Selasa, 05 Maret 2024

Pesawat Hawk 109/209 Menolak Tua!

✈ Hawk TNI AU

MEDIO Februari kemarin TNI AU dan TNI AL melaksanakan latihan bersama di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I. Pada latihan tersebut TNI AU mengerahkan dua pesawat Hawk 109/209 milik Skadron Udara I Wing Udara 7 Lanud Supadio dan TNI AL mengandalkan KRI John Lie-358.

Berdasar skenario latihan yang bertajuk Air Joining Procedure (AJP), dua pesawat Hawk TNI AU melaksanakan prosedur pengenalan berhasil diidentifikasi radar udara AWS-9 KRI John Lie-358 sebelum akhirnya melaksanakan prosedur penggabungan.

Selanjutnya, dua pesawat Hawk melaksanakan simulasi penyerangan udara ke permukaan terhadap KRI John Lie-358, yang diikuti aksi self-defense kapal korvet tersebut dengan menggunakan meriam Oto Melara 76 mm, Oerlikon 30 mm, dan Mitraliur 12,7 mm. Dua pesawat Hawk TNI AU kemudian melaksanakan taktik ofensif terhadap kapal perang sekaligus melatih manuver penghindaran dari serangan balasan.

Untuk diketahui, latihan ini merupakan pelaksanaan perintah Pangkoarmada I untuk meningkatkan profesionalisme prajurit dan kemampuan unsur gelar operasi TNI yang responsif dan integratif dalam melaksanakan operasi pengamanan ALKI I dengan alutsista TNI yang modern dan adaptif dalam merespons segala ancaman yang mungkin terjadi, baik di masa damai maupun di masa perang.

Sekilas, latihan interoperabilitas di antara unsur kekuatan TNI AL dan TNI sebagai latihan biasa. Namun di balik itu, ada pemandangan yang sebenarnya Istimewa, yaitu bagaimana pesawat Hawk 109/209 masih survive dan mampu mengemban misi menjawab dinamika tantangan yang sangat progresif dan membutuhkan teknologi militer teranyar.

Realitas tersebut tentu serta-merta mengulik pertanyaan bagaimana pesawat tua tersebut masih menjadi andalan TNI AU untuk menjaga dirgantara Indonesia? Apakah pesawat buatan British Aerospace (BAE) itu mampu menghadapi dinamika tantangan yang mutlak mensyaratkan dukungan state of the art teknologi militer? Atau apakah TNI AU terpaksa masih mengandalkan pesawat tersebut karena pesawat teranyar yang dibeli, yakni Rafale masih butuh waktu lama untuk tiba di Tanah Air.

Cercaan pertanyaan itu wajar karena pesawat Hawk 109/209 sudah menjadi tulang punggung kekuatan TNI AU sejak 1996. Kala itu total TNI AU membeli 8 Hawk 109 dan 16 Hawk 209 yang diterima antara 1996 hingga 1997. Pada 1980, TNI AU menambah sejumlah varian Hawk Mk 53. Pembelian pesawat jenis ini antara lain untuk mengemban misi air superiority dan ground attack, terutama untuk Hawk Mk 209 yang merupakan varian single seater.

Pertanyaan juga patut disampaikan karena sejumlah insinden yang dialami. Pada 2012 misalnya, pesawat Hawk 200 Skuadron 12 TNI AU Rusmin Nuryadin mengalami kecelakaan saat melakukan latihan rutin. Bersyukur pilot Letnan Pnb Reza selamat setelah berhasil keluar dengan kursi pelontar (eject seat). Masih di Riau, pada 15 Juni 2020 pesawat Hawk 109 celaka dalam pendaratan usai latihan. Sang pilot, Lettu Pnb Apriyanto Ismail selamat dengan cara yang sama.

Saat itu pesawat yang relatif masih berusia muda diduga celaka karena masalah perawatan. Di usia jelang 30 tahun, risiko operasi pesawat Hawk 109/209 sudah pasti semakin tinggi. Pemerintah tentu menyadari kondisi tersebut. Karena itu, wacana penggantian pesawat tersebut sudah menyeruak beberapa tahun jelang pesawat Hawk 109/209 menginjak usia 25 tahun.

Rencananya, penggantian armada Hawk 109/209 yang bermarkas di dua skadron operasional TNI AU tersebut akan dilaksanakan secara bertahap pada pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) TNI AU ke-4 periode 2020-2024. Hal ini pun sudah masuk dalam pengajuan pemenuhan kebutuhan pokok minimal (MEF) Tahap IV untuk periode yang sama. Pembelian Rafale dan F-15 EX menjadi opsi penggantinya.

 Membangun Interoperabilitas dan NCW
Dari latihan bersama TNI AL-TNI AU yang melibatkan pesawat Hawk 109/209 dengan KRI John Lie-358, maka fokus utama yang diuji kapasitasnya adalah kemampuan melakukan interoperabilitas. Prasyarat demikian bisa terwujud di antaranya karena sistem avionik yang dimiliki, termasuk oleh Hawk 109/209, memiliki kapasitas untuk tugas tersebut.

