Senin, 27 Februari 2012

Sorot 74 : Menguak Jaringan Teror di Aceh

☆ Jaringan teroris membangun kamp pelatihan di Serambi Mekkah. Mengapa mereka memilih Aceh? 

Jasad Enceng Kurnia dan Pura Sudarma di tepi jalan.
MOBIL Colt L-300 hitam itu melesat di jalan Leupeung, Aceh Besar, Jumat 12 Maret 2010. Pagi itu langit agak mendung. Ada sepuluh penumpang. Semua lelaki muda, dengan wajah pasi.

Di baris depan duduk dua orang. Yang satu, lengannya berperban. Ada bau busuk meruap. Di belakang, delapan lelaki lain duduk bungkam. Zakiruddin, sang supir, dengan santai tancap gas. Dia tak curiga.

Sepuluh orang itu naik dari Lambaroe, Aceh Besar. Mereka membayar 120 ribu per orang di loket sewa angkutan itu. Zakiruddin sempat bertanya, mereka mau ke mana. “Ke Lamno,” ujar seorang lelaki. “Kami ingin mencari kayu”. Lamno, kota kecil, di tepi pantai barat Aceh, sekitar 120 kilometer dari Banda Aceh.

Ada barang bawaan dalam tas besar. “Ini chain saw”, kata si lelaki, sebelum mereka naik Colt itu. Zakiruddin lega. Dia yakin, para penumpangnya pencari kayu.

Sekitar pukul 10 pagi, saat mobil hendak lewat di depan Markas Polisi Sektor Leupueng, Aceh Besar,  Zakiruddin kaget.  Ada razia. Mobilnya distop persis di depan markas. Delapan polisi menghadang dengan senapan siaga. Seorang petugas menyuruhnya turun, dan membongkar bagasi.
Mata petugas itu tertumbuk pada satu tas agak besar. Dia meraba tas itu sejenak. “Ada senjata!”, petugas itu berteriak. Dia mundur, dan menarik tas itu keluar dari bagasi mobil.

Dua lelaki penumpang di baris depan tadi melompat turun. Seorang, kelak diketahui bernama Pura Sudarma alias Jaja, mencabut pistol. Dia melepaskan tembakan dua kali. Rekan di sebelahnya, Enceng Kurnia, ikut kabur. Tapi sial. “Dor, dor!”. Senapan polisi menyalak. Keduanya tersungkur. Ada pistol jenis Glock di tangan Pura.

Delapan penumpang lain diringkus segera. Mereka tak melawan. Pura dan Enceng tewas di tempat. Enceng rupanya tokoh penting. Dia belum lama lepas dari Penjara Cipinang, Jakarta, karena terlibat aksi terorisme.

“Dia anggota Darul Islam,” ujar seorang rekan Enceng di Bandung yang menolak disebut namanya, kepada VIVAnews, Jumat 12 Maret 2010. Enceng alias Ardi alias Umar Yusuf alias Arnold tercatat pernah “berjihad” di Poso dan Ambon.

***


Pemburuan Teroris di Aceh
PENEMBAKAN di Leupeung itu adalah babak terbaru dari rangkaian drama perburuan teroris di Aceh dua pekan lalu. “Sudah 31 orang yang kita tangkap” ujar Kapolda Aceh Irjen Pol Adityawarwan kepada wartawan di Banda Aceh, sesaat setelah peristiwa Leupeung, Jumat 12 Maret 2010.

Sejak perjanjian damai antara GAM dan pemerintah RI diteken di Helsinki lima tahun lalu, sebetulnya situasi keamanan di Aceh telah pulih. Kekerasan menurun drastis, terutama setelah pemilu 2009. Tapi kini Aceh mendadak kembali menjadi sorotan.

Cerita ini berawal dari bentrokan bersenjata di kawasan Jalin, Jantho, Aceh Besar, pada 22 Februari 2010 lalu. Pada hari itu, polisi mendengar sekelompok orang bersenjata berlatih militer di perbukitan Jalin. Satu regu polisi datang mengintai. Diketahui sekitar 50 orang berlatih, 17 diantaranya bersenjata.

Merasa kekuatan tak imbang, polisi mengontak markas. Tambahan pasukan Brimob dari Polda Aceh, dan polisi Polres Aceh Besar, pun datang. “Kita tidak mau ambil risiko, kekuatan mereka cukup besar,” kata Kapolda Aceh, Irjen Polisi Adityawarman, Selasa, 22 Febuari 2010.

