Selasa, 27 Maret 2012

☆ Kolonel Zulkifli Lubis

☆ Kolonel Zulkifli Lubis Komandan Intelijen Pertama

Dilahirkan pada tahun 1923, Kolonel Zulkifli Lubis adalah peletak batu dan komandan pertama badan intelijen Indonesia. Dia bergerilya di Sumatera dalam perang kemerdekaan. Pemimpin Gerakan Anti 17 Oktober 1952 Deputi Kepala Staf dan Penjabat Kepala Staf Angkatan Darat selama beberapa tahun dengan pangkat kolonel hingga meletakkan jabatan pada tahun 1956 salah satu gembong dalam pemberontakan PRRI – Permesta (1958). Kini tinggal di Bogor sebagai pengusaha. Atas permintaan TEMPO, tokoh yang pernah didongengkan bisa menghilang ini menceritakan panjang lebar sebagian dari perjalanan hidupnya pada wartawan kami, Muchsin Lubis.

SAYA dari kakak beradik bersaudara ada sepuluh orang. Tujuh wanita, tiga laki-laki. Kakak saya laki-laki nomor dua tertua sudah meninggal dan adik saya laki-laki yang terkecil, juga sudah meninggal. Jadi, kami dari tiga laki-laki itu, tinggal saya saja yang hidup.

Jadi, kalau jatuh pada acara warisan, tinggal saya yang mengaturnya. Dari saudara wanita, yang paling bungsu meninggal waktu lahir di Tapaktuan. Saya lahir di Banda Aceh yang dulu disebut Kutaraja pada tanggal 26 Desember 1923. Sehari lebih muda dari Natalan. Kalau yang hidup sekarang ini, ada adik di Banda Aceh, kemudian kakak saya di Medan, kemudian kakak saya di Magelang. Saya anak nomor lima.

Saya merasa, saya termasuk putera yang disayangi oleh kakek-nenek saya dan ayah-ibu saya. Mungkin karena laki-laki sedikit sekali di keluarga saya. Kemudian, rupa saya memang agak lain. Rupa saya waktu kecil, seperti orang Barat. Muka putih, rambut pirang dan mata biru, waktu kecil. Maka itu, ketika masih di sekolah rendah, di HIS, saya oleh guru Belanda - saya sampai sekarang tidak tahu sebabnya - saya satu-satunya murid yang didudukkan bersama-sama perempuan, sampai kelas tiga.

Orangtua saya bernama Aden Lubis gelar Sutan Sanalam. Ibu saya, Siti Rewan bermarga Nasution, tapi lahir dan besar di Aceh. Maka itu, kami itu lebih merasa sebagai orang Aceh daripada orang Tapanuli. Saya tahu bahasa Tapanuli, bahasa Mandailing, tapi tidak bisa membicarakan. Hanya mengerti. Kalau boleh dibilang, lahir di Aceh, saya lebih merasa sebagai orang Aceh dan besarnya bersama masyarakat, di Yogya. Tapi bahasa Jawa pun saya tidak pandai, cuma mengerti.

Selama saya sekolah itu, memang saya merasa disayangi orangtua saya maupun kakek-nenek, namun saya lebih dekat dengan ibu. Orangtua saya kedua-duanya guru di sekolah guru, normal school. Tapi ibu saya itu kawin muda, lalu berhenti jadi guru. Ayah saya sesudah 25 tahun kemudian berhenti lalu jadi pamong praja.

Waktu itu ayah saya jadi klerk di Banda Aceh, di kantor gubernur, kemudian pindah ke Tapaktuan. Di Tapaktuan itulah lahir adik saya yang laki-laki paling kecil dan adik saya perempuan paling kecil yang meninggal waktu lahir. Ibu saya pun meninggal dunia di Tapaktuan.

Kalau saya ingat kembali, saya banyak belajar bermacam-macam segi dari orangtua saya. Kalau dari ibu saya, saya belajar tentang kebersihan. Ibu saya itu sangat suka bersih. Kami bersaudara itu, kaki kami semua hanya boleh kena tanah pada hari Minggu saja. Selebihnya itu harus pakai sandal. Selain itu, ibu saya suka membaca dan menyukai sajak. Hingga saya juga ada bawaan suka sajak. Puisi. Dengan sajak Chairil Anwar, saya sangat tertarik, lalu Amir Hamzah, walaupun tidak sampai mendalami.

Kalau dari ayah saya, disiplin. Disiplin waktu dan kemauan kerja. Bapak saya, walaupun masih klerk di zaman Belanda, dia naik sepeda dari Kutaraja ke Lho' Nga sekitar 14 kilometer, sebagai kontroleur. Pulang balik, mulanya. Karena saya disayanginya, dan belum sekolah, saya diboncengnya. Sampai di Lho' Nga saya dititipkan ke pesanggrahan, lalu dia pergi ke kantor. Nanti sore hari, pulang naik sepeda lagi. Sampai begitu rupa - mungkin lelah karena usia lanjut - baru kira-kira seminggu sekali pulang ke Kutaraja. Itu tahun 1920-an. Saya memang selalu dibawa Ayah ke mana-mana. Dari dia saya dapat kesungguhan kerja dan pegang waktu.

Kalau dari kakek saya, Angku saya, dia hakim agama di Pengadilan Agama Kutaraja, saya belajar agama, sembahyang. Nama beliau Raja Imbang Nasution. Beliau kakek dari pihak Ibu. Saya adalah cucu yang paling disayangi. Sedang nenek dari pihak Ibu, istri angku saya. orangnya besar tinggi dan gemuk. Waktu kecil, saya sering tidur dengan dia. Kalau dia menumbuk sirih, saya sering ngelon ke dadanya. Karena dia gemuk, jadi hangat.

Saya sekolah dari HIS sampai ke MULO, di Aceh semuanya, sampai tahun 1940-an, sebelum perang. Karena orangtua saya menganggap saya cukup cerdas, pada umur empat tahun lebih sedikit, saya sudah sekolah. Di sekolah saya maju, hingga semua guru sayang pada saya. Baik guru Belanda atau guru Indonesia. Sava sekolah di HIS ke-II di Kutaraja. Pandai berhitung. Cepat. Semua pelajaran, saya senang, cuma pelajaran bahasa yang kurang. Kalau berhitung dan sejarah, saya mendapat nilai sepuluh. Apalagi berhitung luar kepala, saya tetap nomor satu. Ketika sekolah itu saya dipanggil Kifli, bukan Lubis. Nama panggilan ini sampai saya di AMS-B di Yogya. Baru zaman Jepang saya dipanggil Lubis, karena Lubis lebih mudah disebut dalam bahasa Jepang. Saya tamat MULO sekitar tahun 1941.

Saya orang suka membaca. Sewaktu di MULO itu, saya sudah mendengar dan mempunyai kesempatan membaca. Saya setiap hari membaca surat kabar Deli Blaad berbahasa Belanda, terbitan Medan. Kebetulan, anak tetangga saya di Kampung Atuk, dekat Makam Pahlawan, penjual surat kabar, termasuk' Deli Blaad. Teman itu sering memberikan koran itu pada saya satu lembar. Dari situ saya tahu pidato-pidato Bung Karno, Hatta, Thamrin, dan Volksraad. Sungguhpun surat kabar itu dari modal perkebunan di Sumatera Timur, jadi sebenarnya kapitalistis, itu menaikkan semangat nasional kami sebagai pelajar MULO.

Dari situ saya mengetahui adanya pergerakan-pergerakan, walaupun tak bisa ikut aktif. Kami tak punya kesempatan. Cuma, di antara teman-teman kami punya perkumpulan di MULO. Namanya Patriot. Kumpulan Patriot ini merupakan kumpulan yang tidak mengikuti kehendak kolonial, kehendak Belanda. Kami, termasuk sebagian guru, terbilang masuk golongan oposisi, walaupun secara diam-diam. Ketuanya, waktu itu? Yahya Bahram Rangkuti. Misalnya, kalau ada upacara, kami tidak mau melagukan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Kami diam saja, kaki kami geser-geserkan ke teman lain, untuk mengajak agar diam saja.

Tamat MULO saya ke Yogya masuk AMS-B. Karena wajah saya seperti orang Belanda, di rumah saya dipanggil Yan. Itu panggilan kecil orang Belanda. Ketika saya mau ke Jawa, ibu saya bertanya, "Yan mau ke Jawa. Yan tahu apa yang paling utama?" Saya tidak tahu. "Yang paling utama adalah mencari nasihat. Bukan memberi nasihat," kata ibu saya.

Kebetulan, ada peminta-minta yang cacat datang. Kemudian saya ditanya emak saya itu. Saya memang memanggilnya emak. "Kalau tadi Yan sudah menanggapi Emak bilang yang penting mencari nasihat, bukan memberi nasihat. Nah, sekarang Emak mau tanya. Nasihat apa Yan bisa dapat dari orang minta-minta itu?" Saya tidak bisa menjawab. Emak saya lalu menjawab, "Leven geduldig. Kesabaran hidup. Fitrah manusia bukan untuk mintaminta. Toh dia minta-minta. Satu segi baiknya, dia betah hidup. Dia sabar."

Waktu sekolah di Yogya, ucapan emak itu terus terpikir. Kalau teringat kembali, mencari nasihat berarti kita itu harus demokratis. Kalau tidak, tidak bisa. Kita harus merendah diri. Sama dengan cara intelijen. Harus ramah, baru bisa mencari nasihat. Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat.

"Yan harus datangi, kenalkan diri, satu, pada orang yang tertua umurnya di tempat itu. Artinya, pengalamannya. Kedua orang yang alim ulama. Ketiga, guru. Keempat, orang yang dermawan yang kaya. Bukan orang kaya yang kikir. Minta nasihat pada orang-orang ini," kata ibu saya. Semua nasihat ini, dalam intelijen juga banyak dipakai, terutama dalam intelijen teritorial.

