Sabtu, 09 Juni 2012

Kontrak PKR 10514: Sebuah Keterkejutan yang Wajar

PKR 10514

Hingar bingar belanja alutsista TNI yang sedang menuju panen raya tahun ini tiba-tiba “dikejutkan” dengan kontrak kerjasama pengadaan 1 unit kapal perusak kawal rudal (PKR) antara Kemhan RI dengan DSNS (Damen Schelde Naval Shipbuilding) Belanda. Kontrak itu ditandatangani Selasa tanggal 5 Juni 2012 di Jakarta. Kemhan diwakili oleh Kepala Baranahan (Badan Sarana Pertahanan) Mayjen TNI Ediwan Prabowo dan DSNS diwakili oleh Director Naval Sale Of DSNS Evert Van Den Broek.

Mengapa harus terkejut, karena komunitas militer dan publik kita tidak menyangka akan adanya penandatanganan kontrak PKR karena proyek itu sudah dianggap mati suri. Padahal awalnya harapan begitu besar disandangkan terhadap proyek PKR light fregat ini yang kelak akan menghasilkan 10 kapal perang PKR dengan pola transfer teknologi. Tetapi ketika membaca nilai kontraknya hanya menghasilkan nilai 1 produk yang biasa-biasa saja dan hanya bernilai kontrak US$ 7 juta untuk bagian PT PAL. Sedangkan sisa dari nilai kontrak yang US$ 220 juta tetap milik Damen Schelde meski dinyatakan bahwa kapal itu akan dirakit bagian-bagiannya di PAL Surabaya. Ironisnya ketika bicara transfer teknologi, RI harus bayar lagi sebesar US $ 1,5 juta pada guru mantan kolonialnya.

Diantara semua paket pengadaan alutsista TNI, paket kontrak dengan Damen Schelde ini merupakan paket yang berakhir anti klimaks padahal ereksi harapannya sudah cukup lama tapi tak mampu juga penetrasi. Bandingkan dengan pengadaan Leopard yang sempat diributkan itu tetapi sesungguhnya komunitas forum militer dan publik tanah air mendukung kehadiran MBT Leopard. Namun ketika kontrak pengadaan PKR 10514 (Kapal perang dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter, berat 2335 ton) ini di sign, kritik yang bertubi-tubi ditembangkan oleh komunitas itu tak terkecuali oleh wakil ketua Komisi I DPR TB Hasanudin.

Kalau dalam proyek pengadaan Leopard komunitas militer yang tergabung dalam formil kaskus sebagian besar kontra dengan TB Hasanudin maka kali ini sebagian besar mereka justru mendukung langkah TB Hasanudin untuk membawa persoalan kontrak itu dalam rapat dengan Kemhan minggu-minggu mendatang. Banyak hal yang perlu ditanyakan, diklarifikasi sehubungan dengan pola kerjasama pengadaan alutsista kapal perang yang dinilai banyak kalangan bersifat setengah hati. Setengah hati di pihak Indonesia sebangun dengan setengah hati pihak Belanda.

Proyek PKR ini sudah tersendat lebih dari empat tahun dengan berbagai cerita yang tak berujung. Setelah KRI Sigma ke empat di terima, publik dilambungkan dengan rencana proyek Kornas (korvet nasional) atau yang disebut Sigma jilid 5, lalu berubah lagi dengan memajang proyek PKR, dan bahkan sudah pakai acara potong baja sebagai simbol dimulainya proyek itu. Namun setelah itu tak ada kabar lagi. Lalu tiba-tiba ada rencana mengakuisisi 3 kapal perang dari jenis Nachoda Ragam Class, tiga perawan tua yang tak laku-laku. Awalnya sudah dipinang Brunai namun tak lama dibatalkan karena spek teknisnya tak sesuai dengan permintaan Brunai walaupun negeri kaya minyak itu sudah membayar lunas maharnya.

TNI AL memang masih membutuhkan banyak kapal perang berbagai kelas untuk memenuhi ambisinya membentuk 3 armada tempur. Diantara berbagai proyek pengadaan kapal perang itu tercatat proyek kapal cepat rudal buatan galangan swasta nasional yang berjalan mulus. Selama 2 tahun terakhir ini sudah jadi 2 KCR Clurit Class. Proyek pengadaan 3 kapal selam kelas Changbogo dari Korsel sedang berjalan meski jalan ke arah sana berliku sampai membutuhkan 5 tahun untuk memilih jenis kapal selam yang bagaimana yang akan mengawal perairan RI. Meski sempat bangga dengan rencana menghadirkan 2 kapal selam kelas Kilo dari Rusia namun akhirnya kapal selam kelas U209 dari Korsel yang terpilih karena ada sekolah transfer teknologinya.

Ada pertanyaan menggelitik mengapa untuk urusan pengadaan kapal pemukul permukaan kita harus berkiblat ke Belanda. Padahal masih banyak negara yang mampu membuat jenis kapal yang sekelas dengan pola yang lebih ramah dalam perjanjian kerjasamanya, misalnya Italia. Ada kesan dalam setiap pengadaan alutsista dengan negeri penjajah ini mereka selalu beranggapan bahwa mereka merasa diatas kita derajat kelasnya. Lihat saja ketika kita mau pesan Leopard, Belanda mempersyaratkan berbagai macam hal seperti HAM dan Papua. Namun ketika kita balik arah ke Jerman mereka senewen juga dan minta bagian separuhnya daripada tidak dapat sama sekali. Menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Sebagai negeri penjajah, sudah tiba saatnya bagi Belanda untuk memamerkan langkah kedewasaan sikap dengan lebih banyak membagi ilmu, mempertaruhkan langkah arifnya daripada sekedar berbisnis murni. Proyek kerjasama dalam bentuk apa pun semestinya dijadikan langkah untuk mempromosikan diri sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan harkat. Bukan selalu mendikte dan merasa paling pintar. Ingat jaman IGGI, ingat lagak Mr Pronk dekade 90an. Sayangnya juga kita masih berada dalam lingkar langgam sebagai anak jajahan dengan pola pikir banyak mengangguk, sehingga kita juga tak mampu membebaskan diri dari pengaruh bathin 350 tahun itu.

Negara-negara industri alutsista di Asia seperti Korsel dan Cina selalu menampilkan gaya gaul yang setara dan ini memang kultur Asia yang selalu menghargai bangsa lain. Dengan Cina kita sudah mendapatkan kerjasama teknologi rudal. Demikian juga dengan Korsel dengan teknologi kapal selam. Kerjasama pengadaan kapal perusak kawal rudal kelas light fregat awalnya sangat diharapkan menghasilkan jumlah kapal light fregat minimal 2 unit tahun 2014 dari opsi pengadaan 10 unit setelah tahun 2014. Selain itu dengan pengadaan kapal sebanyak itu diharapkan RI dapat mengambil ilmu transfer teknologinya setelah kapal ketiga dan keempat. Namun cerita dongeng sebelum tidur itu justru dianggap mati suri karena Damen Schelde dan PT PAL gagal bersepaham dalam kualitas dan kuantitas transfer teknologi yang diinginkan.

Nahkoda Ragam Class (foto audrey)
Nah ketika perjalanan pasal kontrak terhenti di terminal pasar transfer teknologi, sementara TNI AL sangat memerlukan kapal-kapal berkualifikasi korvet ke atas lalu muncullah tawaran 3 Nachoda Ragam (NR) Class. Sebagai user TNI AL memang butuh banyak kapal perang untuk peremajaan kapal perangnya sekalian mengejar pencapaian target MEF tahap I yang berakhir tahun 2014. Terlepas dari apapun kontroversi tentang NR sesungguhnya Angkatan Laut kita membutuhkan kapal perang ini karena kegagalan pencapaian kontrak PKR sesuai jadwal. Apalagi NR ini barangnya sudah ada.

