Sebuah
truk militer datang dari kejauhan. Truk itu datang dari markas Arhanud
Rudal. Banyak tentara di dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda
merekam kedatangan truk itu.
Pandangan
mata massa semuanya sudah terkonsentrasi ke arah truk yang datang itu.
Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada
truk datang, ada truk datang."
Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di tengah massa.
Tiba-tiba
... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras.
Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar
bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang menyambar. Semua
terkejut. Orang-orang yang tadi berdiri menyemut di jalan, secara reflek
tiarap. Tapi dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan. Mereka
lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara yang mulai melepaskan
peluru-peluru tajam dari moncong senjata mereka.
Tembakan
ini datang dari tentara Arhanud Rudal yang berdiri di kejauhan. Mereka
yang pertama kali melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas
dengan maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara berteriak, "Bubar
kalian! Bubar!"
Tapi
beberapa tentara mendadak seperti kesetanan mengejar orang-orang yang
berlarian. Menembaknya dengan serabutan. Sementara, tentara-tentara dari
Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa dengan cepat menyebar,
menyusup ke parit-parit. Mereka juga turut melepaskan tembakan. Mereka
menembaki pohon kelapa yang tumbuh di sekitar lokasi, hingga daun dan
buahnya berjatuhan.
Kepanikan
muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, lari
berhamburan menghindari peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari
arah mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari tentara-tentara
itu yang mendadak brutal menembaki mereka.
Mereka
ada yang berteriak ketakutan minta tolong. Perempuan dan anak-anak
menjerit. Tapi kebanyakan tak mampu lagi bersuara. Suara rentetan
senjata yang memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik. Banyak
yang tiarap di jalanan. Yang lainnya bersembunyi di balik dinding
warung. Ada juga yang memperosokkan diri ke parit.
"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki berteriak dengan keras.
"Allah
Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru. Korban mulai
berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan orang rubuh di jalur kanan jalan.
Yang lain, satu per satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan
tentara.
Massa
menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas sepeda motor jatuh
terjengkang. Si empunya sepeda motor tanpa memberi aba-aba kepada Fipin,
membawa lari sepeda motornya secepat kilat.
Fipin
jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan dengan Imam yang tiarap.
Dekat mereka ada beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin
makin lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh orang yang
rebah tak jauh darinya.
Fipin
mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya ke tentara-tentara
dekatnya yang sedang menembaki pohon-pohon kelapa, hingga buahnya
berjatuhan dan daunnya rontok. Di kejauhan beberapa tentara lainnya
sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah massa yang berlarian.
Dia sudah tidak bisa berpikir apapun. Dia hanya merasa kameranya akan
merekam semua adegan itu.
Imam
sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan tubuhnya ke atas aspal.
Dia berada di belakang Fipin. Kaset di tangan Imam terjatuh,
tersepak-sepak oleh massa yang berlarian panik, melompati badan Imam
yang jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.
Hampir
10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan kabel mikrofon ke
kamera yang dipegang Fipin. Imam ingin merekam dan membuat laporan
langsung di tengah ributnya suara letusan senjata.
"Mas,
kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada Fipin. Imam melihat
lampu kecil berwarna merah di kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu
itu berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.
Fipin
tersadar. Dengan cepat dia menghidupkan tombol record kamera. Kamera
itu tanpa diketahui mati ketika Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama
10 menit pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam apa-apa.
Tentara-tentara
itu masih melepaskan tembakan, ketika seorang anak kecil, merayap dekat
Imam. Ada seorang perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu
bibinya. Anak itu kebingungan mencari perlindungan.
"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.
"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.
Imam
menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh dari situ. Paling
tidak anak itu bisa berlindung di balik dinding. Dengan cepat anak
laki-laki itu, bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping
warung.
