Sabtu, 23 Juni 2012

PT DI Percepat Produksi Pesawat N295

Dananjoyo Kusumo / Jurnal Nasional
Suasana perjanjian kerja sama antara PT Dirgantara Indonesia dengan Airbus Military untuk memproduksi bersama pesawat angkut militer sedang, N295 di Indonesia.
Jurnas.com | PT Dirgantara Indonesia (Persero) sudah mempercepat produksi pesawat transpor militer menengah N295 guna memenuhi kebutuhan TNI Angkatan Udara menggantikan Fokker-27. "Kami ini sudah masuk gigi tiga untuk produksi N295 karena harus mengejar waktu penyelesaian sembilan pesawat sampai akhir 2014," kata Sonny Saleh Ibrahim, Asisten Dirut PT DI Bidang Sistem Manajemen Mutu Perusahaan merangkap Pembina Komunikasi Perusahaan, Sabtu (23/6).

Sonny dimintai komentarnya sehubungan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Rio de Janeiro, Brasil, Jumat waktu setempat atau Sabtu WIB, setelah menyampaikan belasungkawa untuk korban gugur dalam jatuhnya pesawat Fokker-27 TNI AU di Jakarta, Kamis (21/6) lalu.

Sonny mengatakan PT DI memang sebelumnya sudah mempercepat produksi N295 bahkan sudah 60 personel PT DI dikirimkan secara bertahap ke Airbus Military (dulu, Cassa yang melebur ke Airbus Military) di Spanyol.

Langkah percepatan PT DI itu, menurut Sonny, tak hanya terkait pada kebutuhan di dalam negeri, yakni untuk operasional TNI AU, namun juga sudah ada ikatan bisnis dengan Airbus Military untuk menjadikan PT DI sebagai pusat pengiriman (delivery center) pesawat-pesawat N295 di kawasan Asia Pasifik.

Sonny menjelaskan, pesawat angkut sedang tersebut untuk penggunaan di Indonesia akan disebut N295 sebagaimana yang diucapkan Presiden di Brasil, namun untuk pemasaran Asia-Pasifik disebut CN295. Untuk penjualan di kawasan lain, tetap sebagai C295.

Berdasarkan kerja sama itu, PT DI mengerjakan komponen-komponen tertentu N295 yang selanjutnya diintegrasikan di pabrik Airbus Military. Setelah empat atau lima pesawat dikerjakan di Spanyol, selanjutnya keseluruhan produksi dilaksanakan di Bandung.

Sonny menambahkan untuk sembilan pesawat yang dibutuhkan TNI-AU, dalam tahun 2012 akan diselesaikan dua pesawat, yang keseluruhan pembuatannya memang masih di Spanyol. Namun target pengerjaan untuk sisa pesanan pertama itu di Bandung sudah akan tercapai pada tahun 2012.

Cocok untuk Indonesia

C295 with AEW&C
Sonny menjelaskan, tipe pesawat angkut sedang N295 sangat cocok untuk kondisi geografis Indonesia, khususnya dalam operasi-operasi penerjunan personil yang selama 35 tahun terakhir perannya dilakukan oleh Fokker-27.

N295 berkapasitas angkut 45 personel, di atas CN235 yang untuk 35 personel, namun jauh di bawah pesawat transpor berat C-130 Hercules yang mampu membawa 90 personel.

Pesawat N295 ini multifungsi, bisa digunakan untuk keperluan operasi militer, logistik, kemanusiaan, maupun evakuasi medis.

Pengadaan sembilan N295 untuk TNI AU ditandatangani Dirut PT DI dengan Kementerian Pertahanan disaksikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dan Dirut PT DI Budi Santoso saat Pameran Dirgantara Singapura awal tahun ini. 

PTDI menandatangani pengadaan untuk Kementerian Pertahanan tersebut dengan Airbus Military sebagai produsen utama C295. Meski dibuat oleh Airbus Military, C295 merupakan turunan proyek bersama sebelumnya CN235, salah satu jenis pesawat transport terpopuler di dunia.

C295 yang terbang perdana pada 1998 ini pengembangan pesawat CN-235, dengan peningkatan muatan 50 persen dan mengalami peningkatan mesin, menggunakan PW127G baru. Pesawat ini ini butuh landasan sepanjang 670 meter untuk tinggal landas, dan 320 meter untuk mendarat ini.

Pesawat C-295 memiliki tiga varian, C-295M (versi transport militer, kapasitas angkut 48 personel pasukan payung/para, atau 27 tandu, atau tiga kendaraan ringan. Kedua, C-295MPA/Persuader (patroli maritim/anti-kapal selam), ketiga versi C-295 AEW&C (tipe peringatan dini/airborne early warning).

Awak dua orang, daya angkut 9.250 kg, berat lepas landas 23.200 kg, mesin 2 Pratt & Whitney Canada PW127G Hamilton Standard 586-F, masing-masing 1,972 kW. Kecepatan maksimum 576 km/jam (311 knots), kecepatan jelajah 480 km/jam (260 knots, 300 mph). Antara(Jurnas.com)

Indonesia-Amerika Akan Bangun Museum PD II di Morotai

 Indonesia berencana membangun museum Perang Dunia (PD) II dan Trikora di Morotai Maluku Utara.

Peninggalan Perang di Morotai, Maluku Utara
Museum tersebut akan dibangun bekerja sama dengan Yayasan MacArthur yang bermarkas di Norfolk, Virginia, Amerika Serikat.

Untuk membahas hal tersebut, Senin (18/6), Menteri Kordinator  Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono didampingi Gubernur  Maluku Utara, Thaib Armaiyn berkunjung ke MacArthur Memorial dan MacArthur Museum di Norfolk Virginia.

"Jenderal Douglas MacArthur sebagai panglima sekutu di Pasifik saat Perang Dunia II dikenal  dengan strategi lompat katak-nya dari pulau ke pulau dan menyerbu pulau  Morotai di Maluku dari Biak, Papua untuk melumpuhkan kekuatan tentara pendudukan Jepang  di sana," kata Konjen Indonesia di Houston, Al Busyra Basnur melalui rilis, Rabu (20/6).

Di Morotai, Pasukan Sekutu kemudian membangun tujuh landasan udara guna mendukung serbuan udara ke Filipina sebagai sasaran berikutnya.

Sementara itu, saat operasi Trikora Perebutan Irian Barat (1962), Morotai juga dipakai sebagai titik kumpul pesawat-pesawat pengebom strategis TU-16 AURI dan Pesawat tempur MIG-17 AURI dalam rangka persiapan penyerbuan pulau Biak di Irian Barat.

Atas rekam jejak sejarah itulah, pulau Morotai dirasa cocok sebagai tempat dibangunnya museum Perang Dunia II tersebut.