Kontrak PKR 10514 yang di sign tanggal 5 Juni 2012 itu hanya untuk pembuatan 1 kapal tok. Ini juga sebuah bentuk keanehan karena biasanya kontrak kerjasama minimal untuk 2 kapal perang. Okelah kalau memang kontrak PKR 10514 itu dilakukan dalam rangka memenuhi payung hukum atau sekedar menggugurkan kewajiban, ke depannya tidak salah kalau kita melirik ke Cina, Perancis dan Italia. Kita masih butuh kapal perang berkualifikasi fregat dan bahkan destroyer. Negara-negara itu diyakini bersahabat dan tidak pelit ilmu teknologi sehingga jalannya proses pertambahan kapal perang RI dapat terpenuhi sekalian menimba teknologinya. Catatan untuk PT PAL juga adalah jangan terlalu berharap banyak tentang ilmu transfer teknologi jika secara lahiriah dan bathiniah belum mampu menjalankan peran itu secara total.

Kita sangat mendukung perkuatan kapal perang TNI AL. Ada proyek kapal cepat rudal KCR 40 dan KCR 60 serta KCR Trimaran. Ada proyek kapal tanker, ada proyek kapal LST, ada proyek kapal selam, semuanya sedang berjalan. Ketersendatan proyek PKR dengan Belanda selayaknya dijadikan pengalaman berharga. Ke depan kita mengharapkan pola kerjasama pembuatan kapal pemukul berkualifikasi fregat dan destroyer dengan negara lain selain Belanda dapat berjalan. Tidak satu jalan ke Roma bukan, dan hanya keledai yang bisa jatuh ke kubangan lebih dari sekali.

*****

Jagvane / 08 Juni 2012 (kompasiana)

Afsel Ingin Gandeng RI Kembangkan Industri Strategis

Berita Armabar

Panser Pindad (foto audryliahepburn)
JAKARTA, suaramerdeka.com - Afrika Selatan berkeinginan menggandeng Indonesia untuk mengembangkan kerjasama industri strategis. Keinginan itu mencuat dalam kunjungan Paramount Group, sebuah perusahaan berskala global yang bergerak dalam bidang industri pertahanan berbasis di Afrika Selatan, ke Indonesia (5-6/6).

“Kunjungan Paramount Group ke Indonesia bertujuan untuk menjajaki kemungkinan terbentuknya kerja sama dan kemitraan di bidang industri strategis dengan pihak Indonesia serta membentuk kerja sama bisnis dan teknik yang saling menguntungkan melalui proses alih teknologi dan penelitian dan pengembangan,” demikian rilis yang dikeluarkan Direktorat Afrika Kemlu, Jumat (8/6).

Delegasi Paramount Group diwakili oleh direksi dan pimpinan manajerial, yang dipimpin oleh John Craig, Under CEO, Paramount Group.

Dalam kunjungan ke PT. Pindad dan PT. Dirgantara Indonesia, delegasi Paramount Group yang didampingi oleh Direktorat Afrika dan pejabat fungsi ekonomi KBRI Pretoria menyatakan Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk memperdalam dan memperluas bisnis dalam produk industri peralatan militer dan keamanan. Selain itu dinyatakan bahwa Indonesia juga terlibat aktif dalam kegiatan peace keeping forces untuk perdamaian global.

Dengan modalitas demikian, Paramount Group memiliki keinginan untuk memperluas jaringan akses kerja sama industri dan teknologi dengan Indonesia. Lebih lanjut, Paramount Group juga ingin menjadikan Indonesia sebagai basis pengembangan produk industrinya di kawasan Asia Tenggara.

Menanggapi tawaran kerja sama dari Paramount Group tersebut, direksi PT. Pindad dan PT. Dirgantara Indonesia mengemukakan bahwa Paramount Group menawarkan kontinuitas kerja sama yang bersifat jangka panjang melalui mekanisme pendanaan yang teratur dan tidak menekankan hanya pada proses jual-beli serta profit semata.

Oleh karena itu, kunjungan ini merupakan sarana dan wadah yang baik untuk memulai langkah awal kerja sama, sehingga ke depan Indonesia dapat mengembangkan sayap lebih jauh melalui kemitraan strategis dengan pihak yang tepat dan berdaya guna optimal. ( Rifki / CN34 / JBSM )(suaramerdeka)
 Gallery Produk Paramount Group 

 Marauder MPV. (Foto Paramount Group)
Matador MPV. (Foto Paramount Group)
Mbombe. (Foto Paramount Group) 
Ahrlac - Reconnaissance Aircraft (Foto Paramount Group)

 Afrika Selatan Terus Jajagi Kerjasama Industri Strategis Dengan Indonesia

 Marauder MPV. (Foto Paramount Group)
Untuk kedua kalinya misi usaha Afrika Selatan yang bergerak dibidang industri berteknologi tinggi melakukan kunjungan ke Bandung pada tanggal 5-6 Juni 2012 guna menjajagi kerjasama teknologi dan industri strategis dengan Indonesia dibidang kemiliteran dan kedirgantaraan (misi sebelumnya dilakukan oleh perusahaan Denel corp ditahun 2011).

Misi usaha ini memiliki arti penting serta memberikan bobot tersendiri untuk kemajuan kerjasama RI - Afrika Selatan dibidang Iptek.

Paramount Group adalah salah satu perusahaan industri alusista termaju di kawasan Afrika yang cukup dikenal karena memiliki keunggulan teknologi dibidang pertahan dan kedirgantaraan. Dalam kunjungannya ke Bandung, Paramount Group telah mengadakan pertemuan dengan PT. Pindad dan PT. Dirgantara untuk menjajagi pembentukan kerjasama industri strategis.

Dari pertemuan dengan PT. Pindad, telah dicapai keinginan bersama dari kedua pihak untuk melakukan kerjasama dalam pembentukan joint production dan pengembangan produk peralatan kendaraan militer anti teroris.

Paramount dan PT. Pindad telah ada keinginan bersama untuk melakukan kerjasama dalam pengembangan dan joint production kendaraan militer anti teroris.

http://www.paramountgroup.biz/uploads/assets/picture/800_600_scale/Events/AHRLACLaunch/New/Ahrlac+Graphic+Rend1.jpg
Ahrlac - (Foto Paramount Group)
Dalam hal ini, pihak paramount bersedia untuk memberikan bantuan teknik berupa peralatan dan tenaga ahli, sekaligus pendanaan produksi. Sementara pertemuannya dengan PT. Dirgantara Indonesia, telah dihasilkan suatu kegiatan bersama kedua pihak untuk melakukan rancang bangun produksi bersama unmanned aerial vehicle (UAV) atau pesawat tanpa awak yang di perlukan untuk pengintaian wilayah perbatasan. Jika berhasil, produk UAV nantinya akan dipasarkan untuk kawasan asia tenggara dimana Indonesia menjadi basis produksi dan pemasaran di kawasan.

Paramount juga menyepakati untuk kerjasama memberikan jasa maintenance bagi semua produk industri strategis yang dihasilkan dari kedua perusahaan Indonesia tersebut.

Dapat ditambahkan bahwa pertemuan di PT. Pindad Bandung delegasi Paramount Group yang dipimpin oleh Mr. Jhon Craig (Director of Enginerring Development) telah diterima oleh DR. Ade Bagja (Kabid senjata PT. Pindad) yang didampingi oleh sejumlah pejabat PT. Pindad terkait, sementara itu pada waktu pertemuan di PT. Dirgantara Indonesia, delegasi tersebut diterima oleh saudara Ditta Andoni Jafri (Direktur Pengembangan Produksi) yang juga didampingi pejabat PT Dirgantara terkait, dan dari unsur kemlu ikut mendampingi adalah pejabat dari Dit Afrika, dan pejabat fungsi ekonomi KBRI Pretoria.

