Senin, 16 April 2012

Insiden 2 Oktober 1965

Sebuah dilema mendadak menyergap Sersan Sutrisno pada hari Sabtu, 2 Oktober 1965. Bersama anak buahnya, Komandan Peleton II, Kompi C Batalyon 454/Para, yang dikenal sebagai Banteng Raiders atau disingkat BR, yang sedang bertugas di Pangkalan Aju Udara (PAU) Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tiba-tiba disergap dan ditembaki RPKAD.

Seminggu sebelumnya pasukan Yon 454/Para meninggalkan asrama di Srondol, Semarang Selatan dengan konvoi truk menuju Jakarta. pasukan kemudian ditempatkan didaerah Kebun Jeruk, Jakarta Barat, untuk mengikuti upacara peringatan hari ABRI 5 Oktober 1965.

Kostrad mendapat perintah dari Pimpinan Angkatan Darat untuk menyiapkan pasukan untuk upacara memperingati hari ABRI, maka didatangkan pasukan Kostrad dari satuan Yon 530/Para dari Jawa Timur, Yon 454/Para dari Jawa Tengah, Yon 328/Para dari Jawa Barat, Kesatuan Panser Kostrad dari Bandung dan Artileri Kostrad dari Cimahi, Jawa Barat.

Berdasarkan memenuhi surat perintah Panglima AD, Pasukan Yon 454/Para diberangkatkan dengan perlengkapan lengkap termasuk truk dan jip yang di pimpin Danyon Mayor Inf Sukirno bersama Wa-Danyon Kapten Inf Kuntjoro menuju Jakarta.

Karena banyak anggota pasukan belum pernah melihat Ibukota, maka penugasan ini akan dimanfaatkan sebagai rekreasi pasukan di Ibukota Jakarta. Walaupun berangkat dengan perlengkapan tempur, mereka tetap waspada dan semangat, bila sewaktu-waktu ditugasi oleh komandan. Seperti waktu era Trikora, mereka pernah diterbangkan malam-malam dalam Operasi Mandala menuju Fak-fak, Irian Barat.
 
 Banteng Raiders andalan Diponegoro

Satuan Banteng Raiders (BR) merupakan satuan tempur andalan Divisi Diponegoro yang dibentuk pertengahan tahun 1950-an dan turut serta menumpas pembrontakan Darul Islam (DI) di perbukitan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan sandi Gerakan Banteng Nasional (GBN) dalam operasinya. Waktu itu Komandan Operasi Letkol Inf Achmad Yani memerlukan pasukan khusus anti gerilya untuk menumpas gerombolan DI.

Bersama dengan Yon 530/Brawidjaja dan Yon 330/Siliwangi resmi menjadi Batalyon Para dari Tjaduad (Tjadangan Umum Angkatan Darat). Pada awal tahun 1963, dalam rangka pembebasan Irian Barat, Tjaduad berubah menjadi Kostrad (Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat) dibawah pimpinan komando Mayor Jenderal Soeharto, merangkap Panglima Mandala.
 
 Soeharto melakukan inspeksi

Pada Hari Jum'at 30 September, di parkir timur Kompleks Gelora Bung Karno, Yon 454/Para berserta semua peserta upacara parade hari ABRI melakukan gladi kotor. menjelang sore waktu istirahat, turun perintah konsinyir, semua anggota dilarang keluar dari 'markas' sementara di Kebun Jeruk, Jakarta. Kemudian semua Komandan Peleton keatas dipanggil untuk briefing.

Dalam briefing, Komandan Batalyon (Danyon), Mayor Sukirno mengungkapkan bahwa situasi Negara Siaga Satu (sedang krisis). Ada informasi beredar bahwa ada kekuatan subversif Dewan Jendral yang akan menggulingkan kekuasaan Bung Karno. Banteng Raiders merasa terpanggil untuk menyelamatkan revolusi dengan mengamankan pemimpin besar revolusi (Bung Karno).

Danyon kemudian membagi Batalyon menjadi 2 kekuatan, Kompi A di pimpin langsung Mayor Sukirno langsung menuju Lubang Buaya. Sedangkan sisanya Kompi B dan Kompi C dipimipin Wa-Danyon Kapten Kuntjoro menuju Monumen Nasional (Monas). Mereka ditempatkan di sisi barat laut dekat pintu masuk Istana Merdeka dan mendapat briefing untuk membantu mengamankan Istana dan Studio Pusat RRI dari ancaman pasukan Dewan Jenderal.

 Pergerakan pasukan

Mendengar informasi ada kekuatan pasukan militer di sekitar Monas, Mayjen Soeharto dengan pakaian loreng menuju Markas Kostrad. Di Markas kemudian di bahas siapa yang memerintahkan pasukan dari Yon 530/Para dan Yon 454/Para berada disana.

