Rabu, 30 September 2015

[World] Penggunaan Militer di Suriah

Trump Dukung Rusia Gempur ISIS, Bela Pemerintahan Assad Ditanyakan pendapatnya mengenai pemikiran Assad adalah sumber masalah Suriah, Trump malah kembali menanyakan siapa yang pantas menggantikan Presiden Suriah tersebut jika dilengserkan. (Reuters/Mike Stone)

Bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, menyatakan dukungannya terhadap upaya Rusia untuk menggempur kelompok militan ISIS di Timur Tengah, termasuk Suriah.

"Saya membela kelompok yang mengatakan bahwa jika Rusia ingin melawan ISIS, Anda juga harus melawan keinginan untuk mengatakan bahwa Anda cemburu dan kami tidak mau kalian (Rusia) melakukan itu," ujar Trump kepada NBC ketika ditanya apakah ia membela Rusia yang mendukung pemerintahan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

Trump juga mengatakan bahwa Amerika Serikat seharusnya mendukung siapapun yang ingin menghancurkan kelompok pengambil alih sebagian besar wilayah Suriah dan negara tetangganya, Irak, merujuk pada ISIS.

Seperti dilansir The Independent, beberapa pejabat Partai Republik memang kerap melontarkan kritik mengenai politik luar negeri pemerintah Barack Obama terhadap Suriah. Menurut mereka, AS sudah terlalu dalam melibatkan diri dalam empat tahun perang sipil Suriah hingga munculnya ISIS.

Pemerintah AS memang menginisiasi koalisi serangan udara untuk menggempur ISIS. Namun, menurut AS, Assad adalah dalang segala kerusuhan dan menjamurnya berbagai kelompok militan, termasuk ISIS.

Ditanyakan pendapatnya mengenai pemikiran Assad adalah sumber masalah Suriah, Trump malah kembali menanyakan siapa yang pantas menggantikan Presiden Suriah tersebut jika dilengserkan.

"Orang yang akan menggantikan Assad, tak ada yang tahu siapa mereka dan mereka bisa saja malah lebih parah. Kita selalu berpihak pada orang dan mereka ternyata lebih buruk dari orang yang menjabat sebelumnya," kata Trump.

Permasalahan Assad ini juga menjadi salah satu isu panas di atas mimbar sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam pidato di mimbar PBB, Obama mengaku siap bekerja sama dengan siapapun, termasuk Iran dan Rusia, untuk menyelesaikan masalah di Suriah. Obama mengatakan bahwa Assad adalah dalang segala masalah, sementara Putin beranggapan, pemberantasan ISIS tak akan tercapai tanpa campur tangan Assad.

"AS siap untuk bekerja dengan bangsa manapun, termasuk Rusia dan Iran, untuk menyelesaikan konflik. Namun, kita harus menyadari bahwa tidak ada, setelah banyak pertumpahan darah dan pembunuhan massal, jalan untuk kembali ke status quo sebelum perang," kata Obama.

Obama memang tidak menyebut penggulingan Assad secara eksplisit, tapi ia menyiratkan adanya kemungkinan transisi dari presiden Suriah tersebut.

Lebih jauh, Obama juga menampik argumen bahwa hanya sistem otoritarian yang dapat melawan kelompok-kelompok seperti ISIS, dengan mengatakan, "Sesuai logika ini, kita harus mendukung tirani seperti Bashar al-Assad, yang menjatuhkan bom barel untuk membunuh anak-anak tak bersalah karena cara alternatif lainnya tentu lebih buruk," kata Obama.

Namun, Putin tetap yakin bahwa tak ada pilihan selain bekerja sama dengan Assad, sekutu lama Rusia.

"Kami pikir, adalah sebuah kesalahan besar untuk menolak bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan pasukan bersenjatanya yang sangat berani menghadapi terorisme di depan mata," tutur Putin dalam pidatonya.

Melanjutkan pidato, Putin kembali berkata, "Kita harus paham bahwa tak ada pasukan, selain pasukan bersenjata Presiden Assad dan milisi (Kurdi) yang benar-benar memerangi ISIS dan organisasi teroris lain di Suriah." (stu)
Bahas Konflik Suriah, Obama-Putin Beda Pendapat soal AssadDalam perbincangan selama 90 menit di sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Senin (28/9), Obama dan Putin sepakat untuk mengadakan pertemuan antara kedua angkatan bersenjata untuk mengatasi konflik di Suriah. (Reuters/Kevin Lamarque)

Setelah dua tahun, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, akhirnya bertemu. Meskipun sepakat untuk membantu menyelesaikan konflik di Suriah, kedua kepala negara tak sependapat ihwal keikutsertaan Presiden Suriah, Bashar al Assad dalam upaya tersebut.

