Bahas Program Kerja Rapat Komisi I DPR dengan Panglima TNI dan Menhan [Elza Astari Retaduari/detikcom]
Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR. Rapat kerja kali ini membahas anggaran dan rencana program kerja 2017.
Menurut Dirjen Renhan Kemhan Marsda M Syaugi, rapat kerja ini juga membahas evaluasi anggaran 2016. Selain Syaugi, Sekjen Kemhan Laksdya Widodo turut hadir dalam rapat ini.
"Evaluasi anggaran 2016 dan perencanaan untuk program 2017," ungkap Syaugi sebelum rapat dimulai di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).
Rapat tersebut dibuka oleh Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin. Sebelum rapat, politikus PDIP ini mengingatkan pagu anggaran Kementerian Pertahanan pada 2016 sebesar Rp 102 triliun dan untuk 2017 sebesar Rp 108 triliun.
"Agenda rapat evaluasi Kemhan RI tahun 2016 dan laporan kerja untuk tahun 2017. Lalu realisasi anggaran tahun 2016 dan juga tindak lanjut untuk laporan BPK jika ada," terang TB.
Pada awal pemaparannya, Menhan Ryamizard Ryacudu menjelaskan soal anggaran di Kemhan. Kemudian juga sejumlah rencana program kerja dan isu-isu terkini, termasuk mengenai keamanan Laut China Selatan.
"Antisipatif pengamanan Laut China Selatan dilakukan secara nonfisik dan fisik. Pembangunan postur di Natuna dan Morotai," ujar Ryamizard.
Jajaran TNI yang hadir dalam rapat kerja ini cukup lengkap. Di antaranya KSAD Jenderal Mulyono, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto. (elz/imk)
Panglima TNI Mengaku Tak Tahu soal Pembelian AW 101
AW 101 ketika masih menggunakan logo TNI AU
Rencana pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI AU menjadi kontroversi. Setelah menyatakan membatalkan kontrak pembelian itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tidak pernah mengetahui adanya rencana pengadaan heli itu.
Hal tersebut disampaikan Gatot dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017). Anggota Komisi I menanyakan soal realisasi Minimum Essential Force (MEF).
Dirjen Renhan Kemhan Marsda M Syaugi dalam rapat kerja itu menjelaskan Kementerian Pertahanan terus berupaya merealisasi hal tersebut. Hanya saja, masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi hambatan.
"Seperti pengadaan kapal selam dan pesawat pengganti F-5, PSP (penetapan sumber pembiayaan) belum ada dari Bappenas. Kami bisa dikatakan curi start, seperti soal ToT (transfer of technology)," ujar Syaugi.
"Jadi bisa dikatakan Kemhan yang lebih proaktif?" tanya Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menanggapi.
Sementara itu, menanggapi hal ini, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan tidak mengetahui soal pembelanjaan alutsista dari masing-masing matra. Ini setelah ada aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan pada 2015.
"Untuk diketahui, saya sebagai Panglima sama dengan Detasemen Markas Mabes. Saya tidak kendalikan AD, AL, AU. Mengapa? Pada UU 25/2004 mengatakan alur perencanaan visioner menggunakan mekanisme bottom up, top, down secara terpadu. Semua keputusan pertahanan sudah benar ketat sistematis," papar Gatot.
"Tapi, begitu muncul Peraturan Menhan No 28 Tahun 2015, kewenangan saya tidak ada. Harusnya ini ada. Sekarang tidak ada. Kewajiban TNI membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek," lanjutnya.
Gatot menyebut hanya bisa menjelaskan soal belanja barang di TNI untuk postur yang ada di Mabes saja. Total belanja barang di Mabes TNI sebesar Rp 4,8 triliun. Untuk tiga matra, kini Panglima TNI tidak mengetahuinya.
"Yang dilakukan Mabes hanya untuk kekuatan integratif operasional, baik patroli laut, udara, perbatasan Rp 2,3 T. Modernisasi alutsista Rp 1,3 T. Profesionalisme prajurit Rp 500 M. Rp 4,3 T untuk pegawai, Rp 1,9 T barang kantor 36 satuan kerja," jelas Gatot.
Dengan demikian, Panglima TNI mengaku kesulitan bertanggung jawab soal pengadaan alutsista di matra AD, AL, AU. Padahal itu tentu saja sangat berkaitan dengan proses MEF TNI.