Kalau nasihat ayah saya lain lagi, karena seorang pamong praja. "Met de hoet in de hand, komt ye in de gang in de wereld," artinya. "Dengan topi di tangan, kau bisa datang ke seluruh dunia." Maksudnya, dengan hormat, sopan, tidak sombong, kau bisa kunjungi seluruh dunia. Itulah semua ajaran ibu dan ayah saya. Sama dengan ajaran intelijen. Dan itu yang saya praktekkan. Karena itu, waktu punya jabatan dulu, saya tidak membatasi tamu-tamu. Semua bisa menemui saya. Karena dari tamu-tamu itu saya - mungkin tamu itu cuma minta duit atau minta apa - saya dapat informasi gratis. Paling tidak dari lingkungannya. Maka itu, sampai sekarang, saya tidak mau membatasi orang yang mau bertemu saya. Saya tidak seperti pejabat sekarang. Susah sekali ditemui orang. Orangtua saya menasihatkan, "Kalau kau mencari nasihat, kau tidak akan bisa sombong. Kau harus mendengar bicara orang lain. Hargai pendapat orang lain." Kalau dari segi politik, itu adalah benih demokrasi.

Pertama kali di Yogya saya tinggal di rumah seorang famili guru HIS di Tapaktuan. Dia punya famili di Yogya. Dengan surat guru itu, saya tinggal beberapa hari di situ, untuk orientasi. Setelah itu, kami dapat rumah di Gowongan Lor, Yogyakarta, di tempat Ibu Sastro. Ibu itu punya warung. Dia sangat baik. Sekitar 15 orang yang indekos di situ. Ada yang dan Bugis, ada yang dari Tapanuli, ada yang dari Medan dan lain-lain. Tapi saya tidak lama di situ. Bersama delapan teman dari AMS-B dan AMS-A, kami mengontrak rumah sendiri di Jetis.

Di AMS itu, Belanda memang teliti. Kita tidak dididik seperti robot. Tapi ilmu kita, kita kembangkan. Kalau di MULO, masih dituntun dalam belajar, di AMS, kita baca sendiri. Seluruh cabang mata pelajaran ilmu pasti diajarkan di situ, ditambah sedikit dengan sejarah dan biologi serta bahasa yang tidak begitu mendalam.

Di AMS-B saya pelajar sedang saja. Masih orang Cina yang jadi nomor satu. Memang, di AMS-B Yogya itu, kebanyakan orang Cina. Tapi dalam pelajaran Aljabar, saya nomor satu. Di sana ada sistem, sewaktu-waktu kami disuruh ke depan kelas untuk mencoba mengajar. Misalnya untuk pelajaran llmu Tata Negara dan Sejarah. Pelajar diajar agar punya inisiatif, tidak hanya sebagai alat mati. Memang berbeda dengan zaman sekarang. Guru-guru kami tua-tua semua dan sarjana semua. Rata-rata doktor dan insinyur. Jarang yang satu titel. Kebanyakan dua atau tiga titel. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun.

Di AMS-B itu, perasaan kebangsaan tetap ada, walaupun tidak ada perkumpulan tertentu. Kami sering diskusidiskusi antarteman, termasuk teman dari Parindra. Kami sering mencemoohkan Belanda. Di AMS itu kami punya semangat tidak mau kalah dengan Belanda. Kita tak mau kalah angka dengan pelajar Belanda, sungguhpun dalam bahasa Belanda. Jadi, boleh dikatakan, belum terorganisasi secara nasional. Tapi pada umumnya perasaan nasional berkembang. Jadi, betul kata Bung Karno dalam Manipol itu, bahwa kemerdekaan itu adalah conscious men. Fitrah manusia.

Dalam pelajaran sejarah di AMS itu, walaupun gurunya Belanda, mereka tidak menjelek-jelekkan pergerakan nasional Indonesia. Disebutkan adanya Parindra, Taman Siswa, tapi mereka tak menjelekkan. Termasuk tidak menjelekkan Bung Karno. Saya di AMS hanya sampai kelas 2, karena Jepang masuk.

Ada teman saya di AMS-B, lain kelas, Pawoko namanya, yang tinggal di Gowongan Kidul, bilang, "Kif, ini Jepang ada buka latihan untuk pemuda. Bagaimana Kif, daripada kita ini anak muda tidak kerja dan sekolah tidak buka, kita ikut saja." Saya lupa waktunya. Ya, sekitar tahun 1942. Jepang baru 1-2 bulan di situ. Umur saya sekitar 18-19 tahun. Saya lalu ikut. Namanya Seinen Kurenso. Tempat Latihan Pemuda. Pesertanya banyak dari AMS dan MULO. Di situ kami diberi pelajaran pokok-pokok kemiliteran.

☆ Pemberontakan Peta

Setelah kira-kira dua bulan dilatih, ada penawaran khusus untuk mendapat pendidikan perwira militer. Ada beberapa ratus dites. Hanya beberapa orang yang diterima, termasuk saya. Dari Yogya hanya sekitar 4-5 orang, termasuk Kemal Idris. Saya angkatan pertama bersama Kemal dan Daan Mogot. Kalau boleh dibilang, itu sekolah akademi intelijen sebetulnya. Cuma dalam istilahnya disebut Seinen Dojo - Tempat Gemblengan Pemuda. Karena itu, kami di bawah Markas Besar Intelijen Jepang. Itulah pertama kali saya belajar intelijen, sekitar awal 1943. Saya masih berumur 19 tahun.

Kami terdiri dari dua kamar. Nihan (kamar pertama) dan Ichihan (kamar kedua). Saya bersama Kemal Idns, Yonosewoyo di Nihan. Daan Mogot masuk di Ichihan. Nihan adalah kamar yang terbaik. Baik ilmu, latihan militer, maupun sumo, Nihan tetap menang dibanding Ichihan. Selalu dapat penghargaan maupun spanduk. Dalam latihan itu, badan saya paling kecil. Tapi dalam latihan ilmu militer saya nomor satu. Saya nomor satu di Nihan, dari seluruhnya. Dalam ilmu saya jadi Mohan, jadi contoh. Saya siswa yang tidak pernah dapat tempelengan Jepang. Karena saya memang tidak rernah dilihat bersalah.

Sewaktu di Seinen Dojo Tangerang, semua instruktur itu rapi dan bersih. Dan sungguh-sungguh mengajar. Tapi sampai kita di Renseitai Bogor, di situ tentara Jepang tidak baik lagi. Karena banyak pelatih berasal dari pasukan. Mereka kotor. Bajunya lusuh. Pokoknya, gambaran waktu dulu Jepang itu terbaik, kini tidak lagi. Banyak Jepang yang rusak. Mereka mengajar sambil lalu.

Di situlah awalnya Soeprijadi tidak senang dengan Jepang. Di situ awalnya. Saya dengan Soeprijadi satu Nihan di Seinen Dojo. Dia dari MOSVIA. Sewaktu di Seinen Dojo kita masih kagum melihat Jepang itu masih tinggi, tapi di Renseirai Bogor, semuanya berbalik. Jadi, hilang semangat untuk menghargai Jepang. Sejak itu Soeprijadi berubah negatif melihat Jepang. Sejak itu pula, teman-teman, termasuk Soeprijadi, lari malam' hari keluar pagar, mencari makanan.

Dari situ awalnya, kita melihat, sewaktu di gyugun di daerah, polisi-polisi bersikap kasar dengan rakyat, dalam rangka mengumpulkan beras. Karena dipaksa oleh Jepang Sipil Kalau Jepang Militer masih baik. Jepang Sipil ini. dengan menggunakan polisi, memeras rakyat. Di situ, kita lihat, banyak Peta yang membela rakyat. Seperti kejadian di Banten, kami menghadapi polisi, membela rakyat. Di Indramayu, di Banyuwangi. Sampailah Soeprijadi memberontak di Blitar, 14 Februari 1945. Karena dia melihat Jepang sipil memaksa rakyat meberi beras, karena rakyat sudah susah. Rakyat sudah berpakaian kulit kayu. Rakyat ditekan, melalui Romusha, dan lain-lain. Di situ memuncak antipati Soeprijadi. Timbullah semangat untuk mengatur pemberontakan.

Saya melihat perubahan sikap Soeprijadi ini sejak di Bogor itu. Dia melihat sikap Jepang sudah berubah. Soeprijadi bilang sama saya, "Kalau begini, ya, Jepang sama saja. Tidak bisa kita harapkan." Hubungan kami dekat sekali sewaktu di Bogor. Soeprijadi sebenarnya pendiam, seperti waktu di Seinen Dojo Tangerang. Tapi waktu di Bogor, dia banyak bicara, "Ah, Jepang itu tidak bisa kita percaya," kata Soeprijadi.

Saya sendiri dibawa oleh Rokugawa (bekas taicho komandan - komidi Seinen Dojo) pertengahan tahun 1944 ke Malaysia. Sewaktu pemberontakan Soeprijadi - Peristiwa Soeprijadi di Blitar (Februari 1945) - saya berada di Malaysia. Saya dipanggil Rokugawa, karena saya satu hang (kamar) dengan Soeprijadi. Tapi karena Rokugawa sayang pada saya, saya tidak sampai ditahan. Tapi Kemal sempat dipanggil Kempeitai, termasuk Daan Mogot, teman-teman Soeprijadi. Kempeitai takut kami ini terbawa-bawa oleh Soeprijadi. Kemal di suruh tegak di kantor Kempeitai Jepang di Menhankam sekarang ini.