Dalam perbincangan selama 90 menit di sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Senin (28/9), tersebut Obama dan Putin sepakat untuk mengadakan pertemuan antara kedua angkatan bersenjata untuk mengatasi konflik di Suriah.

Seperti dilansir Reuters, pasukan koalisi serangan udara di bawah komando AS sudah melancarkan gempuran terhadap ISIS di Suriah sejak tahun lalu.

Di tengah kisruh tersebut, Rusia membangun kekuatan militer di Suriah dengan menerjunkan pesawat tempur dan tank di pangkalan udara.

Takut terjadi insiden tak diinginkan, seperti tabrakan pesawat, AS meminta Rusia menjelaskan maksud pengiriman militer tersebut ke Suriah yang disinyalir untuk membantu pemerintahan Bashar al Assad. Menurut AS, Assad adalah biang kerok terjadinya perang sipil tersebut.

Berbicara kepada awak media setelah bertemu Obama, Putin berkata berkata bahwa Rusia kembali merenungkan apa yang dapat dilakukan untuk mendukung pemerintah Suriah dan pasukan Kurdi guna melawan militan ISIS.

"Kami mempertimbangkan apa yang seharusnya kami harus lakukan lebih untuk mendukung mereka yang berada di medan perang, menolak dan memerangi teroris, terutama ISIS. Ada peluang untuk kami bekerja sama," ucap Putin.

Sementara itu, seorang pejabat AS yang enggan diungkap identitasnya berkata, "Rusia mengerti kepentingan keberadaan mereka untuk menjadi resolusi politik bagi konflik Suriah, sudah ada proses menuju resolusi politik."

Sebelumnya, dalam pidato di mimbar PBB, Obama mengaku siap bekerja sama dengan siapapun, termasuk Iran dan Rusia, untuk menyelesaikan masalah di Suriah. Obama mengatakan bahwa Assad adalah dalang segala masalah, sementara Putin beranggapan, pemberantasan ISIS tak akan tercapai tanpa campur tangan Assad.

"AS siap untuk bekerja dengan bangsa manapun, termasuk Rusia dan Iran, untuk menyelesaikan konflik. Namun, kita harus menyadari bahwa tidak ada, setelah banyak pertumpahan darah dan pembunuhan massal, jalan untuk kembali ke status quo sebelum perang," kata Obama.

Obama memang tidak menyebut penggulingan Assad secara eksplisit, tapi ia menyiratkan adanya kemungkinan transisi dari presiden Suriah tersebut.

Lebih jauh, Obama juga menampik argumen bahwa hanya sistem otoritarian yang dapat melawan kelompok-kelompok seperti ISIS, dengan mengatakan, "Dalam logika ini, kita harus mendukung tirani seperti Bashar al-Assad, yang menjatuhkan bom barel untuk membunuh anak-anak tak bersalah karena cara alternatif lainnya tentu lebih buruk," kata Obama.

Namun, Putin tetap yakin bahwa tak ada pilihan selain bekerja sama dengan Assad, sekutu lama Rusia.

"Kami pikir, adalah sebuah kesalahan besar untuk menolak bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan pasukan bersenjatanya yang sangat berani menghadapi terorisme di depan mata," tutur Putin dalam pidatonya.

Melanjutkan pidato, Putin kembali berkata, "Kita harus paham bahwa tak ada pasukan, selain pasukan bersenjata Presiden Assad dan milisi (Kurdi) yang benar-benar memerangi ISIS dan organisasi teroris lain di Suriah." (den)
Taktik Obama di Wilayah Konflik GagalPasukan keamanan Afghanistan bersiap-siap merebut kembali Kunduz dari Taliban. (Reuters/Stringer)

Di Suriah, para pemberontak yang dilatih AS menyerahkan pasokan dan amunisi kepada kelompok perlawanan yang memiliki hubungan dengan al-Qaidah.

Di Irak, pertempuran antara pasukan pemerintah yang didukung AS dan ISIS menemui jalan buntu.

Di Afghanistan, untuk kali pertama sejak disingkirkan pada 2001 Taliban berhasil merebut satu ibukota provinsi.

Kurang dari satu setengah tahun setelah dalam pidato di sekolah Militer West Point Presiden Barack Obama menguraikan strategi untuk lebih bergantung pada mitra setempat daripada pengerahan militer AS secara besar-besaran di Luar negeri, muncul bukti bahwa taktik yang disebut sebagai “Doktrin Obama” itu kemungkinan gagal.

Meski AS diperkirakan berinvestasi setidaknya US$90 miliar dalam upaya kontra-terorisme ini, Obama belum berhasil menemukan sekutu yang dapat diandalkan untuk memikul tugas di medan perang. Dan dia pun tampaknya tidak punya banyak opsi untuk memperbaiki situasi ini.