Menurut rencana delegasi Paramount tersebut a.l juga akan melakukan pertemuan di kementrian perdagangan, kementrian industri, istansi keamanan dan pertahanan serta kunjungan kehormatan di Kemlu RI, dan kembali ke Afsel tanggal 12 Juni 2012.(Kemlu)

Satrol Koarmatim Gelar Gladi Parsial

Surabaya, 8 Juni 2012


Satuan Kapal Patroli (Satrol)Koarmatim menggelar latihan Gladi Parsial tahun 2012 yang melibatkan unsur-unsur dari Satuan kapal Patroli itu. Jumat (8/6). Gladi parsial sebagai langkah awal persiapan untuk menghadapi latihan Armada Jaya itu digelar di Pangkalan Surabaya, perairan Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) dan Laut Jawa.

Dalam latihan yang digelar mulai tanggal 8-9 Juni ini melibatkan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Pandrong - 801, KRI Tongkol - 813, KRI Kakap - 811, dan KRI Hiu - 804. Satrol Koarmatim mempunyai kemampuan tempur peperangan dan pertahanan kapal dalam formasi tugas tempur laut yang terdiri dari SAR, VBSS, Manuvra Taktis, Proskomtis, Gunex dan SRRCS. Mampu memecahkan persoalan taktis di laut dalam suatu formasi tugas tempur.

Latihan ini bertujuan untuk persiapan pelaksanaan tugas latihan yang lebih besar lagi dalam Armada Jaya tahun 2012. Selain itu juga untuk menguji kesiapan unsur dan ketrampilan personel Satrol Koarmatim dalam melaksanakan aksi pertempuran laut sesuai dengan fungsi asasinya agar mampu mendukung tugas operasi dan latihan TNI/TNI AL.

Dalam Gladi Parsial kali ini kapal- kapal perang dari Koarmatim ini akan melaksankan kegiatan berupa menembak dengan persenjataan meriam kaliber 20 mm, meriam 40 mm dan meriam 57 mm dengan jenis amonisi peluru Practice/HE, latihan penembakan udara dengan peluru practice Tracer dan latihan penembakan AAROFEX dengan sasaran Rocket Flare/Hand Flare. Latihan ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahab pelaksanaan dan tahab pengakhiran.(Dispenarmatim)

Manuel Dwinanto Iskandar, Anggota AL Amerika Serikat Asal Kebon Jeruk

 Kunjungi Orang Tua Harus Pakai Visa 



Manuel Dwinanto Iskandar (kiri) saat menjalankan tugas menjadi penerjemah dalam misi Pacific Partnership 2012 di Manado, Minggu (3/6). Foto : Thoriq Solikhul Karim/Jawa Pos
Di antara ribuan awak United States Navy Ship (USNS) Mercy yang mengikuti program Pacific Partnership di perairan Manado pada 31 Mei"15 Juni, ada seorang yang istimewa. Dia adalah Sersan Satu Manuel Dwinanto Iskandar. Siapa dia?

THORIQ SHOLIKHUL KARIM, Manado

MASYARAKAT Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, menyambut kehadiran rombongan awak kapal USNS Mercy yang merapat di Pelabuhan Tahuna Minggu lalu (3/6) dengan ucapan selamat datang. Menggunakan bahasa Inggris yang sederhana, masyarakat mencoba berkomunikasi dengan anggota rombongan yang mengenakan baju doreng biru gelap itu.

Namun, suasana berubah ketika salah seorang anggota rombongan menjawab salam warga tersebut dengan bahasa Indonesia yang fasih. "Hai, apa kabar? Terima kasih sambutannya," kata personel Angkatan Laut AS yang belakangan diketahui bernama Sersan Satu Manuel Dwinanto Iskandar itu.

Masyarakat yang keheranan mendengar jawaban Iskandar awalnya tersenyum, lalu tertawa. Suasana pun jadi cair dan terasa akrab.

Masyarakat setempat mengira semua anggota rombongan kapal yang membawa misi kemanusiaan dan perdamaian itu orang asing. Apalagi, postur, warna kulit, dan wajah mereka menguatkan kesan "asing" tersebut. Karena itu, warga tidak mengira ada "orang asing" yang bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan fasih sefasih orang Indonesia pada umumnya.

Seolah mengerti apa yang ada di benak penduduk Sangihe, Iskandar pun menjawab dengan ramah. "Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, saya dulu memang orang Indonesia. Tapi, sekarang menjadi warga Amerika dan bergabung di Angkatan Laut Amerika Serikat (AS)," ujarnya yang membuat warga tambah melongo mendengar jawaban itu.

Iskandar lalu bercerita tentang sejarah dan latar belakang dirinya hingga bisa menjadi kru Pacific Partnership 2012. Dia ternyata orang asli Jakarta yang lahir pada 20 September 1971. Bersama keluarga, dia tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Masa kecil hingga remaja dia habiskan di ibu kota. Dia menamatkan pendidikan di SMAK 2 Penabur, Jakarta, pada 1993.

Setelah itu, Iskandar melanjutkan studi di Institut Bisnis Indonesia (IBI). Namun, dia hanya bertahan beberapa bulan. Sebab, dia ingin melanjutkan kuliah di AS.

Maka, tahun itu juga Iskandar menetapkan hati untuk hijrah ke Negeri Paman Sam. Dia diterima di California State University, Los Angeles. Dia mengambil jurusan international relationship. "Sejak itu saya mulai beraktivitas dan belajar di negeri tersebut," tuturnya.

Seperti kebanyakan pelajar Indonesia yang melanjutkan kuliah di AS, Iskandar mencari pengalaman kerja. Hanya, dia tidak bersedia menyebutkan bidang pekerjaan yang pernah digeluti.

Yang jelas, dari pekerjaannya tersebut, dia jadi tertarik mengenal lebih detail tentang dunia pelayaran dan bidang kemiliteran. Kala itu dia sering melihat aktivitas para personel Angkata Laut AS yang sedang beraktivitas di kapal yang sedang sandar di pelabuhan. "Saya senang kedisiplinan dan sistem yang diterapkan di Angkatan Laut AS," ungkap pria yang sudah 20 tahun tinggal di AS tersebut.

Iskandar mampu menyelesaikan kuliah pada 1999. Setelah itu, dia tidak pulang ke tanah air, tapi memutuskan untuk bekerja di negeri rantauan tersebut. Dia diterima sebagai dosen bahasa Indonesia di Defense Language Institute.

Meski Iskandar sudah menjadi dosen, ketertarikan di bidang kemiliteran dan perkapalan tidak juga surut. Dia terus mengasah pengetahuan di dua bidang itu. Maka, ketika ada kesempatan untuk mengabdikan diri menjadi bagian dari Angkatan Laut AS, Iskandar pun tak menyia-nyiakan peluang tersebut. Dia melamar melalui jalur khusus. Di luar dugaan, pria bertinggi badan sekitar 165 cm itu diterima pada 2006. Padahal, ketika itu umurnya sudah 35 tahun.

"Asal punya kemampuan akademik dan skill, sangat mungkin masuk," papar dia. "Buktinya, sekali tes saya langsung diterima," imbuhnya.

Sejak saat itu Iskandar resmi menjadi bagian dari militer AS. Dia pun mendapat prioritas untuk pindah kewarganegaraan dari Indonesia ke AS. Setelah mempertimbangkan masak-masak, Iskandar memilih untuk menetap di negara adikuasa itu dan menjadi warga negara di sana.