Bersama-sama Rokugawa saya ke Singapura naik pesawat pemburu. Di Singapura itu, saya berjumpa dengan seorang perwira Jepang, Mayor Ogi. Wajahnya seperti orang Barat. Dia bisa bahasa Prancis. Dia dipersiapkan untuk aktivitas intelijen di Vietnam. Saya tidur satu kamar dengannya. Melalui dia, Jepang berhasil menguasai Vietnam tanpa melalui perang. Sebulan kemudian, dia kembali. Dan berhasil. Tentara Prancis menyerah melalui psywar.

Dari Mayor Ogi itu saya mendapat pelajaran, bagaimana caranya di negara asing dapat mempengaruhi komandan musuh sedemikian rupa, sampai bisa menyerah, tanpa melalui pertempuran. Saya sebagai pembantu Rokugawa. Saya satu-satunya orang Indonesia di situ. Semua Jepang. Kami berdua sama-sama melapor pada komandan tentara Jepang untuk wilayah Asia Tenggara di Singapura itu. Di situlah saya pertama kali diperkenalkan dengan Fujiwara Kikan (Badan rahasia Jepang untuk Asia Tenggara). Semuanya serba rahasia.

Mayor Ogi bercerita pada saya, bagaimana dia masuk ke Vietnam sampai komandan tentara Prancis di Vietnam itu menyerah. Ogi, tentu saja melalui agen-agennya bisa masuk sampai ketemu dengan Panglima Prancis itu. Tentu saja mereka kaget. Di situ Ogi cerita supaya tentara Prancis menyerah saja, daripada celaka. Akhirnya Vietnam menyerah pada Jepang.

Dari Singapura, saya naik kereta api ke Kuala Lumpur. Di situ banyak sekali tentara Jepang yang mau dikirim ke Burma. Gerakan Bawah Tanah di Burma juga kuat melawan Jepang. Di Kuala Lumpur, Malaysia, gerakan bawah tanah Cina juga kuat. Sambil berjalan di Kuala Lumpur itulah, Rokugawa mengajar saya dalam intelijen. Misalnya, bagaimana caranya mengetahui jumlah penduduk dalam satu kota. Lalu bagaimana mengetahui rakyat itu anti atau pro dengan Jepang. Setiap sore saya kembali dan melapor pada Rokugawa. Olehnya, saya dilatih baik teori dan praktek intelijen.

Baik di Singapura, Kuala Lumpur. dan Malaka (sekarang Penang), saya disuruh meneliti keadaan masyarakatnya, jumlahnya, intelektual masyarakat. Itu ada kunci-kuncinya. Ada rumus-rumusnya. Saya diajari gerak intelijen di lapangan dari segi informasi. Misalnya, sebagai orang asing, kita mengetahui kira-kira jumlah penduduk tanpa melalui kantor statistik. Saya bisa tahu.

Di Kuala Lumpur itu, saya mendapat tambahan ilmu tuntunan intelijen di masyarakat dari Rokugawa, maupun pengalaman orientasi intelijen kenegaraan di Vietnam yang diberikan oleh Mayor Ogi di Singapura. Saya masuk ke kampung-kampung. Ketemu guru, tanya. Jadi, misalnya, untuk mengetahui jumlah penduduk suatu kota, kita lihat saja berapa sekolahnya. Saya tanya gurunya, berapa muridnya, umurnya berapa. Dari sini bisa dipersentasi, kira-kira berapa penduduk kota tersebut. Saya juga naik becak, tanya bagaimana pandangan masyarakat terhadap Jepang atau Cina. Susahkah kehidupan mereka. Pelajaran itu dalam bahasa Jepang disebut Ippan Joho - pemberitaan intelijen umum.

☆ Awal Pembentukan Intelijen

Setelah Jepang menyerah, saya ditahan pergi oleh A.K.Gani supaya bertahan di Palembang saja. Saya bilang pada A.K. Gani, pusat pergerakan itu di Jawa, dan teman-teman saya banyak di sana. Dia tidak setuju. Tapi saya tidak ambil perhatian. Saya tetap ke Jawa.

Saya lalu ke Jakarta, bertemu dengan Kemal dan Daan Mogot. Juga jumpa dengan pihak-pihak Jepang yang saya kenal, Yanagawa, Yamazaki. Di situlah saya mempersiapkan untuk membentuk suatu Intelijen Awal. Saya anggap, setiap gerakan apa pun, intelijen itu penting, harus ada.

Istilahnya waktu itu, mudah sekali, kita sebut Badan Istimewa. Di mana mesti tempelannya? Waktu itu dibentuk BKR Pusat yang dipimpin oleh Kafrawi, bekas daidancho dan pembantunya, Arifin, bekas shodancho. Saya bertemu dengan keduanya, kebetulan saya kenal. Waktu itu, BKR (Badan Keselamatan Rakyat) masih di bawah KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang diketuai Kasman Singodimedja dengan wakilnya Latuharhary.

Saya merekrut kebanyakan dari gyugun. Markasnya waktu itu masih di gedung juang Jalan Pejambon. Di samping itu, juga ada di Lapangan Banteng, tempat bekas Mahkamah Agung, bersama-sama BKR Pusat. Pembentukan pertama kali, termasuk almarhum Sunarjo, Djatikusumo sempat ikut sebentar, Juwahir dari Semarang, ya ada kira-kira 40 orang dari bekas perwira gyugun dari seluruh Jawa. Saya tidak ingat tanggal pembentukannya. Yang jelas, kira-kira sesudah 17 Agustus 1945, sebelum 5 Oktober 1945. Lalu saya didik sekitar seminggu untuk aplikasi intelijen, terutama untuk informasi, sabotase, dan psywar. Bukan aplikasi teori. Mereka saya rekrut melalui alamat yang saya tahu, lalu dipanggil melalui BKR. Tempat latihannya di Pasar Ikan, asrama pelayaran yang saya pinjam melalui almarhum Untoro Kusmarjo dan Suryadi.

Dari situlah kemudian dibentuk organisasi yang bercabang-cabang. Cabang di seluruh residensi, di seluruh Jawa. Pemimpinnya adalah yang ikut latihan itu. Mereka harus berhubungan baik dengan BKR setempat serta organisasi perjuangan setempat. Arahnya waktu itu, selain untuk mengumpulkan informasi dari pihak musuh dan dari luar, juga mengadakan psywar.

Sementara saya terus membentuk sel-sel, saya juga membentuk pendidikan intelijen, tak lama kemudian Amir Sjarifuddin pindah ke Yogya dan Moestopo tidak lagi jadi menteri pertahanan, dia kembali ke Yogya. Karena PMC itu ruangnya dianggap terlalu sempit, lalu diprakarsai oleh Moestopo, mula-mula, saya menghadap Presiden Sukarno, bertemu dengan Amir Sjarifuddin, Pak Dirman yang sudah terpilih sebagai panglima besar, lalu dibentuklah Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani). Bagian dari Brani, dibentuk FP (Field Preperation). Saya ketuanya. Sebelumnya, PMC dibubarkan. Itu, kalau tak salah, sekitar April 1946. Yang bertugas di lapangan adalah FP, yang dibentuk di daerah-daerah.

Sewaktu masih PMC, tugas utama selain menghadapi musuh juga mengembangkan arti Republik Indonesia. Lalu kita kirim ekspedisi ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, pada akhir tahun 1945.

Kahar Muzakkar sendiri dulu datang pada saya untuk mengembangkan pasukan di daerah, di seberang. Lalu saya tanya, orangnya dari mana. Dia bilang, diambil dari Nusakambangan. Kemudian, penjahat berat itu, termasuk yang dari Sulawesi Selatan, orang Bugis maupun dari Timor, direkrut. Ada ratusan orang yang dia bawa. Lalu mereka dibawa ke Pingit, di barat Yogya, untuk dilatih beberapa bulan. Sementara itu, oleh Bung Amir dibentuk Biro Perjuangan. Kahar Muzakar beralih ke Biro Perjuangan. Sungguhpun saya tidak begitu setuju, saya anggap Biro Perjuangan seperti di Surabaya itu tidak akan terkendali dengan baik. Tapi karena Kahar Muzakkar menghendaki, ya saya iyakan.

Memang, kami juga menyelundupkan senjata dari Singapura, tapi sedikit. Itu dilakukan oleh organisasi kami di Sumatera yang ada di Kuala Enoh atau Kuala Tungkal. Penyelundupan itu untuk membantu operasi di Kalimantan yang di bawah pimpinan Mulyono. Termasuk di dalamnya Cilik Riwut. Jadi, boleh dikatakan, organ intelijenlah yang pertama mengembangkan secara riil beroperasi ke seluruh Indonesia. Ada juga yang tertangkap. Saya juga mengirimkan dua kapal ke Maluku dari Tegal. Satu kapal tertangkap, satu lolos. Pimpinannya Ibrahim Saleh, yang panggilannya Bram, yang kemudian ikut dengan saya. Keponakan Latuharhary juga ikut.

Sedangkan Bambang Sunarjo (kini masih bekerja di majalah TEMPO - Red.) juga ikut operasi intelijen semacam itu. Bambang Sunarjo dikirim ke Bali, bersama Yasin. Kelompok mereka tidak tertangkap. Kalau yang ke Maluku itu sebagian memang tertangkap. Sedangkan yang ke Sulawesi, dipimpin Warsito, tidak tertangkap. Kelompok Warsito, di dalamnya termasuk Wolter Mongisidi, ikut orang saya. Maksud saya mengirimkan orang-orang ke seluruh Indonesia itu memang untuk membangkitkan pemberontakan terhadap kolonial. Dan itu tidak diharapkan untuk menang.

