PONDOK kecil di tepi Pantai Nama, barat Pulau Kisar, Maluku, siang itu sunyi. Kicau camar yang melayang di kejauhan pun terdengar jelas. Dua laki-laki bercelana pendek mengecek perahu karet yang penuh tambalan di tepi pantai.
Selesai dengan tugas rutin, suatu siang di akhir Juni lalu, dua anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu duduk santai di pos. Berdua mereka menjadi penghuni pos berukuran 8 meter x 6 meter.
Tak ada nuansa sangar dari sebuah markas prajurit yang menjaga garda terdepan Nusantara. Padahal, pos yang terletak di Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya, itu hanya berjarak 12 mil laut atau 22 kilometer dari Timor Leste.
”Kalau bosan, ya, main catur atau video game berulang-ulang. Kalau masih bosan, ya, melamun saja,” ujar Zakaria (21), salah satu penjaga pos berpangkat kelasi dua telegrafis. Ia baru bergabung di pos itu selama empat bulan terakhir menemani sang komandan yang sebelumnya bertugas sendirian.
Seperti hari-hari sebelumnya, siang itu, kedua prajurit yang menginduk pada Pangkalan Utama TNI AL VII Kupang itu lebih banyak diam di pos. Mereka tak leluasa berpatroli karena keterbatasan sarana pendukung. Mereka hanya memiliki satu perahu karet dengan mesin tempel berkekuatan 40 PK.
Bahan bakar pun dijatah. Setiap tiga bulan, pos kebagian 60 liter bensin, 200 liter solar, dan 60 liter oli. Jumlah itu harus dibagi untuk motor operasional dan generator sumber listrik pos.
Sekali patroli keliling Kisar butuh 40 liter solar. Kalau seminggu sekali patroli, jatah solar sudah habis sebulan.
”Kami ini garda terdepan sekaligus umpan,” kata Letnan Dua Laut (Teknik) Cahya Dharmawan, Komandan Pos TNI AL Pulau Kisar, getir. Bukan mengeluh, tetapi keterbatasan itu membuat mereka tak bisa bekerja profesional.
Kemampuan SAR mereka pun tak termanfaatkan. Akibatnya, saat ada kecelakaan laut yang menimpa perahu nelayan, mereka tidak bisa banyak membantu.
”Jelas sedih tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjangkau lokasi kecelakaan. Paling kami hanya berkoordinasi dengan nelayan lain atau petugas Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Kementerian Perhubungan yang alatnya lebih lengkap,” tambah Cahya, yang bertugas di Kisar sejak November 2012.
Ironisnya, ada beberapa kapal cepat (speedboat) milik pemerintah kabupaten setempat terbengkalai tak terpakai di dekat pos tersebut. Namun, sekadar meminjam kapal itu untuk patroli pun tidak diizinkan.
Keterbatasan personel dan sarana membuat TNI AL dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pemerintah setempat, apalagi oleh pihak asing. Posisi Kisar yang berbatasan dengan Timor Leste dan dekat Australia membuatnya sangat rawan. Perairan selatan Kisar sering menjadi lokasi transaksi jual beli minyak ilegal di atas tanker yang biasa disebut dengan istilah ”kapal kencing”.
”Pergi ke sana dengan perahu karet hanya membahayakan nyawa sendiri,” ujar Cahya, yang pernah bertugas di KRI Nanggala 402.
Sebagai satu dari 92 pulau terluar Indonesia, Kisar sangat rawan gangguan kedaulatan. Ancaman itu diperparah dengan ketertinggalan pembangunan di Kisar. Alih-alih dijaga dan dihias rapi, beranda depan Nusantara itu justru diabaikan dan ditinggalkan.
● Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.