"Padahal di Pasal 3 UU TNI, TNI di bawah koordinasi Kemenhan, tapi bukan unit operasionalnya. Karena Pasal 4, TNI terdiri atas AU, AD, AL di bawah Kemenhan. Saya buka ini seharusnya sejak 2015," sebut jenderal bintang empat ini.
Gatot mengaku terpaksa mengungkap permasalahan itu mengingat Maret 2018 nanti dia paling lambat diganti sebagai persiapan memasuki masa pensiun. Dia mengaku, jika ini terus terjadi, kewenangan Panglima TNI menjadi tidak ada.
"Saya tidak atur anggaran AU, AD, AL. Angkatan langsung tanggung jawab ke Kemenhan, tidak melalui Panglima. Ini pelanggaran hierarki karena kami tidak membawahi angkatan. Jadi kita bicara di sini anggaran belum tentu kita bisa cairkan," kata Gatot.
Mantan KSAD ini juga menegaskan tahun ini TNI telah melakukan bersih-bersih internal terkait kasus korupsi. Bahkan TNI bekerja sama dengan KPK untuk melakukan pembersihan tersebut. Namun Gatot menyatakan Panglima TNI akan kesulitan melakukan pengawasan jika tidak bisa memantau proses anggaran di masing-masing angkatan.
"Mungkin ini tidak mengenakkan, tapi saya harus mempersiapkan adik-adik saya yang akan jadi Panglima TNI supaya bisa mengawasi anggaran juga," tuturnya.
Gatot lantas menyinggung soal rencana pembelian helikopter AW-101 yang tiba-tiba mencuat tanpa ada pemberitahuan kepada pihaknya. Meski akhirnya pengadaan pesawat itu kontraknya dibatalkan, menurutnya, itu menjadi salah satu dampak dari kebijakan yang dipermasalahkan itu.
"Kita pernah mengalami bagaimana (masalah) helikopter AW-101. Sama sekali TNI tidak tahu. Mohon maaf bila ini kurang berkenan," ujar Gatot.
Setelah Panglima TNI memaparkan kegelisahannya itu, rapat kerja antara Menhan Ryamizard Ryacudu, Gatot, beserta jajarannya dengan Komisi I lalu digelar tertutup. TNI sendiri mengaku tengah melakukan investigasi soal kontroversi pembelian heli AW-101 itu. (ear/rna)
Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR. Rapat kerja kali ini membahas anggaran dan rencana program kerja 2017.
Menurut Dirjen Renhan Kemhan Marsda M Syaugi, rapat kerja ini juga membahas evaluasi anggaran 2016. Selain Syaugi, Sekjen Kemhan Laksdya Widodo turut hadir dalam rapat ini.
"Evaluasi anggaran 2016 dan perencanaan untuk program 2017," ungkap Syaugi sebelum rapat dimulai di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).
Rapat tersebut dibuka oleh Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin. Sebelum rapat, politikus PDIP ini mengingatkan pagu anggaran Kementerian Pertahanan pada 2016 sebesar Rp 102 triliun dan untuk 2017 sebesar Rp 108 triliun.
"Agenda rapat evaluasi Kemhan RI tahun 2016 dan laporan kerja untuk tahun 2017. Lalu realisasi anggaran tahun 2016 dan juga tindak lanjut untuk laporan BPK jika ada," terang TB.
Pada awal pemaparannya, Menhan Ryamizard Ryacudu menjelaskan soal anggaran di Kemhan. Kemudian juga sejumlah rencana program kerja dan isu-isu terkini, termasuk mengenai keamanan Laut China Selatan.
"Antisipatif pengamanan Laut China Selatan dilakukan secara nonfisik dan fisik. Pembangunan postur di Natuna dan Morotai," ujar Ryamizard.
Jajaran TNI yang hadir dalam rapat kerja ini cukup lengkap. Di antaranya KSAD Jenderal Mulyono, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto. (elz/imk)
Panglima TNI Mengaku Tak Tahu soal Pembelian AW 101
AW 101 ketika masih menggunakan logo TNI AU
Rencana pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI AU menjadi kontroversi. Setelah menyatakan membatalkan kontrak pembelian itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tidak pernah mengetahui adanya rencana pengadaan heli itu.
Hal tersebut disampaikan Gatot dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017). Anggota Komisi I menanyakan soal realisasi Minimum Essential Force (MEF).
Dirjen Renhan Kemhan Marsda M Syaugi dalam rapat kerja itu menjelaskan Kementerian Pertahanan terus berupaya merealisasi hal tersebut. Hanya saja, masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi hambatan.