"Tapi, saya tetap tidak bisa melupakan tanah kelahiran saya, Indonesia. Karena itu, saya senang bisa ikut dalam misi kapal USNS Mercy ke Manado ini," paparnya.

Di USNS Mercy, Iskandar bertugas di bagian medis. Selain itu, dia dipercaya menjadi penerjemah komandan misi Pacific Partnership saat berkomunikasi dengan warga. Karena itulah, posisinya tidak pernah jauh dari para pimpinan kapal tersebut.

"Itu tanggung jawab saya. Mereka akan kesulitan untuk berkomunikasi jika saya tidak ada," ujar pemakai kacamata minus tersebut.

Proyek kemanusiaan itu bukan kali pertama diikuti Iskandar di Indonesia. Pada 2006 dia bertugas perdana di Kupang dengan US Air Force. Lalu, pada 2008 ke Ambon dengan kapal USNS Mercy dan pada 2011 ke Riau dalam aksi yang sama, Pacific Partnership.

Pada setiap misi di Indonesia, Iskandar selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarganya di Kebon Jeruk. Apalagi, kedua orang tuanya masih tinggal di kampung halamannya itu. "Hanya, saya baru bisa cuti setelah tugas utama saya di Sangihe selesai," ujarnya.

Namun, meski pulang ke rumah orang tua sendiri, Iskandar tak bisa begitu saja terbang ke Jakarta. Sebab, dia mesti menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan bagi orang asing yang masuk ke Indonesia. Selain paspor, Iskandar harus mendapatkan visa kunjungan ke Indonesia terlebih dahulu.

Untuk itu, dia tidak bisa langsung terbang dari Bandara Sam Ratulangi Manado ke Soekarno-Hatta Cengkareng. Namun, mesti ke Singapura dulu untuk mengurus visa, baru bisa masuk Jakarta. "Kalau dulu saya ke Jakarta tidak perlu mengurus visa. Sekarang untuk ketemu orang tua diperlukan visa," tuturnya, lantas tersenyum.

Keputusannya menjadi personel Angkatan Laut AS memang menimbulkan pertanyaan. Apakah karena alasan kesejahteraan atau kecewa terhadap bangsa Indonesia? Sambil tersenyum Iskandar menjawab diplomatis.

Menurut dia, keputusan itu tidak berkaitan dengan perbedaan kesejahteraan yang diterima anggota militer di Indonesia ataupun AS. Dia bergabung di US Navy karena kebetulan berada di negara tersebut. "Saat itu saya sedang tinggal di sana. Pilihan saya pun mendaftar (AL AS) di tempat itu. Tidak ada pertimbangan lain," tegas dia.

Kini, meski sudah berwarga negara asing, Iskandar tetap menghormati tanah kelahirannya. Bagi dia, Indonesia tetap negara yang memiliki ciri khas tersendiri. Keramahan dan keindahan alamnya tak tertandingi. "Saya tidak bisa melupakan tanah kelahiran Indonesia," tandas dia. (*/c10/ari)(Jpnn)

Pendidikan Transisi Pesawat Hawk 100/200 di Lanud Supandio

TEPAT pukul 14.10 WIB Komandan Lanud Supadio Kolonel Pnb Kustono, S.Sos menutup Pendidikan Transisi Ke-11 dan membuka Pendidikan Transisi Ke-12 pesawat Hawk 100/200 Skadron Udara 1 di Hanggar Skadron Udara 1 Lanud Supadio, Jum’at (8/6).

Upacara yang berlangsung singkat dan khidmat ini dihadiri para pejabat di lingkungan Lanud Supadio, Komandan Skadron Udara 1 Letkol Pnb Deni Hasoloan Simanjutak, Komandan Batalyon 465 Paskhas Letkol Psk Rana Nugraha, General Manager PT. Persero Angkasa Pura II Bandar Udara Supadio, Badan Meteorologi dan Geofisika Pontianak dan anggota Skadron Udara 1 serta para undangan.

Dalam sambutan tertulisnya Danlanud Supadio mengatakan meskipun TNI Angkatan Udara saat ini masih dihadapkan pada kendala keterbatasan jam terbang, namun bagi TNI Angkatan Udara profesionalisme dan kesiapan pesawat merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sesuai dengan tugas pokoknya, TNI Angkatan Udara mengemban tugas sebagai penegak kedaulatan negara di udara dan hukum di dirgantara.

Bila dikaitkan dengan wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentunya tugas tersebut bukanlah pekerjaan yang ringan.

Untuk itu, lanjut Danlanud agar mampu melaksanakan tugas tersebut, selain diperlukan sumber daya manusia yang profesional dibidangnya, kesiapan operasional yang tinggi dari Alutsista yang dimiliki, akan memegang peran yang sangat penting dan menentukan. Tentunya hal ini tidak datang begitu saja, melainkan harus disiapkan secara matang dan berkelanjutan seperti adanya pendidikan Transisi seperti ini.

”Pendidikan Transisi yang akan dilaksanakan ini, merupakan syarat mutlak yang harus dilalui atau diikuti oleh setiap penerbang yang akan mengoperasikan pesawat Hawk 100/200 yang ada di Skadron Udara 1,” tambah Danlanud.

Adapun mantan siswa pendidikan Transisi ke-11 adalah Lettu Pnb Satria Tikwana Ratih sedangkan siswa Transisi Ke-12 adalah Lettu Pnb Rahmanto Jati Waluyo, Letda Pnb Andi Paulus Sihotang. Tampak dalam gambar Komandan Lanud Supadio Kolonel Pnb Kustono, S.Sos memberikan ucapan selamat kepada para mantan siswa Transisi Ke-11 pada upacara penutupan pendidikan Transisi Ke-11 dan pembukaan Transisi Ke-12 di Hanggar Skadron Udara 1. (Pentak)(MajalahPotretIndonesia)

Camara, Camara Indo!

Anak-anak Kongo ke TNI: Camara, Camara Indo! - IMG_88061.JPG
TRIBUNNEWS.COM - “Camara.........Camara (saudaraku-saudaraku) Indo”,. Itulah teriakan anak-anak Kongole menyapa prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Zeni TNI Kontingen Garuda XX-I/Monusco saat berjumpa disepanjang jalan yang akan berangkat ke tempat tugas ataupun yang mereka jumpai di tempat lain. Demikian rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Rabu (6/6/2012).Sapaan Camara Indo salah satu bahasa daerah Linggala yang ada di Kongo yang berarti Saudaraku Indonesia, acap kali didengar bila bertemu dengan mereka dan bagaikan alunan nyanyian yang sudah tidak asing lagi ditelinga prajurit TNI di Kongo.

Dengan berteriak keras dan berulang-ulang sambil menengadahkan telapak tangannya dan memegang perut, bocah-bocah tersebut menanti dan berharap akan mendapat perhatian dan didengar oleh prajurit TNI, sehingga secercah harapan untuk memperoleh sepotong biskuit ataupun sebungkus nasi maupun jenis makanan lainnya akan mereka dapatkan dari para prajurit TNI.

Pemandangan semacam ini hampir setiap hari dijumpai, baik bagi prajurit TNI yang berada di Base Camp Dungu Bumi Nusantara maupun di TOB (Temporary Operation Base) di Kiliwa Bumi Diponegoro.

Bagi prajurit TNI, pada awalnya sempat kaget begitu dekatnya mereka dengan pasukan Indonesia, karena pemandangan serupa sangat jarang dijumpai di seputar base camp negara lain yang jumlahnya tidak sedikit di sekitar Base Camp Satgas TNI di Dungu, diantaranya Base Camp South Afrika Military Police, Maroko Batalyon, Guatemala Forces Army, Nepal Engineering, Bangladesh Air Forces dan seluruh Staf Monusco yang berada di kota Dungu saat ini.

