Jumat, 09 Januari 2015

Penyelam Belut

Kisah Penyelam Belut pada Pencarian Air Asia Bagian puing ekor pesawat AirAsia QZ8501 yang difoto oleh BASARNAS di dalam perairan Laut Jawa ditampilkan di Jakarta, 7 Januari 2015. Puing ekor ini ditemukan di kedalaman sekitar 35 meter pada hari ke-11 pencarian. AP/BASARNAS

Memotret alam bawah laut bukan perkara mudah. Penyelam harus bergelut dengan arus yang kencang dan pekatnya air di dasar laut. Sersan Mayor Rudi Hartanto, 47 tahun, menyelami ratusan kilometer perairan Indonesia lebih dari 24 tahun. Tak hanya menyelam, Rudi harus memotret setiap temuan untuk dokumentasi Dinas Penerangan Angkatan Laut Indonesia.

"Saya bisa menyelam laut, dalam cave, atau bangkai kapal, atau tenggelam seperti Air Asia, walaupun visibilitasnya nol," kata Koordinator Kamerawan Kadispen Angkatan Laut Sersan Mayor Rudi Hartanto. Saat tak bertugas memotret evakuasi Air Asia, seperti Kamis siang lalu, Rudi berbagi cerita dengan wartawan di posko Lapangan Udara Iskandar Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Rudi tak pernah gagal mengepakkan kaki kataknya di laut berpasir dan berlumpur. Saat menyelam di perairan berlumpur, Rudi melihat dengan jemari. Penyelam belut meraba penuh konsentrasi. "Saya menyelam bukan di air lagi tapi jadi penyelam belut, menyelam dalam lumpur dengan mata diganti jari," kata penyelam yang tergabung dalam tim Shark 25 ini.

Rudi tak memakai peralatan khusus, hanya peralatan selam pada umumnya. Ia memakai scuba tank, BCD dan regulator, fin, masker, snorkell, switch bell, dive map, dive computer, kamera, dan jam. Terkadang, Rudi harus menggunakan pemberat yang diselipkan pada gespernya. Semakin banyak jumlah pemberat, semakin dalam ia menyelam. Sedangkan alat bantu lain biasa diselipkan di antara dua kaki supaya tak mudah tersangkut. "Kalau pemberatnya seimbang, bisa buoyancy netral. Bisa tenang saat mengambil gambar," ujarnya.

Senjata utamanya yaitu kamera anti-air berupa-rupa. Ia memakai kamera video Sony PD170, dengan housing atau pelindung air equinox HD10, DSLR, dan terkadang GoPro. Peralatan ini mampu dibawa menyelam pada kedalaman hingga 100 meter. Kamera harus diikatkan pada pemberat sebesar 15 kilogram agar bisa tenggelam. "Underwater photographer, kan, berbeda. Sebelum saya main, saya turun dulu. Satu meter tak ada rembesan atau embun, aman," kata lelaki mantan anggota Armada Penyelamatan Bawah Air (Armabar) ini.
Penyelam Belut Air Asia Jumpa Hiu: Assalamualaikum Kepala BASARNAS, F. Henry Bambang Soelistyo, menunjukkan foto ekor AirAsia Flight QZ8501 pada konferensi pers di Jakarta, 7 Januari 2015. Untuk menemukannya digunakan pemindai berupa side scan sonar dan multibeam echo sounder pada area seluas 10 x 6 kilometer. AP/Dita Alangkara

Memotret alam bawah laut bukan perkara mudah. Penyelam harus bergelut dengan arus yang kencang dan pekatnya air di dasar laut. Sersan Mayor Rudi Hartanto, 47 tahun, menyelami ratusan kilometer perairan Indonesia lebih dari 24 tahun. Tak hanya menyelam, Rudi harus memotret setiap temuan untuk dokumentasi Dinas Penerangan Angkatan Laut Indonesia.

Rudi biasa memotret bongkahan kapal atau pesawat karam, dan kondisi dalam tubing. Sebelum memotret, ia berkeliling mengecek kondisi bangkai kapal. Lagi-lagi, jika kapal jatuh sangat dalam dan kondisi air laut keruh atau berlumpur, ia harus menguji kepekaannya lewat jari.

Terkadang, Rudi harus mengeruk pasir dan lumpur di bawah bongkahan untuk mengukur dimensi benda dan tekanan saat karam. "Semua benda yang jatuh di dalam air akan menancap di dasar. Lalu, sedimentasi lumpur atau pasir lama-lama akan menguruk benda," dia menjelaskan. Arus laut bisa menjadi kawan sekaligus musuh baginya. Jika ada arus, benda terus bergerak. Ia kesulitan memotret obyek buruannya.

Sebelum memotret atau merekam video, Rudi mengikat diri pada tali yang dikaitkan ke salah satu bongkahan atau justru ke kapal. "Kalau ada runtuhan, penyelam mundur dengan tali. Jadi saya bisa keluar dalam zero visibility," kata Rudi.

Ia pernah tersesat ke dalam rumah hiu saat menyelam di kedalaman 25 meter di Selat Sunda. Namun, bagi Rudi, hiu adalah kawan. Ia santai melewati kerumunan hiu tanpa diserang. "Hiu di Indonesia sabar-sabar. Kalau kita tidak kaget, dia tak menyerang. Yang penting disapa dulu dengan lembut, 'Assalamualaikum'," ujarnya.

Dalam misi penyelamatan korban dan pesawat Air Asia QZ8501, Rudi memotret beberapa bongkahan ekor pesawat pada kedalaman 30 meter Laut Karimata. Instruktur penyelam TNI AL ini akan menyelam lagi jika alat ROV telah mendeteksi black box di dalam ekor pesawat tersebut. "Penyelam bukan mencari, tetapi menemukan kepastian," kata Rudi.

  ♆
Tempo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.