Rencana pembangunan museum ini juga bertepatan dengan rangkaian acara Sail  Morotai 2012 yang berisi acara-acara kelautan seperti Ekspedisi Bhakti  Kesra Nusantara, Operasi Bhakti Surya Bhaskara Jaya, Kapal Remaja  Nusantara Bahari, Ekspedisi Kapal Riset Indonesia, Seminar, dan Pameran.

Pada acara puncak Sail Morotail, 15 September 2012, akan hadir para veteran  Perang Dunia II dan Veteran Trikora, akan digelar operasi penerjunan  pasukan lintas udara di Morotai, Pelucuran Roket LAPAN, serta Parade  kapal perang manca negara, serta kapal-kapal layar Indonesia.(BeritaSatu)

Alutsista TNI

(Foto: Pasya/pembaca detikcom)
SATU per satu prajurit TNI yang terlatih dan profesional gugur. Sayangnya mereka bukan gugur di medan tempur membela kedaulatan negara, melainkan tewas secara tragis justru karena peralatan tempur yang mereka gunakan mengalami kecelakaan.

Tidak dapat disangkal, TNI masih memiliki alat tempur berumur tua, di atas 30 tahun. Lebih-lebih alat utama sistem persenjataan (alutsista) matra TNI Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Bahkan masih ada alutsista kedua angkatan itu yang merupakan warisan era Presiden Soekarno.

Jatuhnya pesawat latih TNI-AU jenis Fokker 27 pada Kamis (21/6) menggugah kembali persoalan alutsista TNI. Pesawat itu masuk jajaran TNI-AU pada 1977, yang berarti sudah berusia 35 tahun.

Tentu publik masih ingat tragedi tank amfibi Marinir di Situbondo pada 2008 yang menewaskan enam personel kesatuan tersebut. Tank itu berumur 46 tahun. Itu membuktikan alutsista yang renta, kedaluwarsa, sangat berisiko.

Sejak tragedi tank Marinir itu, Presiden Yudhoyono memerintahkan grounded semua alutsista yang sudah tua. Namun, rupanya perintah itu lenyap ditelan angin. Buktinya alusista gaek masih terus dipakai.

Untuk mengawal negara seluas Indonesia, jelas dibutuhkan alutsista udara dan laut yang cepat dan tangguh. Presiden Yudhoyono pada Pidato Kenegaraan 2011 mewanti-wanti mengenai kesiapan alutsista TNI. Hanya alutsista TNI Angkatan Darat yang memiliki kesiapan 81,13%. Angkatan Laut hanya 43,25% dan Angkatan Udara hanya 42%. Bagaimana pasukan perang bisa bergegas ke palagan jika alutsista tidak memadai?

Itu pangkalnya Presiden mengeluarkan Keppres 35/2011 tentang Percepatan Pemenuhan Kekuatan Pokok Minimal Alutsista TNI Tahun 2010-2014. Dalam kurun waktu itu dialokasikan dana Rp 156 triliun untuk alutsista TNI.

Dengan penambahan anggaran tersebut, kita mengharapkan segera ada pesawat tempur supercanggih menggelegar menjaga angkasa Indonesia. Begitu juga segera tiba kapal-kapal cepat bersenjata rudal menjaga bahari Tanah Air.

Tentu saja anggaran negara akan kedodoran jika seluruh alutsista TNI harus diimpor. Karena itu, produk dalam negeri pun perlu diberdayakan. Kita punya industri strategis yang bisa dipacu untuk memodernisasi alutsista TNI. Ada pabrik senjata Pindad, ada PT PAL Surabaya yang memproduksi kapal, dan ada pula industri pesawat terbang di Bandung.

Memodernisasi alutsista TNI tentu bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk menjaga kedaulatan Tanah Air dari setiap ancaman.

Kita yakin negara yang memiliki alutsista modern akan disegani. Sebaliknya negara yang memiliki alutsista yang tua renta menjadi olokan negara-negara tetangga. Lebih dari itu, kita tidak ingin alutsista yang tua menjadi pembunuh anak bangsa yang terlatih.

Pemerintah dan DPR mesti lebih cepat memodernisasi alutsista TNI. Jangan sampai terkesan pemerintah mudah menyetujui pembangunan gedung baru DPR, menghamburkan anggaran untuk proyek Hambalang yang sarat korupsi, tetapi pelit menyetujui anggaran modernisasi alutsista TNI.

Kita ingatkan agar alutsista yang tua bangka itu segera digudangkan atau dimuseumkan. Menteri Pertahanan, Panglima TNI, bahkan Presiden sebaiknya meletakkan jabatan bila alutsista rongsokan itu masih juga dipakai dan kembali menyebabkan prajurit TNI gugur sia-sia.(MetroTv)

Operasi Militer era Dwikora

 B ila Anda melewati kompleks Dwikora perumahan dinas TNI AU di Lanud Halim Perdankusuma, Jakarta, anda akan menemukan nama-nama asing seperti Kolatu, Kolada, Stradaga, Straudga dan lainnya. Ternyata nama-nama itu mengartikan nama operasi militer yang disingkat semasa Dwikora tahun 1962-1964.

    Kolatu adalah singtan dari Komando Mandala Satu, Kolada adalah Komando Mandala Dua, Stradaga adalah Strategi Darat Siaga, Straudga adalah Strategi Udara Siaga, dan Stralaga adalah Strategi Laut Siaga. Semua itu merupakan bagian operasi Dwikora (Dwi Komando rakyat) ketika Indonesia berkonfrontasi denagn Malaysia.

    Waktu itu, Indonesia menentang dibentuknya negara federasi Malaysia yang merupakan gabungam Malaya dan Singapura di bagian barat, serta Sabah, Serawak dan Brunei di Kalimantan Utara. Negara federasi bentukan Inggris ini oleh Presiden pertama RI Soekarno, di beri nama 'Negara Boneka" Malaysia.

    Melalui negara federasi Malaysia itulah Inggris masih akan berpengaruh, sementara Indonesia melihatnya sebagai bentuk kolonialisme baru dan merupakan ancaman bagi kedaulatan RI.

    Penentangan Indonesia ini direalisasikan dalam bentuk Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan Bung Karno. Intinya menggagalkan 'Negara Boneka' Malaysia dan untuk itu rakyat di minta bersedia menjadi sukarelawan. Tercatat, sekitar 21 Juta rakyat Indonesia mendaftar sebagai sukarelawan untuk di kirim ke Kalimantan Utara.
 ✈ Terbesar di Asia Tenggara

    Kekuatan udara merupakan sarana penentu dalam suatu operasi militer dan menjadi andalan utama dalam Operasi Dwikora guna melawan kekuatan udara gabungan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura.

    Kala itu Kekuatan udara TNI AU masih menjadi kekuatan yang terbesar di Asia Tenggara setelah pengembangan kekuatan saat membebaskan Irian Barat untuk kembali ke dalam wilayah RI tahun 1962.