Naluri teritorial yang memang sudah mendarah daging di setiap dada dan sanubari prajurit TNI, rupanya sulit untuk dibendung sekalipun pihak UN menerapkan aturan tegas untuk membatasi dan tidak mengijinkan personel di bawah UN khususnya kalangan militer untuk kontak langsung dengan masyarakat setempat. Hal ini dapat di mengerti dan di pahami betul, mengingat situasi politik dan keamanan belum sepenuhnya kondusif di daerah tersebut yang saat ini masih terjadi konflik antar etnis di berbagai daerah di wilayah Kongo, sehingga untuk mengurangi kecurigaan dan tetap menjaga netralitas UN, maka setiap personel militer yang tergabung dalam misi perdamaian PBB di Kongo harus patuh dan mengikuti aturan tersebut.

Dalam hal ini, bukannya personel Kontingen Garuda tidak tahu dan tidak memahami aturan tersebut, karena baik Dansatgas, Wadansatgas dan segenap unsur pimpinan senantiasa mengingatkan hal itu, namun sekali lagi naluri teritorial prajurit TNI yang memiliki kebiasaan selalu ingin dekat dengan masyarakat dimana mereka berada dan bertugas mendorong hati kecil para prajurit TNI untuk tidak mengabaikan mereka begitu saja yang nota bene setiap saat mereka lihat, mereka temukan dan ada di depan mata.

Tinggal pintar-pintar mencari peluang dan kesempatan untuk sekedar berbagi rezeki berupa biskuit dan nasi maupun jenis makanan lainnya yang di tempat kami memang berkecukupan, karena setiap minggunya Satgas Zeni TNI mendapat supply makanan dari UN dan rata-rata untuk kebutuhan prajurit satu minggu tidak habis, khususnya jenis makanan tertentu yang tidak familier dikalangan prajurit TNI.

Dari pada dibuang rasanya tidak tega dan merasa berdosa, kita berkecukupan makanan sementara pada waktu dan tempat yang sama kita melihat dan menyaksikan langsung puluhan anak-anak kecil yang masih polos dan lugu berpakaian seadanya menunggu ketulusan dan kerelaan hati kita (prajurit TNI) untuk berbagi dengan mereka.

Bagi sebagian personel kontingen negara lain barangkali itu bukan menjadi urusannya, sehingga sering kita dengar mereka mengatakan problem.....problem,.... sambil dengan cepat menjauh bila anak-anak Kongole mendekati mereka. Mereka rupanya tidak mau direpotkan dengan ulah anak-anak itu, terbukti mereka jarang didekati, tidak demikian halnya dengan prajurit TNI.

Waktu sembilan tahun sejak Kontingen XX-A tahun 2003 sampai tahun 2012 rupanya tidak sulit bagi anak-anak maupun masyarakat Kongo untuk mengenal dan membedakan antara prajurit TNI dan pasukan dari kontingen negara lain, buktinya tidak pernah mereka salah sapa sekalipun kami (prajurit TNI) ada disepanjang jalan yang dilewati menggunakan kendaraan padahal secara pribadi kami tidak saling mengenal. Sapaan Garuda atau Indo-friend/Indonesia sahabat, sapaan dari orang-orang Kongole yang sudah dewasa sambil mengacungkan jempol selalu kita dengar dan kita lihat.

Walaupun secara emosional prajurit TNI merasa dekat dan diterima di kalangan masyarakat setempat, hal itu tidak mengurangi kewaspadaaan bagi prajurit TNI yang bertugas di sana dengan selalu mengikuti prosedur pengamanan yang telah ditetapkan oleh UN maupun prosedur pangamanan yang diberlakukan Satgas sendiri. Prajurit TNI tetap berpegangan pada motto bahwa di daerah operasi yang dilanda konflik tidak ada sejengkal tanahpun yang aman 100 %. Untuk itu, kewaspadaan tidak boleh kendor sekalipun lingkungan dan masyarakat setempat bersahabat.

Mudah-mudahan ketulusan hati prajurit TNI bukan ingin dibilang baik atau semacamnya, namun benar-benar tumbuh dari hati yang paling dalam sesama anak manusia, tanpa harus membedakan warna kulit dan kedudukan serta asal muasal mereka, sepanjang hal itu bisa dilakukan dan bermanfaat bagi orang lain.

Selamat bertugas, jagalah kehormatan Merah Putih dimanapun kita berada, lebih-lebih saat kita bertugas membawa nama Bangsa dan Negara. Jadilah duta-duta bangsa yang dapat mengharumkan bangsa dan negaramu dalam setiap pikiran, sikap dan tindakan.

★ High Speed Flying Test Bed

 Wahana terbang penguji sistem kendali

Kemampuan di bidang pertahanan dan keamanan merupak:an hal yang sangat penting pada zaman sekarang. Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar juga harus memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang handal. Setiap hari ancaman dan tantangan dapat terjadi pada Indonesia, seperti : masuknya kapal laut atau pesawat udara tanpa awak, milik negara lain yang masuk ke wilayah Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia harus mampu dan mandiri dalam pengadaan alat pertahanan. Alat pertahanan dan keamanan yang strategis salah satunya adalah sistem pertahanan missile. Oleh karena itu Indonesia juga harus mengembangkan diri agar mampu menguasai teknologi missile dan selanjutnya mampu membuat missile sendiri. Teknologi missile membutuhkan sistem autopilot yang handal agar bisa terbang terkendali penuh tanpa melakukan kesalahan trayektori. Diperlukan satu wahana terbang untuk menguji sistem kendali terbang dengan memeriksa beragam koefisien parameter dinamika terbang yang tepat dan akurat agar kesalahan trayektori terbang dapat dikurangi.

High Speed Flying Test Bed (HSFTB) adalah wahana yang dirancang untuk mewujudkan keinginan di atas. Wahana terbang (HSFTB) ini dirancang, dibangun dan diterbangkan dalam tiga tahapan: Low Speed, Mid Speed dan Folded Wing.

Kegiatan ini meneliti pembuatan wahana terbang berbasis turbojet sebagai langkah tahapan menuju pembuatan rudal nasional berbasis turbojet. Penelitian ini dimulai dari mempelajari karakteristik dinarnika terbang roket LAPAN yang diteliti secara seksama, memahami karakter desain bentuknya, memprediksi trayektori terbangnya, memproduksi wahana terbang, dan menguji terbang hingga mampu.

 Beberapa manfaat dari kegiatan ini adalah :

1. mampu mendeteksi dan menganalisa anomali trayektori terbang sebelum dan sesudah terbang.
2. mampu menentukan sumber terbesar penyebab trayektori gagal dengan cara memasukkan kesalahan peralatan terbang pada simulasi terbang.
3. mampu menguji tingkat signifikansi perbaikan peralatan terbang pada trayektori terbang.
4. mampu menguji strategi kendali terbaik untuk setiap jenis wahana agar memenuhi sasaran misi terbang.

HSFTB adalah pesawat yang diluncurkan dari launcher dengan menggunakan roket booster, Pada saat motor roket burn out, diadakan separasi untuk memisahkan HSFTB dari boosternya, dan kemudian wahana ini akan terbang dengan menggunakan mesin sendiri.

Untuk Tahap I (kegiatan tahun pertama) HSFTB, telah selesai dirancang, dan juga telah mengalami beberapa kali uji terbang.

Untuk Tahap II (kegiatan tahun II), kembali dirancang HSFTB dengan beberapa
penyempurnaan berdasarkan hasil rancangan tahap I.

Berdasarkan hasil kajian dapat ditarik kesimpulan bahwa HSFTB sudah memenuhi kriteria kestabilan untuk terbang dan untuk dilontarkan menggunak:an roket. Namun untuk menghadap gangguan angin dari samping, HSFTB belum diketahui perilakunya.