Imam
kembali melihat ke arah tentara-tentara itu. Jaraknya kini hanya lima
meter dari tempat Imam dan Fipin rebah. Perasaannya campur aduk saat
melihat tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan muntahan
peluru ke arah orang-orang yang sebagian masih berusaha lari dari tempat
itu. Imam terpaku dan belum berpikir apa pun tentang peristiwa itu.
Semua serba cepat.
Ketika
dia melihat ada tumpukan orang rebah di seberang jalan. "Ah,
orang-orang itu cuma bersandiwara saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah
pernah mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan aparat
dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat darah dalam
peristiwa-peristiwa seperti itu.
Saat
tembakan agak mereda, Imam tergerak mendekat ke tumpukan manusia itu.
Sambil berjongkok dia dan Fipin jalan ke sana. Fipin merekam semua
gambar dengan baik. Sebagian tentara masih terus melepaskan tembakan.
Tapi ada juga satu dua tentara yang masih berbaik hati, berusaha
mengamankan beberapa wanita yang menggendong anak mereka yang sedang
bersembunyi di balik sebuah gerobak. Mereka disuruh pergi cepat-cepat
dari situ.
Imam
melihat seorang pemuda merangkak di depannya. Imam ingat, itu pemuda
yang tadi dielu-elukan massa. Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan
bagai tak bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia terluka,
celana putihnya penuh darah. Pemuda itu bersandar lemas di dinding
warung yang dengan susah payah dicapainya.
Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"
Pemuda
itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang wanita berjilbab kuning
di dekatnya, memperhatikannya dengan rasa khawatir.
Cairan
warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan itu keluar dari sela
kaki pemuda itu. Imam mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak
amis," pikirnya.
Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam dalam hati.
Imam
bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari tadi mengusiknya.
Tadi ada sekitar 10 orang rebah di situ. Tapi dengan cepat sebagian
bangun dan lari saat Imam dan Fipin mendekat.
Dari
jauh, Imam seperti melihat sebuah boneka tergeletak di antara tumpukan
orang itu. Imam mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai
disambar petir. Itu seorang anak kecil yang bagian atas kuping kirinya
sudah bolong setengah. Air otaknya terlihat jelas. Imam shock.
"Tidak
benar ini. Masya Allah. Ini gila," Imam berteriak dalam hati. Perasaan
marah, benci tak percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak
boleh terjadi, tak masuk akal."
Itu
bukan boneka. Itu anak kecil yang telah tak bernyawa. Peluru tentara
telah menghancurkan kepala kirinya. Imam tak tahan dan menangis melihat
itu.
Fipin
sendiri tak tega ketika mengarahkan kameranya ke arah anak kecil yang
kepalanya telah bolong itu. Saking tak tahan melihat kesadisan itu,
Fipin menutup matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu dari
dekat.
Fipin
menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan baik. Dia merekam semua
yang dilihatnya. Dia terus berada bersama Imam. Dia merekam seorang
pemuda yang sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil malaikat
pencabut nyawa.
Umar
dengan panik berlari ke depan sebuah toko penjual makanan ternak,
ketika bunyi letusan senjata terdengar. Di depan toko yang ditutup
pemiliknya itu, ada tumpukan karung berisi dedak makanan bebek. Umar
bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia seorang di situ,
karena ada beberapa orang lain yang berebutan tempat bersamanya. Umar
terjepit di antara orang-orang yang takut itu.
Umar
juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau kencing dalam celana.
Tapi dia berpikir cepat untuk segera memotret peristiwa itu. Umar
menjepret apa pun yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga
tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin dan Imam ada di
sana juga. Tapi jepretan Umar banyak yang meleset tak tentu arah, ke
langit dan ke atas pohon.
Trat
.... trat .... trat .... berondongan senjata terus terdengar. Umar
memotret tanpa berpikir banyak apakah dia mendapat angle yang bagus atau
tidak. Umar sangat terkejut ketika kameranya secara tak sengaja
membidik seorang anak kecil di seberang jalan yang terjatuh. Kamera Umar
mengabadikannya, tepat saat peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya
berhamburan. Umar terkejut luar biasa, hingga kameranya terjatuh dari
pegangannya. Umar merasa kasihan terhadap anak itu.