    Pesawat pengebom intai jarak jauh dan tercanggih saat itu, TU-16KS, B-25 Mitchell, B-26 Invader, pesawat tempur pemburu P-51 Mustang, MiG 17, MiG 19 dan MiG 21, pesawat angkut C-130 Hercules, C-47 Dakota, Helikopter Mi-4 dan Mi-6, dikerahkan dan diarahkan ke Utara, Malaysia.

    Sementara itu kekuatan personil selain 21 juta sukarelawan, pasukan TNI yang dilibatkan adalah Pasukan Gerak Tjepat (PGT), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Marinir / Korps Komando (KKO) dan Brimob Pelopor Polri.
 ✈ Berbagai Nama Operasi Militer

    Selama lebih dua tahun konfrontasi, 1962-1964, operasi Dwikora telah melaksanakan berbagai operasi seperti:

    Operasi Terang Bulan, penerbangan pesawat TU-16KS dan pesawat angkut C-130 Hercules di wilayah udara Singapura, Malaysia dan Kalimantan Utara untuk show of force.

    Operasi Kelelawar, operasi untuk pengintaian dan pemotretan udara untuk memantau bila ada pergerakan kekuatan militer di wilayah Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas, Australia di Samudera Indonesia.

    Berbagai nama sandi operasi militer disesuaikan misi tugas seperti Operasi Rembes, untuk penyebaran pamflet, Operasi Nantung, untuk menguji kesiapan sendiri dan siaga atas kesiapan lawan. Operasi Tanggul Baja, operasi dengan menempatkan pesawat-pesawat tempur di daerah yang lebih dekat dengan mandala operasi.

    Untuk operasi penerjunan pasukan linud, diberi nama operasi sandi Antasari. Operasi Antasari I berhasil menerjunkan satu batalyon pasukan tempur ke Kalimantan Utara dengan menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules AURI.

    Operasi linud Antasari telah dilakukan sampai yang ke empat menggunakan pesawat C-130 Hercules dan pesawat C-47 Dakota.
 ✈ Tragis Hercules T-1307

    Pada saat melaksanakan operasi Antasari tanggal 2 September 1964, tiga pesawat angkut C-130 Hercules membawa satu kompi pasukan PGT yang dipimpin oleh Kapten Udara Suroso.

    Dalam pesawat Hercules dengan nomor ekor T-1307 yang diterbangkan Pilot Mayor Pnb Djalaluddin Tantu, ikut serta seorang perwira menengah pimpinan PGT Letkol Udara Sugiri Sukani, yang ikut sekalian untuk memberi semangat kepada pasukannya.

    Hercules Tipe B tersebut diterbangkan oleh Mayor Pnb Djalaluddin Tantu berserta ko-pilot Kapten Pnb Alboin Hutabarat membawa delapan awak pesawat dan 47 personil PGT yang dipimpin Kapten Udara Suroso, untuk diterjunkan  di daerah operasi Kalimantan Utara. Namun dari tiga pesawat Hercules, hanya dua pesawat yang kembali ke Halim Perdanakusuma. Satu akhirnya dinyatakan hilang bersama 55 orang yang ada didalamnya, yaitu T-1307 C-130B Hercules.

    Selama operasi Dwikora, pasukan PGT merupakan pasukan payung yang telah di terjunkan ke wilayah konfrontasi dengan kehilangan 83 orang anggotanya. Nama Sugiri Sukani akhirnya dinyatakan hilang dalam tugas dan di abadikan sebagai nama Pangkalan Udara di Jatiwangi, Cirebon dan Suroso menjadi nama lapangan bola di kompleks Dwikora, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Sumber :
    ◆ edisi koleksi Angkasa

Jumat, 22 Juni 2012

Kans Leopard VOC tipis

 Parlemen Belanda Tetap Menentang Penjualan Tank ke Indonesia

Leopard dari Jerman lebih bagus
Kamis kemarin kabinet Belanda gagal meyakinkan parlemen de Tweede Kamer untuk menyetujui rencana penjualan 80 tank kepada Indonesia. Mayoritas fraksi tetap menentang penjualan tank tersebut, sehubungan dengan pelanggaran Hak Asasi Indonesia (HAM) terutama di Papua.

Ini upaya terakhir kabinet demisioner Belanda untuk meyakinkan parlemen. Tiga menteri yaitu Menlu Rosenthal, Menteri Pertahanan Hillen dan Menteri Ekonomi, Bleker khusus mendatangi parlemen untuk mencari dukungan. Mereka hanya berhasil memperoleh dukungan dari partai liberal konservatif VVD dan partai kristen demokrat CDA.

 Menindas rakyat

Partai buru PvdA, partai sosialis SP, partai hijau GroenLinks dan partai kristen konservatif ChristenUnie tidak bergeming. Partai-partai itu memberi contoh, bahwa Mesir dan Bahrein menggunakan alutsista yang dibeli dari Belanda tahun lalu untuk menindas rakyat yang memberontak. "Ini tidak boleh terjadi lagi," kata Jasper dari partai sosialis SP.

Tahun lalu Parlemen mendukung mosi Arjan El Fassed dari GroenLinks untuk membatalkan penjualan tank itu. Makanya El Fassed menyebut debat di parlemen kemarin sebenarnya tidak perlu lagi. Menurut Han Ten Broeke dari VVD, dalam hal ini sikap Belanda bukan menggurui sebagai bekas penjajah. Ia juga menyinggung pemasokan senjata oleh perusahaan Belanda sebelumnya kepada Indonesia.

Menhan Hans Hillen ingin menjual tank Leopard sebagai bagian dari penghematan besar-besaran. Ia harus menghemat sekitar satu miliar euro. Hasil penjualan, yang jumlahnya sekitar 200 juto euro, akan digunakan untuk membeli pesawat tanpa awak.

 HAM Indonesia makin membaik

Kabinet tidak keberatan terhadap penjualan itu, karena memenuhi kriteria ekspor senjata Uni Eropa. Selain itu, kondisi HAM di Indonesia makin membaik. Baik Belanda maupun Indonesia keduanya mau memperbaiki hubungan bilateral. Makanya penjualan tank tersebut, yang tidak akan dikerahkan di Papua, tidak bermasalah.

Menlu Uri Rosenthal mengakui memang masih "banyak yang perlu diprihatinkan" sehubungan dengan HAM di Indonesia "yang demokrasinya mulai stabil". Namun ia juga menambahkan, banyak insiden di Papua tidak terkait dengan HAM. Menolak transaksi penjualan tank, menurut Rosenthal, akan tidak dipahami oleh dunia internasional dan akan menimbulkan "kerepotan".

Rapat parlemen akhirnya diskors untuk memberi kesempatan para menteri kabinet berunding membahas kasus ini lagi. Menlu Rosenthal mengatakan, bahwa kabinet akan sangat mempertimbangkan pendapat parlemen atau De Tweede Kamer, karena kabinet ini statusnya demisioner.(RNW)
Daripada dihina terus, lebih baik ambil dari negara Jerman

Koarmatim Gelar Latihan SAR Kapal Selam

Surabaya, 21 Juni 2012

Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) akan menggelar Latihan Search and Rescue (SAR) kapal selam tahun 2012, dalam waktu dekat. Acara dibuka oleh Kepala Staf Armatim (Kasarmatim) Laksamana Pertama TNI Darwanto, S.H, M.A.P., bertempat di Gedung Pusat Latihan Kapal Perang (Puslat Kaprang) Kolat Koarmatim Ujung Surabaya, Kamis (21/06).

