Opini Alman Helvas Ali Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat kunjungan kerja ke Rusia tahun 2020 [Dokumentasi Kementerian Pertahanan Rusia]
Setelah terputus pascapergolakan politik Indonesia pada tahun 1965, perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia kembali terjalin pada 2003. Ini setelah Indonesia membeli dua unit Sukhoi Su-27SK dan dua buah Su-30MK di masa Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Rencana akuisisi Su-27 telah dimulai pada 1996 saat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Ginandjar Kartasasmita berkunjung ke Rusia untuk menjajaki rencana pengadaan burung besi itu atas perintah Presiden ke-2 RI Soeharto. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 yang memicu kejatuhan Orde Baru menggagalkan rencana tersebut. Perdagangan pertahanan antara kedua negara sejak 2003 terus berlangsung dengan lancar hingga era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Akan tetapi sejak Presiden ke-7 RI Joko Widodo memerintah, perdagangan pertahanan kedua negara mengalami hambatan. Hal demikian tidak lepas dari invasi Rusia ke Crimea pada Februari 2014 yang memicu lahirnya Counter America's Adversaries Through Sanction Act (CAATSA) oleh Kongres Amerika Serikat (AS) pada Juli 2017. Indonesia terdampak langsung CAATSA karena hingga 2019 Kementerian Pertahanan telah menandatangani setidaknya tiga kontrak akuisisi senjata dari Rusia dengan menggunakan Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang sampai sekarang belum dapat dieksekusi. Bahkan berdasarkan data Kementerian Keuangan pada Januari 2021, terdapat empat kegiatan pengadaan senjata dari Rusia yang belum diaktifkan karena CAATSA.
Mengacu pada data yang penulis miliki, nilai total ketiga kontrak pembelian senjata mencapai US$ 1,7 miliar yang mencakup pesawat tempur Su-35, tank amfibi BMP-3F dan kendaraan pendarat amfibi BT-3F. Nilai itu belum termasuk satu kegiatan pengadaan lainnya apabila mengacu pada data Kementerian Keuangan yang telah disebutkan. Kegagalan eksekusi kontrak akuisisi senjata dari Rusia disebabkan oleh beberapa hal seperti mundurnya calon lender dan keengganan Kementerian Keuangan untuk meneruskan program-program tersebut karena ancaman CAATSA. Mundurnya calon lender dari institusi keuangan Barat membuat loan agreement tidak dapat ditandatangani, sedangkan keengganan Lapangan Banteng dapat dipahami karena sanksi CAATSA mengancam individu-individu yang terlibat dalam kontrak dan bukan pada entitas negara.
KRI TOK 629 [instagram @tombak_629] ⚓
Moskow telah menawarkan alternatif pembiayaan kepada Jakarta untuk memenuhi kebutuhan PLN bagi rencana pembelian senjata berikut mekanisme pengaturan keuangan yang kompleks yang tidak menggunakan rute perbankan internasional. Polanya mirip dengan yang dilakukan oleh India sejak 2018 untuk mengeksekusi pembelian sejumlah senjata dari Rusia pascapenerapan CAATSA di mana pembayarannya melibatkan Rupee dan Rubel. Namun, pengambil kebijakan di Indonesia tidak ingin mengambil risiko terkena sanksi CAATSA sehingga tawaran Rusia tidak mendapatkan respons yang antusias. Hingga kini nasib kegiatan pengadaan dari Rusia yang merupakan bagian dari Minimum Essential Force (MEF) tahap kedua tidak jelas.
Akan tetapi pada MEF tahap kedua pula Indonesia berhasil mengecoh CAATSA dalam eksekusi kontrak pengadaan dua unit meriam A-220M kaliber 57 mm yang sekarang telah terpasang pada dua KCR 60 buatan PT PAL Indonesia. Pencapaian tersebut membuat Rusia tetap melirik pasar meriam 57 mm di Indonesia dan berani bersaing dengan BAE Systems yang telah hadir di Indonesia sekitar 40 tahun dengan meriam Bofors 57 mm. Tentu saja menjadi pertanyaan apakah Indonesia masih akan berani berbelanja A-220M ke Rusia pada tahun-tahun mendatang, baik menggunakan skema PLN maupun Rupiah Murni. Boleh dikatakan kasus pengadaan A-220M sulit untuk terulang lagi di masa depan.
Pada MEF tahap ketiga yang akan berlangsung hingga 2024, Indonesia sejauh ini telah mencadangkan US$ 163,8 juta untuk berbelanja senjata ke Rusia. Nilai tersebut tercantum dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 26 April 2021, di mana kegiatan itu memang spesifik mengacu pada senjata buatan Rusia dan tidak bisa digantikan oleh senjata buatan Barat. Namun apakah PSP tersebut dapat dieksekusi oleh Kementerian Pertahanan sebelum 30 April 2022 masih menjadi pertanyaan besar. Selain PSP, dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024, terdapat rencana kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan Rusia.
