Dengan desain khusus serta kemampuan landing dan take off di air. Drone yang dibuat tim Puspenerbal Juanda itu tidak hanya sebagai pengintai. Tapi, juga siap untuk misi perang. PERSIAPAN TERBANG: Letda Laut (T) Henkky Muharrajun Nasaf (kiri) beserta tim mendorong PUTA SE-01 sebelum lepas landas di Skuadron 700 Puspenerbal Juanda Kamis (10/9). [Dipta Wahyu/Jawa Pos]
Bentang sayapnya 4,5 meter. Tingginya tak kurang dari 1 meter. Desainnya unik. Terlebih di bagian ekor. Penempatan engine juga dirancang khusus. Yakni, di bagian atas. Semuanya menyesuaikan dengan misi PUTA SE-01. Yakni, tangguh di segala medan. Termasuk saat harus mendarat dan lepas landas di air.
Untuk mengendalikannya, harus berbagi tugas. Ada yang membawa remote control dan di depan laptop. Bahkan wajib membawa keker. Tujuannya, memastikan posisi drone. Meskipun, sebenarnya bisa dikendalikan secara otomatis atau autopilot.
Didukung material full komposit serta mesin 2 tak kapasitas 170 cc, PUTA SE-01 mampu terbang dengan jarak 25−30 kilometer. Drone jenis amfibi itu memang tidak ringan.
Beratnya sekitar 50 kilogram. Bahkan, maksimalnya bisa mencapai 75 kilogram. Artinya, masih bisa ditambah beban hingga 25 kilogram lagi.
Meski begitu, kecepatan jelajahnnya bisa sampai 130 kilometer per jam. Waktu terbang maksimal empat jam. Bentuknya yang aerodinamis membuatnya bisa terbang hingga ketinggian 6.000 kaki. Karena itu, PUTA SE-01 digadang-gadang memiliki tugas dan misi khusus.
Pembuatan drone tersebut sebenarnya dilakukan secara rahasia. Saat itu, Komandan Pusnerbal Juanda Laksamana Muda TNI Edwin menginginkan adanya pesawat tanpa awak skuadron 700. Dengan catatan hasil karya dari pasukan. Sehingga ketika terjadi trouble, bisa ditangani sendiri.
Apalagi dalam waktu dekat, Puspenerbal akan mendapat hibah pesawat tanpa awak dari Amerika berjenis Scane Eagle. Nah, kelemahannya saat drone tersebut rusak, perbaikannya susah. Sebab, alat dan onderdilnya tidak mudah didapat.
Agar tidak terlalu bergantung pada drone tersebut, Edwin menunjuk tim khsusus untuk membuat PUTA SE-01. Selain bisa bersanding dengan drone milik Amerika, pembuatan PUTA SE-01 dilakukan demi kemandirian pasukan. Artinya, tidak harus bergantung pada negara lain. Setelah tim dibentuk, eksekusi langsung dilakukan.
Pengerjaannya dimulai pada 2019. Tepatnya pada Oktober. Dibutuhkan sekitar enam bulan untuk merancang pesawat agar benar-benar terbang. ”Meski anggota tim terbatas, alhamdulillah semua lancar,” ucap main project PUTA SE-01 Letda Laut (T) Henkky Muharrajun Nasaf.
Karena keterbatasan tempat, semua pengerjaan dilakukan di Jogja. Termasuk saat awal percobaan terbang. Henkky ingat betul bagaimana persiapan awal sebelum uji terbang. Sebab, saat itu semua anggota harus lembur.
Itu terjadi karena surat izin terbang PUTA SE-01 sudah keluar. Namun, proses finishing belum selesai. Beruntung, uji terbang pertama sukses. Alumnus Aeronautika dan Astronotika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menuturkan, kendalanya hanya soal minimnya anggota tim. Akibatnya, untuk menganalisis mulai bentuk desain sampai mau terbang, dibutuhkan waktu yang lama. Apalagi saat itu dilakukan sendiri.
Jenisnya yang amfibi membuat desainnya harus berbeda. Khususnya pada ekor dan sayap pesawat. Ekornya menggunakan jenis T-tile. Sayapnya high wing. Sehingga mampu terbang dan mendarat di air. Sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Termasuk saat digunakan di air.
Bahkan, PUTA SE-01 bakal di-upgrade ulang. Khususnya soal jarak tempuh. Jika sekarang hanya sekitar 30 kilometer, ke depan bisa sampai 250 kilometer. Kata Henkky, alatnya sudah ada dan siap dipasang. Tinggal soal penataan dan upgrade ulang.
