Kamis, 04 Juli 2019

Separatis Papua Bentuk Tentara Baru

Menolak Cap Penjahat oleh IndonesiaSerikat Pembebasan Papua Barat membentuk tentara baru untuk melawan militer Indonesia. Tentara baru ini diberi nama West Papua Army atau Tentara Papua Barat. Foto/RNZ/Supplied 

Gerakan United Liberation for West Papua (ULMWP) atau Serikat Pembebasan Papua Barat yang selama ini dicap pemerintah Indonesia sebagai kelompok separatis telah membentuk tentara baru. Dengan pembentukan tentara baru ini, ULMWP menolak label separatis dan penjahat oleh pemerintah Indonesia.

Pemimpin ULMWP, Benny Wenda, mengatakan untuk pertama kalinya tiga faksi yang selama ini melawan militer Indonesia telah bersatu membentuk pasukan baru di bawah satu komando.

Tentara baru itu diberi nama "West Papua Army (Tentara Papua Barat)". Tentara baru itu dibentuk di bawah "Deklarasi Perbatasan Vanimo".

Benny Wenda mengatakan pihaknya siap mengambil alih Papua dan menyerukan dukungan internasional dan domestik.

"Kami menyambut bantuan apa pun dalam membantu kami mencapai pembebasan kami. Indonesia tidak bisa lagi menstigmatisasi kami sebagai separatis atau penjahat, kami adalah negara kesatuan militer dan politik yang sah dalam penantian," katanya dalam sebuah pernyataan, yang dikutip RNZ, Senin (1/7/2019).

Tiga faksi yang bersatu menjadi "Tentara Papua Barat" ini adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)—yang terlibat konflik berdarah dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Nduga—, Tentara Nasional Papua Barat dan Tentara Revolusi Papua Barat.

Sebelumnya, TPNPB blakblakan merekrut anak-anak remaja sebagai tentara untuk melawan militer Indonesia. Kelompok itu menyadari bahwa melibatkan anak-anak dalam konlik bersenjata adalah pelanggaran konvensi internasional, namun mereka mengklaim hal itu diperlukan dengan melihat perkembangan yang terjadi di Papua Barat.

Perekrutan anak-anak itu bahkan dipublikasikan sebagai bahan propaganda. TPNPB merilis foto yang menunjukkan anak-anak remaja mengenakan seragam ala militer dan menenteng senapan.

"Anak-anak ini secara otomatis menjadi pejuang dan penentang militer kolonial Indonesia," kata Sebby Sambom, juru bicara TNPB.

Dia mengatakan sekitar selusin tentara anak berusia antara 15 dan 18 tahun saat ini berjuang untuk kelompoknya di berbagai daerah di Papua.

Kodam XVII/Cenderawasih telah mengecam tindakan TNPB yang merekrut anak-anak remaja sebagai tentara anak untuk melawan militer Indonesia. Kapendam Cenderawasih Kol Inf Muhammad Aidi Nubic menjelaskan bahwa sejatinya bila ada dua atau lebih pihak yang bertikai, maka semua pihak wajib hukumnya untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak, wanita dan orang lanjut usia (lansia).

"Apabila ada pihak yang melibatkan anak-anak, wanita dan lansia dalam pertikaian atau pertempuran, maka pihak tersebut telah melanggar hukum HAM (hak asasi manusia) dan Humaniter. Apalagi mereka merekrut dan mengeksploitasi anak-anak di bawah umur untuk terlibat dalam pertempuran," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews.com. (mas)

 Separatis Sesumbar Bakal Ambil Alih Papua

Tiga tentara pemberontak Papua Baray telah bergabung di bawah kendali gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Benny Wenda. Mereka pun sesumbar mengatakan bahwa mereka sekarang siap untuk mengambil alih Papua.

Pernyataan itu dikeluarkan ketika pihak berwenang Indonesia tengah meningkatkan upaya dalam pencarian terhadap lima tentara dan sembilan awak dari helikopter cadangan militer yang hilang pada Jumat pekan lalu.

Papua Barat, yang berbatasan dengan Papua Nugini, telah berada di bawah kendali Indonesia sejak 1969 dan berada dalam cengkeraman konflik separatis yang telah berlangsung lama.

Kelompok-kelompok bersenjata ini pada bulan lalu bersatu di bawah komando Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) - organisasi payung untuk tiga kelompok kemerdekaan.

Secara politis dan militer kita bersatu sekarang. Masyarakat internasional sekarang dapat melihat tanpa ragu bahwa kita siap untuk mengambil alih negara kita,” kata Wenda, ketua ULMWP.

