Senin, 26 Maret 2012

Brimob Ranger War (6)


☆ KERJASAMA BEBERAPA SATUAN TEMPUR DENGAN BRIMOB DAN MANTAN RANGERS DALAM ROTASI XI TIMOR TIMUR, 1984-1985 ☆

Hasil wawancara dengan anggota Kompi A Resimen Pelopor Januari 2007
Anton A. Setyawan,SE,MSi
Dosen Fak. Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mahasiswa

perasi Seroja yang dilaksanakan pada akhir 1975 adalah operasi gabungan terbesar yang pertama kali dilakukan pada masa Orde Baru. Operasi ini pada awalnya melibatkan satuan-satuan dari Batalyon 502 Raiders Kostrad, Kopassgat (sekarang Paskhas TNI AU dan Kopassandha (sekarang Kopassus) lewat penerjunan. Sementara, Batalyon 403 Raider dan Brigade 1 Infanteri Marinir melakukan pendaratan ampibi dengan LST (Angkasa online). Pasukan Brimob dan sisa Resimen Pelopor mengambil bagian dalam operasi ini, namun dalam beberapa dokumen disebutkan tentang beberapa kejadian yang memojokkan reputasi Resimen Pelopor yang waktu itu sebenarnya sudah dibubarkan.

Operasi militer dengan kode Seroja selesai pada tahun 1979, pada saat itu hampir seluruh wilayah Timor Timur sudah dikuasai. Gerilyawan Fretelin masih bertahan di Timor-Timur Bagian Timur di sekitar wilayah Baucau ke Timur. Wilayah Kabupaten Viqueque terletak di Timor Timur Bagian Timur dan markas Xanana Gusmao beserta pasukannya ada di wilayah ini, yaitu di Gunung Matabea. Mereka yang pernah bertugas di wilayah ini hampir pasti pernah diserang oleh gerombolan Fretelin.

Pada tahun 1984, operasi Kikis digelar oleh ABRI. Polri menggunakan kode sandi Rotasi XI terkait dengan operasi ini. Salah satu wilayah yang dianggap berbahaya di Kab Viqueque adalah Kecamatan Vatu Carbau. Di kecamatan ini pada pertengahan 1984, ada beberapa pasukan yang mempunyai pos penjagaan, yaitu Batalyon Infanteri 406 dari Kodam IV Diponegoro, satu kompi yang berasal dari Brigade 1 Marinir pimpinan Kapten (Mar) Kinkin Soeroso (saat ini menjabat sebagai Danpuspom AL dengan pangkat Kolonel) dan beberapa orang anggota Intel AD yang berasal dari Kopassus. Mapolsek Vatu Carbau dipimpin oleh Letda (Pol) Kartimin mantan anggota Menpor yang berangkat ke Timor Timur sebagai Kapolsek. Pada masa penugasan di Timor Timur beliau sudah lama bertugas di jajaran Reserse Polwil Surakarta. Terakhir kali mengalami pertempuran adalah pada tahun 1964-1965 yaitu pada masa pengejaran Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1984 berdasarkan dokumen dari Tlava edisi Oktober 2008, pada dekade 1980-1990 di Timor Timur kekuatan Fretilin sekitar 1.350 personel dengan senjata G-3, SKS,SP, M-16, AR-15 dan FNC. Pasukan Falintil yang bermarkas di Gunung Matabean sekitar 300 orang. Peran Brimob dalam pengamanan kawasan Vatu Carbau adalah sebagai anggota Polsek Vatu Carbau. Mereka berasal dari Polda DKI, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Satu-satunya yang bukan berasal dari Brimob, meskipun pernah berdinas di Brimob adalah kapolsek Letda (Pol) Kartimin. Berdasarkan keterangan dari anggota Batalyon Infanteri 406 dan Batalyon Infanteri 413, pada saat melakukan patroli tempur gabungan maka tidak ada perbedaan apakah anggota Polri/Brimob atau satuan tempur lain semua mendapatkan jatah patroli yang sama. Hal ini juga dikonfirmasi oleh satuan intel Kopassus dan Marinir, yang dipimpin oleh Kapten (Mar) Kinkin Soeroso.

