Ilustrasi CN235MPA produksi PT DI ★
Ekspor alat utama sistem senjata (alutsista) dari Indonesia pada tahun ini masih akan bertumpu ke negara tujuan di kawasan Asean dan Afrika.
Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia (DI) Arie Wibowo mengatakan, pada tahun ini korporasinya menargetkan ekspor ke sejumlah negara seperti Senegal, Nepal, Thailand dan Filipina. Pasalnya, menurut dia, negara di kawasan tersebut saat ini sedang meningkatkan kapasitas militernya.
“Untuk proyeksi persentase kenaikan ekspor, saya belum punya datanya. Tetapi, target kami setidaknya bisa mendapatkan kontrak pembelian hingga delapan unit pesawat jenis CN 235-220 dan tiga sampai sepuluh unit pesawat multiguna jenis NC212i,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (11/2/2019).
Dia mengatakan, PT DI sejatinya bisa melakukan ekspansi ekspor ke negara di kawasan lain. Namun sayangnya, selama ini korporasi masih terkendala oleh terbatasnya bantuan pembiayaan ekspor. Pada tahun lalu saja, PT DI haus merogoh kocek dari modal kerjanya hingga Rp 350 miliar untuk mengirim produknya ke Nepal dan Thailand.
Untuk itu dia berharap pemerintah turut membantu memperluas akses pembiayaan untuk ekspor produk tersebut. Terlebih, barang yang diekspor PT DI merupakan produk dengan spesifikasi khusus yang memiliki biaya produksi dan pengiriman yang tinggi.
Dihubungi Bisnis.com secara terpisah, Direktur Utama PT Pindad (Persero) Abraham Mose mengatakan, pada tahun ini perusahaannya menargetkan pertumbuhan ekspor hingga 30% secara year on year (yoy) menjadi Rp 1 triliun. Target tersebut, menurutnya akan tercapai apabila Pindad berhasil memenangkan tender pengadaan produk Medium Tank.
“Kami sudah melalui tahap pertama proses seleksi tender. Semoga bisa kita menangkan tendernya dalam waktu dekat, karena jumlah produk yang mereka minta cukup besar yakni 44 unit,” jelasnya.
Dia mengakui, selama ini ekspor Pindad masih berkutat di negara-negara di kawasan Asean dan Afrika. Namun demikian, saat ini perseroan tengah menjajaki pasar Amerika Serikat, terutama untuk produk amunisi kaliber 5,56 milimeter dan 9 milimeter.
“Kalau kami bisa menembus pasar AS. Maka dampaknya akan sangat besar kepada perseroan. Sebab, permintaan dari AS pasti akan berlanjut dan kecenderungannya permintaan mereka naik terus per tahunnya,” jelasnya.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun lalu ekspor senjata dan amunisi melonjak 209,97% secara yoy menjadi US$ 769.000. Sementara itu, ekspor kendaraan tempur dan bagiannya tumbuh 48,42% menjadi US$ 2,42 miliar.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan, pangsa pasar persenjataan skala medium di dunia, seperti yang diproduksi Indonesia, sangatlah besar. Dia meyakini, selama ini pasar Afrika belum terjamah secara maksimal oleh produk-produk asal RI tersebut.
“Selain itu ada juga negara-negara di Timur Tengah atau Amerika Latin. Mereka ini sangat butuh memperkuat sistem militernya, terutama setelah meningkatnya ekskalasi geopolitik di kawasan itu. Kondisi itu menjadi ceruk pasar buat kita. Hanya saja, selama ini kita masih belum bisa memaksimalkannya,” jelasnya.
Menurutnya, kendala ekspansi pasar ekspor produk alutsista Indonesia terletak pada pembiayaan ekspor dan promosi yang masih terbatas. Dia melanjutkan, pemerintah seharusnya mampu membantu para produsen untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana kapasitas produksi alutsista kita. Tetapi saya percaya ketika pasar sudah tersedia lebar, produksi kita bisa meningkat dengan sendirinya,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, pemerintah menyadari besarnya potensi ekspor alutsista. Menurutnya, upaya promosi telah dilakukan oleh Kemendag ketika melakukan misi dagang dengan mengajak perusahaan alutsista, terutama ke negara-negara berkembang.
“Negara mitra yang berstatus negara berkembang cenderung memiliki minat yang besar terhadap produk kita. Karena produk kita relatif murah harganya dan skalanya medium, sehingga cocok dengan kondisi keuangan mereka,” jelasnya.
Adapun, terkait dengan persoalan pembiayaan ekspor, dia mengklaim pemerintah telah menyediakan fasilitas yang memadai melalui progam National Interest Account (NIA) yang pengelolaannya dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor dan Impor (LPIE). Para eksportir menurutnya, dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh LPEI tersebut.
