Artikel dibawah ini seluruhnya dikutip dari Buku Biografi Ben Mboi - Dokter, Memoar Prajurit, Pamong Praja. Suntingan Sdr. Candra Gautama & Sdr. Riant Nugroho - Terbitan KPG Desember 2011.
Kisah Tentang Suwanggi, Manusia Setan
Bentuknya manusia, tetapi seluruh warga sekitar menganggapnya dan menggelarinya Suwanggi alias manusia setan!. Tuduhan Suwanggi didapatkannya karena apabila dia lewat depan rumah seseorang, dipastikan siempunya rumah akan jatuh sakit. Atau setelah dia meminta sesuatu dan tidak dipenuhi, orang akan jatuh sakit. Suwanggi ini dipercaya masyarakat mulai dari Kabupaten Ngada sampai ke Alor di bagian timur.
Suwanggi juga bisa merasuk kedalam tubuh orang lain. Saya walau dokter, diajari cara bagaimana mengeluarkan Suwanggi dari orang yang dirasukinya. Caranya sangat sederhana: Kalau Suwanggi itu Katolik, tekan titik antara ibu jari tangan dan jari telunjuk dengan satu biji kacang hijau, tekan sekeras-kerasnya. Suwanggi itu akan keluar sambil mengerang-ngerang. Kalau dia Muslim, gosok mulut korban yang dirasukinya dengan daging babi, Suwanggi akan lari terbirit-birit meninggalkan korbannya.
Yang paling bingung adalah teman saya, AKBP Chayat, Danres Ende. Karena sulit menangkap orang yang membunuh Suwanggi lantaran tidak ada dalam KUHP.
Meredam Amukan Kompi Senapan
Suwanggi juga bisa merasuk kedalam tubuh orang lain. Saya walau dokter, diajari cara bagaimana mengeluarkan Suwanggi dari orang yang dirasukinya. Caranya sangat sederhana: Kalau Suwanggi itu Katolik, tekan titik antara ibu jari tangan dan jari telunjuk dengan satu biji kacang hijau, tekan sekeras-kerasnya. Suwanggi itu akan keluar sambil mengerang-ngerang. Kalau dia Muslim, gosok mulut korban yang dirasukinya dengan daging babi, Suwanggi akan lari terbirit-birit meninggalkan korbannya.
Yang paling bingung adalah teman saya, AKBP Chayat, Danres Ende. Karena sulit menangkap orang yang membunuh Suwanggi lantaran tidak ada dalam KUHP.
Meredam Amukan Kompi Senapan
Kebijakan Bupati Ende adalah tiap perayaan 17 Agustus, tiap-tiap Dinas Kabupaten bergiliran menjadi penyelenggara seluruh perayaan HUT RI itu. Pada HUT RI ke-20 itu Dinas Kesehatan menjadi penanggung jawabnya. Seperti biasanya, pagi hari ada apel bendera dilanjutkan dengan acara hiburan rakyat. Pada sore hari pukul 16.00 itu berlangsung pertandingan final sepakbola antara Kesebelasan Kompi Senapan Yon 743 dengan Sapoe, kesebelasan pribumi Ende.
Kota Ende, sejauh pengetahuan saya, adalah satu-satunya kota di Indonesia yang sangat tertib mengatur pertandingannya. Tidak ada stadion, tetapi cara masuk penonton sangat tertib, karena pintu masuk ke wilayah lapangan bola hanya melalui lima jalan masuk, dan pada tiap-tiap jalan masuk ada panitia yang memungut bayaran. Semuanya tertib, tidak ada yang lolos.
Pertandingan hari itu merupakan puncaknya segala acara. Kedua kesebelasan sama-sama kuat, dan sama-sama berpeluang juara. Sebagai ketua panitia, sebenarnya saya kepingin menghadiri pertandingan final tersebut, tetapi saya begitu lelah, sehinga sore itu saya tertidur. Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan! Saya kira ada acara perang-perangan yang kadang-kadang dipertontonkan pada hari-hari bersejarah. Tetapi setahu saya itu tidak ada dalam agenda acara panitia.
