Sabtu, 11 April 2015

[World] Industri Senjata Amerika Serikat Terancam

Peluru kendali milik Amerika Serikat. [Associated Press]

Militer Amerika Serikat (AS) selama berpuluh-puluh tahun memelihara kedigdayaan melalui keberadaan peluru kendali dan teknologi networked targeting. Namun, kini negara-negara pengekspor baru senjata memiliki tawaran lebih menarik dengan harga bersaing. Hal demikian berpotensi mengancam AS dan melemahkan pengaruh Barat.

Demi memahami kondisi di atas, coba simak industri otomotif global. Hyundai Motors, perusahaan otomotif asal Korea Selatan, menjadi pesaing serius di kancah global melalui penyebarluasan teknologi, buruh murah, dan produk yang bukan terbaik, namun “cukup baik” sehingga relatif murah. Keberhasilan mereka belum nyata pada 2001. Namun, pada 2015, pasar menunjukkan bukti. Produk Hyundai laris. Proses serupa terjadi dalam industri pertahanan dunia.

Berikut beberapa contoh: Sekutu NATO seperti Turki dan Polandia tidak membeli artileri terbaru dari AS atau bahkan Jerman. Mereka melirik Samsung. Perusahaan Korea Selatan lain, Daewoo, merakit kapal pemasok AL Inggris. Korea Aerospace Industries mengekspor jet tempur TA-50 dan FA-50 ke Irak, Indonesia, dan Filipina. F-16 adalah jet tempur termurah AS; pesawat tempur baru Korea, Pakistan, dan India lebih murah 33-50% dari jet tersebut. Jika ingin lebih hemat hingga 67%, A-29 Super Tucano asal Brasil telah memenuhi standar dunia. Pesanan mendadak dari Uni Emirat Arab agaknya menandakan jet jenis itu tak lama lagi akan bertempur di langit Yaman.

Ancaman jangka panjang itu melibatkan penyebaran senjata presisi yang dapat menghantam sasaran apapun, sejauh terpantau alat. Selain ekspor Rusia dan Cina, Turki telah mulai mengekspor peluru kendali baru. Rudal antikapal Mach 3 Brahmos milik India pun memiliki pemandu berbasis GPS supercanggih. Pakistan telah melengkapi armada jet tempur JF-17 dengan rudal pembasmi radar MAR-1.

Kecakapan Amerika dalam melakukan serangan mata-mata berhasil menundukkan Irak dalam dua perang. Kini, militer Barat harus berencana menghadapi versi lain kemampuan itu.

Selain menggoyang industri pertahanan AS, maraknya keberadaan senjata berkualitas lumayan dengan harga bersaing akan menjadi ganjalan bagi diplomasi dan hubungan militer Barat dalam dua hal.

Pertama, sulit melebih-lebihkan nilai atas hubungan personal dengan militer asing yang kerap bermula lewat program pelatihan. Seperti layaknya yang terjadi di Pakistan, Mesir, dan negara lain, perwira menengah militer di kemudian hari kemungkinan dapat menjadi presiden.

Kedua, banjir pilihan di pasar global akan menyulitkan embargo senjata canggih tertentu untuk negara tertentu. Hal tersebut mengurangi pengaruh Barat di seluruh dunia. Pada dasawarsa 1990-an, suara sumbang Barat dapat memberikan dampak tertentu atas militer suatu negara. Namun, pada 2020-an, hal itu pasti dirasa ganjil.
Model pesawat tempur FA-50 buatan Korea Aerospace Industries dalam pameran industri pertahanan internasional di Baghdad, Irak, 7 Maret 2015. [AFP/Getty Images]

Bagaimana reaksi AS? Teknologi. November lalu, Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel mengumumkan strategi ketiga Pentagon yang dirancang untuk mengembangkan teknologi baru sebagai kelanjutan dua strategi pertama—senjata nuklir dan peluru kendali. Pentagon berusaha mempertahankan posisinya dengan berinvestasi pada ranah seperti perang siber; komputerisasi canggih serta teknologi big data; robotika dan senjata otomatis; teknik manufaktur canggih seperti cetak 3-D; dan senjata elektromagnetis, guna mendongkrak serangan AL dan menggantikan sistem pertahanan darat.

Saat ini, strategi ketiga baru sekadar wacana. Pertanyaannya adalah apakah jika dilaksanakan, hal itu akan cukup. Negara-negara yang perusahaan swastanya harus menguasai big data dapat mengalih-pindahkan kecakapan semacam itu kepada militernya. Begitu pun cyberwarfare, seperti yang telah dipamerkan Iran dan Korea Utara. Radar pasif berteknologi komputer supercepat serta berteknologi big data mungkin dapat mengatasi teknologi “siluman” kiwari. Sementara itu, Daulah Islamiyah telah memanfaatkan drone komersial ringan, dan buku karya Peter W. Singer berjudul “Wired for War” berisi 87 negara yang memiliki program robot militer.

Barat tidak dapat menghentikan proses “Hyundai-isasi” ini, tapi akan ada beberapa variabel lain yang akan menghambat lajunya. Meski demikian, Hyundai-isasi sedang menjalar.

Pemerintah Barat memiliki sejumlah opsi kebijakan untuk menangani sejumlah ancaman militer dan diplomatis dari proses Hyundai-isasi. Tetapi, terdapat satu kepastian: Reaksi serius harus dapat melampaui urusan teknologi.

Joe Katzman adalah penyunting emeritus Defense Industry Daily dan kepala KAT Consulting.


  wsj  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.