Hadir dalam upacara pembukaan itu, Komandan Komando Pendidikan Operasi Laut (Dankodikopsla) Laksamana Pertama TNI Achmad Hadirat, Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Koarmatim Kolonel Laut (P) Jeffry Staley Sanggel, S.H., Kepala Potensi SAR Surabaya Gatot Ibnu Wibisono, S.E serta para prajurit yang terlibat dalam latihan tersebut.

Pada kesempatan itu Kasarmatim membacakan amanat Asiten Operasi (Asops) Kasal Laksamana Muda TNI Hari Bowo, M.Sc, diantaranya mengatakan, sesuai dengan UU RI No. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 dikatakan bahwa salah satu tugas pokok TNI adalah melaksanakan operasi militer selain perang yaitu diantaranya membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan atau SAR.

Dengan adanya tugas tersebut, maka kesiapsiagaan unsur-unsur TNI AL dalam melaksanakan tugasnya memberikan pertolongan terhadap terjadinya kecelakaan di laut sangat diperlukan. Hal tersebut tidak dapat dilaksanakan sendiri, akan tetapi harus berkordinasi dengan Badan Sar Nasional yang bertanggung jawab dalam penyedian jasa SAR melalui penyelenggaraan operasi SAR.

“Dalam rangka upaya meningkatkan kemampuan unsur-unsur SAR TNI AL dalam menyelenggarakan pencarian dan penyelamatan, khususnya SAR kapal selam di lingkungan TNI AL, Kormatim sebagai Komando Utama Operasional mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan latihan SAR kapal selam,” kata Asops Kasal.

Sasaran yang diharapkan dari latihan SAR kapal selam tahun 2012 ini, adalah untuk meningkatkan kemampuan unsur Koarmatim dalam melaksanakan tugas pencarian dan penyelamatan kapal selam yang mengalami kedaruratan di laut, tersusunnya rencana operasi dan prosedur pencarian dan penyelamatan kapal selam dan terujinya kemampuan seluruh personel kapal selam dalam melaksanakan penyelamatan diri Free Escape.

Latihan ini dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu latihan taktis dan teknis dengan pasukan dan gladi posko dan gladi lapangan. Materi yang akan dikembangkan adalah kemampuan mengaplikasikan dan mengembangkan doktrin dan prosedur pencarian serta penyelamatan kapal selam sesuai buku petunjuk pelaksanaan SAR serta aplikasi SAR di Laut yang melibatkan unsur-unsur atas air, Dinas Penyelamatan Bawah Air, dan udara dalam kegiatan pencarian dan penyelamatan kapal selam.

Daerah tempat latihan meliputi Puslat Kaprang Kolat Koarmatim, Pangkalan Surabaya dan Pantai Pasir Putih, Situbondo Jawa Timur. Waktu latihan selama 20 hari mulai tanggal 21 Juni sampai tanggal 10 Juli 2012. Melibatkan 4 kapal perang terdiri dari tiga kapal atas air yaitu KRI Diponegoro-365, KRI Pulau Rupat-712, KRI Pandrong-801 dan satu kapal selam yaitu KRI Cakra-401.

Latihan SAR kapal selam tahun 2012 ini, melibatkan 377 personel dari Satuan Kapal Selam (Satsel), Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska) Koarmatim, Diskes Koarmatim, pesawat udara, Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) Surabaya, Lembaga Kesehatan Kelautan (Lakesla) serta Kantor SAR Surabaya.

Sementara itu Kasarmatim menambahkan, bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan unsur operasional Koarmatim dalam melaksanakan tugas pencarian dan penyelamatan kapal selam yang mengalami kegawat daruratan di laut. “Latihan SAR kapal selam tahun 2012 merupakan kegiatan yang digelar petama kalinya di jajaran TNI Angkatan Laut”, kata Kasarmatim. (Dispenarmatim)

Menhan: Fokker 27 Akan Diganti

C-295
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, menyatakan pesawat angkut ringan TNI AU jenis Fokker 27 dengan nomor ekor 2708 sebenarnya sudah akan diganti dengan pesawat lainnya. Terlebih lagi usianya yang sudah cukup tua.

“Di Kemhan sudah menandatangani kontrak dan sedang dikerjakan 10 pesawat CN 295,” katanya saat memberikan keterangan pers di kediaman Wakil Presiden, Boediono, Kamis (21/6).

Purnomo mengatakan dua pesawat pertama akan didatangkan pada tahun ini. Selanjutnya akan dikerjakan oleh PT Dirgantara Indonesia.

Penggantian ini bukan tanpa alasan. Sebab, pesawat tersebut masuk dan menjadi bagian dari kekuatan Skuadron II penerbang pada 9 Februari 1977. Artinya, pesawat tersebut sudah berusia 35 tahun.

Pesawat Fokker 27 buatan pabrik Fokker Netherland dengan engine 2 EA Rolls Royce Dart MK 536-7R itu memiliki rentang sayap 18 meter, panjang badan 15.154 meter, tinggi 6,31 meter, dan berat maksimum 7.450 kg. Pesawat ini mempunyai daya angkut 40 orang penumpang dan mampu menjelajah selama enam jam.(Republika)

 Lima Pesawat Fokker Tersisa Harus Dievaluasi

CN-295 promosi d Indonesia
JAKARTA--MICOM: Indonesia memiliki delapan buah pesawat Fokker 27, tiga di antaranya telah jatuh, termasuk yang terjadi di Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis (21/6), dan kini tinggal menyisakan lima.

Pemerintah pun akan mengevaluasi keberadaan lima pesawat pabrikan Belanda tahun pembuatan 1977 itu apakah masih akan dioperasikan atau di-grounded (tidak boleh terbang).

"Apakah pesawat Fokker akan diperpanjang atau tidak itu akan dievaluasi," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen TNI Hartind Asrin saat dihubungi, Jumat (22/6).

"Yang pasti jenis pesawat ini (Fokker) tidak akan didatangkan lagi dan diganti dengan CN 295. CN dipilih karena memiliki teknologi modern dan kita ingin menuju kemandirian alutsista (alat utama sistem senjata) itu buatan dalam negeri. Sehingga dalam kerja sama, juga ada transfer teknologi antara Airbus Military Spanyol dan PT DI (Dirgantara Indonesia)."

Ia menambahkan evaluasi terhadap lima pesawat Fokker tersisa dibutuhkan agar tidak ada lagi korban jiwa dari pasukan TNI maupun sipil. Pasalnya, sumber daya manusia (SDM) merupakan aset berharga yang penting dilindungi dan menjadi prioritas utama.

