"Ayah dan Dua Kakak Saya Dibantai Westerling"
Sejarawan Anhar Gonggong
Pembunuhan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Belanda kembali dipersoalkan
Atas nama "penumpasan pemberontakan", pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling menyisir desa-desa di Sulawesi Selatan. Hanya sekitar tiga bulan, Desember 1946-Februari 1947, ribuan nyawa melayang dan darah tertumpah di sana.
Termasuk keluarga sejarawan, Anhar Gonggong. "Ayah saya dibunuh bersama dua kakak saya. Satu kakak dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, Pare-pare," kata Anhar kepada VIVAnews.com.
Ayahnya, Andi Pananrangi adalah mantan raja di kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, Alitta. Ia memang sudah lama jadi incaran Belanda, dicap sebagai musuh.
Kala itu, Anhar baru berusia 3 tahun. "Saya anak bungsu, tidak melihat kejadian itu. Ibu saya juga tak melihat, saat itu kami mengungsi setelah ayah ditangkap," kata dia.
Itu baru keluarga intinya."Paman saya, sepupu juga dibantai. Kalau dihitung secara keseluruhan di lingkungan keluarga dekat, ayah, kakak, paman, sepupu, mungkin sampai 20-an orang," kata dia.
Tragedi pembunuhan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Belanda kembali mencuat ke permukaan, setelah 10 keluarga korban Westerling melayangkan tuntutan ke Pemerintah Belanda. Selain menuntut kata maaf, mereka juga menuntut kompensasi dari Negeri Kincir Angin.
Anhar Gonggong tidak termasuk dalam daftar nama penggugat. "Jujur, saya tidak setuju dengan gugatan itu. Harga nyawa ayah dan dua kakak saya tidak ternilai dengan uang, miliaran sekalipun. Mereka berjuang demi kemerdekaan, keluarga kami tidak butuh uang kolonial," tegas dia.
Maaf dari Belanda juga bukan sesuatu yang diharapkan Anhar. "Apakah dengan maaf Belanda lantas ayah saya hidup lagi?," kata dia. Tak hanya nyawa, pasukan Belanda juga membakar rumah dan menghabisi harta bendanya.
Anhar juga mengingatkan, dalam keputusan Pengadilan Den Haag, Belanda pada kasus Rawagede 9 Desember 1947, disebut bahwa Pemerintah Belanda "telah membunuhi rakyatnya sendiri". "Itu artinya Belanda tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dia minta maaf, mengakui pelanggaran di wilayah Kerajaan Belanda. Diakui sebagai jajahan, padahal kita berjuang untuk merdeka," tambah dia.
Apalagi, kekejaman yang dilakukan Westerling dan pasukannya tidak bisa dimaafkan. Dari keterangan kakaknya, Andi Selle, Anhar mendapat gambaran faktual soal situasi kala itu. Penduduk dipaksa menggali lubang dalam, kemudian mereka dipaksa duduk di tepi lubang, ada 30 orang, 40 orang, bahkan sampai 100-an orang.
Lalu, para serdadu menanyai mereka, "mana Andi Selle, mana Andi Matalatta," satu-persatu keberadaan nama pejuang ditanyakan. Jika tak menjawab, mereka ditembak, jenazahnya tersungkur masuk lubang. "Bahkan perempuan ada yang ditusuk dengan sangkur. Kejamnya Westerling tak bisa dihapus dengan maaf, nggak ada itu."
Soal pastinya jumlah korban Westerling memang belum diketahui. Pihak Indonesia menyebut 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Anhar yakin, kalaupun tak sampai 40.000 orang, jumlah korban di atas 20.000. Di Kariano, ibu kota kerajaan ayahnya, yang kini menjadi kampung, kakak Anhar pernah mendata jumlah korban pembantaian Westerling pada tahun 1972. "Di Kariano saja yang kecil ada 700 orang tewas, dia catat namanya, tempat dibunuh. Padahal jarak dari Makassar sampai 100 kilometer," kata dia.
Lama Dilupakan
Yang disayangkan Anhar, tragedi tersebut telah lama dilupakan, oleh pemerintah, bahkan di Sulawesi Selatan. Pembantaian Westerling baru ramai dibicarakan setelah korban Rawagede memenangkan gugatan melawan Pemerintah Belanda.
