Kamis, 26 April 2012

Legenda Jago Silat Sabeni

Para pesilat Indonesia dalam SEA Games ke-24 di Bangkok menjadi juara umum. Dua tahun sebelumnya di Manila berada di urutan kedua setelah Vietnam. Padahal, para pesilat Vietnam mahir dalam ilmu bela diri ini setelah mendapat latihan dan bimbingan dari pelatih Indonesia.

Beberapa waktu lalu pernah ada usul agar pencak silat diikutsertakan dalam Olympiade. Bila usulan ini diterima, para pesilat Indonesia diharapkan bisa mempersembahkan medali emas bagi negaranya. Tapi, pencak silat sekarang ini telah berkembang di sejumlah negara termasuk di Eropa juga setelah mereka belajar dari para pesilat kita.

Bagi warga Betawi, main pencak silat adalah suatu kemustian. Pada tempo doeloe hampir di tiap kampung terdapat pendekar silat. Mereka sangat disegani, karena tingkah lakunya yang terpuji. Mereka menggunakan ilmu bela dirinya untuk amar ma’fur nahi munkar mengajar manusia ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Jauh dari tingkah laku para preman sekarang, yang main palak dan peres dengan kejamnya.

Kalau kita memasuki Jl KH Mas Mansyur dari arah Pasar Tanah Abang, di sebelah kanan jalan terdapat Jl Sabeni. Sabeni adalah pendekar silat Tanah Abang, yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal menjelang proklamas di kemerdekaan (1945).

Ada peristiwa menarik yang dialami Sabeni pada masa penjajahan Jepang. Jepang yang tengah berperang melawan Sekutu memerlukan pemuda-pemuda untuk dijadikan Heiho semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang.

Salah satu putra Sabeni, bernama Sapi’i, yang masih belia seperti juga pemuda lainnya, diharuskan menjadi Heiho. Ia pun ditempatkan di Surabaya. Karena tidak tahan menghadapi perlakuan tentara Dai Nippon, Sapi’ie minggat dari Surabaya dan ngumpet di rumah orang tuanya. Tentu saja pihak Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) tidak tinggal diam dan terus mencari keberadaannya. Karena Sapi’ie tidak juga tertangkap, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan.

Mengetahui Sabeni kesohor sebagai jago silat, Kempetai ingin mengujinya. Komandannya menantang Sabeni untuk diadu dengan anak buahnya, seorang serdadu jago karate. ”Kalau Sabeni menang, bebas dan boleh pulang,” kata sang komandan, tulis Bang Thabrani dalam buku Ba-be. Duel berlangsung di Markas Kempetai di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sabeni berhasil berkelit dari serangan-serangan ahli karate itu. Bahkan, ia kemudian berhasil merobohkan prajurit Jepang itu dengan ilmu pukulan kelabang nyebrang.

Sang komandan yang kecewa karena kekalahan anak buahnya, kemudian menghadapkan seorang jago sumo untuk menundukkan Sabeni. Sabeni siap menghadapinya. Jago Sumo memasang kuda-kuda, kedua kakinya maju kedepan, berdiri ngangkang. Tangan ditaro di atas paha segede paha kuda. Kemudian keluar dari mulutnya suara, ”Eeek …!” Sambil membentangkan tangannya.

Menghadapi lawan dalam keadaan demikian, Sabeni loncat kodok, ke atas dengkul musuh yang lagi ngeden. Dengkul lawan dianggap talenan, dipakai buat salto ke atas. Untuk kemudian menyambar ubun-ubun si jago sumo, yang langsung terjengkang, ngegeloso, kagak bisa berdiri lagi karena keberatan badan dan akibat pukulan jago silat Tenabang itu.

Untuk menghormati Sabeni, jalan di depan kediamannya di Tanah Abang menjadi Jl Sabeni. Sedangkan makamnya dipindahkan dari Gang Kubur ke Karet Bivak berdekatan dengan makam Husni Thamrin.
 
Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat Masjelis Taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani. Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.