Intelijen itu dasarnya, kesatu, dia harus obyektif, kedua, harus pandai menilai suatu benta, untuk mencari obyektivitas, ketiga, harus memberitakan apa adanya. Tidak boleh disimpan. Tapi jangan lupa dengan nilai. Sesudah itu, kita harus security minded, dan intelijen itu harus tanpa pamrih. Total abdi mutlak. TNI masih bisa dapat bintang, naik pangkat, kalau mati masih bisa dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen, tidak boleh begitu. Dia harus betul-betul mengabdi, semata-mata untuk negara dan orang banyak.

Waktu di FP atau Brani, saya kebanyakan menggunakan pelajar. Selain itu, juga bekas dari Seinen Dojo atau Yugekki. Yugekki ini suatu kumpulan gerilya di Salatiga. Jadi, semacam pasukan gerilya, tapi lebih bersifat politis. Termasuk di dalamnya Bambang Supeno di Malang, Kusno Wibowo. Jadi, seperti Dirgo, Sakri, Suprapto bekas gubernur, Tjokropranolo, itu bekas Yugekki. Mereka banyak ikut dengan saya.

Mereka direkrut tanpa klasifikasi. Hanya dilihat sekolahnya, lalu dilatih. Semuanya pada awalnya dididik di Pingit. Semua. Pada waktu itu, kita bisa membentuknya di seluruh Jawa ini sedemikian rupa seperti jaringan laba-laba. Ya, semacam pembelahan sel. Jadi, semua gerakan kita ketahui. Makanya, PKI tidak senang pada saya. Sebab itu, diakali untuk dibubarkan, ataupun saya ditempatkan di bawah. Waktu pembentukan Kementerian Pertahanan Bagian V (KP V), saya di bawah. Kepalanya Abdulrahman.

Karena mereka tidak bisa menguasai saya, FP dan Brani dibubarkan. Sementara itu, Bung Amir sudah punya alat sendiri, yakni Badan Pertahanan B, di bawah pimpinan. kalau tak salah, Sukardiman bekas komisaris polisi. Dalam rangka konsolidasi politik Bung Amir, Badan Pertahanan B ini dibubarkan, Brani juga dibubarkan, kemudian dijadikan satu. Langsung di bawah Kementerian Pertahanan. Waktu itu Bagian V (KP V), jadi langsung di bawah Amir Sjarifuddin, sebagai menteri pertahanan. Saya jadi wakil Abdulrahman. Di situ ikut orang-orang PKI, seperti Fatkur, Tjugito. Jadi, saya mengalami beberapa kali pembubaran. Ada yang karena kebutuhan organisasi, tapi ada juga karena politis, karena orang tidak bisa menguasai saya.

Sewaktu FP dan Brani, itu memang langsung di bawah Bung Karno, lalu saya dipisahkan dari Bung Karno, oleh Amir Sjarifuddin. Memang, pada saat itu, saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor pada Bung Karno di kamar tidurnya. Jadi, karena itulah saya dicegah ketemu dengan dia. Selain secara organisasi saya tidak ada hubungan dengan Bung Karno lagi, saya selalu dicegah ke istana. Saya tidak bisa semudah dulu lagi. Karena ada Sugandhi. Gandhi MKGR itu. Dia itu aliran kiri, dari kelompok sosial Mahameru. Sugandhi jadi ajudan II Bung Karno. Ajudan I Moerahardjo. Pokoknya, di antara dua orang itu. Pak Moerahardjo, itu saya yang memasukkan. Karena itu, Gandhi tak menyokong saya kalau mau ketemu Bung Karno. Gandhi tak menentang saya, tapi ada bawaan-bawaan lain. Jadi, Brani dibubarkan dijadikan KP V yang di bawah Amir Sjarifuddin. Kepalanya Abdulrahman, dia orang komunis, bekas angkatan laut, dari Australia. Sebagai wakil, saya memegang bagian eksekutif.

Pada saya diperbantukan Fatkur dan ada lagi orang tua. tapi saya lupa namanya, dia komunis. Di situ saya tahu praktek-praktek PKI. Bagaimana cara PKI menghantam lawan politiknya, dengan tidak memakai kekuatan sendiri. Pinjam kekuatan lain untuk menghantam lawannya. Kalau mau dibilang, laporan tentang Sukiman - Masyumi toh lawannya - bertubi-tubi kepada saya. Tapi saya cek, tidak betul. Itu terus-menerus, tidak habis-habisnya buat laporan, sungguhpun laporannya tidak betul. Itulah cara PKI.

Akibat Renville, Bung Amir tidak jadi perdana menteri. Kabinet jatuh pada Bung Hatta. Lalu ada Re-Ra dan ada Undang-Undang Pertahanan. Maka, bubarlah KP V itu. Dibentuk SUAD-I. Saya ditunjuk jadi kepalanya, merangkap sebagai kepala MBKD-I. Di situlah saya ketemu dengan Nasution yang sebagai Panglima PTTD (Panglima Tentara Teritorium Djawa). Waktu itu, Kepala Staf Angkatan Darat dipegang Djatikusumo. Waktu Re-Ra itu, semua diturunkan pangkatnya satu tingkat. Saya jadi letnan kolonel.

Selesai Agresi II, MBKD-I dipindahkan ke Kementerian Pertahanan. Menjadi intelijen Kementerian Pertahanan. Sifatnya agak tertutup. Kalau ke luar, kami memakai nama Biro Redaksi. Kalau ke dalam, namanya IKP (Intelijen Kementerian Pertahanan), di bawah Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan kepala stafnya Simatupang. Markasnya ya di Jalan Merdeka Barat itu. Itu tahun 1950. Hingga sampai timbul Peristiwa 17 Oktober 1952.

Yoga Sugama sendiri mula pertama ikut dengan saya sejak Re-Ra pertama di Yogya di KP V, lalu di SUAD I. Sedang Sutopo Yuwono, sebelum itu, sudah ikut saya sejak PMC. Kalau Aswismarmo, ikut saya sama-sama dengan Sutopo Yuwono.

Sampai tanun 1950-an pendidikan masih bersifat aplikasi intelijen, untuk lapangan. Sesudah itu baru diadakan pendidikan tersendiri, semacam advanced course bagi tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman, termasuk Karno Hadiwibowo. Pendidikannya di Kaliurang, Yogya. Jadi, bagi yang sudah berpengalaman dan punya jabatan di intelijen, itu dididik di Kaliurang, berganti-ganti, liching per lichting. Sesudah itu ada lanjutannya, berupa pendidikan kader khusus. Yakni kader intelijen yang utuh. Itu tidak banyak, ada sekitar 12 orang.

Pendidikan itu tidak memakai tenaga dari luar negen. Saya memperdalam intelijen sendiri. Dengan adanya badan pendidikan itu, saya punya kesempatan mempelajari bermacam-macam buku. Malah saya mempersiapkan intelijen itu sebagai ilmu tersendiri. Tapi tak sampai demikian, lalu bubar setelah peristiwa 17 Oktober 1952 itu. Waktu mau dibubarkan itu, saya mendatangi Simatupang. "Semua boleh bubar, asal pendidikan ini jangan," kata saya. Tapi dibubarkan juga. Ya, sejak itu saya tidak aktif lagi di intelijen. Setelah jadi buron, lalu jadi Wa-KSAD itu. Intelijen lalu dipegang orang lain.

☆ Soal Bambang Utoyo

Tidak betul saya mengancam mau menembak Bambang Utoyo. Mengapa saya menolak Bambang Utoyo, soalnya bukan karena Bambang Utoyo. Tapi karena soal kabinet Ali Sastroamidjojo. Terlalu mempolitisir keadaan. Soalnya, dengan Piagam Yogya. dihasilkan beberapa rumusan, termasuk personalia. Di situ disebutkan. orang yang sehat badan dan pikiran dan sehat wataknya. Dan berpengalaman.

Waktu itu saya menjadi penjabat KSAD. Bambang Sugeng sudah berhenti. Bambang Utoyo sebelumnya telah membuat surat untuk berhenti, minta pensiun karena sakit gula. Dia buat surat resmi minta berhenti, karena tidak tahan dengan penyakitnya itu. Sementara itu, memang Iwa Kusumasumantri ada minat untuk mengangkatnya jadi KSAD, termasuk Bachrun Panglima Jawa Tengah. Saya menantang Pak Iwa, karena dia seolah-olah seperti dagang sapi. Di sana janji, di sini janji. untuk jadi KSAD. Termasuk Bachrun dan Sudirman. Kemudian, Bambang Utoyo diangkat oleh A.K. Gani dari PNI. Bambang Utoyo (Panglima Teritorium Sumatera Selatan) datang ke Jakarta. Dia melapor. "Saya ditawari oleh A.K. Gani untuk jadi KSAD. Tapi saya tidak bisa menerimanya, Kolonel. Tidak mungkin," katanya pada saya. Setelah dia kembali ke Palembang, dia membuat kawat pada saya bahwa dia tidak bisa menerima jabatan itu. Tapi kemudian, oleh Pak Iwa dan Ali, dia dipaksa menerima jabatan itu. Padahal, dia tidak mau menerima.

Jadi, yang saya hadapi bukan Bambang Utoyo-nya. Tapi kabinet Ali. Sungguhpun saat itu Bambang Utoyo tidak aktif jadi KSAD, kami beri lambang. Di situ disepakati - supaya jangan terlalu banyak ikut campur tangan politik - memang dibicarakan, jangan sampai Bambang Utoyo masuk ke MBAD. Dan Bambang Utoyo waktu itu diberi tahu. Bukan untuk dibunuh. Saya tidak pernah menggertaknya. Saya tidak suka tindakan itu.

