Rabu, 18 April 2012

☆ Sudomo

 Jenderal Bertangan Dingin Era Orde Baru

Sudomo
Jakarta Sejak Sabtu (14/4), orang kuat di masa Orde Baru, Sudomo, dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pejabat tinggi yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana tersebut saat ini sedang menjalani masa-masa kritis. Otaknya mengalami pendarahan hebat, hingga ia harus dirawat intensif.

Setelah sekian lama tidak mendengar kabarnya, berita sakitnya Sudomo tentu cukup mengejutkan. Mendengar 'Sudomo', mengembalikan ingatan sejarah kepada sebuah keadaan politik di tahun 1970 dan 1980-an di era pemerintahan Orde Baru.


Tak cuma urusan politik dan militer yang membuat Sudomo menjadi sosok yang menarik. Kehidupan privat pria kelahiran Malang, 20 September 1926 juga sempat jadi berita. Dalam perjalanan hidupnya, Sudomo pernah menikah dengan tiga perempuan dalam rentang waktu berbeda. Dengan istri pertamanya, Fransisca Play, Sudomo dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah Biakto Trikora Putra, Prihatina Dwikora Putri, Martini Yuanita Ampera Putri, dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri. Yang unik, keempat anaknya tersebut diberi nama berdasarkan momentum politik yang mengemuka saat itu.


Selang 10 tahun kemudian Sudomo menikahi Fransiska Diah Widhowaty. Namun pernikahan ini hanya berlangsung empat tahun. Setelah itu, Sudomo menikah dengan Aty Kesumawati. Namun kembali kandas.


Perjalanan karier Sudomo dimulai dari dunia pelayaran yang dijajakinya selepas tamat dari pendidikan SMP pada tahun 1943. Dunia pelayaran mengarahkan ketertarikannya kepada dunia militer. Sudomo muda lalu mulai menapaki dunia militer dengan mengikuti pendidikan Perwira Special Operation dan kursus Komandan Destroyer Gdyna, Polandia. Sudomo menamatkan pendidikannya itu tahun 1958. Di sinilah dimulainya kiprah militer Sudomo.


Prestasinya di dunia militer dan pelayaran membantu kelancaran pendidikannya untuk terus menempuh pendidikan di luar negeri. Sudomo juga sempat mengikuti pendidikan di Lemhannas, Sekolah Para Komando KKO, dan SESKOAL. Sejumlah operasi militer di bawah komando presiden Sukarno juga pernah dijalankannya. Misalnya, pertempuran di Laut Arafuru dan pembebasan Irian Barat. Dua perang itu menjadi cerita kesuksesannya dalam karier militer Sudomo. Kecemerlangan Sudomo terus berlanjut di era Soeharto.


Di masa pemerintahan Orde Baru ini, Sudomo tercatat pernah mengemban amanah sebagai Kepala Staf TNI AL (1969-1973) dan Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) tahun 1978-1983 yang bertugas memelihara stabilitas.


Tidak cukup berkarier di militer, sejumlah posisi politik di pemerintahan pernah diembankan Presiden Soeharto ke pundaknya. Sudomo sempat merasakan kursi Senayan dengan menjadi anggota MPR RI, menjabat Menteri Tenaga Kerja (1983-1988), Menko Polkam (1988-1993), dan puncaknya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1993 hingga 1998. Kariernya berakhir dengan runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru pada tahun 1998 dengan terjadinya reformasi. Posisinya yang penting di masa Orba, membuat publik menilainya sebagai salah seorang kroni Soeharto.


Sejarah kontroversial Sudomo terjadi ketika dirinya menjabat Pangkopkamtib dan Menko Polkam di era Orde Baru. Era awal tahun 1980-an hingga akhir 1990-an merupakan salah satu penggalan sejarah berdarah politik Indonesia. Karena pada kurun waktu itu, rezim Orde Baru memberlakukan UU Subversif. Dunia intelijen Indonesia yang mendapat pembenaran penuh di bawah UU Subversif, diwarnai oleh tangan dingin Sudomo. Sudomo mampu mengendalikan sejumlah kemelut dan konflik sosial-politik di sejumlah daerah. Dunia intelijen Indonesia ketika itu ditangani oleh kepiawaian trio jenderal, yaitu Sudomo, LB Moerdani dan Yoga Soegama.


Sebagai petinggi, wajar bila namanya sering dikaitkan dengan sejumlah kasus. Kasus yang menarik-narik Sudomo misalnya dugaan pelanggaran HAM kasus Talangsari, Lampung, yang terjadi pada 1989 dan juga katabelece Edi Tansil.


Di usia senja, Sudomo mengisi waktunya dengan kegiatan keagamaan. Dia rajin ke masjid, termasuk untuk salat subuh. Bahkan dalam suatu kesempatan, dia mengaku hidupnya baru dimulai di usia 75 tahun.


Saat ini, Sudomo menginjak usia yang ke-86. Sudomo tengah berjuang melawan sakit keras yang dialaminya. Dia dirawat intensif akibat pendarahan otak yang tiba-tiba menyeranganya ketika hendak mengadiri sebuah pernikahan keluarga, Sabtu (14/4) lalu.