BMP 3F Marinir [Antara]
Di sisi lain, masih terdapat minat dari pihak-pihak swasta di Indonesia untuk mengimpor senjata dari Rusia, termasuk program pengadaan yang telah mendapatkan PSP dari Kementerian Keuangan. Pihak-pihak tersebut paham dengan CAATSA, namun nampaknya masih mempunyai keyakinan dapat mengecohnya melalui mekanisme yang rumit dan melibatkan pihak-pihak ketiga. Dengan kata lain, beberapa pebisnis senjata di negeri ini masih melihat kegiatan perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia menguntungkan secara ekonomis walaupun risiko politiknya juga besar. Apakah mekanisme rumit tersebut dapat diimplementasikan sangat tergantung pada para pemegang kebijakan di Indonesia dan Rusia yang notabene adalah cabang kekuasaan eksekutif.
Berpatokan pada MEF tahap kedua, dapat dipastikan Kemenkeu kecil kemungkinan akan mengeksekusi kegiatan belanja senjata buatan Rusia pada MEF tahap ketiga meskipun Kemenhan dapat menandatangani kontrak senilai US$ 163,8 juta dengan Rusia. Risiko bagi para pejabat Kemenkeu terlalu besar untuk meloloskan kegiatan itu daripada keuntungan yang akan diterima dalam perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia. Para eksekutif industri pertahanan nasional seperti BUMN pun berpotensi terkena sanksi CAATSA apabila terdapat program offset yang harus dilepas oleh Rusia selaku penjual senjata.
Sedangkan dari sisi Rusia, terlaksananya perdagangan pertahanan dengan Indonesia akan tergantung pada sikap Indonesia sendiri. Sikap Indonesia ditentukan oleh Kemenkeu sebagai otoritas tunggal keuangan negara dan bukan oleh pihak-pihak swasta selaku pelaku perdagangan pertahanan. Keberhasilan Rusia menjual beberapa senjata ke Turki dan India menunjukkan Moskow memiliki keyakinan CAATSA dapat diterobos dengan mekanisme-mekanisme tertentu. Stall-nya implementasi kontrak Su-35 dapat dijadikan acuan sejauh mana Indonesia berani menerobos CAATSA karena risiko melanjutkan perdagangan pertahanan dengan Rusia terlalu besar dibandingkan dengan keuntungan yang akan diterima. (miq/miq)
Setelah terputus pascapergolakan politik Indonesia pada tahun 1965, perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia kembali terjalin pada 2003. Ini setelah Indonesia membeli dua unit Sukhoi Su-27SK dan dua buah Su-30MK di masa Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Rencana akuisisi Su-27 telah dimulai pada 1996 saat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Ginandjar Kartasasmita berkunjung ke Rusia untuk menjajaki rencana pengadaan burung besi itu atas perintah Presiden ke-2 RI Soeharto. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 yang memicu kejatuhan Orde Baru menggagalkan rencana tersebut. Perdagangan pertahanan antara kedua negara sejak 2003 terus berlangsung dengan lancar hingga era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Akan tetapi sejak Presiden ke-7 RI Joko Widodo memerintah, perdagangan pertahanan kedua negara mengalami hambatan. Hal demikian tidak lepas dari invasi Rusia ke Crimea pada Februari 2014 yang memicu lahirnya Counter America's Adversaries Through Sanction Act (CAATSA) oleh Kongres Amerika Serikat (AS) pada Juli 2017. Indonesia terdampak langsung CAATSA karena hingga 2019 Kementerian Pertahanan telah menandatangani setidaknya tiga kontrak akuisisi senjata dari Rusia dengan menggunakan Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang sampai sekarang belum dapat dieksekusi. Bahkan berdasarkan data Kementerian Keuangan pada Januari 2021, terdapat empat kegiatan pengadaan senjata dari Rusia yang belum diaktifkan karena CAATSA.
Mengacu pada data yang penulis miliki, nilai total ketiga kontrak pembelian senjata mencapai US$ 1,7 miliar yang mencakup pesawat tempur Su-35, tank amfibi BMP-3F dan kendaraan pendarat amfibi BT-3F. Nilai itu belum termasuk satu kegiatan pengadaan lainnya apabila mengacu pada data Kementerian Keuangan yang telah disebutkan. Kegagalan eksekusi kontrak akuisisi senjata dari Rusia disebabkan oleh beberapa hal seperti mundurnya calon lender dan keengganan Kementerian Keuangan untuk meneruskan program-program tersebut karena ancaman CAATSA. Mundurnya calon lender dari institusi keuangan Barat membuat loan agreement tidak dapat ditandatangani, sedangkan keengganan Lapangan Banteng dapat dipahami karena sanksi CAATSA mengancam individu-individu yang terlibat dalam kontrak dan bukan pada entitas negara.