Dalam Buku Kostrad Dharma Putra, menerangkan bahwa Pangkostrad Mayjen Soeharto langsung memanggil Komandan Brigade Infanteri 3/Para Kostrad, Letkol Inf Soekresno. Dan Brigif 3/Para Kostrad menerangkan bahwa tidak pernah memberi perintah kepada 2 Batalyon itu untuk berada di Monas.

Setelah menganalisa dan mendapat saran dari para perwira staff Kostrad, Mayjen Soeharto memutuskan Gerakan 30 September adalah kontra revolusi dan Letkol Inf Untung telah berkhianat. Kemudian memerintahkan Dan Brigif untuk memanggil pimpinan Yon 530/Para, Yon 454/Para, dan Yon 328/Para ke Markas Kostrad. Soeharto pun minta bantuan Brigjen Basuki Rahmat dan Kolonel Sabirin Muchtar untuk memanggil Danyon 530/Para, sedangkan Letkol Ali Murtopo ditugaskan memanggil Yon 454/Para. Kebetulan mereka semua sedang berada di Jakarta dan dianggap mempunyai pengaruh, karena masing-masing pernah bertugas di kedua kesatuan dimaksud.

Menjelang Siang pukul 12.00 Wa-Danyon 530/Para Katen Inf Soekarbi dan Wa-Danyon 454/Para Kapten inf Kuntjoro menghadap Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kepada kedua perwira tersebut ditanyakan siapa yang memerintahkan pasukannya ke Monas.

Sesudah mereka memberikan penjelasan, Soeharto langsung memerintahkan mereka berserta pasukannya masuk ke halaman Markas Kostrad. Kapten Soekarbi dengan sikap polos menyambut baik, Sedangkan Kapten Kuntjoro akan memberi penjelasan setelah menyampaikan kepada Komandan Batalyon Mayor Sukirno.

Mendengar jawaban Kapten Kuntjoro, Soeharto dengan nada marah memberikan peringatan, kalau perintahnya diabaikan, pasukan Yon 454/Para akan di hancurkan.

Sekitar pukul 15.00 Kapten Soekarbi membawa pasukannya sebanyak kurang lebih satu Batayon datang ke Markas Kostrad. Ternyata salah satu Kompi Yon 530/Para tak ikut seta dan bersama Pasukan Pasopati ternyata menculik para Jenderal.

Sementara itu Kapten Kuntjoro tidak muncul. Dia justru mengajak pasukannya menyusul ke Halim untuk mencari Danyon Banteng Raiders, Mayor Sukirno.

Mengapa tidak mengikuti perintah Pak Harto?

Komandan Peleton II Kompi C Batalayon 454/Para, Sersan Sutrisno menjawab, "Pertimbangan Wa-Danyon, Komandan sedang tidak ada di tempat. Tidak mungkin kami mengikuti perintah bukan dari atasan langsung, apalagi disampaikan secara lisan, tanpa ada yang bisa melakukan otorisasi."

Tetapi, bukankah saat itu pasukan kelaparan, karena kiriman makanan tidak ada? Mengapa tidak seperti Yon 530/Para yang kemudian malah bisa dijamu di Markas Kostrad?

"Saya tidak tahu pertimbangannya, itu urusan mereka. Tetapi jangan lupa, Kami Banteng Raiders. Masa, hanya karena lapar lantas menyerah?" jawab Sutrisno.

Tercatat setelah purna tugas Sutrisno berpangkat Letnan dan pernah menjabat sebagai Komandan Koramil di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Namun Naas buat Soekarbi, yang menjalani tahanan selama delapan tahun di Lowok Waru, Malang. Kemudian setelah bebas menetap di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

 Sarwo Edie dalam bidikan

Kolonel Sarwo Edie di depan massa
Sabtu dini hari pukul 01.00 tanggal 2 Oktober, setelah musyawarah dengan para senior Angkatan Darat di Markas Kostrad, Mayjen Soeharto mengambil pimpinan Angkatan Darat di saksikan Jenderal Nasution, dan memerintahkan kepada Kolonel Sarwo Edie Wibowo, Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) untuk menguasai Halim Perdanakusuma dengan pesan menghindari pertumpahan darah dan kerusakan materil.

Dalam buku Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia menyebutkan bahwa Mayor Inf CI Santoso, Danyon I/RPKAD yang mendapat perintah menguasai Lanud Halim Perdanakusuma, meminta bantuan satu Kompi Yon/Para Kujang II dan sat Kompi Panser Kostrad untuk melakukan penjagaan di sekitar Jakarta By Pass, Cawang, karena pasukan RPKAD akan masuk Halim melalui Klender.