"Bapak sebelumnya belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Banyak faktor, mungkin karena tekanan darah tinggi. Bapak belum bisa diajak bicara, masih diinfus dan dirawat intensif," ujar anak pertama Sudomo, Biakto Putra, Senin (16/4/2012).
(rmd/nrl)

 Sang Jenderal Sapujagat

VIVAnews - Hari ini (18/4/2012) Sudomo meninggal dunia. Laksama Purnawirawan itu meninggal karena sakit stroke yang sudah lama menderanya. Dia akan dimakamkan di Kalibata. Di antara pahlawan-pahlawan yang sudah mendahuluinya. Markas Besar TNI akan menanggani langsung prosesi pemakaman itu dari awal hingga tuntas.

Tentara Nasional Indonesia, kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul,  banyak berutang budi pada Sudomo. "Banyak masukan dan dan bimbingan yang diberikan beliau kepada TNI. Sehingga kita menjadi seperti saat ini," ujar Iskandar kepada VIVAnews.

Hampir separuh usinya, memang dihabiskan di dunia militer. Pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Keterlibatan (Pangkopkamtib)--yang dengan sangat keras menertibkan para pengemis, gembel dan pengamen di Jakarta. Sudomo baru menepi dari pusar kekuasaan di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto.

Lahir di Malang, Jawa Timur, 20 September 1926, separuh usia Sudomo memang habis di Tentara Nasional Indonesia. Dan ketertarikan kepada dunia militer itu sudah tumbuh semenjak belia. Begitu tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dia langsung masuk Sekolah Pelayaran. Dari sana dia masuk Angakatan Laut tahun 1945.

Karir milternya terus melesat. Dalam usia 35 tahun, dia sudah menjadi perwira tinggi. Tahun 1962, dia ditunjuk menjadi Panglima Angkatan Laut Mandala dengan pangkat komodor.  Sudomo ikut bergabung dengan sejumlah perwira ketika tiga kapal Angkatan Laut Indonesia merangsek ke Irian Barat tanggal 15 Januari 1962.

Tiga kapal itu melaju petang hari. Sekitar pukul lima sore. Dan Sudomo yang ketika itu pangkatnya kolonel bergabung dengan pasukan di KRI Harimau yang melaju paling depan, bersama Kolonel Mursyid dan Kapten Tondomulyo. Di belakang mereka melaju KRI Macan Tutul yang ditumpangi Komodor Yos Sudarso, yang kemudian tewas dalam pertempuran melawan Belanda.

Karir cemerlang masih terus mengiringi Sudomo sampai di pemerintahan Soeharto. Dia tercatat pernah menjabat Kepala Staf TNI AL (1969-1973) dan Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) sejak 17 April 1978 hingga 29 Maret 1983. Barangkali semasa menjadi Pangkopkamtib inilah peran Sudomo sangat menonjol sekaligus penuh kontroversi.

Sekitar 1984-1986, misalnya, Pangkopkamtib itu menggelar operasi penertiban terhadap pengemis dan gembel di Jakarta. Alasannya malu terhadap tamu negara. Konon dari situlah sejarahnya mengapa para penjual koran dan majalah di pinggir jalan itu memakai baju atau rompi media massa. Agar mereka sedikit terlihat rapi.

Pada tahun 1984, Sudomo pernah membentuk Operasi Sapujagat yang melancarkan operasi khusus untuk kejahatan bersenjata dan subversi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Selatan. Sudomo menunjuk dua jenderal berbintang tiga untuk menjalankan Sapujagad, yakni Letjen Widjojo Soejono dan Letjen Wiyogo. Operasi inilah yang dituduh banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di sejumlah tempat.

Setelah di dunia militer, Sudomo masuk dunia politik dengan menjadi anggota MPR RI, menjabat Menteri Tenaga Kerja (1983-1988), Menko Polkam (1988-1993), dan puncaknya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1993 hingga 1998.

Tangan dingin Sudomo menyeret namanya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Talangsari, Lampung (1989).

 Sudomo Berjasa Besar Bagi TNI

VIVAnews - Mantan Menteri Tenaga Kerja Laksamana TNI (Purn) Sudomo menghembuskan nafas terakhir, Rabu 18 April 2012, pukul 10.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul menyatakan, TNI banyak berutang budi pada Sudomo.

"Banyak masukan dan dan bimbingan yang diberikan beliau kepada TNI. Sehingga kita menjadi seperti saat ini," ujar Iskandar kepada VIVAnews.

"Beliau banyak jasanya untuk TNI. Kita merasa kehilangan," tambahnya.

Oleh karena itu, atas jasa-jasanya, TNI akan membantu sepenuhnya kepada keluarga hingga prosesi pemakaman.

Jenazah Sudomo rencananya akan disemayamkan terlebih dulu di rumah duka. Rencananya akan dimakamkan Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sudomo, yang juga mantan Pangkopkamtib di era Presiden Soeharto ini, meninggal karena terserang stroke. Dia sempat dirawat sejak Sabtu 14 April 2012 dan mengalami pendarahan otak.

Pria kelahiran Malang 20 September 1926 itu merupakan seorang petinggi militer yang cukup berpengaruh pada masa Orde Baru. Terutama karena pernah menjabat sebagai Pangkopkamtib.

Selain pernah menjabat Pangkopkamtib dan Menaker, Sudomo juga pernah menjabat Menkopolkam dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung. (umi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.