Sabtu, 04 Januari 2020

Bakamla Tambah Kekuatan Hadapi China di Natuna

Dibantu TNIKRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China di Laut Natura Utara, kepri, Senin (30/12) lalu. (ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I).]

Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyatakan pihaknya telah menambah kekuatannya di perairan Natuna. Penambahan kekuatan itu untuk merespons masuknya kapal Coast Guard China ke perairan Natuna.

"Jelas, saya saja sudah kirim lagi kok. Itu dinamika. Jadi tidak usah rapat pun sudah otomatis itu," ujar Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrachman menuturkan langkah itu dilakukan usai rapat tertutup di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/12).

Achmad enggan membeberkan jumlah armada dan personel yang dikerahkan untuk menangkal kapal China masuk ke perairan Natuna. Dia hanya menyampaikan pihaknya akan bersiaga di perairan Natuna untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.

Achmad mengatakan TNI juga sudah mengerahkan kekuatannya di perairan Natuna pasca kejadian tersebut. Namun, dia mengaku TNI hanya bertugas untuk mendukung operasi yang dilakukan oleh Bakamla.

"Orang sekarang lebih senang menggunakan white hull, daripada grey hull. Karena kalau kapal perang kan tensinya agak berbeda. Jadi Bakamla tetap di depan," ujarnya.

 Belum Ada Komunikasi

Achmad mengaku pihaknya belum punya rencana untuk berkomunikasi dengan Bakamla China guna membahas polemik batas wilayah di Natuna. Dia hanya menegaskan telah ada kesepakatan antara Bakamla di seluruh dunia agar tidak salah melakukan kalkulasi di lapangan karena berpotensi mengganggu hubungan bilateral antarnegara.

"Di seluruh dunia seperti itu. Karena ini tidak dalam keadaan perang. Artinya situasi seperti ini jangan hanya lihat dari sisi kita, semua akan berlaku dengan sama," ujar Achmad.

Achmad menjelaskan batas perairan antara Indonesia dengan China sejatinya sudah jelas sebagaimana ketentuan UNCLOS 1982. Dalam aturan itu, perairan Natuna diakui sebagai wilayah Indonesia.

Achmad menambahkan persoalan perarian Indonesia saat ini hanya dengan Vietnam. Dia menyebut batas perarian kedua negara masih belum ada kejelasan hingga saat ini. Achmad menyebut tidak ada penegakan hukum yang kuat di perarian antara Indonesia dengan Vietnam.

"Jadi kalau patroli di sana ketemu (kapal Vietnam), saya suruh pulang dia, kalau yang di grey area. Kalau di landas kontinen (Indonesia) kan sudah disepakati berarti dia melanggar, kita ambil, itu saja. Jadi kita dalam kondisi tidak perang," ujarnya.

Sejauh ini belum ada arahan khusus dari Presiden Joko Wiododo terkait polemik di Natuna. Sebab, dia menyampaikan polemik perairan Natuna dengan China sudah terjadi berulang kali sejak 30 tahun silam.

Oleh karena itu, Bakamla tetap mengedepankan langkah diplomasi lewat Kementerian Luar Negeri dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut.

"Kita di lapangan ya menyesuaikan dengan legitimasi," ujar Achmad. (jps)

 Bakamla Sebut Puluhan Kapal China Masih Berlayar Dekat Natuna

Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) menuturkan puluhan kapal nelayan China masih bebas berlayar di landas kontinen Indonesia di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Direktur Operasi Laut Bakamla, Laksamana Pertama Nursyawal Embun, menuturkan kapal-kapal penangkap ikan itu juga dikawal oleh kapal penjaga pantai dan kapal perang China jenis fregat.

"Per hari ini kapal-kapal China masih ada di perairan kita, masih, masih ada," kata Nursyawal saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (2/1) malam.

Nurayawal menuturkan telah berupaya melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China tersebut dari sekitar zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna sejak 10 Desember lalu.

Ia menuturkan kapal-kapal China itu sempat menuruti permintaan untuk menjauh dari perairan Indonesia. Namun, beberapa hari setelahnya kembali memasuki dan mengambil ikan di landas kontinen Indonesia di sekitar Natuna.

"Kapal-kapal ikan itu saat dicek dari radar kami memang terdeteksi hanya beberapa tapi ketika kami cek ke lapangan kapal-kapal itu jumlahnya sampai 50-an, di atas 50-an bahkan dan dikawal dua coast guard dan satu kapal fregat Angkatan Laut China," kata Nursyawal.

Nursyawal menuturkan pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk mengusir kapal kapal China itu lantaran mereka dinilai lebih kuat.

Sejauh ini, katanya, Bakamla telah memerintahkan kapal-kapal China itu untuk hengkang dari perairan Indonesia melalui komunikasi radio.

Nursyawal juga menuturkan pihaknya sempat mengadang meski kapal-kapal China itu tetap berkeras berlayar di wilayah Natuna dengan dalih bahwa perairan itu milik mereka.

"Kami lalu lapor ke komando atas. Kami mencegah terjadi perseteruan di tengah laut saat itu karena kita berhitung secara kalkulasi kemampuan mereka memang lebih (kuat)," kata Nursyawal.

Akibat insiden ini, Indonesia-China kembali terlibat saling klaim wilayah perairan di sekitar Natuna. Jakarta menganggap kapal-kapal China tersebut telah menerobos wilayah ZEE Indonesia.

Sementara Beijing mengklaim wilayah perairan dekat Natuna itu masih bagian dari Laut China Selatan yang menjadi kedaulatan mereka.

China mengklaim memiliki hak sejarah di kawasan Laut China Selatan sehingga kapal-kapalnya berhak berlayar dan mencari ikan di perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional tersebut.

Kementerian Luar Negeri RI telah melayangkan nota protes kepada China terkait pelayaran kapal-kapal ikan Tiongkok tersebut dan memanggil duta besar Negeri Tirai Bambu di Jakarta. Indonesia juga menolak klaim historis China terhadap perairan di dekat Natuna.

ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB yang disahkan pada 1982. RRT sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.

Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.

Kemlu menegaskan Indonesia juga menolak istilah "perairan terkait atau relevant waters" yang digunakan China untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan.

Menurut Kemlu, istilah "perairan terkait" tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

Kemlu menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016. (rds/ayp)
 

  CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.