"Seingat saya tak lagi diperingati sejak tahun 1970-1n. Mungkin warga Sulsel malu dikatakan orangnya dibantai. Tapi dia lupa, justru yang jadi pahlawan adalah rakyat kecil yang dibunuh, yang tak mau memberi tahu di mana para pejuang berada. Kematian mereka melindungi pejuang," kata dia.
Penduduk Sulsel yang jadi korban, Anhar menambahkan, mempertaruhkan nyawa demi para pejuang. Mereka melawan dalam diam.
© VIVAnews
Korban Westerling Beri Waktu 3 Minggu
"Dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut
Sepucuk surat tiba di meja Menteri Luar Negeri Belanda, Uri Rosenthal. Pengirimnya 10 anggota keluarga korban pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1947.
Selain kompensasi, para keluarga korban juga menuntut maaf dari Belanda atas kekejaman pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.
"Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi. Dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, yang mendampingi keluarga korban di Belanda, Jeffry Pondakh seperti dimuat BBC, Selasa petang.
Pemerintah Belanda, dia menambahkan dianggap ikut bertanggung jawab atas kekejaman itu. Keluarga korban memberi waktu tiga minggu. "Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kami dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut," tambah Jeffry.
Dalam surat yang ditulis pengacara HAM, Liesbeth Zegveld disebutkan, para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa. Salah satunya di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947, disebutkan pasukan Belanda masuk ke desa pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakarnya. Sebanyak 364 nyawa melayang kala itu.
Asia Sitti, putri dari sesepuh desa menyaksikan pembantaian itu. "Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya," kata Zegveld.
Di desa lain, Bulukumba, diduga ada 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.
"Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang," demikian isi surat itu. "Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan.
Dipetieskan
Kasus kekejaman Westerling bukannya tak tercium oleh Pemerintah Belanda. Dilaporkan Radio Nederland, negeri itu telah membentuk komisi penyidik khusus. Namun, diam-diam, pada 1954 kabinet memutuskan tidak akan mengusutnya lebih lanjut.
Hingga saat ini laporan komisi tersebut masih tergolong dokumen "sangat rahasia". Namun harian Belanda, De Volkskrant, berhasil mendapatkan bocoran dokumen yang disusun pejabat tinggi dari kalangan militer, kehakiman dan pemerintahan itu.
Laporan memuat fakta pembunuhan sekitar 3.000 warga, selama tiga bulan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pimpinan Kapten Raymond Westerling, di Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 1946. Atasan langsungnya memberi Kapten Westerling wewenang menghukum mati para "perampok" dan pengacau lainnya.
Banyak kasus pembunuhan dilaksanakan setelah serdadu Kapten Westerling menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan kilat". Laporan memuat fakta pembunuhan lebih dari 300 warga suatu desa, dalam satu hari.
Dalam dokumen ini tidak ada penjelasan alasan kabinet pimpinan Perdana Menteri Willem Drees (partai sosial demokrat, PvdA), pada tahun 1954 memutuskan tidak akan memperkarakan pelanggaran berat ini.
Dalam salah satu lembaran laporan terdapat tulisan tangan seorang pejabat pemerintah, yang menyatakan bahwa "tindakan beberapa perwira militer memang sangat keterlaluan". Namun, pada goresan selanjutnya tertulis "tidak ada gunanya mengungkit masa lalu".
Bukti harus kuat
Terkait tuntutan ini, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, belajar dari kasus Rawagede, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan.
"Bahwa kompensasi mungkin dilakukan namun tidak mungkin mengadili peristiwa di masa lampau," kata dia kepada VIVAnews.com, Selasa 8 Mei 2012 malam. Pelaku yang masih hidup tak mungkin diseret ke meja hijau.
Pihak yang mengajukan, dia menambahkan, harus korban yang masih hidup, suami atau istri korban. "Anak, kerabat, dan sebagainya tidak bisa mewakili," tambah dia.
Dan yang terpenting adalah bukti. "Harus ada dokumen bahwa memang terjadi apa yang disebut kekejaman dan pelanggaran terhadap hukum."
Hikmahanto menambahkan, kasus Rawagede adalah terobosan, bahwa individu bisa mengajukan gugatan di masa lalu pada sebuah negara. "Selama ini yang terjadi dilakukan negara dengan negara, misalnya Indonesia-Jepang dengan pampasan perang, dengan Belanda berupa bantuan pinjaman lunak," kata dia.