Hartind juga berharap semua pihak mendukung rencana strategis (renstra) TNI untuk meningkatkan alutsista, baik itu mengganti, meremajakan, dan menambah yang baru. Karena minimnya alutsista memiliki dampak yang sangat besar, baik dalam skala nasional hingga pasukan TNI itu sendiri.

Peningkatan alutsista kadang terhambat di Dewan Perwakilan Rakyat. Semua yang telah disusun dalam renstra menjadi molor dan terhambat. Anggaran alutsista, lanjut Hartind, semestinya tidak menjadi alasan karena disesuaikan dengan ekonomi negara.

“Di parlemen kadang-kadang prosesnya lama. Padahal sudah ada blue print perencanaan 2010-2014, misalnya mau beli alutsista apa, pesawat, senjata, tank, dan lain-lain. Semua sudah disusun terstruktur dan terencana. DPR boleh kritis tapi jangan menghambat pembangunan renstra alutsista TNI," ujarnya.

Ia pun mencontohkan renstra 2005-2009 yang cuma tercapai 50 persen akibat kendala birokrasi, DPR, dan lainnya. Semua elemen, kata dia, seharusnya memiliki semangat dan tujuan yang sama untuk mendukung akselerasi pengadaan alutsista. (*/OL-15)(Media Indonesia)

Pesawat Fokker TNI Jatuh


 Saling Tuding Soal Kondisi Fokker F-27

 TNI mengklaim jika Fokker F-27 layak terbang. Tapi pihak lainnya menuding jika F-27 tidak layak terbang.

(Foto: Pasya/pembaca detikcom)
Peristiwa jatuhnya pesawat Fokker jenis F-27 di pemukiman penduduk di sekitar Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (21/6), bukanlah peristiwa langka. Pasalnya, kecelakaan pesawat milik TNI kerap terjadi di berbagai daerah.

Sebelumnya, kecelakaan pesawat milik TNI juga terjadi pada Januari lalu. Kala itu, satu pesawat latih jenis Charlie 3417 milik pangkalan TNI AU Laksda Adisutjipto DI Yogyakarta hancur setelah terjatuh di area sawah Dusun Jetis, Desa Kedung Sari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 6 Januari 2012. Dalam kejadian itu, pilot pesawat dan dua penumpangnya tewas.

Menanggapi hal tersebut, khusus seputar kecelakaan pesawat Fokker F-27, Wakil Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya TNI Dede Rusamsi mengatakan pesawat nahas itu sebetulnya masih layak terbang, dan telah menjalani perawatan sesuai jadwal.

"Saya ingin menjelaskan jika pesawat masih layak terbang. Tapi, hingga kini, kami masih belum mengetahui penyebab jatuhnya pesawat. Kami masih melakukan penyelidikan," paparnya.

Pernyataan Dede diperkuat Agung Sasongko Jati, Kasubdis Penum AU. Ia menyatakan bahwa kondisi pesawat Fokker F-27 memiliki 14.936 jam terbang, sejak masuk pada 1977 ke TNI AU. "(Pesawat) didatangkan dari Belanda, masih dianggap layak terbang tapi memang direncanakan untuk diganti dengan CN 295," katanya.

"Hingga kini, kami masih menyelidiki dugaan penyebab jatuhnya pesawat tersebut karena tidak ada laporan ledakan atau kejadian mencurigakan." sambungnya.


Menurutnya, pesawat terjatuh begitu saja dari langit. Sebab, komunikasi sebelum kecelakaan dilaporkan normal hanya request take off dan landing. Selain itu, juga sudah ada rutin pengecekan dan serviceable.

"Seharusnya tidak ada masalah, aman, dan lazim untuk angkut pejabat dan anggota," tambahnya. 

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penerbangan yang dilakukan Fokker F-27 adalah kegiatan yang rutin dilakukan setiap hari.

 Fokker 27 Tidak Layak

Hal sebaliknya justru dilontarkan Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin. Menurutnya, mengatakan pesawat Fokker 27 tidak layak digunakan. Pesawat tersebut diproduksi pada 1975, dan digunakan TNI AU setahun setelahnya.

"Ya, pesawat itu memang sudah tidak layak guna. Pesawat F-27 sudah direncanakan diganti dan sedang dalam proses pengadaan dengan pesawat CN 295 buatan Spanyol," kata Tubagus, melalui pesan elektronik.

Tubagus mengatakan, pesawat pengganti direncanakan akan didatangkan pada Oktober mendatang.

 Titah Investigasi

Wakil Presiden Boediono, mewakili Presiden Susilo Boediono (SBY), yang tengah berada di Brasil, menyatakan rasa belasungkawa. Meski begitu. Boediono rupanya tidak mau sesumbar dalam menentukan soal layak atau tidak layaknya kondisi Fokker F-27.

"Presiden telah mendapatkan laporan dan telah memberikan petunjuk untuk segera melakukan investigasi terhadap kecelaakan tersebut," tegasnya.

Pasalnya, dari investigasi tersebut akan terkuak jelas penyebab jatuhnya pesawat Fokker F-27.

Hingga Kamis (21/6) malam, sebanyak sebelas orang dilaporkan tewas akibat kecelakaan pesawat Fokker F-27. Korban terdiri dari tujuh kru dan empat warga sipil.

Tujuh kru tersebut adalah Mayor Pnb Heri Setyawan (pilot), Letnan Satu Paulus (co-pilot), Letnan Dua Sahroni (co-pilot), Captain Tek Agus Supriadi, Serma Sihmulato, Serka Wahyudi dan Serta Purwo.

Sementara empat korban tewas dari warga sipil antara lain Ibu Martina berusia 50 tahun dan dua anak-anak yaitu Brian (6 tahun),Nafin (2 tahun) dan kemudian Onci Belorundun meninggal setelah kritis di Rumah Sakit.

Pada saat crash, enam kru tewas di tempat dan satu dalam keadaan kritis. Namun, pada pukul 18.30 WIB korban kritis atas nama Lettu Pnb Paulus meninggal dunia di Rumah Sakit TNI-AU Halim.
Penulis: Fidelis E. Satriastanti/ Ezra Sihite/ Markus J Sihaloho/ Ardi Mandiri


 Pesawat TNI AU Berulang Kali Jatuh

 Bukan yang pertama terjadi.

Sejumlah petugas dan warga menyaksikan bangkai  pesawat Fokker 27 yang jatuh di komplek perumahan Rajawali kawasan Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.FOTO: ANTARA/Prasetyo Utomo
FOTO: ANTARA/Prasetyo Utomo
Lagi-lagi pesawat militer Indonesia mengalami kecelakaan. Kali ini giliran Fokker 27 milik TNI Angkatan Udara yang jatuh di kawasan Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Kamis siang (21/6).