Ali
Raban dalam posisi merekam gambar di sudut kanan Simpang Kraft, ketika
tiba-tiba meletus suara senjata. Di depannya, massa secara reflek
tiarap. Ali melihat tentara di depan warung, tak jauh darinya mulai
berpencar. Massa kemudian dengan cepat bangun dan berlarian tak tentu
arah.
Raban
tidak lari. Dia berdiri dengan tegap dan merekam orang-orang yang
berlarian itu. Mereka panik dan berusaha mencari tempat perlindungan
terdekat.
Tiba-tiba
ada yang mendorongnya dari belakang. Ali terjatuh. Tapi dia masih mampu
mempertahankan kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku
tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan anak-anak mulai
berjatuhan. Mereka kena tembak. Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.
Beberapa
menit berlalu. Tentara-tentara masih menembak. Sambil jongkok Ali lari
ke tengah pertigaan jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia
merasa pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer yang berderet
di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah kempes, kena peluru nyasar.
Dinding warung penuh lubang.
Azhari
kebingungan ketika mendengar suara letusan senjata. Dia berusaha
melihat lebih jelas ke arah tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah
berlarian. Seruan "Allah Akbar," muncul dari antara orang-orang itu.
Azhari
kaget. Dia melihat ke arah tentara yang ada sekian puluh meter darinya.
Tentara itu menembaki orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau.
Tadinya Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa takutnya timbul ketika
melihat di antara orang-orang yang berlarian, seorang pria jatuh
tersungkur. Azhari melihat darah membasahi belakang bajunya.
Dia
pun dengan cepat lari, mengikuti orang-orang yang lari menyelamatkan
diri ke arah Krueng Geukeuh. Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang
kecil, dia pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.
Azhari
merasa tentara itu bagai mengejar dirinya karena rentetan tembakan
masih terus terdengar. Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung
kaa ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah ditembaki, sudah
lari semua)."
Azhari
berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke kebun, dan menerobos
pagar berduri rumah penduduk tanpa sadar. Ada ratusan orang lain
berlarian seperti dirinya. Azhari menemukan sebuah riol tak berair. Lalu
bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat Azhari bersembunyi.
Mereka ikut menyusup dekat Azhari. Suara tembakan masih terdengar.
Orang-orang melompati riol yang disusupi Azhari. Mereka berlarian susul
menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas, Azhari keluar
dari riol itu dan kembali lari.
Sudah
lebih dari setengah jam ketika tembakan mulai mereda. Fipin mengeluh ke
Imam. Dia mulai limbung karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka
mencari minum ke sebuah warung.
Keempat
wartawan itu kembali berkumpul. Mereka tak banyak berbicara. Mereka
masih tegang karena masih ada tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak
bisa menyembunyikan kesedihan mereka. Mata mereka berair. Menangis.
Di
tempat itu tidak ada lagi massa. Lengang sekali. Yang tersisa di situ
hanya para korban yang terkapar dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil,
sandal, kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh
pemiliknya yang tadi panik berlarian. Mungkin mereka sudah tewas dan
mungkin ada yang selamat. Jerit kesakitan dari orang-orang yang kena
tembak mulai terdengar sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak jelas
dari mana saja.
Tentara-tentara
datang mendekat. Mereka melakukan penyisiran, hingga ke persimpangan.
Ada yang naik truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu
berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau berbuat apa,
karena masih ada tentara yang kalap dekat mereka.
Mendadak
dua tentara bertopi rimba datang mendekati wartawan dengan berlari.
Wajah kedua tentara itu sangat marah. Entah disengaja atau tidak,
moncong senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu. Mereka
memaki-maki keempat wartawan yang terdiam itu. Umar, Raban, dan Imam
berdiri, sedang Fipin berjongkok, melindungi kameranya seperti dia
melindungi bayinya.