Dengan demikian, alutsista yang terlibat dalam latihan, simulasi tempur atau bahkan dalam peperangan bisa melakukan koordinasi atau satu komando dalam melaksanakan misi. Berdasar definisi, interoperabilitas dimaknai sebagai kemampuan dari sebuah blockchain untuk dapat berkomunikasi, berinteraksi, dan berbagi informasi dengan sistem eksternal.

Dalam dunia blockchain, kebanyakan blockchain lebih mirip sebuah sistem tertutup daripada sistem terbuka yang bisa berinteraksi dengan leluasa. Interoperabilitas adalah masalah besar karena pengguna akan sulit memindahkan aset ke ekosistem lain.

Ketua Bidang Ketahanan Informasi Desk Cyberspace Nasional (DCN) Kemenkopolhukam dan tulisan bertajuk ‘’Meraih Interoperabilitas TNI AU, Sebuah Pendekatan Ilmiah Sederhana’’ menyebut interoperabilitas sering dikaitkan dengan sistem informasi dan komunikasi yang digunakan dalam operasi udara mandiri atau operasi gabungan dengan matra lain.

Dipaparkan, dengan avionik berbasis komputer, maka pesawat dapat dianalogkan sebagai komputer mandiri di angkasa. Bila operasi melibatkan dua atau lebih pesawat, maka pembentukan saluran komunikasi untuk pertukaran data pesawat yang terbang diibaratkan sebagai jaringan komputer. Jaringan akan semakin besar jika terhubung dengan stasiun bumi, laut ataupun luar angkasa. Konsep ini yang lazim disebut network-centric: system of system yang terhubung menjadi satu.

Dalam dunia militer, network-centric dikembangkan menjadi network-centric warfare (NCW) atau peperangan jaringan terpusat. Komputer direpresentasikan berbagai alutsista yang terhubung menjadi satu membentuk jaringan besar dalam rangka peperangan. Dalam konsep NCW, setiap alutsista adalah adalah simpul mandiri yang berkemampuan mengolah informasi dan bertukar data satu sama lain. Kemampuan tersebut akan menghadirkan sinkronisasi, kecepatan komando dan kendali, serta tempo operasi.

TNI menyadari pentingnya mewujudkan interoperabilitas untuk setiap alutsista digunakan, baik di lingkup antar-kesatuan ataupun melibatkan seluruh matra. Dalam artikel ‘’NCW sebagai Upaya Transformasi Perang TNI’’ tulisan Thomas Andrew yang dimuat di Jurnal Defendonesia yang dipublikasikan Lembaga Kajian Pertahanan Strategis (Keris) pada medio 2021 terungkap bahwa konsep NCW sudah menjadi perhatian serius sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perhatian kian serius diberikan pada periode selanjutnya.

Peningkatan kapasitas interoperabilitas dimulai sejak latihan militer 2018, dengan mengembangkan sistem C4 (communication, command, control, computer) yang berbasis satelit. Selanjutnya, Latihan Gabungan “Angkasa Yudha” 2019 TNI melakukan serangkaian uji coba. Tercatat pada momen Korps Marinir berperan sebagai unit tempur utama, sedangkan TNI AU menggunakan drone untuk peran ISR (intelligence, surveillance, and reconnaissance).

Dalam latihan ini juga, TNI AU melakukan simulasi serangan SEAD dengan menggunakan empat pesawat F-16, yang berperan sebagai penyerang situs radar, dan dua pesawat Su27. Untuk memperkuat infrastruktur, pada akhir 2019 TNI telah mendirikan Komando Gabungan Wilayah (Kogabwilhan) yang mengoordinasikan tiga matra (darat, laut, dan udara) dengan arah agar bisa menerjukan mereka dengan cepat dan fleksibel ke wilayah yang mengalami eskalasi.

Kendati berbagai upaya sudah disiapkan, TNI masih terkendala beberapa kekurangan, seperti keterbatasan kapasitas SDM, penggunaan senjata dari beragam produsen karena berdampak tidak bisa singkron. Contoh kongkretnya pesawat F-16 tidak bisa berbagi informasi dengan Su-27, karena sistem link berbeda dan tidak bisa disinkronisasi. Padahal NCW mengharuskan setiap unit militer saling terhubung dalam satu sistem.

 Peningkatan Sistem Avionik dan Mesin
Dari fakta yang ada, TNI sudah menunjukkan keseriusan meningkatan kapasitas interoperobilitas di semua matra, dengan berbagai cara mulai dari peningkatan sistem, SDM, infrastruktur dan menguji cobanya dalam bentuk latihan gabungan tiga matra TNI.

