Rabu, 16 September 2015

[World] AS di Batas Teknologi Tempur Udara

Raptor Menjadi Yang Terakhirhttp://www.jejaktapak.com/wp-content/uploads/2015/09/F-22s-in-Estonia_03-706x456.jpgAngkatan Udara Amerika Serikat selama ini mengandalkan keunggulan teknologi untuk mendominasi perang. Melawan musuh konvensional, paradigma ini terbukti sangat efektif. Tetapi pertanyaannya akan sampai kapan Amerika bisa mempertahankan keunggulan semacam ini? Banyak orang melihat dalam hal tekonologi Amerika mengalami jeda terutama dalam platform penerbangan taktis.

Keunggulan penerbangan Amerika saat ini besar dengan didasarkan pada teknologi yang berkembang pada dekade akhir dari Perang Dingin. Sejak konflik idiologi itu berakhir, teknologi penerbangan seperti mencapai titik tertinggi. Satu-satunya kemampuan besar yang dilahirkan adalah F-22 Raptor yang kemudian diikuti oleh F-35 yang sejatinya secara teknologi juga tidak jauh berbeda dengan Raptor.

Di sisi lain lingkungan geopolitik dalam dua dekade terakhir mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sejak tahun 1980 Amerika seperti tidak memiliki pesaing dalam pembangunan kekuatan udara semenjak runtuhnya Soviet. Setelah itu Amerika lebih berkonsentrasi pada pengembangan sistem kontrol, komputer, komunikasi, intelijen, pengawasan dan pengintaian dan sistem drone. Tetapi lingkungan geopolitik dan operasional ini agak permisif sehingga tidak mungkin untuk melanjutkan.

Letnan Kolonel Thomas R. McCabe, Pensiunan USAFR dalam artikel di Air and Space Power Journal Volume 29, Issue 5, Sept – Oct 2015 menulis saat ini, Amerika masih menghadapi ancaman dari berbagai kekacauan di berbagai tempat serta perkembangan cepat dari China dan kebangkitan Rusia. Korea Utara, Iran dan kelompok garis keras yang dikenal anti Amerika juga masih akan terus membuat Amerika sibuk entah sampai kapan.

Secara khusus strategi antiaccess/area-denial strategy dimaksudkan untuk mengalahkan kemampuan Amerika dalam upaya memproyeksikan kekuatan di pasifik Barat. Negara ini telah membuat langkah besar dalam membangun kekuatan yang diperlukan untuk strategi tersebut. Selain itu, China juga telah membuat sejumlah kejutan dalam teknologi kedirgantaraannya.

Ketika pihak yang berpotensi memiliki lompatan teknologi besar maka ini akan menjadi masalah ketika seperti yang disebutkan sebelumnya Amerika mengalami stagnasi teknologi terutama dalam hal pesawat taktis berawak. Hanya sebagian kecil dari konsep penelitian Angkatan Udara berurusan dengan teknologi pesawat yang sebenarnya. Sebaliknya, mereka lebih berkonsentrasi terutama pada pengembangan aplikasi komputer untuk melakukan apa yang kita sudah lakukan hanya lebih cepat, lebih murah, dan dengan sedikit manpower.

Kebanyakan penelitian saat di pesawat taktis berawak berkonsentrasi pada penambahan jumlah, pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kemampuan. Pengadaan pesawat taktis berawak untuk setidaknya 20 tahun ke depan hampir akan sama dengan apa yang terjadi saat ini.

Angkatan Laut mengahadapi situasi setali tiga uang. Layanan ini bekerja keras pada pengembangan pesawat tanpa awak jarak jauh. Sementara untuk pesawat berawak mereka tidak akan ada pilihan lain kecuali F-35. Pesawat yang sangat terlambat pengembangannya dan berpotensi untuk dikejar secara teknologi.

McCabe menyebut Amerika harus mengakui bahwa dalam pengembangan pesawat tempur taktis, Amerika -meskipun belum sampai- tetapi sedang mendekati batas dari teknologi pesawat. Amerika akan sulit untuk berkembang ke tingkat selanjutnya karena memang ada limit yang sudah begitu dekat.

Tak satu pun terobosan menurut McCabe yang bisa dilakukan kecuali dengan melakukan upgrade dari teknologi yang telah ada. Pada titik ini, satu-satunya pengecualian jelas adalah radar active electronically scanned array (AESA) dan pengembangan senjata microwave.

Menurut McCabe Amerika harus kembali menyirami pohon penelitian untuk membuka kemampuan melihat teknologi masa depan. Misalnya pada saat ini Angkatan Udara dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) tampaknya memiliki program yang cukup koheren untuk hypersonics (penerbangan di atas Mach 5). Namun, fokus langsung pada rudal taktis daripada memikirkan kendaraan hipersonik yang bisa digunakan kembali semacam pesawat. Seharusnya, menurut McCabe Amerika lebih fokus pada pesawat hipersonik daripada rudal hipersonik karena negara lain juga telah melangkah jauh pada rudal tersebut McCabe hanya ingin mengatakan Amerika seharusnya berada dua langkah di depan dalam pengembangan
Masalah di Rudal Udara Jarak Jauhhttp://www.jejaktapak.com/wp-content/uploads/2015/06/USAF_F-15C-e1433597988803.jpgDalam hal rudal jarak jauh China dilaporkan telah mampu membuat senjata jenis ini yang akan mampu menyaingi Amerika. Ini akan membawa implikasi serius pada jet tempur F-35 yang akan mengandalkan pertarungan jarak jauh. Sementara Rusia juga mulai menyebarkan rudal R-37 / AA-X-13 yang beberapa sumber mampu mencetak hits pada jarak 150 mil dan dilesatkan dari upgrade MiG-31BM.