Saya perhatikan terus, pasang telinga, kemudian menyimpulkan bahwa dari suara-suara tembakan tersebut, yang digunakan peluru tajam. Karena kusen jendela kamar saya rendah, setinggi tempat tidur, maka naluri tentara saya muncul. Saya segera menjatuhkan diri kelantai, merangkak ke lemari pakaian, sambil duduk memakai seragam lapangan, mengambil kopelrim dan pistol, mengambil jaket, dan mengenakan boot. Sebelum saya keluar rumah, saya minta istri saya ke rumah sakit untuk menyiapkan kamar bedah, memanggil staf kamar bedah, petugas mesin listrik, dan perawat rotgen.
Saya langsung ke markas Kodim, dua atau tiga rumah dari rumah dinas dokter.
"Piket, ada apa ini?" saya tanya kepada sersan piket."Kompi mengamuk, Kap!""Mengamuk kenapa?""Danki kena sikut dari pemain Sapoe."
Dari situ saya simpulkan, salah satu pemain adalah Komandan Kompi, Lettu Soedjono.
"Sudah lapor PM""Sudah, itu Kapten lihat sendiri disana." Kantor CPM berseberangan dengan kantor Kodim."Sudah lapor Dandim?" saya tanya lagi."Sudah! Yang ada hanya Pejabat Dandim, karena Overste Kusno sedang keluar daerah!""Lalu dimana pejabat komandan?""Sedang tidur, Kap!"
Sementara itu terdengar lagi berondongan senapan otomatis diseluruh kota Ende.
Komandan Polisi saya lihat melewati Kodim, meluncur kearah lapangan bola, dimana kira-kira ribuan laki-laki dan perempuan, anak-anak, bertumpuk-tumpuk di lapangan dan got-got disekitar lapangan bola, dimuka rumah jabatan bupati dan kantor bupati.
Saya mulai berjalan diantara tumpukan orang itu, mencari anggota Kompi berseragam tentara atau sepakbola dengan senjata. Akhirnya dari kejauhan saya lihat sekelompok tentara berseragam sepakbola, Danki Lettu Soedjono dengan stengun ditangan sambil menyiram-nyiramkan peluru ke udara. Saya dekati,
Komandan Polisi saya lihat melewati Kodim, meluncur kearah lapangan bola, dimana kira-kira ribuan laki-laki dan perempuan, anak-anak, bertumpuk-tumpuk di lapangan dan got-got disekitar lapangan bola, dimuka rumah jabatan bupati dan kantor bupati.
Saya mulai berjalan diantara tumpukan orang itu, mencari anggota Kompi berseragam tentara atau sepakbola dengan senjata. Akhirnya dari kejauhan saya lihat sekelompok tentara berseragam sepakbola, Danki Lettu Soedjono dengan stengun ditangan sambil menyiram-nyiramkan peluru ke udara. Saya dekati,
"Let, saya kasi you waktu 5 menit, kumpulkan pasukan, naik truk, kembali ke asrama!"
Saya tidak tahu darimana saya dapat keberanian itu, karena saya bukanlah atasan langsung mereka. Diseberang saya lihat Danres Chayat menonton.
"TNI malu, Kap!" mereka jawab."Apa? TNI malu? Ya, TNI malu kalau berkelahi dengan rakyat yang tidak bersenjata. Tinggal 4 menit, setiap kecelakaan yang terjadi kamu bertanggung jawab!"
Eh, ternyata mereka mentaati saya. Begitu mereka naik truk, ribuan manusia bangun penuh dengan pasir dan abu, kegirangan. Saya kembali ke RS dan mendapati dua pasien: Akbar opas bupati yang dapat tembakan garand jarak pendek, paru-paru kanannya berlubang, dan seorang anak SMP yang mendapat tembakan lengkung dibagian paha, saya lupa kanan atau kiri.
Gubernur - Hubungan Suksesi Bupati dan Walikota dengan ABRI
Gubernur - Hubungan Suksesi Bupati dan Walikota dengan ABRI
Di kabupaten-kabupaten yang kuat sekali masalahnya dengan nation-buiding ditambah dengan masalah keagamaan, saya yang kini menjabat Gubernur NTT cenderung mencari calon bupati dari unsur-unsur ABRI. Para perwira ABRI lebih akseptabel untuk mengelola pluralitas dan hetegorenitas masyarakat, atau secara positif mengharmonisasikan kehidupan elemen kemasyarakatan yang berbeda atau bertentangan. Sebaliknya, calon bupati dari sipil sering terjebak dalam kontroversi lokal antara kelompok mayoritas dan minoritas.
