Selasa, 10 November 2015

Zia ul Haq dan Kenangan Pertempuran 10 November Surabaya

Zia Ul Haq pada saat itu datang bersama pasukan sekutu dan menjabat sebagai salah satu komandan Gurkha yang bertugas di SurabayaPertempuran di Surabaya pada tahun 1945. [gahetna.nl]

‘’Kita bersaudara. Indonesia-Pakistan bersaudara!’’ begitulah pernyataan berbagai pejabat Pakistan ketika menerima kunjungan delegasi Indonesia. Menurut mereka jasa Indonesia sangat besar terhadap negaranya, terutama ketika India-Pakistan terlibat dalam konflik pada dekade 60-an. Sosok Presiden Sukarno sangat terkenal di sana dan menghormatinya atau mendapat tempat khusus, layaknya salah satu pemimpin penting di Asia yang juga menjadi ‘bapak bangsa Pakistan: Muhammad Ali Jinnah‘.

‘’Merdeka…!’’ pekik perjuangan ini di Pakistan ternyata cukup dikenal. Ketua Parlemen Pakistan kerap menyatakannya ketika membuka percakapan dalam pertemuan dengan delegasi Indonesia. Mereka tampaknya juga tahu bahwa kata ‘Merdeka’ itu serapan dari bahasa asal India (Sansekerta), yakni ‘Maharddhi’ yang arti harfiahnya adalah kemakmuran, kesempurnaan besar, keunggulan, kesucian.

Tak hanya itu kisah heroik angkatan perang Indonesia yang berani bertindak sebagai pihak pemisah ketika Pakistan dan India terlibat konflik. Keberanian para punggawa armada TNI angkatan laut ketika mencegah aksi penyerangan armada laut India terhadap armada kapal perang Pakistan mereka kenang sampai sekarang.

Namun, di antara sekian banyak tokoh Pakistan yang punya hubungan khusus dengan Indonesia setalah Ali Jinnah, adalah mendiang Presiden Muhammad Zia ul Haq. Bahkan, presiden yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat ini punya hubungan emosi langsung dengan peristiwa pertempuran besar di Surabaya, pada 10 November 1945. Zia Ul Haq pada saat itu datang bersama pasukan sekutu dan menjabat sebagai salah satu komandan Gurkha yang bertugas di Surabaya.

 Gurkha, Legiun Elit Dunia 

Dalam percaturan militer di dunia, ada salah satu garnisun yang sangat disegani. Meraka adalah tentara legiun ‘Gurkha’. Legiun ini menjadi legendaris karena banyak terlibat dalam pertempuran besar dunia. Pihak Kerajaan Inggris memanfaatkan kemampuan tempur mereka yang luar biasa dengan melibatkannya ketika sekutu membombadir Surabaya pada 10 Oktober 1945.

Keahlian tempur mereka didapatan secara alami karena berasal dari suku yang terbiasa berperang. Kebanggaan terhadap korps ini sangtlah besar. Sosok pasukan ini begitu diagungkan di Pakistan. Bahkan kegemilangannya selalu ditarik hingga peristiwa kekalahan pasukan Iskandar Zulkarnain, pada masa awal Masehi saat menyerbu wilayah anak benua Asia, yakni India yang kemudian terpecah menjadi tiga negara yakni Pakistan, Inda, dan Bangladesh.

Sosok prajurit tempur itu juga terlihat secara jelas bila kemudian mengacu pada figur Zia ul Haq. Postur tubuhnya yang tegap dan tinggai jelas menjadi hal yang mencolok dan menegaskan bahwa dia adalah prajurit pilihan. Sosok seperti ini pun akan mudah terlihat bila melihat pada figur sebagian sosok petugas keamanan dan tentara di Pakistan pada masa kini. Tinggi badan mereka menjulang, rata-rata sektar 190 cm.

‘’Kemampuan tempur mereka ditempa oleh alam yang keras. Mereka bisa bertempur dengan baik berhari-hari meski hanya berbekal sepotong roti tawar dan beberapa liter air putih,’’ begitu kisah seorang petinggi militer Pakistan, beberapa waktu silam ketika menerima kunjungan wartawan dari Indonesia.