Saat penyergapan, kontak senjata meledak. Sebagian besar kawanan itu lolos. Ada empat tertangkap. Mereka adalah Ismet Hakiki, 40 tahun, dan Zaki Rahmatullah, 37 tahun, asal Pandeglang, Jawa Barat. Dua orang lagi Yudi Zulfahri, 27 tahun, adalah warga Perumnas Lambhee Aceh Besar. Sedangkan Masykur Rahmat, 21 tahun, warga Miruk, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Dari mereka polisi menyita sejumlah barang bukti. Tampaknya gerakan itu bukan sempalan Gerakan Aceh Merdeka. Ada sejumlah baju loreng mirip seragam tentara Malaysia, sangkur, dan teropong. Lalu, ditemukan juga puluhan buku bertema jihad. Antara lain, Mimpi Suci di Balik Jeruji Besi karya Ali Gufron alias Mukhlas, tokoh Bom Bali yang dieksekusi mati tahun lalu.

Dari temuan itu, Adityawarman menduga kelompok ini bagian jaringan gerakan Islam radikal, semisal Jama'ah Islamiyah. “Ada unsur tidak kita kenal sebelumnya, dan tidak ada di Aceh,” ujar Adityawarman. Memang, dari yang tertangkap di Jalin, mereka adalah pendatang. Sebetulnya, kata Kepala Polda, kehadiran gerombolan itu sudah tercium polisi sejak setahun lalu. Ada laporan sekelompok orang bersenjata bergerak di sekitar Geumpang, Tangse di Pidie, sampai Nagan, kawasan Aceh Barat.

Setelah menyergap mereka di Jalin, Polisi lalu menyisir hutan kawasan itu. Naas, seorang warga tewas tertembak. Dia Kamaruddin, 37 tahun, warga Kuta Cot Glie Aceh Besar. Lelaki itu pulang memancing, dan melintas dengan sepeda motor. Dia membonceng putranya, Suheri, 14 tahun. Polisi menyetop mereka, tapi entah tak terdengar, tembakan pun dilepaskan.

Dada dan kaki Kamaruddin terkena. Dia tewas. Peluru juga menembus tubuh Suheri. Untung, remaja itu selamat.  “Dia membawa senapan menembak ikan yang kita kira senjata. Kita menyesali kejadian ini, kita mohon maaf yang sebesar-besarnya” kata Kapolda. Kasus ini memang sensitif. Soalnya, Kamaruddin adalah bekas kombatan GAM.

***

DARI informasi mereka yang ditangkap di Jalin, polisi lalu menggerebek satu rumah di tepi hutan Saree Aceh Besar, 25 Februari 2010. Tiga orang ditangkap berikut satu pucuk senjata M-16, dan dua AK-47 berikut ratusan peluru. Temuan itu menunjukkan gerakan ini punya kekuatan serius.  Mabes Polri pun turun tangan. Sumber Polda Aceh menyebutkan Jakarta mengirimkan Satuan Anti Teror Densus 88 ke Aceh untuk memburu jaringan teroris itu.

Perburuan pun kian intens. Kawanan itu diduga masih berada di sekitar Aceh Besar. Ada laporan warga, segerombol orang berpakaian hitam dan bersenjata, terlihat berkelebat di desa Lamtamot Aceh Besar, sekitar 20 kilometer dari Jalin. Hasil penyisiran, polisi menangkap 14 orang lagi di lokasi terpisah, dari Aceh Besar ke Pidie, dan Pidie Jaya. Ruang gerak kawanan itu dipersempit. Polisi membangun pos-pos kecil di sejumlah desa.

Pemeriksaan di Aceh
Razia kendaraan pun dilancarkan. Misalnya, di Padang Tijie, Pidie,  polisi menembak Abdullah warga Lamtamot Aceh Besar. Dia, dan dua penumpang bus Kurnia lainnya, berusaha kabur saat polisi menggeledah bus itu pada dini hari, 2 Maret 2010. Polisi menemukan senapan M-16, dan ratusan amunisi di tas korban. Polisi mengklaim Abdullah bagian dari Kelompok Jalin. Tapi keluarganya membantah.  “Dia bukan teroris, atau GAM. Dia kernet truk, dan tukang potong kayu”, ujar Anisah, kakak kandung Abdullah.