Selain itu, Rusia mengatakan bahwa varian rudal ini juga dapat dipasang di pesawat lain seperti Su-35 dan T-50 yang semakin mendekati garis produksi. Yang lebih harus diperhatikan adlaah Rusia telah memiliki R-172 / K-100 yang dilaporkan mampu melesat dalam rentang 200 nm lebih. Jika diproduksi rudal ini, bisa dipasang di pesawat dari keluarga Su-27. Senjata dengan jangkauan sangat jauh ini akan menjadi ancaman bagi pesawat Amerika. Apalagi untuk pesawat tanker dan AWACS.

Sementara di Amerika selain versi terbaru dari rudal udara ke udara jarak menengah canggih jarak menengah (AMRAAM), AIM-120D yang dilaporkan memiliki jangkauan 50 persen lebih besar dari AMRAAM sebelumnya atau meningkat sekitar 97 nm, Amerika Serikat tidak memiliki persedian AAM atau yang ada dalam prospek pengembangan. Rudal Phoenix Angkatan Laut yang menjadi andalan F-14 telah lama berlalu.

Rudal generasi masa depan yang disebut dengan Missile/Joint Dual Role Air Dominance Missile dikembangkan untuk menggantikan AMRAAM (dan rudal antiradiasi kecepatan tinggi AGM-88), dilaporkan dibatalkan pada tahun 2012, karena alasan keterjangkauan meskipun beberapa sumber berspekulasi sebenarnya pekerjaan ini terus dilakukan secara rahaisa. McCabe menekankan Amerika harus benar-benar serius dalam memikirkan hal ini.

Raytheon juga disebut sedang mengembangkan versi extended-range dari AMRAAM untuk peluncur permukaan (yang dikenal dengan AMRAAM-ER) yang menurut McCabe harus dipertimbangkan memodifikasi untuk target sangat dekat. Amerika harus menghidupkan kembali rudal versi Network Centric Airborne Defense Element (NCADE) sebagai alternatif rudal jarak panjang yang dimaksudkan untuk peningkatan kemampuan pencegatan rudal balistik yang menggunakan kerangka rudal AMRAAM dengan roket canggih dan pencari inframerah. Dari pengujian awal menggunakan AIM-9X hal itu jelas berhasil, tetapi kemudian tidak dimasukkan dalam anggaran untuk tahun 2013.

McCabe juga melihat perlunya fitur tambahan untuk meningkatkan kemampuan rudal dengan menempatkan sebuah radar AESA pada AMRAAM, seperti yang dilakukan Jepang pada rudal AAM-4B milik mereka atau Inggris pada rudal Meteor, jika penambahan ini secara teknis mungkin. AAM-4 sedikit lebih besar dari AIM-120 sehingga mampu membawa antena yang lebih besar. Sebuah radar AESA akan meningkatkan jangkauan di mana radar aktif pada rudal akan secara mandiri dapat melacak target.
Bahan Bakar Baruhttp://www.jejaktapak.com/wp-content/uploads/2015/08/sentry-f-15-9.jpgUntuk memperluas jangkauan pesawat, kuncinya adalah ada di bahan bakar baik dengan kepadatan energi yang lebih tinggi per volume, yang akan menghasilkan rentang yang lebih jauh selama mereka tidak berat lebih dari bahan bakar mereka mengganti. Laporan fragmentaris menunjukkan bahwa selama Perang Dingin, Soviet dikabarkan mengembangkan dan menggunakan bahan bakar dengan kepadatan energi yang lebih tinggi per volumi dibanding bahan bakar yang digunakan Barat. Hal ini menjadikan jangkauan pesawat mereka lebih jauh dibandingkan milik Amerika. Namun sejauh ini laporan tersebut belum pernah terkonfirmasi.

Baru-baru ini, Amerika Amerika telah meneliti bahan bakar yang disebut JP-900 untuk dua alasan utama yakni sebagai alternatif untuk bahan bakar yang dihasilkan dari minyak bumi dan sebagai bahan bakar memiliki toleransi panas yang lebih tinggi daripada yang saat ini digunakan. Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa JP-900 juga memiliki kepadatan energi sedikit lebih tinggi daripada bahan bakar jet yang digunakan saat ini. Namun, kepadatan energi yang lebih tinggi tampaknya hanya menjadi pertimbangan sekunder dalam penelitian.

Menurut McCabe yang pernah menjabat sebagai seorang analis untuk Departemen Pertahanan AS dengan fokus pada analis penerbangan militer Rusia ini mengatakan Departemen Pertahanan seharusnya membuat bahan bakar baru ini sebagai pertimbangan utama penelitian untuk menemukan bahan bakar baru yang lebih powerfull tetapi secara volume tidak lebih berat sehingga tidak mengganggu kemampuan pesawat.

 ♖ jejaktapak  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.