Sebanyak sebelas orang tewas dalam kecelakaan itu termasuk para awak yang terdiri dari Mayor Penerbang Heri Setyawan, Lettu Penerbang Paulus, Letda Penerbang Sahroni, Kapten Teknik Agus Supriadi, Serma Sihmulato, Serka Wahyudi, dan Sertu Purwo.


TNI Angkatan Udara menegaskan masih menyelidiki penyebab kecelakaan itu sembari menegaskan bahwa pesawat angkut ringan bernomor ekor A2708 dari Skadron Udara 2 Lanud Halim Perdanakusumah itu seharusnya masih laik terbang.


"Pesawat yang jatuh telah menjalani perawatan sesuai jadwal dan pemeriksaan terakhir pada 1-15 Juni," kata Wakil Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya TNI Dede Rusamsi di kediaman resmi Wakil Presiden Boediono Jalan Diponegoro Jakarta, Kamis malam.


Rusamsi juga mengatakan pesawat itu sempat digunakan pada pagi harinya untuk latihan terbang sebelum terbang kembali pada pukul 13.10 WIB dan akhirnya jatuh pada pukul 14.45 WIB. Delapan rumah hancur tertimpa pesawat dan tiga penghuninya juga tewas.


Tetapi kecelakaan yang melibatkan pesawat buatan Belanda itu bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Pada April 2009 silam pesawat yang sama, juga milik TNI AU jatuh di Bandung dan menewaskan 24 orang. Saat itu faktor hujan lebat diperkirakan menjadi penyebab kecelakaan.


Selain Fokker 27, pesawat-pesawat milik TNI dalam lebih dari tiga tahun terakhir memang sudah sering mengalami kecelakaan, khususnya pesawat-pesawat latih berusia uzur milik Angkatan Udara. Fokker 27 yang jatuh di Halim diperkirakan diproduksi tahun 1977.


Pada Januari silam misalnya, pesawat latih TNI AU juga jatuh di Dusun Jetis, Magelang, Jawa Timur. Pesawat dari jenis Charlie bernomor penerbangan LD 3417 itu diperkirakan dibuat pada tahun 1976. Kapten Penerbangan Ali Mustofa tewas dalam insiden itu.


Sementara pada periode 2010 hingga 2011, terhitung tiga kali pesawat milik TNI AU yang mengalami kecelakaan yang rata-rata meminta korban jiwa. Pada April 2011 misalnya Sertu Ninang dan Sersan Karbol Habibun Rahman tewas dalam kecelakaan yang melibatkan pesawat latih jenis Glider G-611 di Sleman, Yogyakarta.


Yang paling dramatis terjdi di Denpasar, Bali pada Juni 2010 yang melibatkan pesawat latih jenis KT-1B Wong Bee. Dipiloti oleh Letnan Kolonel Penerbang Ramot CP Sinaga, pesawat bikinan Korea Selatan itu ditumpangi oleh Pangdam Udayana IX Mayjen TNI Rahmat Budianto.


Budianto, menurut keterangan Dinas Penerbangan Angkatan Udara, lolos karena menggunakan kursi pelontar sebelum pesawat yang dibeli pada tahun 2003 itu hancur terbakar.


Selain pesawat latih berukuran kecil, pada tahun 2009 sebuah kecelakaan tragis yang menelan korban hingga hampir 100 orang terjadi di Magetan, Jawa Timur. Kecelakaan yang melibatkan pesawat jenis C-130 Hercules Alpha 1325 itu terjadi dalam perjalanan dari Halim Perdanakusumah menuju Madiun, Makassar, Kendari, Patimura, dan Biak.


Menanggapi kecelakaan maut itu, Juwono Sudarsono, yang saat itu menjabat menteri pertahanan menyebut anggaran sebagai alasan buruknya perawatan dan pemeliharaan pesawat-pesawat uzur tersebut.


"Alokasi anggaran pertahanan rata-rata per tahun masih di bawah satu persen Produk Domestik Bruto (PDB), dan atau bawah negara-negara Asia Tenggara yang memiliki anggaran pertahanan di atas dua persen PDB," kata Sudarsono kepada Antara.


"Alangkah baiknya jika memang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan pemerintah secara berani melakukan perbaikan di bidang militer," saran dia ketika itu.


Kini anggaran TNI sudah mengalami peningkatan berkali-kali lipat sejak masa Sudarsono. Purnomo Yusgiantoro yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan dalam satu kesempatan di Januari lalu mengaku anggaran TNI dalam lima tahun terakhir meningkat drastis sehingga pada 2012 alokasi anggran Kemhan mencapai Rp 72, 5 triliun.


"Lima tahun ini kenaikan anggaran kita luar biasa. Artinya pemerintah sudah memberikan dukungan untuk membangun reformasi TNI jilid II," tegas Purnomo 18 Januari silam.



Sayangnya kenaikan anggaran itu belum diimbangi dengan berkurangnya kecelakaan pesawat-pesawat milik TNI AU di Tanah Air. Tragedi Fokker 27 yang baru terjadi seperti kembali menggoreskan pertanyaan mendasar untuk negeri ini, "Jadi, salahnya di mana?"
Penulis: Antara/ Liberty Jemadu

 TNI Janjikan Tiga Bulan Ungkap Kecelakaan Fokker F-27

 "Paling lama penyelidikan akan memakan waktu tiga bulan." 

Desmunyoto P. Gunadi / Jurnal Nasional
Wakil Kepala Staf TNI AU Marsekal Madya Dede Rusamsi mengatakan bahwa pihaknya akan menyelidiki sendiri penyebab jatuhnya pesawat Fokker 27 A2708 di Komplek Rajawali Jalan Branjangan Halim Perdanakusuma.

"Paling lama penyelidikan akan memakan waktu tiga bulan," ujarnya.

Meski begitu, Dede menegaskan bahwa pesawat Fokker F-27 terbang dalam kondisi fit dan layak. "Walau sudah masuh dalam Skuadron Dua Lanud Halim sejak 9 Februari 1977, Fokker 27 buatan pabrik Fokker Netherland tersebut dalam kondisi layak terbang," paparnya.

"Awak pesawat juga berada dalam kondisi fit dan siap terbang. Kondisi pesawat juga layak terbang, dengan sisa kondisi perawatan 23 hari," tambah Dede.

Lebih lanjut, Dede menjelaskan pesawat buatan Belanda dengan usia pesawat selama 14.396 jam tersebut telah melakukan landing pesawat selama 15.040 kali.

"Sisa hari perawatan 23 hari, dengan perawatan yang akan datang pada 14 Juli 2012, sementara pemeliharaan sebelumnya 1 dan 15 Juni lalu," tambahnya.

Sementara itu, usia engine pertama adalah 14.553 jam, time since new, 9.115 jam 50 menit, sejak operasional 356 jam 55 menit dan engine kedua 14.558 jam, time since new 9.367 jam 55 menit, dengan time operasional 575 jam 45 menit.