Jika semua sudah rampung, misi pengintaian PUTA SE-01 bisa lebih jauh. Termasuk untuk mengawasi teritorial NKRI. Nah, saat ini drone tersebut belum memiliki misi khusus. Ia difungsikan jika ada hal yang urgen. Misalnya, pemantauan wilayah atau yang berhubungan dengan pencarian.
Sebab, saat ini masih dilakukan penyempurnaan untuk bisa di-upgrade. Meski begitu, drone sudah dilengkapi kamera pemantau. Hanya, kualitas gambarnya masih biasa. Karena itu, progres ke depan adalah menyempurnakannya. Termasuk soal mengatur fungsi dan kegunaan PUTA SE-01.
Meski memiliki fungsi sebagai pengintai dan pengawasan, tak dimungkiri, drone itu akan menjadi sebuah kendaraan tempur. Sebab, masih terdapat sisa berat 25 kilogram di bodi pesawat. Sangat memungkinkan untuk dilengkapi senjata. ”Tergantung arahan dari pimpinan, nanti gimana,” kata Henkky.
Kalaupun nanti dilengkapi bom, akan ada sedikit tambahan di bodi pesawat. Termasuk sistem pengoperasian bom agar tepat sasaran. Tapi yang jelas, fungsi utamanya nanti menjaga batas wilayah. Khususnya wilayah laut yang berbatasan langsung dengan negara lain.
Meskipun hanya sebuah drone, untuk bisa terbang dibutuhkan izin dari air traffic control (ATC). Apalagi runway yang digunakan berdampingan langsung dengan Bandara Juanda. Terlebih saat terbang, ketinggiannya bisa mencapai 6 ribu kaki.
Henkky menceritakan, awalnya dirinya tidak menyangka mendapat tugas membuat pesawat tanpa awak. Sebab, waktu itu bisa dikatakan sangat mendadak. Tepatnya, saat awal komandan Puspenerbal Juanda menjabat.
Usut punya usut, ternyata Laksamana Muda TNI Edwin sudah tahu latar belakang pendidikannya. Termasuk mengetahui keterlibatan Henkky sebelum masuk perwira karir pada 2017. Pria asal Padang itu pernah ikut kompetisi lintas robot terbang yang digelar Ditjen Dikti.
Menurut Henkky, meski dalam proses penyempurnaan, keberhasilan PUTA SE-01 tak lain karena adanya teamwork yang baik. Baik dari proses desain maupun saat pengerjaannya. Karena itu, motivasi tinggi mereka adalah alat itu bisa bermanfaat. Khususnya membantu pengamanan dan operasi misi tertentu demi NKRI.
Bentang sayapnya 4,5 meter. Tingginya tak kurang dari 1 meter. Desainnya unik. Terlebih di bagian ekor. Penempatan engine juga dirancang khusus. Yakni, di bagian atas. Semuanya menyesuaikan dengan misi PUTA SE-01. Yakni, tangguh di segala medan. Termasuk saat harus mendarat dan lepas landas di air.
Untuk mengendalikannya, harus berbagi tugas. Ada yang membawa remote control dan di depan laptop. Bahkan wajib membawa keker. Tujuannya, memastikan posisi drone. Meskipun, sebenarnya bisa dikendalikan secara otomatis atau autopilot.
Didukung material full komposit serta mesin 2 tak kapasitas 170 cc, PUTA SE-01 mampu terbang dengan jarak 25−30 kilometer. Drone jenis amfibi itu memang tidak ringan.
Beratnya sekitar 50 kilogram. Bahkan, maksimalnya bisa mencapai 75 kilogram. Artinya, masih bisa ditambah beban hingga 25 kilogram lagi.
Meski begitu, kecepatan jelajahnnya bisa sampai 130 kilometer per jam. Waktu terbang maksimal empat jam. Bentuknya yang aerodinamis membuatnya bisa terbang hingga ketinggian 6.000 kaki. Karena itu, PUTA SE-01 digadang-gadang memiliki tugas dan misi khusus.
Pembuatan drone tersebut sebenarnya dilakukan secara rahasia. Saat itu, Komandan Pusnerbal Juanda Laksamana Muda TNI Edwin menginginkan adanya pesawat tanpa awak skuadron 700. Dengan catatan hasil karya dari pasukan. Sehingga ketika terjadi trouble, bisa ditangani sendiri.
Apalagi dalam waktu dekat, Puspenerbal akan mendapat hibah pesawat tanpa awak dari Amerika berjenis Scane Eagle. Nah, kelemahannya saat drone tersebut rusak, perbaikannya susah. Sebab, alat dan onderdilnya tidak mudah didapat.