Dasar pemikiran tersebut sering disalahgunakan oleh putra daerah atau oleh kalangan ABRI, yang menuntut calon-calonya dengan berbagai alasan. Pada suatu waktu, Bupati Sumba Barat Letkol Pas. Pangdango, SH meninggal dunia. KASAU Marsekal Ashadi Tjahyadi meminta saya agar pengganti Pandango diambil dari kalangan perwira AU. Dengan sopan saya menjawab,
"Marsekal, jangan! Kita jangan bikin NTT menjadi kapling-kapling ABRI, dan sekaligus tempat arisan bupati. Penetapan calon bupati dibawah kewenangan saya selaku Gubernur, ini adalah mission-type-oriented, artinya rakyat setempat membutuhkan leadership macam apa!?
Beliau menerima argumentasi saya!.
Baru beberapa hari selesai saya menjawab KASAU, Kasospol Kodam IX/Udayana, Kolonel Inf. Siregar, datang bertemu saya dikantor gubernuran.
"Ada pesan dari Panglima, Pak Gubernur," dia mulai tanpa basa-basi."Oh ya? Apa pesannya?""Supaya Bupati Sumba Barat dari TNI-AD!""Alasannya?" saya tanya."Sumba Barat daerah rawan!""Rawan apa?" saya tanya lagi."Rawan G30S!""Ah, kamu bercanda, rawan G30S, yang benar saja! Tulang belulang orang-orang PKI disana sudah hancur semua, you masih saja bilang rawan. Tidak ada rawan G30S! Tidak ada laporan Sospol bahwa masih ada unsur PKI di Sumba Barat. Yang ada rawan kelaparan dan kemiskinan. Saya ada calon bupati dari kalangan sipil putra asli Sumba Barat!". Saya tekankan."Tapi Pak Gubernur, Panglima pesan, kalau Bupati Sumba Barat bukan dari TNI-AD, besok lusa kalau ada masalah disana Panglima tidak bertanggung jawab!""Oh, begitu? Kalau begitu nanti dulu!"Saya panggil sekertaris daerah Drs. Daud, yang segera bergabung."Nah, sekarang Kolonel ulangi pernyataan tadi. Kalau Bupati Sumba Barat bukan dari TNI-AD, maka dan seterusnya, dan seterusnya......Betul, Kolonel?""Betul!" jawab Kolonel SiregarSaya menoleh kesamping"Pak Sek, sudah dicatat? kata-kata Kolonel Siregar tadi?""Sudah Pak Gubernur!" jawab Drs.Daud."Sekarang telegram kepada Presiden Republik Indonesia, Pak Harto, bahwa ada Panglima yang mengancam Gubernur NTT, yang berbunyi begini, begini,...begini. Kamu copy statement tadi itu! Jelas?" saya perintahkan."Jelas Pak, kerjakan."Kolonel Siregar langsung meloncat minta ampun,"Minta ampun, Pak Gubernur. Bukan itu maksudnya!""Eh, Siregar, kau tentara. Kau lupa ya, saya juga tentara. Yang kau bilang besok lusa kalau ada masalah itu, kau yang akan bikin masalah kan? sehingga hipotesismu terbukti! Apa untungnya bagi TNI kalau Bupati tentara? Apa untungnya bagi saya kalau bupati sipil? Tidak ada! Yang mendapat untung adalah rakyat! Jadi beritahu Panglima, prinsip saya mencari pemimpin rakyat itu adalah orang yang sedekat mungkin secara sosial, politik, kultural kepada rakyat yang akan dipimpinnya itu. Ok?"
"Siap, Pak Gubernur, terima kasih!"
Drs. Umbu Djima menjadi Bupati Sumba Barat, saya mendapat kawan baru, Kolonel Inf. Siregar. Apakah Panglima di Denpasar gembira? bagi saya rakyat memperoleh pemimpin seperti yang benar. Setiap bangsa/kelompok masyarakat berhak mempunyai pemerintah yang pantas untuk mereka!
Nujum Kejatuhan Pak Harto
Setelah Sidang Umum MPR pada Maret 1993 dan pembentukan kabinet, diangkat juga keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia periode 1993-1998. Saya termasuk salah seorang yang diangkat saat itu. Laksamana TNI Purn. Soedomo terpilih menjadi ketua DPA.