Tentara
itu berteriak dengan marah kepada wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang
kalian inginkan?" Ia mencecar mereka dengan marah.
Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting. Memangnya kita cover boy?"
Imam
berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin tentara yang marah itu
terekam dalam kamera. Tapi Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan
ketahuan kalau dia merekam sebab lampu merah akan berkedip-kedip. Ali
juga sudah mengingatkan agar dia menutup kameranya.
Dua
tentara itu masih marah-marah, saat komandannya, seorang perwira
berpangkat letnan datang mendekati. Dia berusaha mendinginkan kedua anak
buahnya. "Sudah. Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya
itu kembali ke pasukan mereka.
"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi kembali ke pasukannya.
Imam
merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak segera menyimpan
kaset video yang masih tersimpan di kamera. Imam merasa ajaib bahwa
tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka.
Sepeninggal
tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari ke arah bale-bale. Di sana
ada seorang ibu mengerang. Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang
anak laki berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak itu
mengaduh kesakitan.
"Tulong Pak," anak itu mengerang.
Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."
Umar
juga sedang panik menelepon istrinya di rumah lewat telepon seluler.
Umar menyuruh istrinya menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia.
Di Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha menelepon Umar karena
mendengar ada keributan di Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat
menyebar ke Lhokseumawe.
Evakuasi
korban pertama terjadi pukul 13.05. Yang datang pertama kali adalah
sebuah labi-labi yang datang dari arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu
datang dengan kecepatan tinggi, menikung dan berhenti. Semula
orang-orang mau mengangkat mayat, tapi Imam mencegahnya.
"Selamatkan
dulu yang masih hidup," katanya. Imam memimpin evakuasi itu dengan
cepat. Syukur orang-orang di situ menuruti perintahnya.
Selain
beberapa labi-labi dari Krueng Geukeuh, beberapa mobil milik orang
dekat lokasi juga dikerahkan untuk mengangkat korban. Orang sudah mulai
ramai datang ke Simpang Kraft. Korban satu per satu dievakuasi. Para
korban diangkat dari jalan, parit, sawah, kebun, halaman dan dalam rumah
penduduk. Mereka kritis. Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.
Orang-orang
mengerubungi mayat anak kecil yang tertembak kepalanya. Tangannya sudah
dilipat ke dada, seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di
situ hanya mampu berseru, "Laillahaillah."
Raban
masih merekam gambar korban-korban yang tergeletak di jalan, dan di
parit-parit. Saat itu dia melihat seorang anak kecil di tengah jalan,
merangkak karena kakinya tertembak. Ali mengambil gambarnya. Tapi dia
tak tahan membiarkan anak itu terus merangkak sementara dia merekam
adegan itu. Ali mengambilnya dan membopong anak itu ke mobil bak terbuka
yang dipakai untuk mengevakuasi korban.
Tak
lama datang ambulans. Sirenenya mengaung-aung serasa menyayat hati
orang-orang yang ada di lokasi penembakan. Di kejauhan puluhan tentara
bergerak perlahan pulang ke markas Arhanud Rudal.
Imam
dan Umar turut mengangkat korban. Imam mengangkat korban ke dalam
ambulans. Umar memotretnya. Foto itu kemudian yang jadi headline di
media massa Indonesia.
Di
antara orang-orang yang datang menolong, Imam melihat seorang pria yang
seperti sok jagoan. Belum lagi mengangkat korban, pria itu membuka
bajunya dan melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda, sibuk
mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di jalan. Mereka datang ke
Imam dan Fipin, untuk memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli
lagi. Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan dirinya
sendiri.
Di
tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung, Imam berbicara di
depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya korban di simpang Kraft ini barang kali
bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih
dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan Umar HN melaporkan dari
Lhokseumawe."