Salah seorang cucunya, H Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang. Pada tahun 1960-an, pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (guru besar) karate dari Jepang, Prof Nakagama, yang telah mendapat predikat Dan 7, disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen. Zakaria, pemuda kelahiran Kwitang, itu diminta untuk memperlihatkan tehnik bermain silat kepada kedua mahaguru karate tersebut.

Zakaria, yang kala itu masih muda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata tajam dengan kecepatan tinggi. Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Kepada Bung Karno saat diterima di Istana Negara ia mengatakan, ”Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka ilmu bela diri dari Jepang?”

Ketika menuturkan kisah ini kepada penulis, Zakaria mengatakan, ”Banyak orang Indonesia menganggap rendah pencak silat dan dianggap permainan kampungan. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak orang yang mempelajarinya.” Zakaria sendiri telah mengajarkan silat di Eropa.

Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial, tak mengizinkan permainan pencak silat. Karenanya, pada masa itu para pesilat kita belajar mulai pukul 02.00 dini hari sampai menjelang subuh. Alasan Belanda, kata Zakaria, para pemberontak seperti si Pitung, si Jampang, H Murtadho dan Entong Gendut dari Condet, adalah para ahli silat. Pada masa revolusi sejumlah ahli silat Betawi dan ulamanya bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda.

REPUBLIKA – Minggu, 23 Desember 2007
Diposkan alwishahab
 Jagoan dari Tanah Abang

Pencak Silat sabeni Tenabang
Sabeni, nama pendekar legendaris dari Tanah Abang hidup sebelum perang dunia kedua. Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala, Tanah Abang, dari orang tua bernama Hannam dan Piyah.

Sabeni sebagai tokoh Betawi, dikenal memiliki jurus silat Kelabang Nyebrang dan Merak Ngigel. Jurus-jurus aliran Sabeni terkenal karena kecepatan dan kepraktisannya. Salah satu cirri khasnya adalah permainan yang rapat dan gerak gerak tangan yang sangat cepat. Jurus-jurus silat aliran Sabeni, bila ditelaah lebih jauh, merupakan aliran yang mengutamakan penyerangan. Jurus-jurusnya murni bela diri dan tidak memiliki kembangan (corak) lain apa pun. Jadi, berbeda dengan aliran silat Betawi lainnya yang dapat digunakan untuk menari atau ngibing.

Sabeni mulai dikenal namanya setelah mampu mengalahkan seorang jagoan dari daerah Kemayoran. Kehebatannya menaklukan sang jawara ketika hendak melamar puteri sang Macan Kemayoran untuk dijadikan isterinya, telah melambungkan nama Sabeni dari Tanah Abang.

Peristiwa lain, seperti pertarungan di Princess Park (Lokasari) dengan seorang jago kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan pejabat Belanda bernama Tuan Danu untuk menggagalkan upaya Sabeni melatih para pemuda Betawi maen pukulan, juga merupakan kejadian yang fenomenal. Ketika itu, Sabeni berhasil mengalahkan dengan telak jagoan dari Cina itu.

Bahkan dalam usianya yang tergolong lanjut, 83 tahun, Sabeni masih sanggup mengalahkan jago-jago bela diri Yudo dan Karate yang sengaja disatangkan penjajah Jepang untuk bertarung melawannya di Kebon Sirih Park (sekarang gedung DKI).

Sampai usianya menginjak 84 tahun, Sabeni masih mengajar maen pukulan. Ia mengajar hamper ke seluruh pelosok penjuru Jakarta (untuk mendatangi tempat mengajar ia biasa berjalan kaki), sampai meninggal dunia dengan tenang didampingi murid-murid dan anak-anaknya pada hari Jumat 15 Agustus 1945, atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam usia 85 tahun. Sabeni dimakamkan di Jl. Kuburan Lama, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Untuk mengenang jasa-jasanya bagi masyarakat Betawi, dan atas perjuangan salah serang anaknya, M. Ali Sabeni, Jalan Kuburan Lama Tanah Abang kemudian diganti namanya oleh pemerintah daerah DKI Jakarta menjadi Jalan Sabeni.(ahm)
- okezone -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.