Adapun tugas-tugas DPA antara lain adalah memberi pertimbangan kepada Presiden, diminta atau tidak diminta. Selama 5 tahun menjadi anggota DPA, saya secara pribadi telah mengajukan 5 usul pertimbangan untuk menyelamatkan negara dan bangsa.
Pertama : Ketika Pak Wardoyo (mantan Menteri Pertanian) menyusun pertimbangan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, saya mengusulkan agar pembahasan produktivitas pertanian didahului oleh pembahasan tentang landreform. Menurut saya, rendahnya produktivitas pertanian, produktivitas petani, disebabkan juga oleh lahan pertanian yang terlampau kecil. Namun landreform bukanlah konsifikasi, melainkan alat ganti rugi memakai model Taiwan agar tercegah efek inflatoir. Saya tawarkan tanah saya dan keluarga saya sebagai tantangan. Gagasan saya ditolak.
Kedua : Sidang pleno sebelum 17 Agustus 1995, saya mengajukan gagasan gila:
"Saudara Ketua, kalau ibu kita berulang tahun apa kita beri kado?"Pak Soedomo (Ketua) bertanya,"Apa lagi pikiran aneh kamu, Ben Mboi?""Beberapa hari lagi Ibu Pertiwi berulang tahun ke-50. Apa kita para putra-putrinya tidak akan memberi kado untuk ulang tahun emas itu?""Apa maksud kamu?""Saya usulkan sebagai kado ulang tahun ke-50 Republik ini, setiap warga negara RI melaporkan kekayaannya, bergerak atau tidak bergerak, tanah, rumah, simpanan, pendeknya seluruh kekayaannya. Dari rakyat terendah sampai Presiden RI. Ibu pertiwi menerima kado itu dan memberikan pemutihan. Tapi tanggal 18 Agustus, tiap-tiap 1 sen atau 1 jengkal tanah harus dibuktikan asal usulnya.""Gila kamu Ben, ide gila!"
Usul saya dianggap gila dan ditolak.
Ketiga : Pada ulang tahun ke-20 integrasi Timor Timur ke dalam RI 7 Juli 1996, saya presentasekan karya tulis tentang masalah TimTim di review secara mendasar. Tidak kurang Ketua DPA saya dorong untuk mengunjungi Timtim. Ternyata DPA tidak berani berhadapan dengan kekuasaan rill di Timtim yang memiliki kewenangan sendiri, ibarat pemerintahan dalam pemerintahan, seperti TNI dan Deplu. Tidak ada politik Timtim sebagai suatu agregasi kebijakan tentang Timtim, dengan suatu common goal: TNI punya sasaran sendiri, Deplu punya sasaran sendiri, Depdagri punya sasaran sendiri. Alhasil kelompok-kelompok yang tadinya mendeklarasikan integrasi di Batugede dan Balibo berbalik menjadi anti-integrasi. Hasil referendum tahun 1999, bukan karena orang Timtim tidak setuju untuk berintegrasi ke dalam RI, tapi lebih karena miss management yang membuat orang Timtim membenci Indonesia. Fretelin menang dalan Referendum 1999 bukan karena disenangi, melainkan karena mereka berhasil mengeksploitasi kesalahan Indonesia disana, khususnya TNI. Manajemen Timtim hanya manajemen teritorial secara fisik militer, bukan management suatu nation, character, dan state-building. Lebih menyedihkan, negara (dengan kata lain lembaga-lembaganya) tidak sadar akan tugas nation-building mereka.
Keempat : Pada bulan Juli dan Agustus 1997 terjadi krisis lingkungan hidup yang besar, kebakaran hutan di Kalimantan, sampai-sampai asapnya menutupi Malaysia dan Singapura. Bersamaan dengan itu terdengar suara tentang krisis keuangan monoter.