Indonesia tidak dapat lagi menstigmatisasi kami sebagai separatis atau penjahat, kami adalah negara kesatuan militer dan politik yang sah yang sedang menunggu,” imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (3/7/2019).

Kelompok-kelompok itu termasuk TPNPB, yang menyerang sebuah situs konstruksi pada bulan Desember lalu dan dilaporkan membunuh 17 orang.

Insiden itu memicu aksi militer di wilayah itu, merenggut puluhan nyawa di kedua sisi.

Tak lama setelah serangan itu, Wenda memberi tahu Guardian bahwa dia tidak bisa menghentikan TPNPB, tetapi menyerukan agar tenang.

Bobby Anderson, peneliti Papua dan mahasiswa doktoral di Sekolah Kebijakan Publik Universitas Chiang Mai, memperingatkan bahwa kelompok pemberontak sebelumnya mengumumkan penyatuan yang tidak ada artinya.

"Pernyataan komando bersatu ini mungkin hanya ULMWP yang mencoba mengambil momentum dari tindakan Nduga," kata Anderson.

Kami tidak akan tahu apakah itu nyata sampai kami melihat aksi bersenjata terkoordinasi baik di Nduga dan di luar, yang akan menunjukkan bahwa deklarasi ULMWP adalah kenyataan," imbuhnya.

Saya pribadi punya keraguan. Faksi-faksi (separatis bersenjata) ini dipenuhi dengan 'para jenderal' yang cenderung tidak menerima perintah. Mereka beroperasi dalam perintah terbatas di area diskrit,” imbuhnya.

Namun Anderson mengatakan memiliki kepemimpinan Wenda mungkin membuat perbedaan, dan perintah terpadu yang belum pernah terjadi sebelumnya dinilai akan meningkatkan pertumpahan darah.

"Dia berhasil menyatukan ULMWP dari perwakilan sipil dari kelompok-kelompok kemerdekaan Papua yang berbeda dan yang diadakan selama ini sangat mengesankan," ucapnya.

Penyatuan itu menandai perkembangan baru lain dalam konflik yang telah berlangsung lama, hanya beberapa hari setelah terungkap bahwa anak-anak Papua Barat dilibatkan dalam pertempuran.

TPNPB telah mengakui keberadaan remaja laki-laki dan remaja di antara jajarannya, Associated Press melaporkan bulan lalu.

Penggunaan anak-anak sebagai tentara adalah kejahatan perang berdasarkan hukum internasional.

Pengacara HAM Veronica Koman mengatakan itu pertanda konflik di Papua jauh lebih serius daripada yang diakui dunia.

"Papua Barat membutuhkan intervensi internasional yang mendesak, karena tentara anak-anak sendiri adalah korban," katanya.

"Pendekatan keamanan pemerintah Indonesia telah menciptakan konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan cara membinasakan generasi demi generasi orang Papua Barat."

Laporan-laporan kekerasan militer dan pemberontak di wilayah itu terus berlanjut sepanjang tahun ini, termasuk klaim angkatan bersenjata Indonesia yang diduga menggunakan fosfor putih, dan serangan pemberontak terhadap tentara, sesuatu yang dibantah Jakarta. (ian)

 TNI: Mereka Hanya Berani Menyerang dari Belakang

Kodam XVII/Cenderawasih menyatakan tak ada pengaruhnya langkah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui Benny Wenda dan kelompoknya membentuk tentara baru.

Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel Infantri Muhammad Aidi menegaskan bahwa klaim Benny Wenda telah berhasil mempersatukan kekuatan dan membentuk tentara baru tidak akan ada pengaruhnya bagi TNI.

Mereka mau terpecah atau bersatu, mereka mau membentuk tentara baru atau tentara lama, bagi kami TNI, mereka hanya gerombolan pemberontak,” tegasnya melalui pernyataan tertulis, Rabu (3/7/2019).

Dia menyatakan bahwa selama ini OPM tidak pernah berani berhadapan TNI, kecuali hanya menyerang dari belakang, atau membantai rakyat sipil yang tak berdosa secara sadis. Selain itu, lanjut dia, OPM juga melakukan pengerusakan dan perampasan harta benda orang lain, melakukan penyanderaan, penganiayaan dan pemerkosaan guru dan tenaga medis yang tak berdaya.