 Mogok Bertempur Karena dengan Adzan dan Takbir! 

Karena pernah mengalami pertempuran langsung di Surabaya pada 10 November 1945, mantan Presden Pakistan Zia ul Haq ini selalu terkenang dengan kota yang terkenal dengan makanan rawon dan rujak cingurnya itu. Bahkan, pada tahun 80-an, semasa Zia ul Haq menjabat sebagai presiden dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, dia secara khusus meminta kepada Presiden Suharto agar bisa berkunjung ke Surabaya.

Tentu saja, sebagai sesama mantan komandan tempur Suharto pun mengizinkannya. Dikabarkan saat Suharto menginyakan keinginannaya, wajah Zia ul Haq menjadi sumringah alias berseri-seri. Ini membuktikan kenangan pertempuran besar antara tentara sekutu (Inggris dan Austalia yang di dalamnya ada legiun Gurkha) begitu dalam membekas dalam hatinya. Zia ul Haq saat itu hanya seorang tentara dan tidak tahu tetek bengek politik dan pada awalnya tak paham bahwa kedatangan tentaranya itu diboncengi tentara Nica (Belanda) yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Bagi kalangan rakyat yang sempat terlibat dalam peristiwa pertempuran itu, mereka juga melihat peran tentara Gurkha. Namun, mereka juga melihat keanehan ketika banyak diantara mereka yang mogok tak mau perang. Bahkan, beberapa orang malah melakukan disersi.

Mengapa demikian? Jawabnya karena tentara Gurkha yang salah satunya komandannya adalah Zia ul Haq terkejut ketika tiba di Surabaya dengan melihat banyaknya masjid dan meluasnya suara adzan ketika tiba waktu shalat. Mereka tiba-tiba sadar karena pihak yang mereka perangi adalah saudaranya sendiri, sesama Muslim. Maka mereka pun mogok tak mau bertempur.

Para legiun Gurkha itu pun kian kaget ketika teriakan para pejuang di tengah pertempuran adalah 'Allahu Akbar'. Maka praktis secara diam-diam sebagian tentara sekutu mengalami ‘demoralisasi’. Apalagi tentara Gurkha pun pada saat itu aktif mengerjakan shalat berjamaah di berbagai masjid bersama warga lokal. Nah, kenangan itulah yang dirasakan Zia ul Haq ketika menjadi komandan pasukan Gurkha di Surabaya. Dan memori ini lestari hingga dia menjabat sebagai Presiden Pakistan.

Pekik 'Allahu Akbar' yang terdengar di tegah pertempuran memang menjadi pertanda bahwa pertempuran itu merupakan ajang perlawan kaum santri. Mereka bergerak setelah Hadratus Syekh Hasyum Asy'ari menyatakan perlawanan kepada penjajah adaah kewajiban setiap Muslim: Cinta tanah air adalah sebagian dari iman! Seruan pendiri NU ini tentu saja membakar semangat para santri yang datang dari berbagai pesantren yang tersebar, tak hanya dari seputaran Surabaya dan Jawa Timur saja, tapi hingga meluas di berbagai pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Cirebon. Para santri itu datang untuk bertempur dengan naik kereta api ke Surabaya.

''Dua orang saudara kakek kami gugur dalam pertempuran di Surabaya. Mereka datang ke sana dengan naik kereta api dan tertembak ketika hendak masuk kota Surabaya dari arah Sidaorjo,'' begitu kata salah satu pengasuh pondok pesantren di desa Sumber Adi, Kebumen Jawa Tengah, beberapa waktu silam.

Dia mengatakan, mereka datang dan ikut bertempur melawan bala tentara Sekutu yang diboncengi Nica dengan semangat berjihad. Jadi masuk akal bila pasukan Gurkha yang salah satunya dikomandani Zia Ul Haq menjadi malas bertempur. Mereka tahu tak ingin tangannya berlumuran darah karena memerangi sesama Muslim.
 

  Republika  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.