Pada masa itu tidak ada perbedaan seragam antara TNI dengan Polri pada saat berada di daerah operasi tempur. PDH dari TNI dan Polri adalah seragam hijau tua, dengan pet rimba atau helm tempur (model helm sekutu pada PD II) yang membedakan adalah badge satuan. Tanda pangkat tidak pernah dipasang oleh anggota TNI/Polri yang berdinas di Timor Timur karena hanya mengundang tembakan sniper (khususnya perwira). Berdasarkan seragam yang sama ini, Falintil tidak memilih korban dalam aksi penembakan atau penyergapan apakah itu Brimob atau TNI atau bahkan Polri non Brimob. Senjata yang dipergunakan oleh tiap satuan juga beragam, sebagian besar batalyon infanteri AD bersenjatakan M 16, prajurit Marinir menggunakan AK 47 sedangkan Brimob Polda DKI bersenjatakan AK 47, Brimob Polda Kaltim dengan senjata M 16 sedangkan anggota Polri dari Polda Jateng membawa senjata SKS atau sering disebut Cung.

Kejadian yang cukup dramatis pada penugasan di dalam Rotas XI tahun 1984 adalah pada saat satu peleton gabungan yang terdiri dari unsur Batalyon Infanteri 406 dan empat anggota Brimob yang dikepung 80 orang anggota Falintil di Batata. Pengepungan dilakukan mulai jam 19.00 sampai dengan subuh. Satu peleton pasukan tersebut bertahan dari hujan tembakan yang berlangsung semalam suntuk dan balasan hanya dilakukan dari dalam pos pertahanan. Prajurit AD dan Polri mampu bertahan semalam tanpa bantuan. Mengapa tidak ada bantuan? Pada jam 19.45 satuan intel Kopassus sudah mendapatkan berita tentang pertempuran di Batata, namun tidak mungkin mengirim bantuan karena wilayah terlalu berat dan beresiko bergerak di malam hari dengan pasukan besar. Komandan pasukan di Vatu Carbau, yaitu Kapten (Mar) Kinkin Soeroso memutuskan untuk mengirimkan pasukan bantuan yang akan beliau pimpin sendiri menjelang fajar besok.

Keesokan paginya, Kapten (Mar) Kinkin Soeroso, Letda (Pol) Kartimin, beserta 150 pasukan gabungan yang terdiri dari Kopassus, Marinir, pasukan dari Batalyon 406 dan Polri/Brimob berangkat menuju Batata. Para perwira mengendarai kuda karena jalan yang dilalui adalah padang ilalang dan jalan setapak. Butuh waktu satu hari penuh untuk mncapai Batata dengan medan yang sangat sulit. Dalam operasi inilah nampak tidak ada perbedaan antara TNI dan Polri karena yang bertugas sebagai point man (prajurit) terdepan diundi tanpa membedakan berasal dari satuan apa. Sekitar 2 kilometer dari Batata terdengar tembakan sporadis yang mengarah ke pasukan bantuan. Komandan pasukan segera memerintahkan mengejar penembak gelap, namun tidak berhasil karena ternyata di wilayah itu dipenuhi bunker yang sulit dilacak.

Akhirnya pasukan bantuan sampai di Batata dan menemukan bahwa seluruh anggota peleton gabungan selamat, meskipun hampir kehabisan amunisi karena melayani kontak senjata sepanjang malam. Di pihak Falintil jatuh korban 2 orang tertembak, sementara penduduk desa ada 3 orang yang menjadi korban.

Hampir semua anggota pasukan yang terlibat dalam operasi itu menjadi sahabat akrab bahkan ketika sudah kembali ke kesatuan masing-masing. Pada saat kembali berdinas di Powil Surakarta, Letda (Pol) Kartimin sering mendapat kunjungan dari para perwira maupun prajurit Kopassus yang pernah bertugas bersama di Timor-Timur. Pada saat anda berada dalam situasi pertempuran maka teman yang berada di samping anda adalah tempat anda menggantungkan hidup, tidak peduli dia berasal dari kesatuan apa atau apa pangkatnya.


Sumber : 
  • scribd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.