi kerusakan, bahkan peralatan kita bisa mati sebelum dioperasikan untuk perang. Semua adalah hasil dari penelitian asing yang pasti produk yang kita beli dan peroleh sudah ‘modifiedspecification and low technology.

Kita juga terkadang temukan perangkat penelitian titipan asing di instansi penelitian kita, termasuk radar tanpa kita tahu bagaimana cara membuat dan mengoperasikannya, karena sebagian dioperasikan secara remote dari instansi asal di luar negeri. Sehingga data mentah langsung mereka akses, dan para peneliti kita cukup puas dengan hasil tampilan akhir saja, itupun sebagian dari proyek besar asing. Hal ini berbeda bila kita yang pikirkan, buat dan operasikan sendiri, sehingga kita bisa memfilter setiap data yang akan diberikan ke pihak asing. Informasi cuaca, misalnya, kita sendiri yang harus buat perangkatnya, operasikan dan olah data dari mentah hingga tampilannya yang cocok untuk masyarakat dan instansi negara. Segala informasi di dalam negeri ini, harus kita kumpulkan dan olah menggunakan perangkat yang kita buat dan operasikan sendiri, setinggi apapun teknologinya, harus kita buat. Kita harus membangun teknologi yang tertinggi di Indonesia yang dapat menjadi branded product di dunia.

Lembaga pendidikan kita selama ini seharusnya juga berfungsi sebagai lembaga penelitian yang dapat mendukung instansi produksi atau industri, baik negeri maupun swasta yang dapat menambah lapangan pekerjaan baru yang terus berkesinambungan. Kita harus membangun lingkaran sirkulasi positif antara lembaga pendidikan dan industry, dimana lingkaran-lingkaran ini harus kita bangun dalam satu paket-paket tersendiri. Sehingga syarat pembangunan lembaga pendidikan baru harus diikuti dengan jaringan kerjasama dengan perusahaan atau instansi usaha yang memungkinkan untuk menampung para lulusannya nanti. Lembaga pendidikan demikian niscaya akan menjadi favorit bagi calon peserta didik, dan industripun akan tenang dan merasa terjamin atas generasi pegawai barunya yang dapat mendukung kegiatan industrinya. Sehingga kita perlu ubah dari sistem pendidikan yang memproduksi ‘operator teknologi’ menjadi produsen ‘technology maker’ !

Silakan disharing kepada anak, saudara dan kolega Anda ! Terimakasih untuk ikut membangun negeri kita, Indonesia !

Mari kita bangun kepercayaan atas orang dan negeri sendiri, rumah kita bersama, Indonesia !

Salam hangat selalu,
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo
www2.cr.chiba-u.jp/jmrsl/


  Josaphat Tetuko Sri Sumantyo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.