Agar tidak terlalu bergantung pada drone tersebut, Edwin menunjuk tim khsusus untuk membuat PUTA SE-01. Selain bisa bersanding dengan drone milik Amerika, pembuatan PUTA SE-01 dilakukan demi kemandirian pasukan. Artinya, tidak harus bergantung pada negara lain. Setelah tim dibentuk, eksekusi langsung dilakukan.
Pengerjaannya dimulai pada 2019. Tepatnya pada Oktober. Dibutuhkan sekitar enam bulan untuk merancang pesawat agar benar-benar terbang. ”Meski anggota tim terbatas, alhamdulillah semua lancar,” ucap main project PUTA SE-01 Letda Laut (T) Henkky Muharrajun Nasaf.
Karena keterbatasan tempat, semua pengerjaan dilakukan di Jogja. Termasuk saat awal percobaan terbang. Henkky ingat betul bagaimana persiapan awal sebelum uji terbang. Sebab, saat itu semua anggota harus lembur.
Itu terjadi karena surat izin terbang PUTA SE-01 sudah keluar. Namun, proses finishing belum selesai. Beruntung, uji terbang pertama sukses. Alumnus Aeronautika dan Astronotika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menuturkan, kendalanya hanya soal minimnya anggota tim. Akibatnya, untuk menganalisis mulai bentuk desain sampai mau terbang, dibutuhkan waktu yang lama. Apalagi saat itu dilakukan sendiri.
Jenisnya yang amfibi membuat desainnya harus berbeda. Khususnya pada ekor dan sayap pesawat. Ekornya menggunakan jenis T-tile. Sayapnya high wing. Sehingga mampu terbang dan mendarat di air. Sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Termasuk saat digunakan di air.
Bahkan, PUTA SE-01 bakal di-upgrade ulang. Khususnya soal jarak tempuh. Jika sekarang hanya sekitar 30 kilometer, ke depan bisa sampai 250 kilometer. Kata Henkky, alatnya sudah ada dan siap dipasang. Tinggal soal penataan dan upgrade ulang.
Jika semua sudah rampung, misi pengintaian PUTA SE-01 bisa lebih jauh. Termasuk untuk mengawasi teritorial NKRI. Nah, saat ini drone tersebut belum memiliki misi khusus. Ia difungsikan jika ada hal yang urgen. Misalnya, pemantauan wilayah atau yang berhubungan dengan pencarian.
Sebab, saat ini masih dilakukan penyempurnaan untuk bisa di-upgrade. Meski begitu, drone sudah dilengkapi kamera pemantau. Hanya, kualitas gambarnya masih biasa. Karena itu, progres ke depan adalah menyempurnakannya. Termasuk soal mengatur fungsi dan kegunaan PUTA SE-01.
Meski memiliki fungsi sebagai pengintai dan pengawasan, tak dimungkiri, drone itu akan menjadi sebuah kendaraan tempur. Sebab, masih terdapat sisa berat 25 kilogram di bodi pesawat. Sangat memungkinkan untuk dilengkapi senjata. ”Tergantung arahan dari pimpinan, nanti gimana,” kata Henkky.
Kalaupun nanti dilengkapi bom, akan ada sedikit tambahan di bodi pesawat. Termasuk sistem pengoperasian bom agar tepat sasaran. Tapi yang jelas, fungsi utamanya nanti menjaga batas wilayah. Khususnya wilayah laut yang berbatasan langsung dengan negara lain.
Meskipun hanya sebuah drone, untuk bisa terbang dibutuhkan izin dari air traffic control (ATC). Apalagi runway yang digunakan berdampingan langsung dengan Bandara Juanda. Terlebih saat terbang, ketinggiannya bisa mencapai 6 ribu kaki.
Henkky menceritakan, awalnya dirinya tidak menyangka mendapat tugas membuat pesawat tanpa awak. Sebab, waktu itu bisa dikatakan sangat mendadak. Tepatnya, saat awal komandan Puspenerbal Juanda menjabat.
Usut punya usut, ternyata Laksamana Muda TNI Edwin sudah tahu latar belakang pendidikannya. Termasuk mengetahui keterlibatan Henkky sebelum masuk perwira karir pada 2017. Pria asal Padang itu pernah ikut kompetisi lintas robot terbang yang digelar Ditjen Dikti.
Menurut Henkky, meski dalam proses penyempurnaan, keberhasilan PUTA SE-01 tak lain karena adanya teamwork yang baik. Baik dari proses desain maupun saat pengerjaannya. Karena itu, motivasi tinggi mereka adalah alat itu bisa bermanfaat. Khususnya membantu pengamanan dan operasi misi tertentu demi NKRI.