Lebih detil pesawat Fokker 27 yang memiliki mesin jenis EA Rolls Royce Dart MK 536-7R, dengan rentang sayap 18 meter, panjang badan 15.154 meter, tinggi 6.31 meter, berat maksimum 7.450 kilogram ini mampu mengangkut 40 penumpang, serta kuat menjelajah selama enam jam.

"Untuk awak pesawat, Mayor Penerbangan Heri Setyawan telah memiliki 3.552 jam terbang, co-pilot Lettu Pnb Paulus selama 188 jam dan co-pilot Letda Pnb Sahroni 87 jam," tandasnya.

Sementara itu, pasca kecelakaan tersebut, Kementerian Pertahanan berjanji segera mengganti pesawat Fokker F-27 dengan CN 295.

Menteri Petahanan, Purnomo Sugiantoro mengatakan bahwa pihaknya telah menandatangani kontrak pembelian 10 pesawat CN 295 yang akan digunakan untuk penerbangan militer Indonesia.

"Sudah dikerjakan dan pesawat direncanakan akan tiba tahun ini yang selanjutnya dikerjakan di sini bekerjasama dengan pihak TNI," kata Purnomo.

Seperti diketahui, pesawat buatan pabrik Fokker Netherland yang diketahui take off dari Lanud Halim Perdanakusuma pukul 13.10 WIB untuk melaksanakan latihan profesiensi tersebut terjatuh pada pukul 14.45 WIB. Kejadian itu mengakibatkan sebanyak 11 orang tewas. Yaitu tujuh kru dan empat warga sipil.
Penulis: Ronna Nirmala/ Ardi Mandiri
foto

 TNI Bantah Pesawat Fokker Jatuh karena Mesin Mati

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Madya Azman Yunus mengatakan pihaknya belum bisa mengetahui apa yang menyebabkan pesawat Fokker F-27 TNI AU terjatuh. Ia mengatakan sebab kecelakaan akan diselidiki tim keselamatan penerbangan.

“Sebab kecelakaan belum tahu. Sekarang masih penyelidikan,” kata Azman saat dihubungi pada Kamis, 21 Juni 2012 malam.

Pesawat jenis Fokker pada Kamis siang kemarin jatuh dari udara sekitar pukul 15.45 WIB. Pesawat menimpa delapan rumah warga di RT11/RW10 Kompleks Rajawali, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Pesawat tersebut lepas landas pada 13.10 WIB.

Menurut Azman pesawat tersebut diterbangkan dalam rangka latihan rutin touch and go, latihan untuk mengasah kemampuan lepas landas dan mendarat. Pesawat lepas landas dari pangkalan udara, kemudian dalam waktu tak seberapa lama mendarat lagi di tempat yang sama.

Sebelum jatuh, pesawat sudah melakukan latihan touch and go satu kali pada Kamis pagi. “Tidak ada masalah,” kata Azman. Kemudian ketika melakukan latihan yang kedua, pesawat tersebut jatuh.

Azman membantah kabar yang menyebut bahwa mesin kanan pesawat Fokker yang ditumpangi tujuh tentara tersebut mati saat menanjak. Ia mengatakan, penyebab kecelakaan belum bisa disimpulkan. “Nanti tim keselamatan yang cari penyebab kecelakaan,” katanya.
[ANANDA BADUDU]
Beritasatu / Tempo

Menhan Terima Dubes Turki untuk RI

Jakarta, DMC – Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Rabu (20/6) menerima kunjungan Duta Besar Turki untuk Indonesia H.E Zekeriya Akcam, di kantor Kemhan Jakarta. Dalam pertemuan singkat tersebut Menhan didampingi Dirkersin Ditjen Strahan Kemhan Brigjen TNI Jan Pieter Ate, Kapusada Baranahan Kemhan Marsma TNI Asep Sumaruddin, M.Sc, Kapuskom Publik Brigjen TNI Hartind Asrin dan Karo TU Brigjen TNI Drs. Herry Noorwanto, M.A. Maksud kunjungan Dubes Turki kepada Menhan kali ini selain untuk melanjutkan beberapa proyek kerjasama yang sedang berjalan diantara kedua negara, juga untuk menjajaki kemungkinan kerjasama di bidang industri pertahanan. (ER/BS)(DMC)
 Len Jajaki Potensi Kerjasama dengan Perusahaan Pertahanan Turki

len-aselsan-havelsan.jpg
Bandung (29/05/2012) - Len menerima kunjungan dari dua perusahaan Turki yang bergerak dalam bidang pertahanan, yaitu Aselsan dan Havelsan. Kunjungan diterima oleh Direktur Teknologi & Produksi Darman Mappangara, Direktur Pemasaran Abraham Mose, GM UB Sistem Kendali & Pertahanan Nurman Setiawan dan Tim Len lainnya, pada tanggal 29 Mei 2012 bertempat di Ruang Rapat Lantai 3 Gedung Karya Utama.

Kunjungan ini dimaksudkan untuk menjajaki potensi kerjasama dalam bidang pertahanan dalam rangka peningkatan alutsista RI. Aselsan adalah perusahaan elektronik pertahanan, sedangkan Havelsan merupakan perusahaan  yayasan  angkatan bersenjata Turki (Armed Forces Foundation Company).

Seperti yang telah kita ketahui, Turki memiliki hubungan politik yang semakin baik dengan RI, dan hubungan kerjasama industri antara kedua negara terus meningkat. Kedua negara telah memutuskan untuk meningkatkan kerjasama pertahanan, ketika Presiden Abdullah Gul mengunjungi Indonesia pada bulan April yang disambut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika kedua negara tersebut menandatangani kerjasama industri pertahanan.(LEN)

★ Senjata Lawan Tank Latih

 Badan Penelitian dan Pengembangan - SLT Latih 90 mm

Senjata Lawan Tank (SLT) Latih 90 mm (Foto Defense Studies)
Sejanta lawan tank diciptakan sebagai penyesuaian tuntutan kebutuhan teknologi untuk menghancurkan sebuah tank di medan operasi. Karena tank merupakan proyeksi kekuatan senjata musuh terbesar, dalam menghadapi lawan di medan pertempuran.

Sementara teknologi dikembangkan untuk melindungi prajurit dalam kendaraan lapis baja dari pengaruh yang dapat dilakukan untuk serangan lawan. Disisi lain penciptaan teknologi baru terus dikembangkan untuk melawan serangan sebuah tank mengasumsikan peran ofensif dengan menjadi lebih mobile. Selama ada tank akan ada spesisifik senjata anti-tank. Senjata Anti-tank perang berkembang sebagai tindakan balasan terhadap ancaman tank di medan pertempuran.