Menurut Kapendam, tindakan mempersenjatai diri secara illegal atau memiliki dan menggunakan senjata tanpa hak adalah suatu bentuk pelanggaran hukum berat ditinjau dari sudut pandang hukum manapun di seluruh dunia.

Apalagi senjata tersebut digunakan untuk melakukan tindakan kejahatan, tindakan kekerasan dan upaya perlawanan terhadap kedaulatan negara,” tandasnya.

Sedangkan mengenai peryataan Benny Wenda dan kelompoknya yang tidak mau disebut sebagai separatis dan penjahat, maka hal itu merupakan pernyataan yang kotradiktif.

Sebab tindakan mereka yang melakukan perlawanan dan ingin memisahkan diri dari kedaulatan negara yang sah adalah suatu tidakan separatis dan merupakan kejahatan negara.

Kapendam menambahkan, sejak terbentuknya peradaban manusia hingga kelak berakhirnya peradaban tidak akan pernah ada suatu negara berdaulat manapun di dunia yang mentolelir adanya gerakan separatis atau pemberontakan berlangsung di dalam wilayah kedaulatan negara.

Misalnya saja di negara Australia salah satu wilayahnya bergolak dan minta merdeka. Sebut saja contohnya Darwin ingin pisah dari Australia. Maka tidak mungkin negara Australia secara sukarela membiarkan Darwin merdeka pisah dari Australia. Demikian pula halnya di Indonesia,” lanjutnya.

Karena itu, siapapun yang mencoba merongrong kedaulatan NKRI, maka akan berhadapan dengan kekuatan NKRI. Bukan hanya TNI, tetapi seluruh komponen bangsa sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 30 Ayat 1 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara.

"Jadi bila Benny Wenda dan kelompoknya masih terus merongrong kedaulatan NKRI, maka akan berhadapan dengan seluruh warga negara NKRI,” tegasnya lagi.

Kapendam menegaskan, Benny Wenda dan kelompoknya harus paham bahwa untuk membentuk suatu negara tidak cukup hanya mengklaim sendiri secara sepihak.

Tetapi dibutuhkan unsur pendukung lainnya. Di antaranya adalah unsur rakyat, wilayah dan adanya pengakuan dan legitimasi internasional. “Faktanya bahwa kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Merauke sampai Sabang telah dan masih diakui dan dihormati oleh seluruh negara di dunia dan telah disahkan oleh lembaga dunia tertinggi yaitu PBB,” tegasnya.

Papua sebagai salah satu bagian dari kedaulatan NKRI telah melaui proses referendum yang dikenal dengan PEPRA dan hasilnya telah di sahkan melalui Resolusi PBB Nomor 2504 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 19 Nopember 1969.

Kapendam menambahkan, resolusi ini diusulkan oleh 6 negara dan diterima oleh Majelis Umum PBB dengan 84 suara setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstein.

Dengan tidak dipermasalahkan oleh negara manapun menunjukan bahwa PEPERA diterima oleh masyarakat internasional. Artinya, Papua sebagai bagian dari NKRI telah diakui oleh masyarakat internasional dan disahkan oleh lembaga internasional tertinggi yaitu PBB,” tandasnya.

Meskipun Benny Wenda melalui United Liberation for West Papua (ULMWP) atau Serikat Pembebasan Papua Barat dan kelompoknya tidak mau mengakui hasil PEPERA dan menyatakan cacat hukum, namun nyatanya hingga saat ini Resolusi PBB Nomer 2504 belum pernah terkoreksi apalagi dicabut.

Hingga kini belum ada kekuatan hukum lain yang lebih tinggi yang menyatakan bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 sudah tidak berlaku lagi. Ini menunjukkan bahwa Papua sebagai bagian dari kedaulatan NKRI tak terbatahkan lagi,” urainya.

Kapendam memaparkan, negara sedang berusaha membangun infrstruktur di pedalaman Papua dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat guna menjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Karena itu, sebaliknya kelompok separatis bersenjata (KSB) yang menamakan dirinya OPM justru menghalangi segala pembangunan dan pelayanan terhadap rakyat Papua. KSB telah merampas hak asasi orang Papua untuk mendapatn pendidikan, layanan kesehatan, kehidupan yang layak serta pelayanan sosial lainnya.

KSB telah melakukan tindakan kekerasan membantai para pekerja jalan dan jembatan; menyandera, memperkosa dan menganiaya guru serta tenaga medis, menyerang aparat pemerintah dan aparat penegak hukum dan lain-lain. Jadi justru merekalah yang telah menjajah orang Papua,” tegas Kapendam. (shf)
 

  SINDOnews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.