Ketiga : Pada ulang tahun ke-20 integrasi Timor Timur ke dalam RI 7 Juli 1996, saya presentasekan karya tulis tentang masalah TimTim di review secara mendasar. Tidak kurang Ketua DPA saya dorong untuk mengunjungi Timtim. Ternyata DPA tidak berani berhadapan dengan kekuasaan rill di Timtim yang memiliki kewenangan sendiri, ibarat pemerintahan dalam pemerintahan, seperti TNI dan Deplu. Tidak ada politik Timtim sebagai suatu agregasi kebijakan tentang Timtim, dengan suatu common goal: TNI punya sasaran sendiri, Deplu punya sasaran sendiri, Depdagri punya sasaran sendiri. Alhasil kelompok-kelompok yang tadinya mendeklarasikan integrasi di Batugede dan Balibo berbalik menjadi anti-integrasi. Hasil referendum tahun 1999, bukan karena orang Timtim tidak setuju untuk berintegrasi ke dalam RI, tapi lebih karena miss management yang membuat orang Timtim membenci Indonesia. Fretelin menang dalan Referendum 1999 bukan karena disenangi, melainkan karena mereka berhasil mengeksploitasi kesalahan Indonesia disana, khususnya TNI. Manajemen Timtim hanya manajemen teritorial secara fisik militer, bukan management suatu nation, character, dan state-building. Lebih menyedihkan, negara (dengan kata lain lembaga-lembaganya) tidak sadar akan tugas nation-building mereka.
Keempat : Pada bulan Juli dan Agustus 1997 terjadi krisis lingkungan hidup yang besar, kebakaran hutan di Kalimantan, sampai-sampai asapnya menutupi Malaysia dan Singapura. Bersamaan dengan itu terdengar suara tentang krisis keuangan monoter.
"Saudara Ketua, apa kita tidak buatkan pertimbangan tentang krisis ini pada Presiden?" saya bertanya pada sidang pleno bulan Agustus 1997."Dua minggu lalu saya bertemu Bapak Presiden, dan beliau bilang tidak ada krisis!" jawab Pak Sudomo.
Kenyataannya, keadaan bertambah buruk, yang berujung pada demonstrasi-demontrasi para mahasiswa di penghujung tahun 1997, yang menuntut reformasi.
Kelima : Bulan Desember 1997 sepasang suami istri Katolik datang menemui saya dirumah. Saya tidak mengenal mereka, namun sang suami orang Bakin.
Kelima : Bulan Desember 1997 sepasang suami istri Katolik datang menemui saya dirumah. Saya tidak mengenal mereka, namun sang suami orang Bakin.
"Apa maksud kedatangan kalian?" saya tanya."Mau minta nasehat Bapak," jawab mereka."Kenapa cari saya, sedangkan kita tidak saling kenal?""Kami tidak mengenal orang lain.""Jadi apa nasehat yang kalian harapkan dari saya?"
Mereka pun bercerita :
"Begini Bapak, tiap kali kami berdoa, kami selalu bertemu tiga orang. Selalu!""Siapa?" saya tanya."Pertama adalah Pak Harto. Tiap kali kami bertemu, Pak Harto berdiri dekat peti mati."Wah, celaka, saya pikir, saya harus hati-hati nih!"Kedua, kami lihat dua orang lagi, seorang dikelilingi jin, dan yang lain berkepala manusia dan berbadan ular."
Wah, lebih celaka lagi ini pikir saya! Saya mesti tertawa. Saya berhadapan dengan orang macam apa ini?
"Begini saudara, saya bukan paranormal atau pembaca nasib. Tapi didaerah kami ada kebiasaan baca-baca nasib dicangkir bekas kopi. Saya hanya mau lihat tentang Pak Harto, yang lain saya tidak mampu. Menurut saya ada 2 kemungkinan terhadap Pak Harto" beliau wafat atau rezim beliau akan berakhir.
Pada sidang DPA pleno pertama Januari 1998, saya langsung mengajukan usulan pertimbangan tentang: Penundaan sidang kabinet, reshuffle kabinet digantikan oleh kabinet penanganan krisis, dan pembentukan Komisi Reformasi. Saya tidak jelaskan latar belakang usulan saya tersebut.
"Saudara Ketua, dasar-dasar usulan saya adalah sebagai berikut:Satu: Sidang Umum MPR akan memilih Presiden dan mentapkan GBHN. GBHN mengisyaratkan visi kita sejauh 5 tahun yang akan datang. Melihat situasi pada hari ini, keadaan hari besok saja kita tidak mampu gambarkan, apalagi 5 tahun yang akan datang. Jadi buat apa Sidang MPR?Dua: 5 bulan lalu dikatakan tidak ada krisis, tapi apa kenyataan hari ini? Jadi kita butuhkan suatu kabinet expert yang tangani krisis ini.Ketiga: Gerakan mahasiswa dijalan-jalan sekarang ini sudah tidak dapat dibendung lagi. jawaban pemerintah sekarang ini dimulai dahulu dengan pembentukan sebuah Komisi Reformasi guna menyusun suatu grand design reformasi yang menjadi dasar reformasi ketatanegaraan dan ketatausahaan negara yang akan datang."