Hasil yang dicapai memperlihatkan HSGTB yang diluncurkan dengan booster, lebih baik dibandingkan wahana yang diluncurkan dengan menggunakan engine, sehingga peluncuran dengan booster merupakan pilihan untuk dikembangkan lebih Ianjut. 

Pembuatan roket kendali memang rumit, karena Indonesia belum menguasai guide missile-nya. Sejak tahun 2010 guide missile tersebut dipelajari dengan membuat pesawat tanpa awak High Speed Flying Test Bed, HSFTB.

HSFTB merupakan wahana terbang turbojet, untuk menguji sistem kendali dengan memeriksa beragam parameter dinamika terbang yang tepat dan akurat.

Selain untuk roket pengorbit satelit, HSFTB berguna sebagai tahapan membuat rudal nasional dan UAV tingkat advance.

Wahana terbang HSTFB menganalisa anomali trayektori, menguji signifikansi perbaikan peralatan, serta menguji strategi terbang agar mencapai sasaran. 

Informasi dari pesawat HSFTB ditransfer ke RKN 200 untuk merevisi kemampuan flight control system (rate gyro, akselero dan GPS), sistem tracking rocket jarak jauh (Multi Gain IMU), serta teknologi UAV (komunikasi data).

Pesawat yang dijadikan acuan dalam proses desain HSFTB LAPAN adalah Long range missile: Storm Shadow/SCALP EG buatan Konsorsium Eropa, serta AGM-158 Joint Air-to-Surface Standoff Missile, Lockheed Martin, USA. 

HSFTB LAPAN sempat jatuh (stall), saat melakukan manuver akibat kehilangan daya dorong. Kejutan daya dorong yang berubah mendadak, tidak bisa diantisipasi oleh aerodinamika HSFTB.

Setelah mencoba selama dua tahun, Hasil yang dicapai HSFTB yang diluncurkan dengan booster, lebih baik dibandingkan wahana yang diluncurkan dengan engine. Kini peluncuran dengan booster merupakan pilihan yang dikembangkan lebih lanjut.

Semuanya itu terus diujicoba di Serpong Tangerag Banten, Garut - Jawa Barat, serta di Baturaja, Sumatera Selatan.

GAZ 69

Gaz 69 ex ABRI (foto Bielski)
 Di Indonesia, dahulu pernah malang melintang kendarran jip GAZ 69 buatan Rusia. Kiprahnya merambah dari Sabang sampai Merauke, dimana ABRI berada. Kendarran jip ini dipilih ABRI karena kemampuan yang teruji dan tangguh.

Era 1960-an, ABRI membutuhkan kendaraan yang handal untuk memodernisasi kendaraan jip yang sudah tua dimakan umur. Maka diadakan tender dan terdaftar empat merk kendaraan 4x4, seperti Austin Gypsi, DKW, Land Rover dan GAZ 69. Lalu ABRI mensyaratkan kendaraan harus lulus ujicoba keliling Pulau Jawa sebanyak dua kali.

Keempat jenis kendaraan pun lalu di tes menempuh rute yang ditentukan, selama perjalanan, Kendaraan DKW bermasalah. Kendaraannya terguling-guling saat menaiki tanjakan di sekitar Jawa Timur. Kendaraan lain seperti Land Rover dan Austin Gypsi pun bermasalah. Ada saja masalah yang muncul yang membuat panitia penguji kecewa. Akhirnya kendaraan jip Gaz 69 lah yang terpilih menyisihkan ketiga peserta lainnya.

Alasan terpilihnya Jip Gaz 69 pun beragam, seperti daya angkut yang melebihi peserta yang lain, yang bisa menampung hampir 10 orang. Selain itu Jip ini terbukti handal merambah jalan-jalan di Pulau Jawa yang saat itu kondisinya sangat buruk dan semuanya belum teraspal. Terakhir yang utama adalah harganya yang paling murah, yaitu seharga US $1.800 per unit.

Akhirnya melalui pembicaraan kedua pemerintah saat itu, disepakati pembelian sebanyak 4.000 unit. Setelah itu AURI pun memesan tambahan sebanyak 400 unit.

Sumber ▸ Angkasa

★ UGM-Lapan Siap Produksi Roket Berhulu Ledak

 Ini proyek ambisius Lapan. "Ujung-ujungnya, roket kita mampu antarkan benda ke angkasa."

VIVAnews - Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional membentuk Komunitas Roket Uji Muatan (RUM) dalam rangka pengembangan teknologi industri roket di tanah air.

Menurut rencana, komunitas RUM akan memanfaatkan kawasan Pantai Pandansimo, Bantul, sebagai area pelatihan peluncuran uji roket muatan.

Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, mengatakan teknologi roket perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam bidang penyediaan persenjataan pertahanan negara. Di samping itu, pengembangan juga diperlukan untuk pemanfaatan roket bagi kesejahteraan masyarakat kendati teknologi ini tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat.

“Ketika dokter dan guru tidak ada, orang akan protes. Tapi kalau tidak ada roket, orang tidak akan protes karena roket tidak bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Kewajiban kita menempatkan sesuatu yang penting menjadi penting dan mewacanakan hal yang penting itu menjadi komitmen politik,” kata Pratikno, dalam keterangan yang diterima VIVAnews, Jumat 8 Juni 2012.

Manurut Pratikno, pengembangan roket menjadi pilihan kebijakan strategis kepentingan jangka panjang yang seharusnya menjadi perhatian negara. “Pengembangan roket butuh investasi yang sangat besar dengan hasil yang penuh risiko dengan manfaat yang abstrak dan jangka panjang. UGM siap kerja sama terhadap hal yang penting dan strategis ini,” katanya.
 Jangkauan 20 Kilometer

Staf Ahli Pertahanan dan Keamanan Kemenristek RI, Ir. Hari Purwanto, M.Sc., DIC, mengatakan Kemenristek tengah merencanakan produksi roket hasil pengembangan Lapan. Roket tersebut direncanakan akan dimanfaatkan untuk pertahanan negara dan sebagai pengganti roket yang dibeli dari luar negeri.

Roket merupakan salah satu teknologi strategis, tetapi memiliki biaya produksi yang sangat mahal. Fungsi roket ada dua macam, yakni di bidang militer dan nonmiliter. “Kami akan produksi 1.000 roket dengan nama R-Han 122. Roket ini merupakan roket pertahanan kaliber 122 yang sudah diberikan hulu ledak. Roket ini akan dimanfaatkan untuk menggantikan roket yang dibeli dari luar negeri,” ujarnya.

Roket yang akan diproduksi memiliki jangkauan 15-20 kilometer. “Ini merupakan investasi besar negara, sekaligus untuk menambah kekuatan pertahanan keamanan dan melengkapi tugas TNI,” ujarnya.

Hari Purwanto menjelaskan, roket menjadi salah satu teknologi penting yang krusial untuk segera dikembangkan secara mandiri oleh Indonesia. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengandalkan roket yang dibeli dari negara lain. ”Roket dikembangkan untuk kepentingan-kepentingan kesejahteraan, misalnya menambah alat utama sistem pertahanan (alusista) sehingga kemanfaatan roket mendesak untuk segera dikembangkan mengingat negara-negara lain telah memiliki teknologi roket mandiri,” tuturnya.

Selain roket, Kemenristek juga tengah mengembangkan teknologi pesawat tempur bersama Korea Selatan dengan nama Fighter Indonesian Experiment. “Kita juga sudah membuat panser sendiri dan telah diekspor ke beberapa negara, seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina. Ini merupakan langkah positif dan diharapkan bisa semakin berkembang," ujarnya.