© VIVAnews
Korban Pembantaian Westerling Gugat Belanda
Diwakili 10 anggota keluarga korban pembantaian. Menuntut kompensasi, dan terutama maaf.
Mereka menyatakan, Belanda bertanggung jawab atas pembunuhan suami, ayah mereka pada kurun waktu 1946-1947. Kompensasi alias ganti rugi finansial memang jadi salah satu yang dituntut. Namun, yang utama adalah permintaan maaf dan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami.
Pengacara Liesbeth Zegveld, yang sebelumnya juga mewakili korban Rawagede, didaulat untuk mewakili sepuluh penggugat pembantaian Westerling. Melalui sepucuk surat, ia memberitahukan tuntutan itu pada Menteri Luar Negeri Belanda, Uri Rosenthal. "Yayasan yang mewakili kepentingan para korban di Sulawesi Selatan, ingin, bersama Negara, mencari jalan keluar atas kejahatan yang dilakukan di sana," demikian isi surat Zegveld kepada kantor berita Belanda, ANP, seperti dirilis Radio Nederland.
Kejahatan yang dimaksud adalah eksekusi besar-besaran yang dilakukan Kapten Raymond Westerling dan pasukannya yang ditugaskan memulihkan kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan.
Menurut Zegveld, pada tahun 1954 sebuah komisi khusus menetapkan, militer Belanda melakukan kejahatan di Sulewesi Selatan. "Otoritas memilih jalan pengadilan dan eksekusi di luar hukum, sesuatu yang melanggar undang-undang. Para peneliti juga menyimpulkan Kapten Westerling bebas bertindak tanpa pengawasan," demikian Zegveld. Dia menambahkan, otoritas tertinggi di Belanda mengizinkan hal itu.
Pertengahan April silam pihak Kejaksaan memberitahu tidak akan menyelidiki tindak kejahatan tersebut, karena kasus ini telah kadaluarsa sejak tahun 1970-an. Namun, "negara Belanda tidak pernah menyampaikan permintaan maaf atau membayar kompensasi kepada sanak saudara korban," kata Zegveld.
40.000 nyawa dibantai
Hanya setahun -- 1946 sampai 1947 -- tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
© VIVAnews
Kuburan Massal di Bawah Monumen Westerling
"Jika dilihat sekilas, kotak itu tak bermakna."
Di sebelahnya, ada bangunan kotak, strukturnya seperti rumah panggung, hanya lebih pendek. Ukurannya 6x6x12 meter. Sejumlah patung pejuang pria dengan ukuran kecil seakan sedang ‘memanggulnya’. Bagian tengahnya dipenuhi relief yang menggambarkan kejadian mengerikan: mayat-mayat yang bergelimpangan dan penduduk desa yang berduka. Menggambarkan situasi pembantaian 40.000 jiwa rakyat Sulsel.
“Jika dilihat sekilas, kotak itu tak bermakna, tapi jika diperhatikan seksama, monumen dibangun menyerupai peti mati,” kata penjaga monumen, Zaenal Ropu kepada VIVAnews.com. Tepat di bawah "Monumen Korban Pembantaian 40.000 Jiwa" terdapat kuburan massal ratusan jiwa orang Sulawesi Selatan yang dibantai pasukan Belanda yang dipimpin Raymond Pierre Paul Westerling.
Zaenal menceritakan, awalnya lokasi monumen yang terletak di Kelurahan La'latang, Kecamatan Tallo itu adalah hamparan sawah dan rawa. Saat pasukan Westerling meraja lela, tempat itu dijadikan pembuangan korban pembantaian. Lubang yang menganga dipenuhi ratusan jasad.
"Menurut informasi turun temurun, di sinilah lubang besar itu dan dijadikan kuburan massal," kata Zaenal, menunjuk sebuah titik.
Lubang itu kini tak lagi terlihat, ditimbun dan di permanenkan dengan adonan semen selebar 2 meter dan panjang 6 meter. "Kira-kira sekitar tahun 1970, lubang itu ditutup total," tuturnya. Lalu, pada tahun 1994 di atasnya dibangunlah monumen -- atas inisiatif Walikota Makassar saat itu, HM Endong Patompo.