Sebelumnya saya jelaskan pada Bung Karno selaku presiden. "Tidak bisa dipertanggungjawabkan, Bapak Presiden," kata saya. "Yang bersangkutan sendiri tidak mau. Ini kawatnya. Kedua, kan Bapak Presiden sendiri menyetujui rumusan kami di Yogya. Ditambah juga soal gangguan keamanan. Bagaimana saya bisa mempertanggung jawabkan? Jadi, kalau misalnya Bapak Presiden menghendaki juga, silakan pangkat saya ini dicabut. Silakan dicabut."

Nah, di situ Bung Karno tidak sampai hati. Waktu saya bilang begitu, dia berdiri, lalu pergi. Waktu itu, Bung Karno dengan segala caranya. Dia pakai hadist dan segalanya untuk mempengaruhi saya. Tidak. Nah, setelah ada tuduhan di luar, seolah-olah saya yang mau. Tidak. Itu tidak mungkin. Yang saya usulkan yang lain. Termasuk Nasution.

Mula-mula memang saya tidak terpikir untuk mengusulkan Nasution, karena Nasution sudah ke bidang politik. (Nasution mendirikan IPKI Red). Tidak terpikir. Tapi, waktu itu Harsono Tjokroaminoto, Wakil Perdana Menteri, memanggil saya. Lalu saya tanya kepada Nasution. Tiga kali saya datang pada Nas. Waktu saya datang ketiga kalinya, baru Nas mau menerima. Saya bilang, "Pak Nas, terima sajalah," kata saya. Nasution menjawab, "Boleh saya terima. Dengan syarat, semua panglima bisa menerimanya." Saya bilang, "Tidak mungkin. Kalau semua panglima dianggap menerima, tidak mungkin," kata saya. "Tapi saya yang akan bertanggung jawab. Saya akan menjaga untuk tidak terjadi apa-apa," kata saya pada Nas. Baru dia terima. Baru saya ubah dan tambah, calon untuk jadi KSAD adalah Nasution. Malam itu juga sampai pada kabinet. Besoknya disetujui.

☆ Peristiwa 17 Oktober 1952

Pada Konperensi Meja Bundar (KMB), ada yang menganut garis keras dan ada pula garis lunak. Kebetulan, yang menganut garis keras itu banyak yang berasal dari bekas Peta. Terutama ketika melihat kehadiran MMB (Misi Militer Belanda). Kehadiran itu dianggap terlalu berlebih-lebihan. Termasuklah Bambang Supeno ini. Bambang Supeno melihat MMB ini terlalu mendalam peranannya. Kelihatannya dari pihak Siliwangi dan Nasution terlalu mendekat dengan mereka. Bambang Supeno menganggap MMB ini terlalu berlebihan gerakannya, sedangkan semestinya MMB itu hanya alat teknis sebagai penasihat. Itu tanggapan Bambang Supeno. Itu juga pendapat sejumlah bekas Peta.

Sedang kelompok Nasution dan Siliwangi menganggapnya tidak demikian. Dalam rangka ini, Bambang Supeno mengeluarkan pendapat-pendapat. Sementara itu, memang ada perubahan-perubahan jabatan di Angkatan Darat. Memang Nasution akan sekolah di luar negeri, rencananya. Tapi belum fixed. Pendapat Bambang Supeno itu, maunya ada perubahan begitu rupa, jangan sampai MMB itu terlalu berkuasa. Hendaknya gerak MMB itu dibatasi. Jangan semau-maunya dia. Kalau boleh dikatakan, unsur MMB bukanlah unsur yang paling utama, tapi unsur patriotisme yang paling diutamakan. Akibat pendapat Bambang Supeno itu, timbullah bermacam-macam guncangan. Ada pihak yang setuju, ada pula pihak yang tidak setuju.

Dalam hal ini, saya lihat, sikap Angkatan Darat terlalu keras. Kalau menurut saya, tidak memberi kesempatan untuk bisa omong. Bambang Supeno langsung diambil tindakan. Konflik memuncak sedemikian rupa, hingga muncul blok-blokan. Di sini, yang saya anggap tidak wajar, pihak Angkatan Darat mengambil hukuman, Bambang Supeno dinon-aktifkan. Setelah itu dikucilkan. Kasarnya, Bambang Supeno dikeroyok beramai-ramai.

Jadi, saya lihat, dalam keadaan begitu, saya anggap tidak adil untuk Bambang Supeno itu. Waktu itu, saya memang memihak pada Bambang Supeno. Pihak Angkatan Darat tidak senang pada saya. Waktu itu saya kepala intelijen BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan Perang). Saya sempat bilang sama Simatupang, "Itu urusan Angkatan Darat. Sebaiknya kita jangan ikut campur sebagai Kementerian Pertahanan." Tapi tidak bisa. Keadaan sudah memihak mereka. Saya tidak mau memihak mereka.

Bambang Supeno membuat surat ke mana-mana. Jadi, bukan semata-mata pada DPR. Dia memang sudah dikucilkan. Jadi, harus buat apa lagi? Dia sudah dinonaktiflkan. Sebelumnya, dia kan Kepala Staf Teritorium Jawa. Kasarnya, dia jadi perwira luntang-lantung. Setelah surat itu, Bambang Supeno diundang rapat, bukan untuk diajak diskusi, tapi seperti pesakitan diundang jaksa.

Zainul Baharuddin, keponakan saya, Ketua Seksi Pertahanan di DPR, mengajukan pada teman-teman lainnya. Gol, sampai ada mosi tidak percaya pada pimpinan DPR. Oleh Angkatan Perang, mosi itu dianggap terlalu jauh mencampuri. Rupanya, pihak mereka (Nas maksudnya - Red.) tahu Bung Karno memihak pada pihak yang emoh pada MMB itu. Dalam hati kecilnya, Bung Karno itu tidak seratus persen mengikuti MMB itu. Itu saya tahu. Bung Karno bersimpati pada sikap Bambang Supeno itu. Bung Karno memang suka garis keras, artinya revolusioner. Sedangkan Bung Hatta berpihak pada kelompok yang kompromistis, kelompok lunak. Maka, timbullah polarisasi.

Angkatan Darat, karena merasa penasaran, lalu mengusahakan gerakan massa, meminta bubarkan DPR itu. Sebelumnya memang saya tahu ada rapat yang dipimpin Gatot Subroto yang membuat pernyataan. Statement itu merupa kan suatu kehendak dengan suatu tekanan-tekanan keras Kalau boleh dibilang dengan ancaman halus, menuntu perubahan. Saya lalu memberitahukannya pada Bung Karno, melalui Pak Moerahardjo, ajudan Bung Karno, Jadi, Bung Karno sudah siap-siap. Hal itu saya sampaikan pada Bung Karno pada malam sebelum kejadian itu.

Malamnya, sewaktu saya telepon Pak Moes, dia marah marah pada saya. Katanya dia sudah teken mati. Tap karena saya kenal baik dengan dia, waktu saya bilang begitu, dia terpikir juga. Pak Moes sebenarnya sudal patah semangat untuk menggerakkan massa untuk esok pagi harinya. Massa itu memang direkrut oleh Pak Moestopo.

Waktu gerakan itu itu terjadi, orang-orang saya sempal masuk di antara mereka. Kasarnya, waktu itu massa dibawa untuk menakut-nakuti Bung Karno. Orang-orang saya itu saya tempatkan di antara massa itu. Sedangkan Bung Karno sudah tahu masalahnya, jadi dia tidak gugup menghadapinya. Nah, pada waktu Bung Karno keluar untuk menghadapi massa, mereka yang mestinya mengatakan, "Turun DPR . . .! Hantam DPR . . .!", malah sebaliknya mereka berteriak, "Hidup Bung Karno . . .!" Kalau saya ingat kembali, saya jadi, ... lucu ... ha-ha-ha. Orang-orang saya berada di beberapa sudut, di antara massa itu, lalu mereka teriak, "Hidup Bung Karno ..." Maka, massa yang masih muda-muda itu ikut semangat berteriak, Hidup Bung Karno. Jadi, berubah sama sekali . . . ha-ha-ha. Memang itu saya yang buat. Jadi, mereka jengkel sama saya . . . ha-ha (Zulkifli Lubis tak putus-putusnya tertawa terpingkal-pingkal menceritakan bagian ini ).

Kemal Idris memang yang menghadapkan meriam ke istana itu. Saya sejak dulu memang sahabat baik Kemal. Tapi pada peristiwa itu, kami berdua tidak bersahabat . . . he-he. Kami berbeda pendapat, karena Kemal terbawa oleh penjelasan dari kelompok Nasution dkk. Sungguhpun kemudian nantinya Kemal berubah. Waktu itu saya tidak ketemu Kemal.

Ada usaha-usaha untuk mem-pressure Bung Karno, saya tidak setuju dengan tindakan itu. Soalnya, ketahanan kita waktu masih lemah. Masih banyak person yang harus didudukkan. Saya anggap belum waktunya untuk berbuat begitu. Memang, karena saya membuat keadaan massa berubah sama sekali itu, saya dijadikan sasaran Nasution dkk. Saya kan mau ditangkap oleh kelompok Nasution hari itu juga. Saya kemudian lari. Waktu itu saya di rumah di Tosari. Saya lari ke tempat teman-teman saya. Saya memang mau diculik.

Waktu itu saya memang pro-Bung Karno. Saya lihat, waktu itu, sebenarnya Bung Karno itu orang yang terbuka. Sebenarnya dia itu orang yang demokrat. Terbuka dan tidak pendendam. Sungguhpun pada akhirnya Bung Karno banyak membuat tekanan pada saya, saya tetap mengaguminya. Dia orang yang bisa menanggapi pikiran-pikiran. Cuma, orang tidak berani omong sama dia. Dalam menghadapi kolonialis Belanda, saya memang sependapat dengan Bung Karno. Kita memang harus bersikap berani.