"Gila! Pikiran gila!" teriak seluruh ruangan DPA."Puluhan miliar telah dikeluarkan untuk persiapan SU MPR. Mau batal begitu saja? Gila!""Terserah saudara Ketua. Saya sudah sampaikan apa yang saya pikirkan baik, Lembaga menolak.Itu hak lembaga!
Saya tidak menceritakan latar belakang gagasan saya. Bayangkan kalau saya ceritakan bahwa gagasan saya berdasarkan penglihatan dalam doa satu pasangan suami istri yang melihat macam-macam. Pasti bukan saja gila, mungkin saya diusulkan untuk dimasukkan ke RSJ.
Bulan Februari 1998, Tiga Jalur, yakni Golkar, ABRI, dan Birokrasi diwakili Harmoko, Jenderal Faisal Tandjung, dan Yogie S. Memed minta Pak Harto untuk bersedia menjadi presiden pada 11 Maret 1998, dan Pak Harto menerima. Bulan Maret 1998 Sidang Umum MPR berlangsung dan Pak Harto dilantik untuk ketujuh kalinya.
21 Mei 1998 berlangsung upacara pengunduran diri Pak Harto, pelantikan Presiden Habibie, dan serah terima jabatan kepresidenan. Saya sudah berhenti menjadi anggota DPA. Saya mendapat telefon dari Sekertariat Komisi Politik DPA:
"Bapak, kami sedang mengetik transkrip pidato Bapak bulan Januari yang lalu. Seandainya Dewan pada hari tersebut menanggapi pandangan Bapak secara positif, mungkin adegan yang saat ini sedang berlangsung di Istana Merdeka tidak perlu terjadi."
Saya jawab,
"Sejarah sudah terjadi. Saya berbangga dan berbahagia telah menjawab pertanyaan sejarah dan mencoba meneruskan kepada lembaga yang berwenang. Bahwa ditolak, itu diluar kemampuan saya. Terima Kasih!"
Didalam benak saya sampai hari ini masih tertinggal pertanyaan aneh,
"Mengapa saya percaya begitu saja cerita suami istri Katolik tersebut?" Firasat? Intiusi? Entahlah!
Mungkin suatu Tangan Yang Tak Tampak menuntun saya untuk angkat bicara. Yang jelas, bukan karena saya seorang analisis politik yang visioner. Saya hanya mengikuti naluri yang lahir dari "cinta tanah air". Hidup saya memang banyak diisi oleh peristiwa yang tidak rasional, seperti suami istri Katolik itu yang tidak dapat menjelaskan fenomena yang mereka alami.
Diusir Dari Rumah Dinas
Setelah berhenti dan pensiun dari keanggotaan DPA pada bulan Maret 1998, saya tinggal dirumah. Saya tidak mempunyai pekerjaan, tidak punya tugas dan tanggungjawab.
Setelah 43 tahun terus menerus punya suatu tugas, tiba-tiba bangun pagi tidak perlu tergesa-gesa mandi, sarapan, dan berangkat pergi kerja. Ada suatu perasaan aneh! Bukan perasaan yang positif, melainkan perasaan yang negatif. Saya tidak dibutuhkan lagi oleh siapapun. Secara khusus oleh negara! Perasaan ini bukan perasaan yang over, yang muncul diatas ambang kesadaran, melainkan dibawah ambang kesadaran.
Ketika saya menjadi Kepala Lembaga Kedokteran Preventif Angkatan Darat, saya mengusulkan ke Hankam, melalui pusat Kesehatan ABRI, untuk mengefektifkan konsep MPP, alias masa persiapan pensiun selama 1 tahun, sebagai benar-benar suatu persiapan fisik, mental, dan finansial menghadapi hari dimana sang prajurit tiba-tiba merasa tidak diperlukan lagi. Banyak orang tidak mau memakai periode MPP itu, lebih karena menghindari perasaan tak berguna, istilah yang katanya berasal dari kata negeri seberang, laskar tak berguna.