KRI TOK 629 [instagram @tombak_629] ⚓
Moskow telah menawarkan alternatif pembiayaan kepada Jakarta untuk memenuhi kebutuhan PLN bagi rencana pembelian senjata berikut mekanisme pengaturan keuangan yang kompleks yang tidak menggunakan rute perbankan internasional. Polanya mirip dengan yang dilakukan oleh India sejak 2018 untuk mengeksekusi pembelian sejumlah senjata dari Rusia pascapenerapan CAATSA di mana pembayarannya melibatkan Rupee dan Rubel. Namun, pengambil kebijakan di Indonesia tidak ingin mengambil risiko terkena sanksi CAATSA sehingga tawaran Rusia tidak mendapatkan respons yang antusias. Hingga kini nasib kegiatan pengadaan dari Rusia yang merupakan bagian dari Minimum Essential Force (MEF) tahap kedua tidak jelas.
Akan tetapi pada MEF tahap kedua pula Indonesia berhasil mengecoh CAATSA dalam eksekusi kontrak pengadaan dua unit meriam A-220M kaliber 57 mm yang sekarang telah terpasang pada dua KCR 60 buatan PT PAL Indonesia. Pencapaian tersebut membuat Rusia tetap melirik pasar meriam 57 mm di Indonesia dan berani bersaing dengan BAE Systems yang telah hadir di Indonesia sekitar 40 tahun dengan meriam Bofors 57 mm. Tentu saja menjadi pertanyaan apakah Indonesia masih akan berani berbelanja A-220M ke Rusia pada tahun-tahun mendatang, baik menggunakan skema PLN maupun Rupiah Murni. Boleh dikatakan kasus pengadaan A-220M sulit untuk terulang lagi di masa depan.
Pada MEF tahap ketiga yang akan berlangsung hingga 2024, Indonesia sejauh ini telah mencadangkan US$ 163,8 juta untuk berbelanja senjata ke Rusia. Nilai tersebut tercantum dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 26 April 2021, di mana kegiatan itu memang spesifik mengacu pada senjata buatan Rusia dan tidak bisa digantikan oleh senjata buatan Barat. Namun apakah PSP tersebut dapat dieksekusi oleh Kementerian Pertahanan sebelum 30 April 2022 masih menjadi pertanyaan besar. Selain PSP, dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024, terdapat rencana kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan Rusia.
BMP 3F Marinir [Antara]
Di sisi lain, masih terdapat minat dari pihak-pihak swasta di Indonesia untuk mengimpor senjata dari Rusia, termasuk program pengadaan yang telah mendapatkan PSP dari Kementerian Keuangan. Pihak-pihak tersebut paham dengan CAATSA, namun nampaknya masih mempunyai keyakinan dapat mengecohnya melalui mekanisme yang rumit dan melibatkan pihak-pihak ketiga. Dengan kata lain, beberapa pebisnis senjata di negeri ini masih melihat kegiatan perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia menguntungkan secara ekonomis walaupun risiko politiknya juga besar. Apakah mekanisme rumit tersebut dapat diimplementasikan sangat tergantung pada para pemegang kebijakan di Indonesia dan Rusia yang notabene adalah cabang kekuasaan eksekutif.
Berpatokan pada MEF tahap kedua, dapat dipastikan Kemenkeu kecil kemungkinan akan mengeksekusi kegiatan belanja senjata buatan Rusia pada MEF tahap ketiga meskipun Kemenhan dapat menandatangani kontrak senilai US$ 163,8 juta dengan Rusia. Risiko bagi para pejabat Kemenkeu terlalu besar untuk meloloskan kegiatan itu daripada keuntungan yang akan diterima dalam perdagangan pertahanan Indonesia dan Rusia. Para eksekutif industri pertahanan nasional seperti BUMN pun berpotensi terkena sanksi CAATSA apabila terdapat program offset yang harus dilepas oleh Rusia selaku penjual senjata.
Sedangkan dari sisi Rusia, terlaksananya perdagangan pertahanan dengan Indonesia akan tergantung pada sikap Indonesia sendiri. Sikap Indonesia ditentukan oleh Kemenkeu sebagai otoritas tunggal keuangan negara dan bukan oleh pihak-pihak swasta selaku pelaku perdagangan pertahanan. Keberhasilan Rusia menjual beberapa senjata ke Turki dan India menunjukkan Moskow memiliki keyakinan CAATSA dapat diterobos dengan mekanisme-mekanisme tertentu. Stall-nya implementasi kontrak Su-35 dapat dijadikan acuan sejauh mana Indonesia berani menerobos CAATSA karena risiko melanjutkan perdagangan pertahanan dengan Rusia terlalu besar dibandingkan dengan keuntungan yang akan diterima. (miq/miq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.