Obama juga tampaknya terkungkung dengan keengganan melihat Amerika kembali terlibat dalam perang di Timur Tengah yang tidak populer setelah menarik mundur pasukan AS dari Irak pada 2011.

Gerakan tiba-tiba Rusia untuk mengambil inisiatif dalam krisis di Suriah dan Irak beberapa minggu ini mengejutkan para pejabat AS, dan menelanjangi kenyataan bahwa pengaruh Washington di wilayah itu semakin terkikis.

Sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS mengatakan, karena ada kemunduran yang bertubi-tubi ini Obama kemungkinan hanya akan melakukan perubahan kecil strategi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa Obama akan meninggalkan sebagian konflik paling pelik di dunia ini pada penggantinya yang akan menduduki Gedung Putih pada Januari 2017.

Situasi di tempat-tempat ini tidak bagus dan tidak akan membaik dalam waktu cepat,” ujar Douglas Ollivant, mantan pejabat senior Dewan Keamanan Nasional AS untu Irak.

Itu masalah dalam bekerja sama dengan mitra. Tidak semua memiliki kemampuan.

Opsi-posi yang ada meliputi antara lain meningkatkan dukungan bagi para pejuang Kurdi di Suriah, kerja sama denga Rusia untuk mengakhiri konflik di negara itu dan memperlambat rencana penarikan diri AS dari Afghanistan.

Para pejabat AS mengatakan pemerintah negara itu juga mempertimbangkan usul mengurangi program pelatihan para pemberontak Suriah untuk memerangi ISIS bernilai US$ 580 juta yang dinilai gagal.

Doktrin Obama gagal sebagian karena lemahnya pemerintahan nasional di Irak dan Afghanistan, dan juga kegagalan kelompok oposisi moderat Suriah untuk mengalahkan para pesaingnya.

Tetapi tetap saja para pengkritik menyalahkan Obama atas hal yang mereka pandang sebagai pendekatan yang terlalu berhati-hati, sehingga muncul pandangan bahwa Gedung Putih terhuyung-huyung akibat krisis yang terus melanda.

Citra Obama sebagai pemimpin dunia yang terkadang bersikap pasif menambah persepsi bahwa dia membiarkan perang saudara di Suriah memburuk, dan tidak bertindak cukup tegas untuk menghentikan laju ISIS di negara itu dan juga Irak.

Kekhawatiran baru terkait kebijakan Obama di Afghanistan juga dipicu oleh kejatuhan kota Kunduz ke tangan para pejuang Taliban minggu ini.

Para pejabat AS mengatakan, kemenangan Taliban secara tiba-tiba atas pasukan Afghanistan menambah dimensi baru pada diskusi perlunya mengubah rencana yang ada saat ini dan mempertahankan sejumlah kecil pasukan di Afghanistan setelah akhir 2016.

Obama dan penasihatnya dengan keras membela pendekatan tersebut, bahkan ketika masalah di beberapa medan peperangan semakin rumit.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa strategi kemitraan kami adalah upaya yang akan berhasil dalam jangka pendek,” kata seorang pejabat senior pemerintah AS kepada Reuters. “Bahkan, kami selalu menekankan bahwa strategi itu memerlukan komitmen jangka panjang.

Pejabat ini malah menuduh pengkritik Obama tidak bisa menawarkan alternatif lain yang lebih bagus.

Apakah solusi setiap masalah di Irak dan Suriah adalah mengerahkan 150 ribu tentara AS? Langkah itu tidak akan dilakukan oleh presiden ini, atau diinginkan oleh warga Amerika,” kata pejabat ini.

 “Kepentingan Utama” 

Dasar dari strategi besar Obama dijabarkan dalam pidato di depan lulusan sekolah militer West Point pada 28 Mei 2014.

Saat itu, dengan berhati-hati dia membatasi pemikiran penggunaan kekuatan militer AS - hanya “ketika kepentingan utama kita memerlukannya” - dan menegaskan langkah yang dipilih adalah “bermitra dengan negara-negara tempat jaringan teroris mencoba mengakar.

Namun, kebijakan itu tidak terbukti sebagai metode yang berhasil dalam perang melawan militansi Islam.

Di Suriah, kegagalan upaya AS membangun satu pasukan pemberontak semakin jelas bulan ini ketika Pentagon mengakui bahwa hanya empat atau lima pejuang yang benar-benar terjun di medan perang.

Gedung Putih berkeras hal itu bukan kesalahan Obama karena dia memang ragu dengan program itu, sementara pihak lain, termasuk pengkritik dari partai Republik, menekannya untuk menyetujui program pelatihan itu.

