Sabtu, 20 Desember 2014

Dibentuknya Bakamla Menambah Satu Lagi ‘Predator’ Laut

Kapal KPLP yang dikunjungi Presiden Sukarno di tahun 1961 (Foto: Dok Pribadi)

Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang dibentuk oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla dan diumumkan oleh Presiden Joko Widodo saat menghadiri peringatan Hari Nusantara 2014 di Kota Baru, 15/12 lalu, menimbulkan kritikan yang besar tehadap pemerintah dan sistem di negara ini. Salah satunya pengamat maritim Laksda (Purn) Soleman B Ponto yang ditemui beberapa waktu lalu.

“Sebenarnya dengan dibentuknya Bakamla berdasarkan amanat Undang-Undang Kelautan akan menambah satu lagi ‘predator’ di laut,” ujar Ponto dengan lantang.

Kekhawatirannya itu didasarkan dari bunyi dalam klausul pasal yang menyebut pembentukan Bakamla di Undang-Undang Kelautan masih membuka ruang adanya tumpang tindih wewenang. Selama ini terdapat 13 instansi dan semuanya merupakan ‘predator’ di laut.

“Pada pasal 59 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang kelautan ada kalimat ‘Sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional’, ini menegaskan bahwa penegakan kedaulatan dan hukum atas pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat dilakukan oleh satuan lain sepanjang diberi kewenangan oleh undang-undang, misalnya TNI AL berdasarkan Undang-Undang TNI dan Sea and Coast Guard berdasarkan Undang-Undang Pelayaran,” tegasnya.

Menurut mantan Kepala BAIS tahun 2012 ini keberadaan Bakamala itu sudah tidak ada manfaat lagi, karena tugasnya atau penegakan hukum atas pelanggaran Undang-Undang Kelautan ini dapat dilakukan oleh TNI AL dan KPLP.

“Dalam undang-undang ini (Kelautan-red) masih membuka ruang semua instansi untuk menjalankan fungsinya, sedangakan dalam Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan dengan jelas mengenai keselamatan dan keamanan pelayaran hanya ada satu lembaga yaitu Coast Guard,” tandasnya.
Antara KPLP dan Bakamla Laksda (Purn) Soleman B Ponto (Foto: Dok Pribadi)

Dari undang-undang tersebut akhirnya tebangun Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sebagai Coast Guard Indonesia pada tahun 2011. Namun, seiring berjalannya waktu KPLP itu juga tidak berjalan pada semestinya.

“Masalah yang terjadi di kita bukan karena tumpang tindih peraturan tetapi konsistensinya dalam menjalankan peraturan. Kita bisa lihat di Undang-Undang Pelayaran ini bahwa dalam pasal 276 menyebutkan ‘Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab pada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri’, jadi ini yang belum berjalan sampai sekarang,” terangnya.

Sampai dengan saat ini KPLP masih tetap berada dibawah Dirjen Perhubungan Laut dan juga dibawah koordinasi dari Bakorkamla. Di mana seharusnya berdasarkan perintah Undang-Undang Pelayaran, KPLP bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

“Dunia juga sudah mengakui keberadaan KPLP kita sejak tahun 1942 dan kemudian ketika kita merdeka, pemerintah mengambil alih badan ini. Eh, tiba-tiba sekarang pemerintah membentuk lagi Bakamla dibawah Kementerian, tapi itu saya kembalikan lagi kepada seluruh stakeholder untuk memilih antara Bakamla dengan KPLP,” tukasnya.

Lebih jauh, pria asal Sangir ini memamdang karena ruang lingkup yang terbatas dalam Undang-Undang Kelautan ini, maka kewenangan Bakamla tidak dapat melebihi ruang lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukum pembentukannya.

“Mengingat ruang lingkup dari Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang kelautan hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, kolom air, dan permukaan laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau, maka secara otomatis kewenanagan Bakamla tidak dapat melebihi ruang lingkup dasar hukumnya,” tuturnya.

  JMOL  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.