Senin, 28 Juni 2021

Tantangan Offset Rencana Akuisisi Jet Tempur Rafale & F-15

Opini by Alman Helvas Ali Beautifully Rafale [Dassault]

Penandatangan Letter of Intent (LoI) antara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI) dengan Dassault Aviation pada 7 Juni 2021 untuk pengadaan 36 jet tempur Rafale dengan nilai diperkirakan sekitar US$ 7 miliar melahirkan berbagai tantangan bagi Indonesia. Tantangan terbentang dari kemampuan mengamankan ketersediaan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) bagi program tersebut hingga soal implementasi offset oleh Indonesia. Untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan beberapa anggota permanen Dewan Keamanan PBB, Indonesia berencana membeli 36 jet tempur F-15 dari Amerika Serikat (AS) dengan nilai diperkirakan US$ 5 miliar. Sebagaimana LoI Rafale, rencana akuisisi F-15 dari Washington akan memunculkan tantangan pula bagi Jakarta dari berbagai aspek seperti finansial dan industri.

Selain aspek finansial, yaitu ketersediaan anggaran untuk memborong kedua tipe pesawat tempur tersebut, tantangan lain yang perlu dicermati berasal dari aspek industri. Penerapan offset sesuai Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan lebih mudah untuk dinilai daripada penerapan kandungan lokal, karena penerapan kandungan lokal tidak selalu berarti peningkatan penguasaan teknologi tinggi. Mengacu pada undang-undang itu, nilai offset minimal 35% dengan peningkatan 10% per lima tahun. Offset langsung menjadi fokus dalam bahasan ini, di mana beberapa hal perlu menjadi perhatian.

Pertama, paket offset. Terkait pengadaan pesawat tempur, paket offset yang diajukan oleh Indonesia kepada Dassault Aviation dan Boeing sebaiknya meliputi manufaktur komponen pesawat tempur dan teknologi elektronika pertahanan. Untuk manufaktur komponen, Indonesia mempunyai pengalaman dalam program Peace Bima Sena, yaitu pembelian 12 F-16A/B Block 15 OCU pada 1986. Menyangkut elektronika pertahanan, akan menjadi hal baru karena cakupannya terkait perangkat elektronika yang terdapat pada pesawat tempur. Indonesia perlu mengindentifikasi teknologi elektronika pertahanan yang hendak diajukan sebagai offset, yang cakupannya terbentang dari avionik, sensor (radar, optronics) dan komunikasi (radio, datalink).

Untuk elektronika pertahanan, Indonesia harus berurusan dengan dua pihak sekaligus, yaitu Original Equipment Manufacturer (OEM) dan pemerintah di mana OEM bermarkas. OEM itu di antaranya Thales untuk Rafale, sementara Raytheon dan Collins Aerospace termasuk OEM peralatan elektronika pertahanan di F-15. Urusan dengan pemerintah di mana OEM bermarkas mutlak karena mustahil ada program offset tanpa lisensi ekspor teknologi pertahanan. Offset elektronika pertahanan memiliki potensi nilai penguasaan teknologi yang tinggi dibandingkan dengan kandungan lokal. Sebab kandungan lokal dapat saja berupa man hours dan pelatihan yang tidak berkontribusi pada penguasaan teknologi maju oleh industri pertahanan.

Kedua, kapasitas penyerapan teknologi. Penguasaan teknologi maju melalui offset memprasyaratkan pula kesiapan industri pertahanan Indonesia menyerap teknologi yang diberikan oleh OEM. Titik kritis dengan offset bukan pada PT Dirgantara Indonesia, namun pada PT LEN Industri sebagai BUMN elektronika pertahanan. BUMN ini memang telah memiliki kerjasama dengan Thales untuk elektronika pertahanan pada kapal perang, namun tantangannya adalah bagaimana kapabilitas PT LEN Industri terkait dengan elektronika pertahanan yang menjadi bagian dari sistem pesawat tempur.

Kapasitas penyerapan teknologi di bidang elektronika pertahanan merupakan hal kritis. Karena mengacu pada data Janes, kemampuan industri ini di Indonesia tergolong weak-moderate, yaitu risiko bagi industri pertahanan lokal dalam hal delay, penalti, knowhow dan lain-lain berada pada tingkat sangat besar. Merupakan suatu fakta bahwa BUMN elektronika pertahanan telah merambah pasar Angkatan Udara, namun baru sebatas tactical radio communication dan tactical datalink. Namun seberapa besar kapasitas penyerapan teknologi maju terkait avionik dan sensor masih harus dibuktikan oleh PT LEN Industri.

Ketiga, juru runding andal. Untuk mendapatkan paket offset dengan kandungan teknologi tinggi sekaligus bernilai besar dalam nominal dolar AS atau Euro, Indonesia membutuhkan juru runding andal yang mampu bernegosiasi dengan Prancis dan AS. Washington dikenal tergolong pelit untuk paket offset dibandingkan dengan Paris, sehingga kehadiran juru runding andal adalah kebutuhan mutlak bagi Indonesia. Keberhasilan mendapatkan program offset F-16A/B Block 15 OCU senilai US$ 18 juta dari nilai kontrak US$ 337 juta karena Indonesia mempunyai juru runding andal yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang teknologi tinggi sekaligus karakter dan cara berpikir orang Barat sebagai mitra negosiasi.

Apakah Kemhan RI dan/atau industri pertahanan Indonesia saat ini memiliki juru runding andal untuk offset? Pengalaman dari negosiasi program KFX/IFX di awal dekade ini menunjukkan Indonesia hari ini tidak mempunyai juru runding andal untuk teknologi tinggi. Solusi terhadap masalah itu di antaranya adalah menyewa pihak ketiga yang memiliki kapasitas terkait negosiasi offset, terlepas dari paspor yang dipegang oleh pihak ketiga tersebut. Peluang untuk mendapatkan offset dari Prancis cukup besar, namun tidak demikian bila Indonesia memutuskan membeli F-15 dari AS sehingga kehadiran juru runding andal mutlak adanya.

Sampai saat ini, belum ada informasi sahih tentang teknologi apa yang diminta oleh Indonesia dari Prancis sebagai offset Rafale. Belum jelas apakah asumsi nilai kontrak US$ 7 miliar untuk 36 jet tempur Rafale sudah termasuk program offset atau tidak, karena biasanya biaya akuisisi dengan paket offset lebih mahal daripada pembelian biasa. Begitu pula ancang-ancang teknologi apa yang akan diminta dari Washington apabila Jakarta memutuskan menandantangani kontrak F-15. (miq/miq)

 
CNBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.