Program pelatihan dan mempersenjatai itu hanyalah sekadar upaya agar Gedung Putih terlihat ‘melakukan sesuatu’,” kata Frederic Hof, mantan penasehat Departemen Luar Negeri AS untuk Suriah. “‘Setan yang memaksa saya melakukannya’ merupakan jawaban pemerintah atas kegagalan kebijakan itu.

Kehadiran Rusia yang cepat di Suriah bertolak belakang dengan langkah yang disebut pengkritik Obama sebagai strategi mengerahkan militer AS di Suriah yang lambat dan penuh keraguan.

Ketika tidak ada kepemimpinan Amerika, kekosongan ini akan diisi oleh pihak-pihak yang jahat,” kata Senator John McCain dari Partai Republik yang merupakan pengkritik keras kebijakan luar negeri Obama. Dia merujuk pada kemajuan yang dicapai oleh militan di wilayah konflik.

Di Irak, pemerintah Syiah yang terlibat ketegangan sektarian dengan penduduk minoritas Sunni, kesulitan mengatasi gerak laju ISIS.

Pasukan keamanan masih mencoba untuk dibangun kembali setelah tercerai-berai ketika menghadapi serangan militan di kota Mosul, kota terbesar kedua di Irak.

Secara pribadi, para pejahat AS telah mengutarakan rasa frustrasi atas kelambatan operasi di Irak, seperti persiapan merebut kembali Ramadi ibukota provinsi Anbar yang direbut ISIS Mei lalu.

Para pejabat AS menunjuk pada hasil yang lebih positif dari dukungan militer yang diberikan pada pasukan Kurdi di Irak dan Suriah.

Keberhasilan lain menurut mereka adalah kemajuan yang dicapai oleh mitra setempat untuk memerangi kelompok ekstrimis Boko Haram di Afrika Barat.

Akan tetapi, di Afghanistan lepasnya Kunduz merupakan pukulan terbaru bagi kebijakan Obama dan menimbulkan pertanyaan apakah pasukan Afghanistan bisa menjaga keamanan negara itu sendiri, meski Washington berinvestasi US$ 65 juta untuk membangunnya.

Para pengkritik mengatakan rencana penarikan diri pada 2016 terlalu terburu-buru.

Sejumlah pengamat mengisyaratkan meski jet tempur AS kemudian mengebom sasaran Taliban untuk merebut kembali Kunduz, militer AS kemungkinan tidak bisa menyediakan bantuan cepat terutama dalam mengirim tentara.

Bahkan jika Kunduz nanti bisa direbut kembali dari Taliban, “kerusakan sudah terjadi,” kata James Dobbins, mantan Utusan Khusus Obama di Afghanistan dan Pakistan. “Semua warga di sana sekarang sadar posisi mereka rentan.” (yns)
Parlemen Rusia Izinkan Penggunaan Militer di SuriahIlustrasi pesawat tempur Rusia. (Norwegian NATO Q)

Parlemen Rusia akhirnya membulatkan suara, memberikan kewenangan bagi pemerintah Presiden Vladimir Putin untuk mengerahkan kekuatan militer negara ke Suriah.

"Presiden Suriah meminta pimpinan negara kami untuk dukungan militer," ujar kepala pemerintahan Kremlin, Sergei Ivanov.

Namun, kata Ivanov, bukan berarti pasukan angkatan darat Rusia dapat terlibat dalam konflik. Pemungutan suara di parlemen hanya membahas masalah penggunaan angkatan udara.

Rusia memang sudah membangun kekuatan militer di Suriah untuk mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad dalam menyelesaikan konflik antara beberapa kelompok militan, seperti ISIS, dan pemberontak yang didukung Barat.

Dalam sistem Rusia, dibutuhkan izin sebelum menggunakan kekuatan militer, terutama di luar negeri. Namun, beberapa media di Timur Tengah memberitakan bahwa pesawat tempur Rusia sudah beroperasi di Suriah.

Kremlin bungkam mengenai pemberitaan ini.

Di Suriah sendiri sudah beroperasi koalisi serangan udara di bawah komando Amerika Serikat untuk menggempur ISIS.

"Jika ada penyatuan koalisi, yang saya ragukan, atau pada akhirnya ada dua koalisi, satu Amerika dan satu Rusia, mereka harus mengoordinasikan aksi mereka," kata ahli militer, Ivan Konovalov.

AS dan Suriah satu visi dalam penggempuran ISIS. Namun, AS tak sependapat dengan dukungan Rusia terhadap pemerintahan Bashar al-Assad. Menurut AS, Assad adalah dalang dari segala masalah di Suriah. (stu/stu)

  CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.