Nah, waktu saya lari mau diculik itu, kemudian BISAP dibubarkan oleh Simatupang. Yang saya dengar, Nasution oleh kelompok 17 Oktober ini dianggap kurang kuat. Itu yang saya dengar di luar. Terus, oleh kelompok di sendiri, Nasution dianjurkan untuk non-aktif. Dia menerima. Pimpinan angkatan darat lalu dipegang oleh Soetoko.

Timbulnya istilah Dokumen l.ubis itu, karena sebagai intelijen saya wajib memberikan laporan. Namanya Radep - Raport Departemental. Itu confidential. Waktu itu keadaan tegang. Intelijen kan tidak boleh diam saja. Saya harus membuat laporan tertulis. Semua apa yang saya dengar saya tulis. Lalu saya kirimkan pada Departemen Pertahanan. Namun, ada klasifikasinya. Apakah laporan itu bisa dipercaya atau tidak. Nilainya A,B,C, dan seterusnya, atau 1,2,3, dan seterusnya. Dalam dokumen itu, ada macam-macam berita.

Isu di luar memang menganggap Nasution dkk. mau menggulingkan pemerintah. Di luar punya tanggapan begitu. Memang, kalau dilihat aktualnya, memang masuk di akal. Gerakan massa lalu meriam mengarah ke istana. Itu kan seperti kejadian Nasser di Mesir sebelumnya. Iya to? Anggapan orang itu masuk di akal. Laporan saya pada Departemen Pertahanan itu masuk dalam klasifikasi: belum dapat dipercaya. Kalau tidak salah, nilainya 3 atau 4. Saya lupa nomornya. Laporan dokumen itu saya berikan pada sehari setelah kejadian 17 Oktober 1952 itu. Besok harinya. Laporan itu saya berikan pada Menteri Pertahanan, KSAP, lalu KSAD. Sifatnya rahasia.

Kemudian dokumen itu tersebar ke luar, itu bukan karena saya. Mungkin - karena saat itu ada kelompok-kelompok - ada yang menyampaikannya ke luar. Saya tidak tahu. Mungkin Nasution mau memukul saya. Kalau Nasution menyebutnya Dokumen Lubis, itu tidak ada. Dokumen itu tidak pakai nama. Tidak ada tanda tangan saya. Radep memang biasa begitu, karena rutin. Walaupun tidak ada tanda tangan saya, mereka tahu dari saya, karena dari oranisasi saya. BISAP.

Sebagai intelijen, kami mendapat informasi dari luar. Saya beritahukan apa adanya pembicaraan di luar. Di luar mempunyai tanggap begitu. Kup. Itu saya sebut. Tapi kita sebut dalam nilainya, bahwa anggapan itu tidak kuat. Nilai itu dibuat di antara dua kurung. Di samping itu, kalau saya dikatakan Nas, bahwa saya tidak disiplin pada Simatupang, sekarang mari kita bertanya pada diri kita. DPR itu kan diakui oleh Undang-Undang Dasar. Iya to? Puncak kesetiaan disiplin adalah Undang-Undang Dasar. Sumpah prajurit mengatakan, bukan patuh pada Simatupang, atau pada Bung Karno. Tidak. Tapi patuh pada Undang-Undang Dasar. Jadi, ya, menuntut bubarnya DPR, di mana DPR diakui Undang-Undang Dasar, berarti melanggar sumpahnya. Hilang kewajiban massa untuk menurut. Hilang. Tapi kenapa Nasution menyebut begitu, memang masuk di akal. Karena didikan Belanda memang begitu. Patuh pada Ratu Wilhelmina. Patuh pada Ratu Juliana. Ada personifikasinya.

Kalau saya, tidak. Setia dan patuh pada Undang-Undang Dasar. Tidak ada disebut patuh pada atasan. Bukan berarti kalau atasan korup kita harus patuh dan setia. Tidak bisa begitu. Atasan itu harus menjadikan contoh. Jadi, kalau saya dikatakan melanggar disiplin, itu tidak betul. Karena puncak kesetiaan adalah pada Undang-Undang Dasar.

Di waktu itu, Nasution tidak ada bicara apa-apa tentang itu, karena dia kan dinon-aktifkan. Pembicaraan itu kan baru-baru ini saja. Malah saya ketemu dengan Nasution sesudah dia non-aktif. Ada kelompok Tapanuli Selatan, kami disuruh damai. Saya ketemu dengan Nas. Itu di rumah Aminuddin Lubis. Waktu kami bertemu, kami saling mengisi. Tidak berdebat. Tapi mungkin dia tidak mau berdebat karena tidak berkuasa lagi . . he-he. Jadi, tidak tegang-tegangan. Waktu itu saya juga sama-sama non-aktif, karena BISAP dibubarkan juga. Jadi, mungkin karena sama-sama non-aktif, buat apa main keras-kerasan, ha-ha-ha.

☆ Peristiwa Cikini

Nah, karena muncul bermacam-macam pemberontakan daerah, timbul suatu maksud Perdamaian Nasional. Artinya, segala macam selisih akan dikuburkan. Dalam rangka Perdamaian Nasional itulah mereka itu ingin ketemu saya. Waktu itu, sudah ditentukan, Sudirman - ayah Basofi Sudirman - dan Mokoginta mau bertemu saya.

Saya tahu bakal ada Konperensi Nasional itu dari surat kabar, di mana Sukarno dan Hatta akan hadir dan teman-teman lainnya. Kemudian, ada yang datang memberitahukan pada saya. Saya diminta untuk bisa bertemu dengan Sudirman dan Mokoginta. Pertemuan itu akan dilangsungkan tepat pada hari kejadian Cikini itu, mestinya. Saya bersedia bertemu. Nah, itu maksud Konperensi Nasional itu, sava beritahukan pada teman-teman yan berhubungan pada saya, supaya jangan berbuat kekerasan. Sebab. pikiran saya berpegang pada ajaran Nabi Muhammad Kalau ada kehendak damai, kita harus terima. Jadi. segala bentuk kekerasan tidak diperbolehkan. Itu yang saya tekankan. Itu saya beritahukan melalui teman-teman saya termasuk Ibrahim Saleh, asisten saya yang juga ikut buron.

Maksud pertemuan itu untuk berbicara bagaimana pikiran-pikiran saya. Saya sudah siap. Nah, ketika esok harinya akan bertemu itu, tahu-tahu terjadi Peristiwa Cikini itu. Saya jadi kecewa sekali. Tidak betul kalau peristiwa Cikini gara-gara saya. Malah saya mencegah segala kekerasan. Ibrahim Saleh tahu itu. Malah pada orang berbuat pada Peristwa Cikini itu, juga saya beritahukan. Waktu kejadian itu, saya sedang berada di Cideng, di tempat Kolonel Prajitno. Sekarang dia sudah meninggal. Saya mengetahui peristiwa itu dari radio, malam hari di Cideng itu. Saya juga heran, siapa yang berbuat begitu.

Pada waktu itu saya katakan pada Ibrahim Saleh, "Ini .pasti kita kena tuduh," kata saya. Itu memang biasa. Sebab, saya masih buron. Sungguhpun itu berbeda sekali. Eh, tak lama kemudian, sekitar satu jam lebih, datanglah Ismail, anak Sumbawa yang dihukum mati karena Peristiwa Cikini itu. Bram - panggilan Ibrahim Saleh, orang Sunda, istrinya orang Minang - mau memukul Ismail. Dia mau memukul, karena kenapa melanggar perintah. Kan sudah ada penntah jangan berbuat kekerasan. Tapi saya cegah. Saya bilang, kalau terjadi, ya sudahlah. Kembalikan saja pada Tuhan.

Pada waktu Ismail pulang mengajar - Ismail ini guru dan juga pramuka - dia bercerita pada saya, "Pak, pada waktu saya pulang mengajar, saya lewat di depan Sekolah Cikini. Saya lihat mobil Bung Karno. Bung Karno di dalamnya. Timbul dalam perasaan saya, ini kesempatan baik untuk berbuat."

"Kan ada perintah saya supaya jangan berbuat kekerasan?" kata saya. "Betul, Pak. Saya ingat Bapak melarang jangan berbuat kekerasan. Tapi datang dorongan perasaan saya untuk berbuat," katanya. Ceritanya lagi, sesampainya di asramanya di Gang Ampiun dekat Pasar Cikini, di situ memang asrama anak Sumbawa yang umumnya Islam, dia bilang sama ketua mereka, Saleh Ibrahim. "Saleh Ibrahim melarang kami, Pak. Karena ada larangan dari Bapak Haji itu," kata Ismail. "Tapi kami yakin, itu kesempatan bagus untuk menghabiskan Bung Karno. Kemudian Saleh Ibrahim menganjurkan kami untuk sembahyang istikharah. Lalu kami sembahyang. Habis sembahyang itu, kami merasa lapang, Pak. Lalu kami ambil granat."

"Granat siapa?" Tanya saya lagi. "Bekas granat simpanan Pak Nasuhi dulu - Nasuhi bekas Wagub Ja-Bar. Kami terus ke Cikini, Pak. Waktu itu Bung Karno mau keluar. Lalu kami lempar dengan granat. Bung Karno kena, lalu jatuh," kata Ismail.

Tak lama kemudian, Saleh Ibrahim datang. Dia bercerita kembali. "Memang, Pak, mereka berkeras. Lalu saya suruh sembahyang. Saya bilang, tanyalah pada Tuhan. Sementara mereka sembahyang, saya bermaksud datang pada Bapak untuk memberitahukannya. Tapi sampai di depan UI Salemba, sepeda motor saya rusak. Tidak bisa diperbaiki. Karena itulah saya terlambat ke sini. Itulah, sudah terjadi. Sudah telat, Pak Haji," kata Saleh Ibrahim. Saya bertemu dengan Ismail kira-kira 1 jam setelah kejadian. Saya katakan pada Saleh Ibrahim, "Menyingkirlah. Sekarang kita kembalikan pada Tuhan." Dia pergi. Sejak itu saya tidak ketemu-ketemu lagi.