Saat ditanya soal sejarah pembantaian Westerling, Zaenal mengaku tak tahu pasti. Ia mengaku hanya mendapat beberapa penggal cerita dari ayahnya, yang juga pernah menjaga monumen tersebut.
Pria 60 tahun itu menambahkan, oleh ayahnya ia diberitahu lokasi kuburan massal dan diberi tahu, bahwa jasad-jasad yang terbaring di sana adalah rakyat dari berbagai lokasi di Sulawesi Selatan. "Jika dianggap jagoan, maka dari daerah manapun, pasti mayatnya diseret dan dibuang disini. Kemudian warga lainnya, katanya dijemur dulu lalu ditembak dan dibuang ke lubang ini," kata dia.
Monumen pembantaian ini dijadikan salah satu obyek wisata sejarah dan budaya andalan Sulsel. Tapi kata Zaenal, tak banyak yang datang. Tempat ini baru ramai jelang peristiwa pembantaian Westerling, setiap tanggal 11 Desember. Selebihnyan bangunan itu hanya sesekali didatangi, itupun untuk kepentingan penelitian maupun untuk peliputan."Untuk keluarga korban, sangat jarang ada yang datang," tutupnya.
Padahal hanya setahun -- 1946 sampai 1947 -- tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Vonis Pengadilan Den Haag yang memenangkan korban pembantaian Rawagede, menyatakan Pemerintah Belanda bersalah secara hukum – menjadi pintu masuk untuk menggugat pembantaian sadis di Sulsel. Bukan untuk menguak luka lama, tak hanya bertujuan menuntut kompensasi, tapi demi keadilan bagi korban.(Laporan: Rahmat Zeena| Makassar)
"Westerling Akan Buktikan Kekejaman Belanda"
"Bukti pengakuan dalam bentuk rekaman itu akan menjadi amunisi baru."
Bukti pengakuan Kapten Raymond Westerling,
terkait pembantaian 40 ribu jiwa --termasuk masyarakat di Sulawesi
Selatan dan Barat-- akan dijadikan dasar untuk menggugat pemerintah
Belanda. Bukti rekaman pengakuan itu diharapkan bisa mengungkap
kekejaman kolonial masa itu.
"Bukti pengakuan dalam bentuk rekaman itu akan menjadi amunisi baru bagi kami," kata Salman Dianda Anwar, salah satu tokoh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), saat berbincang dengan VIVAnews.
Salman mengatakan, dalam tiga bulan terakhir, pihaknya telah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti pembantaian tersebut. Pengumpulan bukti dilakukan dengan mendatangi sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dan Barat yang menjadi daerah pusat pembantaian Westerling.
"Bukti pengakuan dalam bentuk rekaman itu akan menjadi amunisi baru bagi kami," kata Salman Dianda Anwar, salah satu tokoh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), saat berbincang dengan VIVAnews.
Salman mengatakan, dalam tiga bulan terakhir, pihaknya telah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti pembantaian tersebut. Pengumpulan bukti dilakukan dengan mendatangi sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dan Barat yang menjadi daerah pusat pembantaian Westerling.
"Kami melakukan wawancara langsung kepada keluarga, bahkan masih ada saksi yang pernah disuruh menggali kuburan para korban," tambahnya.
KNPMBI dan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) akan menggalang seluruh keluarga korban yang diketahui berada di sejumlah daerah di Indonesia. Kedua organisasi yang mewakili korban mengajukan gugatan dalam beberapa poin, yakni mendesak pemerintah Belanda untuk secara jantan mengakui pembantaian tersebut.
Selanjutnya, Belanda harus menyampaikan permohonan maaf dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia.
"Kembali lagi, rekaman yang tidak pernah diputar dan baru terungkap itu sebagai modal. Bahwa, tidak ada alasan bagi Belanda untuk tidak melakukan permohonan maaf," tuturnya.
Pemerintah Belanda juga dituntut harus memberikan kompensasi, namun, bukan dalam bentuk orang per orang. Kompensasi bisa dilakukan dengan membangun rumah sakit, sekolah, serta fasilitas lainnya di daerah-daerah yang menjadi pusat pembantaian warga tak berdosa.
Warga berharap bisa memenangi gugatan yang rencananya diajukan ke Mahkamah Internasional pada Oktober 2012. Seperti pada kasus Rawa Gede beberapa waktu lalu. (art)
© VIVA.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.