Kepala Lapan, Drs. Bambang Setiawan Tejakusuma, Dipl.Ing., menuturkan program produksi roket merupakan proyek ambisius Lapan. Pasalnya, sedikit negara yang telah memiliki program pengembangan roket, antara lain Rusia, Amerika, Perancis, China, India, Jepang, Korea Utara, Iran, dan Pakistan.

“Kita dalam proses untuk mengembangkan. Ujung-ujungnya, roket yang kita hasilkan mampu mengantarkan benda ke luar angkasa,” katanya. (umi)
 Kemristek Kembangkan 1.000 Roket untuk TNI

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA- Kementerian Riset dan Teknologi akan mengembangkan sekitar 1.000 roket untuk melengkapi alat utama sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia sebagai pertahanan negara.

"Roket hasil pengembangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu akan dimanfaatkan untuk pertahanan negara," kata staf ahli pertahanan dan keamanan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) Hari Purwanto di Yogyakarta, Kamis (7/6).

Menurut dia, Kemristek akan memproduksi 1.000 roket dengan nama Rhan 122. Roket itu merupakan roket pertahanan kaliber 122 yang sudah diberi hulu ledak dan akan dimanfaatkan untuk menggantikan roket yang dibeli dari luar negeri.

"Roket yang akan diproduksi tersebut memiliki jangkauan 15-20 kilometer. Pengembangan roket itu merupakan investasi besar negara sekaligus untuk menambah kekuatan pertahanan keamanan dan melengkapi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI," katanya.

Ia mengatakan, roket menjadi salah satu teknologi penting yang krusial untuk segera dikembangkan secara mandiri oleh Indonesia. Selama ini Indonesia lebih banyak mengandalkan roket yang dibeli dari negara lain.

"Roket dikembangkan untuk kepentingan negara, seperti melengkapi alutsista, sehingga kemanfaatan roket mendesak untuk segera dikembangkan mengingat negara-negara lain telah memiliki teknologi roket mandiri," katanya.

Menurut dia, selain mengembangkan roket, Kemristek juga mengembangkan teknologi pesawat tempur bersama Korea Selatan dengan nama Fighter Indonesian Experiment.

"Indonesia juga sudah membuat panser sendiri dan telah diekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Hal itu merupakan langkah positif dan diharapkan bisa semakin berkembang," kata Hari.
VIVAnews

Jumat, 08 Juni 2012

★ Bakorkamla Utamakan Kapal Buatan Dalam Negeri

Batam, Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksamana Madya Didik Heru Purnomo menyatakan pengadaan kapal patroli kini diutamakan buatan dalam negeri karena kualitasnya sepadan dengan produk luar negeri yang harganya lebih mahal.

"Kualitas kapal patroli buatan lokal sudah memadai. Sederhana dan mampu melaksanakan tugas pengamanan di laut," kata dia di Batam, Selasa. Ia mengatakan, saat ini Bakorkamla juga tengah memesan kapal di PT Palindo Marine Batam dengan ukuran 48 meter yang bisa digunakan untuk berlayar hingga 200 mil laut.

"Kapal-kapal jenis seperti itu yang kita butuhkan. Harganya murah dan kualitasnya sudah mumpuni untuk melakukan pengamanan seluruh perairan. Termasuk saat cuaca ekstrem sekalipun," kata dia.Didik berharap, dengan penambahan kapal-kapal tersebut akan memperkuat pengamanan perairan seluruh Indonesia dari berbagai kejahatan dan gangguan keamanan lain.

"Kami terus melakukan koordinasi. Selain itu kami juga menambah kapal-kapal untuk patroli. Termasuk penambahan kapal berukuran 48 meter yang tengah dibuat di Batam. Satuan pengaman laut lain juga terus melakukan penambahan kapal," kata dia.

KCR 40 produksi Palindo Maritim Batam
Menteri Pertahanan Republik Indonesia Purnomo Yusgiantoro di Batam pada pertengahan Februari 2012 mengatakan, Kementerian Pertahanan menargetkan pembangunan 14 kapal cepat rudal (KCR) untuk menunjang pengamanan perairan Indonesia selesai pada 2014.

Pada kesempatan yang sama, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan Indonesia setidaknya membutuhkan 44 KCR hingga 2024 untuk mengamankan seluruh wilayah laut NKRI dari gangguan-gangguan.

"Setidaknya dibutuhkan 44 kapal hingga tahun 2024 untuk keperluan penegakan hukum di laut, termasuk pengamanan terhadap pencurian terhadap kekayaan alam Indonesia, dan mencegah penyelundupan," kata dia. (KR-LNO/A013)(Antara)

Indonesia To Send Peacekeeping Battalion To Darfur

The Indonesian Military [TNI] will send a battalion of peacekeepers to Darfur, Sudan, to keep the peace amid rebel and tribal fighting in the African nation, a TNI general has said.

“The UN has asked for one battalion of our peacekeeping troops for Darfur, and of course we are ready for the request,” Indonesian Peacekeeping Center chief Brig. Gen. Imam Edy Mulyono told The Jakarta Post in his office in Cilangkap, East Jakarta on Thursday.

According to Imam, the TNI currently has five observers and a staff officer in Darfur and three observers in South Sudan.

The UN has previously said that 2.7 million people were driven from their homes in Darfur after years of fighting between ethnic African rebels, government forces and Arab militias.

The conflict broke out in 2003, when two rival groups, the Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) and the Justice and Equality Movement (JEM) groups in Darfur, took up arms, accusing the Sudanese government of oppressing non-Arab Sudanese in favor of Sudanese Arabs.

The ensuing conflict has been allegedly called the Darfur Genocide.

“For the first time, Indonesia will send one battalion of our peacekeepers to this country,” Imam said, adding that Indonesia should be proud that the UN had shown trust in the nation in asking it to send additional peacekeepers.

To fulfill the request, the TNI would deploy its stand-by peacekeeping force, which will undergo training starting on June 12 at the Indonesian Peace and Security Center (IPSC) in Sentul, West Java.

The center is Southeast Asia’s largest international training facility for UN peacekeeping forces.

“We’ve just recruited new peacekeepers of high standards. After some training, they will be ready to serve as peacekeepers in the conflict zone,” Imam said.

Other than the Darfur deployment, Imam said that the TNI was in the process of sending three MI-17 helicopters along with 100 support troops to the Democratic Republic of the Congo to support UN peacekeeping operations. “The process is almost complete.”

Indonesia first sent peacekeepers to the Democratic Republic of Congo (DRC) in 1957 under the aegis of the Garuda Contingent, which has since been the official designation for TNI troops assigned to peacekeeping missions.

Since then, Indonesia has sent 24,284 troops to several conflict zones, including Cambodia, the Middle East, Lebanon and Bosnia.

Indonesia currently has 175 peacekeepers stationed in the Congo, 1,446 in Lebanon and 167 in Haiti, according to the Defense Ministry.

The nation is on the list of the top 15 countries contributing troops to UN peacekeeping operations.

The country is planning to increase participation to 4,000 to become one of the world’s top 10 contributors.

The UN has 15 peacekeeping missions and one non-peacekeeping mission, in Afghanistan.

There are 121,000 personnel deployed on the missions, consisting of 90,000 troops, 15,000 police officers and the remainder as civilian staff.
(thejakartapost)

Operasi Militer Dalam Kacamata Undang-Undang TNI

Operasi Militer dalam Kacamata Undang-undang TNI
Caption Foto : Prajurit Paskhas TNI-AU dengan senjata lengkap saat bertugas mengamankan areal bandara Sinak, Illaga Kabupaten Puncak Papua beberapa Waktu lalu, Pengamanan bandara di pedalaman pegunungan tengah Papua kini terus di tingkatkan, Pasca penembakan terhadap pesawat Trigana Air jenis Twin Otter dengan nomor Registrasi PK-YRF oleh kelompok criminal bersenjata di bandara Mulia Kabupaten Puncak Jaya Papua (08/04/2012) lalu.