"Seperti pengadaan kapal selam dan pesawat pengganti F-5, PSP (penetapan sumber pembiayaan) belum ada dari Bappenas. Kami bisa dikatakan curi start, seperti soal ToT (transfer of technology)," ujar Syaugi.
"Jadi bisa dikatakan Kemhan yang lebih proaktif?" tanya Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menanggapi.
Sementara itu, menanggapi hal ini, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan tidak mengetahui soal pembelanjaan alutsista dari masing-masing matra. Ini setelah ada aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan pada 2015.
"Untuk diketahui, saya sebagai Panglima sama dengan Detasemen Markas Mabes. Saya tidak kendalikan AD, AL, AU. Mengapa? Pada UU 25/2004 mengatakan alur perencanaan visioner menggunakan mekanisme bottom up, top, down secara terpadu. Semua keputusan pertahanan sudah benar ketat sistematis," papar Gatot.
"Tapi, begitu muncul Peraturan Menhan No 28 Tahun 2015, kewenangan saya tidak ada. Harusnya ini ada. Sekarang tidak ada. Kewajiban TNI membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek," lanjutnya.
Gatot menyebut hanya bisa menjelaskan soal belanja barang di TNI untuk postur yang ada di Mabes saja. Total belanja barang di Mabes TNI sebesar Rp 4,8 triliun. Untuk tiga matra, kini Panglima TNI tidak mengetahuinya.
"Yang dilakukan Mabes hanya untuk kekuatan integratif operasional, baik patroli laut, udara, perbatasan Rp 2,3 T. Modernisasi alutsista Rp 1,3 T. Profesionalisme prajurit Rp 500 M. Rp 4,3 T untuk pegawai, Rp 1,9 T barang kantor 36 satuan kerja," jelas Gatot.
Dengan demikian, Panglima TNI mengaku kesulitan bertanggung jawab soal pengadaan alutsista di matra AD, AL, AU. Padahal itu tentu saja sangat berkaitan dengan proses MEF TNI.
"Padahal di Pasal 3 UU TNI, TNI di bawah koordinasi Kemenhan, tapi bukan unit operasionalnya. Karena Pasal 4, TNI terdiri atas AU, AD, AL di bawah Kemenhan. Saya buka ini seharusnya sejak 2015," sebut jenderal bintang empat ini.
Gatot mengaku terpaksa mengungkap permasalahan itu mengingat Maret 2018 nanti dia paling lambat diganti sebagai persiapan memasuki masa pensiun. Dia mengaku, jika ini terus terjadi, kewenangan Panglima TNI menjadi tidak ada.
"Saya tidak atur anggaran AU, AD, AL. Angkatan langsung tanggung jawab ke Kemenhan, tidak melalui Panglima. Ini pelanggaran hierarki karena kami tidak membawahi angkatan. Jadi kita bicara di sini anggaran belum tentu kita bisa cairkan," kata Gatot.
Mantan KSAD ini juga menegaskan tahun ini TNI telah melakukan bersih-bersih internal terkait kasus korupsi. Bahkan TNI bekerja sama dengan KPK untuk melakukan pembersihan tersebut. Namun Gatot menyatakan Panglima TNI akan kesulitan melakukan pengawasan jika tidak bisa memantau proses anggaran di masing-masing angkatan.
"Mungkin ini tidak mengenakkan, tapi saya harus mempersiapkan adik-adik saya yang akan jadi Panglima TNI supaya bisa mengawasi anggaran juga," tuturnya.
Gatot lantas menyinggung soal rencana pembelian helikopter AW-101 yang tiba-tiba mencuat tanpa ada pemberitahuan kepada pihaknya. Meski akhirnya pengadaan pesawat itu kontraknya dibatalkan, menurutnya, itu menjadi salah satu dampak dari kebijakan yang dipermasalahkan itu.
"Kita pernah mengalami bagaimana (masalah) helikopter AW-101. Sama sekali TNI tidak tahu. Mohon maaf bila ini kurang berkenan," ujar Gatot.
Setelah Panglima TNI memaparkan kegelisahannya itu, rapat kerja antara Menhan Ryamizard Ryacudu, Gatot, beserta jajarannya dengan Komisi I lalu digelar tertutup. TNI sendiri mengaku tengah melakukan investigasi soal kontroversi pembelian heli AW-101 itu. (ear/rna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.