Kawanan bersenjata itu pun tak bergeser terlalu jauh. Pada 3 Maret 2010, polisi memergoki gerombolan itu turun dari arah Desa Iboeh Tunong ke Simpang Bayu, masih di seputar Lamkabeu, Aceh Besar. Kontak senjata pun tak terhindarkan. Lagi, seorang warga sipil jadi korban. Nurbahri, 60 tahun, tewas tertembak. Tak jelas peluru siapa. Polisi mengatakan Nurbahri terkena tembakan kawanan teroris.

Esoknya, polisi menyisir Simpang Bayu. Mereka bertemu jejak kelompok itu di perbukitan. Senjata pun menyalak. Dalam bentrokan ini, gerombolan itu di atas angin. Mereka di bukit, sementara polisi merayap di rerimbunan pohon pisang. Hasilnya, tiga polisi tewas dan 11 lainnya terluka. Mereka adalah Bripda Darmansyah, Bripda Srihandri Kusumo, anggota Brimobda Aceh dan Briptu Boas Waosiri, anggota Detasemen Khusus anti teror 88. Pistol Glock milik Boas direbut kawanan itu.

Sejak itu, polisi terus meningkatkan penyisiran di berbagai wilayah Seulawah. Satuan Brimob kembali masuk ke kampung-kampung, mirip situasi Aceh di era opaerasi militer dulu. Jalan masuk ke lembah diblokade polisi. Warga di sekitar konsentrasi pasukan dilarang ke ladang. Meski mengeluh, warga terpaksa menurut. “Saya sudah lima hari tidak pulang ke rumah, kalau tidak ke ladang kami tidak tahu makan apa,” kata Bit Ali, 65 tahun, warga Meunasah Tunong.

Tanah Rencong kembali riuh dengan letusan senjata.

***

SIAPAKAH para pembuat onar di Aceh itu? Mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf tegas mengatatakan tak ada bekas anggota GAM terlibat dalam gerombolan di Jalin itu. “Kami justru membantu polisi membekuk mereka,” ujar Manaf saat berada di Jakarta, 9 Maret 2010.
 
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan kelompok itu sudah lama dipantau, terutama sejak ada organisasi yang menyiapkan sukarelawan jihad ke Palestina, saat Israel menyerang Gaza, Januari 2009. Gerakan ini tampaknya mengusung ideologi jihad. Tapi Irwandi menolak menyebut jelas organisasi di Aceh itu.

Satu fakta, yang mungkin bisa dilihat kaitannya, adalah klaim yang muncul lewat internet di laman www.al-ufuq.wordpress.com, persis sepekan setelah penyergapan di Jalin itu. Selain pernyataan dari kelompok yang menamakan dirinya Tandzim Al-Qaidah Indonesia Serambi Makkah, blog itu juga menampilkan video latihan militer. Tapi, sejak pekan lalu, laman itu sudah tak bisa diakses, karena ditutup oleh wordpress.com.

Sumber VIVAnews yang dekat dengan kalangan Jama'ah Islamiyah, misalnya, mengakui video itu memang disebarkan dari kelompok jaringan yang ada di Jalin. “Mereka minta di-upload ke seluruh jaringan Timur Tengah,” ujar sumber asal Jawa Barat ini. Dia menunjukkan SMS dari seorang kontak di Jalin itu, tentang apa yang terjadi di Aceh, dan kabar “mereka selamat setelah sepekan disergap thogut di Aceh”. Tapi, betulkah itu video latihan di Aceh?

Sulit untuk memastikan. Sepanjang kurang lebih 1 jam 15 menit video itu menyelipkan banyak hal: ada propaganda korban kekerasan di Talangsari, Lampung, lalu Poso dan Ambon. Ada adegan latihan orang menembak, baris berbaris, dan latihan militer dasar lainnya. Gerombolan itu tampak memanggul senjata AK-47 dan M-16.



Video amatir
Video amatir itu juga merekam pemandangan perbukitan, sekilas mirip kaki pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Tapi, tak jelas benar itu kawasan Seulawah atau bukan. Soalnya, hutan tropis di mana pun tampak mirip.

Satu-satunya petunjuk unik, yang mungkin dimaksudkan bukti mereka di Aceh, adalah adegan seorang pemuda yang wajahnya sengaja dikaburkan, memegang AK-47, lalu membacakan Hikayat Prang Sabi, hikayat legendaris di Aceh. Logat Aceh si pemuda itu terdengar fasih. Dia lancar membaca hikayat itu, dan tuntas.