Jauh sebelum kejadian Cikini itu, saya sudah lama kenal dengan Ismail dan Saleh Ibrahim. Mereka itu masuk kelompok Islam. Saya kan dianggap seorang tokoh yang dekat dengan Islam. Karena saya lama di intelijen, saya kan banyak kenalan. Memang, saya kalau boleh dibilang, dianggap sebagai "ketua" penentang Sukarno. Oleh golongan anak-anak muda ini, saya dipercayai. Saya kenal dengan mereka sejak hampir mendekati pemilu 1955 itu. Nah, waktu sebagai Wa-KSAD itu, mereka berusaha bertemu dengan saya. Saya dianggap sebagai pemuka yang perlu didekati. Pada waktu peristiwa Bambang Utoyo itulah, oleh mereka saya dianggap sebagai tokoh yang bisa menghadapi Bung Karno.

Kelompok Ismail dan Saleh Ibrahim itu sebenarnya orang-orang haik. Tidak merupakan orang jahat. Waktu di depan pengadilan pun, mereka mengakui bahwa saya melarang untuk berbuat kekerasan. Kalau Sukendro mengatakan saya terlibat dengan Peristiwa Cikini itu, tidak benar. Saya memang kenal orang-orangnya. Tersangkut boleh saja. Tapi kalau saya dikatakan menyuruh mereka itu, itu sangat keliru sama sekali. Memang, waktu itu, lawan-lawan saya berusaha menuduh saya macam-macam. Waktu itu Sukendro masuk kelompok Nasution.

Saya kira, berkas peradilan Peristiwa Cikini itu bisa dilihat kembali. Bagaimana pengakuan mereka itu.

Ikut PRRI Sesudah peristiwa itu, saya yang masih buron, lalu ke Palembang, terus ke Padang. Saya ke sana untuk konsolidasi perjuangan, karena saya merasa satu ide. Tidak ada yang mengundang saya. Sasaran perjuangan saya sama, dalam arti ingin mengoreksi pemerintah pusat. Termasuk Nasution. Sama saya lihat. Maupun dengan Dewan Garuda atau Dewan Banteng. Selama gerakan mereka itu, mereka juga banyak berhubungan dengan saya. Baik yang di Sumatera Barat maupun yang di Permesta, Sulawesi.

Saya ke Palembang kira-kira sebulan setelah Peristiwa Cikini. Saya cuma berdua dengan Bram. Di Palembang saya bertemu dengan Nawawi, Dahlan Djambek. Pikiran saya bergabung dengan mereka itu, karena saya kecewa dengan teman-teman yang sealiran yang ingin mengoreksi pemerintah pusat. Teman-teman saya itu kebanyakan politisi. Di situ, saya lihat, kesetiakawanan perjuangan tipis.

Di Palembang ada diskusi mengenai kelanjutan perjuangan, juga menyampaikan informasi, juga mendengar informasi. Setelah itu, saya ke Padang. Di Sungai Dareh, Sumatera Barat, semua berkumpul, baik dari Dewan Banteng, Garuda, Husein, Vence Sumual. Pertemuan itu merupakan konsolidasi program perjuangan selanjutnya. Kedua, bagaimana menghadapi pemerintah pusat. Dalam menghadapi pemerintah pusat, di situ ada beberapa segmen dan segi yang perlu didudukkan. Satu, bagaimana usaha mempertemukan kembali Dwitunggal Sukamo-Hatta. Kedua, perlu ketegasan menghadapi angkatan perang. Dalam menghadapi itu, disepakati konsolidasi bantu-membantu agar kuat menghadapi pemerintah pusat. Segi politisnya, dibuat program perjuangan. Pertama, dibuat program jalan damai. Kalau jalan damai tidak ada, akan diciptakan pemerintahan tandingan. Umumnya, semua sependapat.

Pada pertemuan pertama di Sungai Dareh, politisi tidak ikut. Mereka ada di situ. Tapi di ruang pertemuan, cuma tentara. Kalau tak salah, pertemuan itu ada di sebuah sekolah. Setelah ada kesepakatan di kalangan militer, baru pertemuan dengan kaum politisi, antara lain Pak Natsir, Pak Prawiranegara, Pak Burhanuddin Harahap. Pak Sumitro Djojohadikusumo waktu itu belum ada. Waktu itu belum dibentuk PRRI. Masih dalam taraf mengajak kembali Sukarno-Hatta sebagai Dwitunggal. Kita mengirimkan delegasi ke Jakarta, tapi saya lupa namanya. Tapi tidak berhasil. Lalu diadakan pertemuan di Padang. Juga begitu. Dikirim lagi delegasi jalan damai. Tapi delegasi itu tak sempat jumpa. Tidak berhasil.

Kenapa saya ikut PRRI atau ikut dengan kelompok Zuchro, alasan saya begini. Memang benar saya ikut konstitusi. Tapi, di atas konstitusi itu, ada lagi kebenaran. Sebab, saya lihat yang lain itu tidak benar, maka itu saya tantang. Konstitusi itu benar. Tapi saya lihat sudah mereka itu sudah tidak benar lagi. Jadi, harus dirombak. Jangan didiamkan. Jalan lain tidak ada. Sungguhpun melawan konstitusi. Bagi saya, yang utama itu adalah keyakinan pada yang benar.

Setelah saya uji, keyakinan saya itu benar. Kalau didiamkan, bisa rusak negara ini. Sedangkan kalau menuruti konstitusi, kita bisa terbelenggu. Ketidak benaran Nasution dan kaum politisi waktu itu, yang saya lihat, pertama, dalam arti mengembangkan politik yang stabil, dalam arti dalam permainan politik maupun dalam menghadapi keamanan. Pada masa-masa itu, keuangan negara sudah begitu berat. Lalu kita hadapi DI dengan kekerasan. Mana mungkin. Bukankah akhirnya semua melalui jalan damai, to?

Dalam menghadapi DI, saya tidak setuju dengan jalan kekerasan. Harus dengan jalan damai. Dan saya yakin, itu bisa. Kenapa saya yakin? Karena mereka itu Islam. Kalau sudah jalan damai, berarti mesti bisa. Tidak mungkin tidak Bukankah ajaran Islam begitu. Baik itu menghadapi Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, dan Daud Beureuh. Harus jalan damai.

Sebab, saya anggap, timbulnya semua itu bukan karena semata-mata mau mendirikan negara dalam negara, pada hakikatnya. Tidak. Kemudian memang berkembang begitu. Pada awalnya tidak. Semuanya karena kecewa. Karto Suwiryo pernah kecewa dengan pemerintah pusat karena bersikap kompromostis. Daud Beureuh juga begitu, karena kecewa dianaktirikan, kasarnya. Kahar Muzakkar, apalagi. Karena tidak mau dianggap cuma gerombolan, jadi mesti ada bentuk suatu negara. Supaya ada hukum yang berlaku pada mereka.

Saya lihat, pemerintah pusat, dalam menghadapi itu, bukannva mendudukkan masalah pada yang baik, tapi malah untuk mendominasi. Makanya, saya lihat, tindakan itu lebih banyak subyektivitasnya. Baik dari segi PNI-nya maupun dari segi Nasution-nya. Kenapa Nasution berbuat begitu pada mulanya, saya kira dia merasa belum yakin dengan kekuatannya, baik terhadap kaum politik maupun terhadap angkatan darat. Mungkin, sesudah itu, dia merasa telah mantap, baru dia mengambil suatu jalan yang pada mulanya sebenarnya dia setuju dengan jalan damai. Makanya, dia setuju jalan damai dengan Daud Beureueh, karena dia merasa sudah stabil kekuatannya.

Di PRRI itu, saya sebagai koordinator militer. Lebih banyak di bidang koordinasi dan informasi, sebetulnya. Tidak merupakan command. Saya banyak bergerak di Kabupaten Sijunjung, dekat perbatasan Jambi.

Kegagalan PRRI/Permesta itu, kalau saya lihat karena beberapa faktor. Faktor pertama, kalau saya ambil dari segi metafisisnya, memang tidak clean. Pejuang-pejuang di daerah itu juga tidak bersih. Masih ada akunya. Ada rasa ingin dapat kuasa, ingin dapat harta. Tidak clean leadership. Belum. Kedua keberanian itu tidak kelihatan. Hanya beberapa kelompok kecil yang berani. Banyak yang lari kalau ketemu musuh. Ketiga, karena kami itu pencar-pencar. Jauh-jauh. Di samping itu, segi materiil juga sangat terbatas.

Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa kami yang membuka jalan perang saudara, itu tidak betul. Kami sadari bahwa kami lemah. Maka, ditempuh jalan damai. Kita kirim beberapa delegasi. Tapi karena dibom, itu tak ada jalan lagi. Ya, hadapilah apa yang bisa dihadapi. Memang, dalam perjuangan, siapa saja yang kita anggap teman, ya, dijadikan teman. Kebetulan, Amerika paling dekat, karena sama-sama antikomunis. Kita lihat, saat itu perkembangan komunis mulai pesat di mana-mana. Karena itu, kami berusaha dekat mereka itu. Saya sendiri secara pribadi tidak punya hubungan dengan Amerika.

Yang berhubungan, teman-teman dari Dewan Banteng dan Permesta. Saya bermarkas di Kewalian Nagari Sungai Limau, di sebelah barat Sungai Dareh. Anak buah saya yang aktif ikut saya cuma 3-4 orang. Memang kami latih 2 regu. Senjata cuma 2-3 buah.