Ekspor alat utama sistem senjata (alutsista) dari Indonesia pada tahun ini masih akan bertumpu ke negara tujuan di kawasan Asean dan Afrika.
Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia (DI) Arie Wibowo mengatakan, pada tahun ini korporasinya menargetkan ekspor ke sejumlah negara seperti Senegal, Nepal, Thailand dan Filipina. Pasalnya, menurut dia, negara di kawasan tersebut saat ini sedang meningkatkan kapasitas militernya.
“Untuk proyeksi persentase kenaikan ekspor, saya belum punya datanya. Tetapi, target kami setidaknya bisa mendapatkan kontrak pembelian hingga delapan unit pesawat jenis CN 235-220 dan tiga sampai sepuluh unit pesawat multiguna jenis NC212i,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (11/2/2019).
Dia mengatakan, PT DI sejatinya bisa melakukan ekspansi ekspor ke negara di kawasan lain. Namun sayangnya, selama ini korporasi masih terkendala oleh terbatasnya bantuan pembiayaan ekspor. Pada tahun lalu saja, PT DI haus merogoh kocek dari modal kerjanya hingga Rp 350 miliar untuk mengirim produknya ke Nepal dan Thailand.
Untuk itu dia berharap pemerintah turut membantu memperluas akses pembiayaan untuk ekspor produk tersebut. Terlebih, barang yang diekspor PT DI merupakan produk dengan spesifikasi khusus yang memiliki biaya produksi dan pengiriman yang tinggi.
Dihubungi Bisnis.com secara terpisah, Direktur Utama PT Pindad (Persero) Abraham Mose mengatakan, pada tahun ini perusahaannya menargetkan pertumbuhan ekspor hingga 30% secara year on year (yoy) menjadi Rp 1 triliun. Target tersebut, menurutnya akan tercapai apabila Pindad berhasil memenangkan tender pengadaan produk Medium Tank.
“Kami sudah melalui tahap pertama proses seleksi tender. Semoga bisa kita menangkan tendernya dalam waktu dekat, karena jumlah produk yang mereka minta cukup besar yakni 44 unit,” jelasnya.
Dia mengakui, selama ini ekspor Pindad masih berkutat di negara-negara di kawasan Asean dan Afrika. Namun demikian, saat ini perseroan tengah menjajaki pasar Amerika Serikat, terutama untuk produk amunisi kaliber 5,56 milimeter dan 9 milimeter.
“Kalau kami bisa menembus pasar AS. Maka dampaknya akan sangat besar kepada perseroan. Sebab, permintaan dari AS pasti akan berlanjut dan kecenderungannya permintaan mereka naik terus per tahunnya,” jelasnya.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun lalu ekspor senjata dan amunisi melonjak 209,97% secara yoy menjadi US$ 769.000. Sementara itu, ekspor kendaraan tempur dan bagiannya tumbuh 48,42% menjadi US$ 2,42 miliar.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan, pangsa pasar persenjataan skala medium di dunia, seperti yang diproduksi Indonesia, sangatlah besar. Dia meyakini, selama ini pasar Afrika belum terjamah secara maksimal oleh produk-produk asal RI tersebut.
“Selain itu ada juga negara-negara di Timur Tengah atau Amerika Latin. Mereka ini sangat butuh memperkuat sistem militernya, terutama setelah meningkatnya ekskalasi geopolitik di kawasan itu. Kondisi itu menjadi ceruk pasar buat kita. Hanya saja, selama ini kita masih belum bisa memaksimalkannya,” jelasnya.
Menurutnya, kendala ekspansi pasar ekspor produk alutsista Indonesia terletak pada pembiayaan ekspor dan promosi yang masih terbatas. Dia melanjutkan, pemerintah seharusnya mampu membantu para produsen untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana kapasitas produksi alutsista kita. Tetapi saya percaya ketika pasar sudah tersedia lebar, produksi kita bisa meningkat dengan sendirinya,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, pemerintah menyadari besarnya potensi ekspor alutsista. Menurutnya, upaya promosi telah dilakukan oleh Kemendag ketika melakukan misi dagang dengan mengajak perusahaan alutsista, terutama ke negara-negara berkembang.
“Negara mitra yang berstatus negara berkembang cenderung memiliki minat yang besar terhadap produk kita. Karena produk kita relatif murah harganya dan skalanya medium, sehingga cocok dengan kondisi keuangan mereka,” jelasnya.
Adapun, terkait dengan persoalan pembiayaan ekspor, dia mengklaim pemerintah telah menyediakan fasilitas yang memadai melalui progam National Interest Account (NIA) yang pengelolaannya dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor dan Impor (LPIE). Para eksportir menurutnya, dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh LPEI tersebut.
➶ Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.