Dua kali si pemuda itu muncul di video. Pertama, pada gambar yang kelihatannya diambil malam hari, dengan senjata AK-47. Dan kedua, siang hari, dia duduk bersila, tangan kanan memegang pistol, tangan kiri memeluk AK-47. Setelah membaca hikayat, si pemuda memekik “Allahu Akbar”. Lalu dia menembakkan pistolnya ke langit.

Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil) isinya berupa petuah mengajak berjihad melawan ketidakadilan. Hikayat itu populer di Aceh pada zaman perang melawan Belanda. Para kombatan GAM kerap melantunkannya pada saat Aceh berada dalam konflik bersenjata. Lalu, adakah hikayat yang dinyanyikan si pemuda mirip dengan yang pernah dilantunkan GAM?

“Hikayat itu bukan versi yang biasa dinyanyikan GAM,” ujar Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh yang juga bekas pengatur strategi militer GAM. Dia mengaku telah menyaksikan video itu. Bait penutupnya, kata Irwandi, berbeda. Pada versi GAM, ada kata 'menuju Aceh merdeka'. Sedangkan yang dinyanyikan si pemuda kalimat itu menjadi 'menuju Aceh mulia'.

Dosen Pasca Sarjana IAIN Ar-Ranirry Banda Aceh, Dr Al Yasa' Abu Bakar, mengatakan jika benar  Kelompok Jalin itu memakai Hikayat Prang Sabi, maka mereka mencoba mengeksploitasi radikalisme orang Aceh. “Tapi, tak ada dalam sejarah Islam di Aceh sejalan dengan gerakan teror seperti itu,” ujar Al Yasa'. Jihad di Aceh sejak dulu menentang penjajah, dan mengarah kepada kedaulatan Aceh. Bukan model jihad global, seperti diserukan kelompok radikal itu.

Memang, pada video itu juga diselipkan khotbah dari tokoh jihad global Dr Abdullah bin Azzam. Lalu ada ceramah tokoh Al Qaidah, Usamah Bin Laden.  Dan ini yang penting: di penutup video, seorang pemuda berlogat kental Jawa memberikan seruan jihad.  Dia bersila di dalam tenda, tangannya menopang pada senjata AK-47.   
“Kepada seluruh anggota Jamaah Islamiyah, saya serukan segera bergabung. Berjihad bukan dengan pena, sarung, dan peci,” sebutnya. 

Jelas, dia lugas mencerca Jamaah Islamiyah, yang pemimpinnya dianggap 'da'i kantoran'. “Kalian bisa kumpulkan ratusan juta, bahkan miliaran. Tapi kalian kumpulkan untuk dakwah, pesantren. Ini adalah pengkhianatan", ujar si pemuda tadi. Mereka sepertinya tak sejalan dengan organisasi yang dulu dipimpin Abu Bakar Ba'asyir itu. 

Terbetik kabar, kawanan yang berada di Jalin adalah aliansi dari berbagai kelompok penyeru jihad. “Ada bekas Jamaah Islamiyah, Ansharut Tauhid, Darul Islam, dan sebagainya,” ujar sumber VIVAnews. Lalu, mengapa mereka ke Aceh. “Aceh mau dijadikan ajang latihan militer, atau istilahnya tadrib”, ujarnya lagi. Tak jelas, siapa yang akan dijadikan sasaran setelah berlatih.

***

Palestina
DARI mereka yang tertangkap terungkap fakta lain. Disebutkan, jalur mula pelatihan adalah saat Front Pembela Islam (FPI) Aceh melakukan pelatihan mujahidin yang akan dikirim ke Palestina pada Januari 2009 lalu. Lokasi pelatihan berada di perbukitan Cot Kareung, di Desa Blang Weu Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe.

Saat itu, lebih dari lima ratusan orang mendaftar menjadi peserta latihan. Namun FPI Aceh hanya menerima 125 orang saja. Mereka dilatih bela diri, baris berbaris, dan pembekalan militer lainnya oleh Abu Alyas. Sang Abu ini disebut-sebut punya pengalaman militer. Ada yang menyebutnya pernah ke Afganistan, ada juga yang yakin, Abu Alyas pernah bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan.

Sebagai tempat pemondokan, dipilih Dayah (Pesantren) Darul Mujahidin pimpinan Teungku Muslim At-Thahiri. Pesantren itu hanya menyediakan logistik, serta penginapan bagi calon mujahidin yang akan berjuang di jalur Gaza. “Kita mendapatkan izin untuk mengelar pelatihan dari polisi waktu itu, kita mematuhi Undang-undang” kata Yusuf Al-Qardhawi, Ketua FPI Aceh.