Untuk sistem komunikasi misalnya, PT LEN telah bekerja sama dengan Rohde & Schwarz untuk membuat sistem komunikasi. Secara khusus untuk Hawk 100/200 TNI AU, TNI AU telah melakukan modernisasi. Program dimaksud dilakukan PT Infoglobal Teknologi Semesta bekerja sama dengan BAE Systems.

Dalam kerja sama yang diteken di gelaran Indo Defence Expo & Forum 2022 pada 3 November 2022 di JIEXPO Kemayoran Jakarta, Infoglobal akan menerima dukungan teknis dan materil untuk mendukung upgrade pesawat Hawk Mk 109 TNI-AU. Adapun perjanjian ini mencakup overhaul komponen utama dan penyediaan data interface pada sistem avionik existing bersama dengan layanan reach back ke tim teknis yang berbasis di Inggris.

Melalui kerja sama tersebut akan dicapai transfer of technology (ToT) untuk mendukung percepatan pengembangan sistem asli yang akan menjadi inti sistem pesawat Hawk Mk 109 baru. BAE System berharap perjanjian ini dapat menyediakan data yang diperlukan Infoglobal untuk mengembangkan avionik pesawat Hawk 100/200 dan memperpanjang umur pesawat hingga ke dekade berikutnya.

Selain modernisasi sistem avionik yang mengarah pada hadirnya kemampuan interoperabilitas, mustahil pesawat Hawk 100/200 bisa melakukan misi secara maksimal bila tidak ada peremajaan dan pemeliharaan mesin. Untuk mesin, juga dipercayakan kepada PT Infoglobal. Perusahaan yang berbasis di Surabaya ini merangkul PT Nusantara Turbin dan Propulsi (NTP) untuk melakukan reverse engineering engine adour MK-871 Hawk 109/209.

TNI AU juga konsisten melakukan perawatan rutin. Misalnya jika pesawat ringan tersebut telah melaksanakan 2.000 jam terbang, makan akan menjalani pemeliharaan major servicing. Tugas ini dilakukan Satuan Pemeliharaan 32 (Sathar 32), satuan pelaksana di bawah Depo Pemeliharaan 30 (Depohar 30) Lanud Abdulrachman Saleh Malang. Kesatuan sama juga mendapat tugas pemeliharaan Super Tucano dan Cassa C-212.

Latihan Air Joining Procedure (AJP) bersama KRI John Lie-358 menunjukkan pesawat Hawk 100/200 masih layak diandalkan mengawal wilayah udara NKRI. Sebagai bukti, dalam latihan tersebut dua pesawat Hawk 100/200 berhasil melaksanakan prosedur pengenalan yang berhasil diidentifikasi oleh radar udara AWS-9 KRI John Lie-358 sebelum akhirnya melaksanakan prosedur penggabungan.

Bahkan kemudian dua pesawat yang dilibatkan melaksanakan simulasi penyerangan udara ke permukaan terhadap KRI John Lie-358. Hal tersebut menjadi bukti kapasitas pesawat Hawk 100/200 melaksanakan taktik ofensif terhadap kapal perang di laut bebas dan bermanuver menghindari serangan balasan unsur kapal permukaan.

Kondisi pesawat Hawk 100/200 yang masih prima dan mampu mengikuti tantangan jaman serta merta mengingatkan peran krusial yang pernah diembannya. Peristiwa monumental diukirnya pada 1 September 1999 saat Hawk 209 meng-intersep penerbangan ilegal F-18 Hornet Australia saat tengah melakukan misi patroli di langit Kupang.

Bahkan saat itu dua pesawat TNI AU yang dipiloti Kapten Azhar 'Gundala' Aditama dengan nomor seri Hawk Mk 209 single-seat TT-1207, dan Henri Alfiandi dengan callsign 'Tucano' dengan Anton 'Tomcat' Mengko di Hawk Mk 109 TL-0501 berkursi ganda, sempat menanjak ke ketinggian 28.000 kaki untuk duel udara. Walaupun lawannya F-18 Hornet, Hawk 209 mampu mengunci F-18 dan bersiap menembakkan rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder ke Hornet. Akibatnya pesawat Australia langsung ngacir.

Kendati modernisasi mampu memperpanjang usia hingga sepuluh tahun ke depan, tentu TNI AU tidak bisa berharap lebih pada pesawat Hawk 100/200. Apalagi untuk berhadapan dengan pesawat tempur generasi lebih anyar, yakni generasi 4.5 atau bahkan generasi 5.

Namun paling tidak, pesawat tersebut masih layak dan memenuhi standar ukuran pesawat modern – yang didukung kemampuan interoperabilitas untuk membantu melakukan tugas patroli udara. Karena secara faktual jumlah pesawat tempur TNI AU masih terbatas dan belum hadirnya pesawat tempur teranyar yang dibeli pemerintah. (*/hdr)
 

 
sindonews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.