Senjata anti-tank yang dirancang untuk menghancurkan kendaraan tank dari posisi defensive untuk menembus kendaraan lapis baja. Senjata anti-tank dikembagkan mulai tahun 1930-an di berbagai negara. Senjata anti tank bisa mengalahkan tank dari jarak 500 m yang bersifat portabel dan mudah untuk disembunyikan. Kebanyakan efek senjata didasarkan pada efek penghancuran yang mengakibatkan perkembangan bahan peledaknya yang berbahan eksplosive tinggi dan lazim disebut High Explosive Anti Tank (HEAT). Pengaruh penghancuran ini bergantung sepenuhnya pada energi kinetik dari sebuah ledakan, bukan kecepatan putaran balistik pada kerusakan yang ditimbulkan untuk menembus lapis baja.

Pertahanan menetralisir serangan tank merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap pasukan infanteri, termasuk TNI AD di medap pertempuran. Senjata lawan Tank (SLT) merupakan alat yang digunakan menjalankan kemampuan netralisir tersebut. Sampai saat ini TNI AD memiliki 5 jenis SLT peleton dan 5 jenis SLT Kompi yang tersebar di seluruh satuan infanteri dan tidak memiliki munis latihnya sehingga prajurit tidak dapat melaksanakan latihan menembak.

(Foto Audryliahepburn)
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka setiap prajurit harus dapat mengoperasikan SLT asli dan memerlukan latihan secara intensif. SLT dibuat untuk kebutuhan prajurit dalam latihan, sehingga pada saat terjun dalam pertempuran dapat percaya diri dan dengan mudah menguasai medan pertempuran terhadap lawan yang menggunakan tank. Senjata ini dibuat sesuai dengan spesifikasi standar teknis minimal TNI dan sesuai ergonomis bentuk postur tubuh orang Indonesia.

Disamping perendam, daya kejut serta efek panas yang ditimbulkan dari pembakaran sebuah munisi dalam selongsong SLT. Dengan adanya pembuatan prototipe Senjata Lawan Tank (SLT) latih yang berkerjasama dengan pihak indutri dengan kemampuan local contens dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga suku cadang serta perawatan dapat dilakukan dalam negeri, maka SLT latih tersebut telah memenuhi syarat pembuatan serta penggunaan oleh pihak user.
 Kebutuhan Akan SLT Latih

Dengan memperhatikan bahwa setiap batalyon mempunyai SLT peluru tajam sebagai bekal pokok, dimana jumlah batalyon di Indonesia sekitar 200 batalyon, tentulah sangat riskan, maka kebutuhan akan SLT latih sangat penting sekali, untuk bisa dipenuhi dan membuat prajurit andal di lapangan.
 Prototipe Senjata Lawan Tank Latih kaliber 90 mm

Produk baru yang ditampilkan untuk matra darat diantaranya adalah Senjata Lawan Tank dengan nama SLT Latih 64 mm dan dengan kaliber yang lebih besar yaitu 90 mm. Demikian juga roket pertahanan 2 tingkat “Kartika” yang mampu menjangkau sasaran darat hingga 21 km dan kecepatan hingga 2-3 mach.
 Spesifikasi SLT Latih :

  • Kaliber : 90 mm 
  • Panjang Senjata : 930 mm 
  • Berat Senjata : 5 kg 
  • Jarak Capai : ± 40 m 
  • Munisi Pendorong : MU 5 TJ
Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kemhan dengan PT Pindad.(GM)

<>

Sejarah Perang Puputan Margarana

Tabanan, Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.

Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara.
 Puncak Peristiwa

Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.

Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.


Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara
Netherland Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.

Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.


Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa. (bb.com/wikipedia/berbagai sumber)
Beritabali

Kamis, 21 Juni 2012

Fokker 27 TNI AU Jatuh: Tumbal Inkonsistensi Kebijakan Pemerintah




Ilustrasi F-27 TNI AU
itoday - Jatuhnya pesawat TNI AU jenis Fokker 27 bernomor ekor A2708 yang sedang melakukan latihan Touch and Go di Lanud Halim Perdanakusuma, Kamis (21/6), dianggap pengamat pertahanan Muradi sebagai dampak lalainya pemerintah dalam membuat kebijakan, sehingga prajurit TNI kembali jadi tumbal. Padahal, pesawat tersebut sudah harus di-grounded karena sudah tua.

Kepada itoday, Kamis (21/6), Muradi mengatakan, ada tiga alasan mengapa alutsista TNI ini harus di-grounded. "Pertama, karena sudah tua. Kalau sudah tua, maka akan ada penggantinya. Kedua, Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk membangun industri pertahanan yang baru, artinya alutsista seperti jenis pesawat Fokker 27 sudah bisa sendiri produksi sendiri dan menggantikan pesawat yang ada. Ketiga, antara kebijakan dengan implementasinya harus nyambung," kata Muradi.

Melihat kemampuan yang dimiliki Indonesia, lalu mengapa TNI AU masih mengoperasikan alutsista tua? Muradi yang juga dosen FISIP Universitas Padjajaran, Bandung ini hanya bisa menjawab, karena pemerintah/TNI tidak punya dana. Tidak hanya itu, antara kebijakan dan implementasi tidak nyambung.

“Dari ketiga faktor ini, sebenarnya situasinya sederhana saja. Pemerintah jika ingin membuat kebijakan harus sesuai dengan apa yang dimiliki TNI, jika tidak ya jangan membuat sebuah kebijakan. Nanti kondisi yang seperti itu akan terus terulang, “ ungkapnya.

Dengan kondisi seperti itu, Muradi melihat TNI tidak memiliki banyak pilihan, hanya bisa menggunakan peralatan tuanya. Karena yang baru belum ada, beli baru atau bekas belum tentu bisa karena tidak ada uangnya.

F27 TNI AU Jatuh (Foto: Pasya/pembaca detikcom)
“Uangnya tidak ada, kita juga tidak mampu beli yang bekas, maka mau tidak mau TNI hanya bisa kembali menggunakan peralatan tuanya. Ketika menggunakan peralatan tua, ya akan terjadi banyak masalah, seperti perawatan, keberadaan suku cadang dan lain-lain, itu yang menyebabkan pesawat kita sering jatuh, “ jelasnya.

Fokker 27 adalah pesawat buatan 1958 pabrikan Belanda, Fokker yang sudah bangkrut. TNI AU sendiri menggunakan pesawat yang berjulukan Friendship ini sejak 1976 dan ditempatkan di Skadron 2 Lanud Halim Perdana Kusuma, untuk angkut ringan dan penerjunan.

Sebelumnya, TNI AU juga pernah mengalami musibah serupa di mana salah satu Fokker 27-nya jatuh di Bandung, 2009 lalu. Dalam musibah tersebut, 24 penumpang tewas. Korban tewas terdiri dari awak pesawat dan anggota grup pasukan khusus AU, Paskhas AU.

Pasca musibah Fokker di Bandung, pemerintah sebenarnya sudah memerintahkan untuk menggrounded seluruh alutsista TNI yang sudah tua untuk menghindari jatuh korban. Namun entah mengapa pesawat Fokker 27 TNI AU yang sudah berumur lebih dari 30 tahun ini masih juga terbang.*(itoday)