Tapi, siapa sebenarnya Abu Alyas? Qardhawi mengaku tak banyak tahu. Yang mengundang Abu Alyas ke Aceh adalah Teungku Muslim At-Thahiri, yang tak lain Sekjen FPI Aceh. “Kami dulu kebingungan cari pelatih. Lalu, Teungku Muslim menyodorkan nama itu,” ujar Qardhawi. Dia mengakui sempat memberi latihan militer. Tapi tanpa senjata. Soal nama Abu Alyas, kata Qardhawi, Teungku Muslim mendapatkan nama itu dari temannya yang lain.

Mereka yang ikut pelatihan juga meneken perjanjian. Kalau nanti gagal ke Gaza, mereka siap berjihad di mana saja. Bahkan, kata Qardhawi, ada yang siap melakukan aksi bom jihad segala. “Tapi kami tak mengajarkan merakit bom,” ujarnya menambahkan. Sekitar 15 orang akhirnya dikirim ke FPI Pusat di Jakarta. Tapi, belakangan, para calon mujahidin itu tak jadi berangkat. “Saat itu, Hamas sudah gencatan senjata dengan Israel”, tambah Qardhawi.

Nama Abu Alyas akhirnya terungkap ketika Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengumumkan foto para terduga teroris di Aceh, Jumat 13 Maret lalu.  “Saya lihat foto Abu Alyas di TV. Namanya yang disebut Kapolri sebagai Sofyan As-syauri,” ujar Qardhawi lagi. Dia buru-buru menambahkan tak setuju dengan model gerakan jihad itu. “Mereka cepat mengkafirkan orang, seakan-akan hanya mereka ahli surga,” kata Qardhawi.

Abu Alyas inilah, menurut Qardhawi berdasarkan informasi yang dikumpulkannya, merekrut 15 putra Aceh. Antara lain, rekrutmen baru seperti Muni alias Abu Rimba. Yang lainnya, adalah Abdullah yang tertembak di Padang Tijie sewaktu razia. “Katanya dia mantan GAM, tukang pegang radio,” ujar Qardhawi.

Sofyan As-syauri alias Abu Alyas alias Abu Haikal, memang telah ditangkap polisi. Sumber di kepolisian menyebut dia “dijemput” begitu namanya disebut para tersangka yang tertangkap di Jalin. "Dia pernah mendirikan sekolah menembak. Perannya memasok senjata ke tempat latihan di Nanggroe Aceh Darussalam," kata Kapolri saat itu.

***

SOFYAN alias Abu Alyas alias Abu Haikal adalah disertir Polri. Dia pernah bergabung dengan Brimob, dan terakhir bertugas di Polres Depok. Sofyan dipecat pada Februari 2009. Kepala Polres Depok Komisaris Besar Polisi Saidal Mursalim membenarkan Sofyan pernah ada di kesatuannya.
 

"Tapi dia sudah desersi, dan diberhentikan tidak hormat,” ujar Saidal menambahkan. Tak jelas ke mana Sofyan pergi. Dia pernah mangkir dari pekerjaannya sampai tiga bulan. Selain itu Sofyan dikenal sebagai ustad, yang kerap berceramah di seputar Depok.

Dia tampaknya berperan sebagai penghubung mereka yang di Jawa, dan di Aceh. Kian jelas pula kelompok itu punya pengalaman aksi teror. Dari keterangan tersangka, dan juga Sofyan, terungkap jaringan di Pamulang. Hasilnya sangat mengejutkan. Operasi polisi di Pamulang menembak mati Dulmatin, salah satu pelaku penting aksi Bom Bali 2002.

Kelompok ini tampaknya ingin membuat aliansi baru. “Bahkan tampaknya mereka mau membangun taktik insurgensi,” ujar Kepala Desk Anti Teror Kementerian Polkam Ansyaad Mbai. Tentu saja, tadinya Aceh dianggap tempat yang cocok untuk agenda itu. Soalnya, ada GAM yang hampir tiga dekade angkat senjata, plus syariat Islam.
“Tapi mereka keliru. Teroris tak bisa hidup di Aceh,” ujar Irwandi Yusuf.
Laporan Muhammad Riza|Banda Aceh


Sumber :
  • VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.