Gerak masuk RPKAD ke Halim hampir tanpa kontak tembak, hanya di depo perminyakan terdapat pejaga depo, Sersan Udara Supardi dan Prajurit Udara Tugimin melihat kedatangan RPKAD, dan berusaha mengambil senjata. RPKAD yang tidak mau mengambil resiko, langsung menembak kedua prajurit AURI tersebut dan gugur di tempat.

Komandan Peleton II Kompi C Batalayon 454/Para, Sersan Sutrisno yang sedang berjaga di lokasi mendapat sergapan dari RPKAD. "Kami kaget tiba-tiba dihujani tembakan. Lari atau melawan? Tanpa sengaja saya baca bagde Banteng Raiders, gambar Banteng dengan tulisan Pantang Mundur. Selain itu saya sudah melihat dengan jelas Kolonel Sarwo Edhie naik Panser. Senapan saya angkat sambil dibidikan. Kemudian muncul perasaan nggak enak, masa saya harus menembak sosok yang saya sudah kenal? Maka bidikan saya alihkan ke sasaran di sebelahnya. Picu saya tarik, tembakan meletus"

Kontak senjata berlansung antara RPKAD dengan Yon 454/Raiders Diponegoro. Hal itu terjadi ketika rombongan Sarwo Edhie melewati dropping zone Lubang Buaya. Dalam pertempuran tersebut gugur kena tembak seorang anggota Kompi Cadangan Yon I/RPKAD yang bertugas mengawal Kolonel Sarwo Edhie.

 Pertemuan segi tiga

Komodor Ignatius Dewanto, deputi Operasi Panglima Angkatan Udara, saat itu berada di Halim, dekat hanggar Skadron Teknik. Dengan jelas dia mendengar suara tembakan. Dewanto mendapat penjelasan, bahwa induk pasukan RPKAD sedang dihadang pasukan Raiders 454 Diponegoro. Oleh karena itu Dewanto menemui Bintara RPKAD paling senior, menyatakan ingin mencoba menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung.

Dewanto dengan Jip Nissan Patrol diiringi Kapten Udara Kundimang meluncur ke lokasi pertempuran, melalui jalan tanah dan kebun karet, menuju Pondok Gede. Disana ia bertemu Kapten Kuntjoro, dilanjutkan komunikasi dengan Kolonel Sarwo Edhie. Dalam perundingan segi tiga itu mencapai kesepakatan :

Pertama, wilayah Halim merupakan wewenang AURI, oleh karenanya Komodor Dewanto bertanggung jawab atas semua pihak yang keluar masuk.

Kedua, Pasukan RPKAD diizinkan masuk Halim.

Ketiga, Pasukan Yon 454/Para akan mundur, dengan mengambil jalan lain agar tidak bertemu RPKAD. Selanjutnya, mereka menuju Bekasi untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jawa Tengah.

Pukul 06.00 tanggal 2 Oktober 1965 Landasan Halim Perdanakusuma telah dapat dduduki oleh RPKAD.

Pukul 07.30 terjadi vuur contact di daerah Lubang Buaya, antara RPKAD dengan Yon 454/Para dengan menelan satu korban gugur dan dua orang luka-luka.

Bagaimana pendapat Sutrisno tentang insiden yang melibatkan rekan-rekannya ?

"Saya tidak dalam posisi bisa memberikan komentar, oleh karena saya tidak mewakili rekan-rekan saya, para BR yang ikut terlibat dalam insiden. Tetapi memang dalan vuur contact, sebuah friendly killing selalu bisa terjadi karena berbagai macam sebab." jawaban Sutrisno, eks anggota Banteng Raiders yang pernah terlibat operasi tempur di Sumatera Barat dan Irian Barat.

"Bahwa mereka gugur seorang dan dua luka-luka, sementara kami tidak ada yang kena tembakan hanya karena nasib baik. Sekali lagi ingin saya tegaskan, insiden terjadi karena posisi kami waktu itu terpojok sekaligus dilematis. Oleh karena terlanjur dihujani tembakan dengan peluru tajam, tidak ada pilihan bagi prajurit Banteng Raiders, selain menjunjung kehormatan pasukan."

"Maafkan, tetapi terus terang saya menganggap kawan-kawan tersebut tidak profesional dalam bertempur. Saya paham, baret merah memang sebuah kebanggaan. Jika dipakai sehari-hari atau parade memang okey. Tetapi dalam sebuah pertempuran, sebagaimana terjadi disana, apa malah bukan menjadi sebuah target yang sangat mencolok?"


[sumber Julius Pour, wartawan, Penulis buku dan Angkasa]

1 komentar:

  1. Numpang tanya tentang banteng Reiders yg di Solo diman apernah melakukan operasi tempur dibeberapa wilayah Indonesia ..mohon infonya

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.