TRIBUNNEWS.COM - Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan operasi militer selain perang yang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai ayat pasal 7 ayat (3).

Harus diakui dan kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan TNI sejak bergulirnya gelombang reformasi 1998. TNI tanggap dan menyadari bahwa dia merupakan salah satu institusi yang menjadi obyek tekanan publik untuk berubah, tidak lagi menjadi alat penguasa dengan “Dwi Fungsi ABRI”nya. Atas kesadaran itu TNI terus berbenah dan menata diri dengan istilah “Reformasi internal TNI”. TNI tidak hanya mencabut Dwi Fungsi ABRI sesuai tuntutan reformasi yang diusung para mahasiswa pada tahun 1998 saja, tetapi TNI juga melakukan sejumlah langkah perubahan restrukturisasi dan reorganisasi, reaktualisasi, reposisi dan redefinisi TNI dengan munculnya berbagai produk regulasi perundangan seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, TAP MPR Nomor VI dan Nomor VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta puncaknya dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini menjadi payung hukum yang sah dalam perjalanan peran dan kiprah TNI sesuai yang diharapkan bangsa Indonesia. Beberapa capaian yang diraih selama periode ini antara lain likuidasi staf Komunikasi sosial TNI pada tahun 2005, netralitas TNI dalam Pemilu dan Pilkada, penghapusan bisnis militer dan pengalihan pengadilan militer (meskipun masih menyisakan pekerjaan rumah), keputusan Panglima TNI mengenai keharusan adanya surat pengunduran diri dari dinas aktif bagi prajurit yang akan ikut bertarung dalam Pilkada, larangan tidak menggunakan asrama dan fasilitas TNI untuk kampanye Pemilu dan Pilkada serta berbagai capaian lainnya. Suatu perubahan nyata yang tidak terbayangkan dapat diwujudkan, apabila kita menyimak sepak terjang TNI dimasa rezim Orde Baru.

Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan operasi militer selain perang yang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai ayat 3.

Pemisahan tugas pokok TNI terbagi menjadi dua yaitu OMP dan OMSP rasanya kurang tepat. Bagaimana tidak? Kalau mengacu kepada pemisahan itu dan penjelasan apa yang dimaksud dengan operasi militer untuk perang yakni segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk melawan kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih yang didahului dengan adanya pernyataan perang dan tunduk pada hukum perang internasional, maka selama ini tidak ada operasi atau kegiatan TNI yang dapat dikategorikan dalam OMP. Sejak Operasi Trikora menghadapi Belanda untuk memperebutkan Irian Barat (Sekarang Papua) dan Operasi Dwikora dalam konfrontasi melawan Malaysia pada awal tahun 1960-an, TNI tidak pernah lagi melakukan operasi militer untuk perang. Intinya kegiatan TNI yang dapat dikategorikan OMP dapat dikatakan “Nihil”. Apa yang dilakukan TNI selama ini khususnya usai konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia masuk dalam kategori operasi perbantuan, operasi “civic mission” yang menurut UU No.34/2004 termasuk operasi militer selain perang. Padahal pandangan masyarakat awam tugas tentara itu yah perang, melakukan kegiatan-kegiatan militer untuk perang menjaga keutuhan, kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa Indonesia.

Istilah operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang sedikit banyak mengadopsi apa yang dilakukan oleh tentara AS dalam membagi tugasnya. Kalau AS menggunakan istilah OMP dan OMSP memang pas, karena memang cocok dengan doktrin negara adidaya itu yang identik dengan polisi dunia dan doktrin militernya bersifat ofensif aktif. Operasi militer untuk perang senantiasa digelar dan dilakukan seperti beberapa waktu lalu menggelar operasi militer di Irak, Afganistan, Libia dan sebagainya, sementara operasi kemanusiaan yang dikenal dengan civic mission sifatnya hanya bersifat insidentil saja. Berbeda dengan Indonesia, yang tidak mengenal dan menerapkan doktrin ofensif aktif. Operasi militer yang dilakukan Indonesia lebih bersifat defensif untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatan NKRI serta operasi bersifat bantuan yang masuk dalam kategori OMSP.

Lebih tepat apabila tugas pokok TNI dipilah menjadi Operasi Militer untuk Pertahanan (OMP) dan Operasi Militer untuk Bantuan (OMB). Operasi Militer untuk Pertahanan meliputi pengerahan dan penggunaan pasukan TNI terkait dengan tugas TNI dalam menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan hanya terbatas untuk perang saja, tetapi juga termasuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan mengatasi pemberontakan dalam skala tertentu, patroli darat, udara dan laut, pengamanan perbatasan, penempatan pasukan TNI di pulau- pulau terdepan dan operasi militer terkait pertahanan lainnya. Sementara Operasi Militer untuk Bantuan (OMB) pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk membantu fungsi dan tugas pokok badan, institusi, kementerian lain, termasuk tugas internasional membantu PBB.

Begitupula dengan pasal 7 ayat (3) yang berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam hal ini seluruh pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI diharuskan berdasarkan keputusan Presiden dan disetujui oleh DPR. Pasal 7 ayat (3) seharusnya tidak berlaku secara menyeluruh terhadap operasi militer yang dilakukan oleh TNI. Operasi militer terkait dengan pertahanan yang bersifat rutin seperti patroli darat, udara dan laut dan operasi militer untuk bantuan seperti membantu badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanggulangan bencana, membantu Basarnas dalam membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini, membantu pengamankan tamu negara tidak harus berdasarkan keputusan politik negara. Pengalaman selama TNI selama ini dalam membantu penanggulangan bencana dinilai lambat terus. Dapat dibayangkan kalau operasi bantuan ini harus menunggu keputusan politik negara, bantuan TNI akan semakin lambat dan tudingan TNI tidak sigap dalam memberi bantuan kembali akan dialamatkan kepada institusi ini. Evakuasi korban pesawat Shukoy Superjet 100 yang jatuh di Bogor tidak akan selesai secepat itu bila harus menunggu keputusan politik negara dalam mengerahkan dan menggunakan kekuatan TNI yang tergabung dalam tim SAR.

Pasal 7 ayat (3) yang menggeneralisir terhadap setiap operasi militer yang dilakukan oleh TNI juga menimbulkan polemik saat baru-baru ini TNI diminta dan disertakan dalam mengamankan istana negara saat berlangsungnya demonstrasi terkait issu kenaikan BBM beberapa bulan lalu.

Dari sisi pelaksanaan tugas pokok TNI yang dilakukan dengan pemilahan Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk ketentuan dalam operasi militer yang tertuang dalam pasal 7 dimana semuanya harus didasarkan keputusan politik negara, sudah menimbulkan debatable dan polemik dalam tataran implementasinya. Belum lagi disimak pasal-pasal lainya, tentu masih banyak didapati kekurangan. Hal ini dapat dimaklumi, karena Undang-Undang TNI diproduksi ditengah suasana euforia tuntutan reformasi salah satunya tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Saat itu, ABRI dinilai terlalu jauh mendominasi dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perlu adanya perubahan dalam bentuk reformasi TNI.

Dengan semangat reformasi, tidak ada salahnya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, mengingat UU TNI itu masih menyimpan sejumlah pasal yang dapat dikategorikan multitafsir, debatabel dan tumpang tindih dalam tataran implementasinya.(tribunnews)

Dimyati
Penulis adalah alumnus Fisipol UGM, tinggal di Bogor
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...