Yang banyak berhubungan dengan pihak luar negeri seperti Amerika itu memang tidak langsung Sumitro, tapi ada memakai jalur dia. Juga jalur Mister Rasyid, dan jalur Simbolon. Pak Sjafruddin juga punya channel, tapi yang bertanggung jawab dalam itu, ya Simbolon, sebagai Menteri Luar Negeri. Pak Sjaf sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Saya tidak masuk dalam kabinet itu.

***

Setelah diumumkan amnesti dan abolisi di radio, saya tidak membantahnya. Saya menerima apa adanya. Saya termasuk yang terakhir turun. Saya bebas setelah Orde Baru. Lalu saya tinggal di Bogor, hingga sekarang ini. Waktu mula-mula bebas itu, saya berusaha jumpa dengan Bung Karno. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan padanya. Karena dia satu-satunya yang tahu segala macam personalia kita. Saya yakin, Bung Karno akan mau bercerita pada saya. Karena saya dulu dekat dengan dia. Saya minta izin pada Pangkopkamtib Sumitro dan KaBakin Suprijono. Tapi tidak dikasih.

Setelah bebas, saya bermaksud menciptakan kerja intelijen di luar pemerintah. Karena itulah pengalaman saya. Saya jumpa dengan Sutopo Yuwono, Ali Murtopo. Kelihatannya ide saya diterima. Maksud saya membuat suatu elemen yang komplementer pada badan intelijen resmi. Dalam rangka itu, saya minta kesempatan keliling dunia untuk mengunjungi negara-negara komunis dan nonkomunis serta yang antikomunis. Seluruhnya, ada setahun saya keliling. Hampir semua negara saya kunjungi. Kesimpulan saya, di situ saya lihat, dunia di masa yang akan datang ini tidak semata-mata ideologis, dasarnya. Sudah banyak aspek teknologis. Menuntut perubahan. Kata Bung Karno, Panta Re.

Waktu saya keliling dunia itulah, saya kenal Mr. Leet, Cina muslim. Dia menawarkan usaha pasir untuk bangunan di Singapura. Maka, berdiri PT Riau Timas ini. Lokasi proyeknya di Riau, karena dekat Singapura. Dari segi keamanan, tempat itu baik sebagai tempat foolhold, karena pintu gerbang masuknya komunis. Sekiranya komunis masuk, bisa diketahui. Di samping aspek ekonomisnya, juga ada aspek sekuriti politisnya, perusahaan ini berada di sana. Peralatan disediakan oleh pihak Singapura, yang dipotong dengan produksi, sampai akhirnya peralatan jadi milik sendiri. Jadi, boleh dikatakan, dari nol kapital, karena dibantu teman-teman saja, sekarang aset perusahaan ini sudah mencapai lebih dari Rp 1 milyar.

☆ Tak Mampu Lagi

Istri saya adalah adik kandung Sultan Kanoman, Cirebon. Ceritanya, waktu itu semangat antifeodal. Jadi, para pemuda kita mau menghantam semua. Termasuk di Solo dan Cirebon. Saya ikut membela. Di Solo juga begitu. Barisan Banteng di Solo mau mengambil tindakan terhadap Keraton Solo. Saya cegah. Itu pun saya dicurigai.

Sampai saya dipanggil Ketua Komisariat 111 di Solo. Waktu itu pemerintahan di Solo bukan gubernur, tapi komisariat. Ketuanya Pak Suroso, kakak mertua Nasution.

Saya tidak setuju dengan tindakan Barisan Banteng itu. Memang kita anti feodal, tapi jangan mengambil tindakan semau-mau kita. Jangan anarki. Akhirnya, Pak Suroso mengadu pada Bung Karno. Saya lalu dipanggil Bung Karno. Sukarno tanya pada saya, "Bis, apa betul mencegah gerakan antifeodal itu?"

"Betul, Pak. Saya mencegah bukan berarti saya pro feodal. Tapi jangan anarki. Kita arus menurut hukum."

"Itu betul, Bis. Suroso, kamu salah," kata Bung Karno.

Pada suatu hari saya ditawari oleh Sultan Kanoman. Bukan saya cari perempuan . . . he-he. "Bapak apa sudah beristri atau belum?" Belum, kata saya. Saya lalu ditawari adik beliau. Tapi saya bilang, saya belum berminat berumah tangga. Beberapa bulan kemudian, saya ditawari lagi. Lalu saya lapor pada Bung Karno. "Bagaimana, Bung Karno. Apakah saya boleh berumah tangga?" Bung Karno bilang, boleh saja.

Pernikahan saya di Linggarjati, pada saat pertemuan Linggarjati ada. Persis pada waktu yang sama. Masih sempat saya lihat Bung Amir berenang di kolam renang di Linggarjati. Di sana keluarga saya juga ikut berenang. Jadi, saya dapat istri bukan cari-cari, tapi ditawari. Istri saya namanya Ratu Zainab. Beda usia kami 2-3 tahun.

Waktu PRRI, istri saya ikut. Katanya, dia tidak mau ditinggal. Dia kuat jalan. Saya berjalan kaki dari Sungai Dareh masuk hutan, terus keluar Sungai Abesia. Itu hutan. Orang rumah saya, kakinya sudah bengkak-bengkak. Sesampainya di Bidara Alam, sebelum Tanjung Gadang, saya ditemui Wali Nagari Bidara Alam. Dia memberikan dua tongkat untuk dipilih. Saya di sana dikenal sebagai Pak Haji. Ada cerita yang mengatakan saya bisa menghilang dan sebagainya. Jadi, banyak orang mau kenal, termasuk Wali Nagari ini.

Anak saya sembilan yang masih hidup. Lima pria, empat wanita. Dari lima pria itu, empat orang sarjana teknik. Yang perempuan, keempatnya sudah berumah tangga. Paling kecil, anak perempuan, masih kuliah di Kedokteran Yarsi. Menantu saya, baik laki-laki atau perempuan, semua suku Jawa dan Sunda. Anak saya semuanya saya larang jadi militer. Cukup saya saja. Mudah-mudahan, anak saya sekarang bisa berdiri sendiri. Bukan karena saya bantu. Tidak ada model relasi. Mereka harus bisa berdiri sendiri.

Sehari hari sekarang saya banyak membaca. Karena itu, saya juga banyak kecewa, karena tidak clean. Kurang demokratis. Menurut saya, pemilu itu jangan lagi pakai tanda gambar lagi. Itu sudah kolot. Kita sudah maju. Kenapa India itu bisa berdasarkan orang? Memang ada yang khawatir, kalau orang yang dipilih, nanti kiai-kiai yang dipilih. Kiai itu kan juga bersekolah. Kiai itu juga intelektual. Dia itu pemimpin rakyat. Tapi apa salahnya?

Kegiatan saya sehari-hari, setiap pagi saya bangun jam tiga atau jam setengah empat paling lambat. Saya sembahyang tahajud. Terus, tak berhenti, lalu berzikir hingga sembahyang subuh. Setelah itu saya gerak badan. Saya melakukan gerak pernapasan, tapi dengan zikir. Bukan dengan cara waitangkung-waitangkung itu. Lalu saya menggerakkan kepala, tangan, terus kaki. Selesai itu, saya mandi, lalu ke kantor.

Biasanya, pagi saya keliling ke departemen-departemen. Kita kan pengusaha. Jadi, harus dekat dengan pejabat. Apalagi sekarang ini kan pejabat kita public service-nya kurang. Mesti dihormati. Bukan seperti di Malaysia. Kalau di sana memang "budak rakyat". Pejabat kita kan belum menjadi public servant. Belum. Masih jauh itu.

Jadi, kalau saya disuruh tunggu, ya tunggu. Memang ada sesama teman-teman saya bekas tentara tidak tahan begitu. Ya, memang harus datang pada pejabat yang lebih muda usianya, yang tidak tahu soal perjuangan malah, eh, tahu-tahu harus dihormati. Memang kadang-kadang menyakitkan. Tapi kegiatan itu saya ikuti.

Saya pulang ke rumah mendekati magrib. Membaca surat kabar. Kalau dulu, paling cepat pukul 12 malam saya tidur. Sekarang ini, pukul setengah sepuluh sudah tidur. Kalau bangun pagi itu, memang dari ajaran orangtua saya. Katanya, "Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya." Sungguhpun dulu ketika saya masih punya jabatan, saya harus tidur pukul 2-3 malam karena banyak kerja, pukul 5 pagi saya sudah bangun.

Biasanya, hari Minggu saya kumpul dengan cucu di rumah saya di Bogor. Saya memang suka anak-anak. Bawa jalan-jalan. Kalau ada duit, bawa jalan-jalan cucu, terkadang ke Puncak, terkadang ke laut. Berkumpul dengan keluarga, memang pada hari Minggu. Hari lain tidak sempat.

Filsafat hidup saya cuma dua. Pertama, berpegang teguh pada kebenaran, dan amalkan kebenaran itu. Kedua, berbuat sebanyak mungkin pada orang lain. Dari apa yang kita cita-citakan dulu waktu berjuang, sekarang masih jauh sekali dari yang diharapkan. Yang benar itu masih jauh. Yang saya lihat, makin di atas dia, makin jauh dia dari kebenaran. Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak. Tapi saya tidak mampu berontak. Sekarang ini, orang-orang semakin egoistis.


Sumber :
Majalah Tempo Edisi 29 Juli 1989

Baik buruk itu suatu pilihan, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

1 komentar:

  1. Semoga beliau mendapat kasih sayang yang abadi dari Allah SWT.. saya pernah mengenal beliau pada tahun 1989... sangat membekas kasih sayangnya dan menjadi inspirasi hidup saya dalam menyikapi dan mencintai Republik ini.. ( asli erlangga )

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...