Untung tidak bisa diraih, malang tidak dapat ditolak, kata kearifan tua. Musibah baru menimpa keluarga-keluarga purnawirawan di Kompleks AD Gatot Subroto. Sebagian keluarga itu menempati rumah-rumah itu sejak 1967, saya sejak 1975, sekarang tahun 2004, jadi lebih kurang 30 tahun. Menhankam Panggabean dan M.Jusuf menjanjikan bahwa penghuninya untuk bisa sewa beli rumah-rumah tersebut, Pangab Benny Moerdani memberi jaminan bahwa purnawirawan dan warakawuri diperbolehkan tinggal sampai mati, sedangkan anak-anak harus cari rumah sendiri.
Tetapi kebijakan Kasad terakhir adalah: Sekarang juga keluar, karena mau dipakai oleh perwira-perwira lain. Kenyataannya bekas kompleks itu dipakai bukan untuk fungsi-fungsi kemiliteran, melainkan untuk parking lot.
Namun bukan itu musibah yang saya maksudkan. Cara mengeluarkan para penghuni dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi, dengan teror, dan dengan perlakuan yang sama sekali tidak menunjukkan l'esprit de coprs AD, antara lain membiarkan air tergenang sampai ke dalam rumah, membiarkan sampah-sampah bertumpuk sampai 2 bulan karena truk sampah DKI tidak boleh masuk, membuldozer jalanan didepan rumah. Sampai-sampai istri saya harus berdiri didepan buldozer untuk menahan siksaan tanpa kemanusiaan oleh almameter kami sendiri.
Dan yang paling memalukan adalah seorang Kopral CPM mengelilingi kompleks dengan uang terbungkus dalam plastik belanja hitam, menawarkan kepada purnawirawan Pati dan/atau janda-janda Pati untuk mau mengosongkan rumah. Lebih menghina lagi, kami harus menandatangani kwitansi dan surat pernyataan tidak akan mempermasalahkannya secara hukum. Saya menganggap itu sebagai pelecehan martabat perwira AD. Kepada para janda dan yatim piatu. Saya katakan,
"Terima, kalian bukan tentara. Saya tentara!. Saya tidak mau terima! Saya prajurit, perwira yang punya harga diri!
Saya menolak untuk menerima uang yang dibagi-bagi tanpa spirit Kasad itu, saya daftar penerima uang itu! Perwira-perwira lain menerimanya, itu adalah urusan mereka."
Tiga orang terbayang dalam benak saya, Jenderal Achmad Yani yang mengatakan TNI tidak bakal melupaka saya. Jenderal Soeharto yang mengatakan saya maskot Mandala, dan Jenderal Benny Moerdani ketika kami pergi perang sama-sama. Ironi suatu perjuangan dan kesetiaan.
Suatu ironi peristiwa 42 tahun lalu, Maret 1962 ketika saya secara pribadi merasakan tangan Letjen Gatot Subroto memasangkan tanda pangkat letnan Satu dipundak saya, dan tanggal 30 April 2004 saya diusir layaknya seorang penjahat, dikeluarkan dari rumah Angkatan Darat.
Seumur hidup saya belum pernah berdoa selama 24 jam, tetapi antara Februari-April 2004 saya berdoa sepanjang hari dan malam, karena takut akan serangan jantung dan stroke yang kedua. Anak istri saya menyuruh saya pindah, agar tidak menyaksikan penyiksaan tidak manusiawi itu. Tidak! Saya mau menatap nasib saya dan keluarga saya. To the bitter end!.
Saya kumpulkan istri dan anak-anak saya:
Tiga orang terbayang dalam benak saya, Jenderal Achmad Yani yang mengatakan TNI tidak bakal melupaka saya. Jenderal Soeharto yang mengatakan saya maskot Mandala, dan Jenderal Benny Moerdani ketika kami pergi perang sama-sama. Ironi suatu perjuangan dan kesetiaan.
Suatu ironi peristiwa 42 tahun lalu, Maret 1962 ketika saya secara pribadi merasakan tangan Letjen Gatot Subroto memasangkan tanda pangkat letnan Satu dipundak saya, dan tanggal 30 April 2004 saya diusir layaknya seorang penjahat, dikeluarkan dari rumah Angkatan Darat.
Seumur hidup saya belum pernah berdoa selama 24 jam, tetapi antara Februari-April 2004 saya berdoa sepanjang hari dan malam, karena takut akan serangan jantung dan stroke yang kedua. Anak istri saya menyuruh saya pindah, agar tidak menyaksikan penyiksaan tidak manusiawi itu. Tidak! Saya mau menatap nasib saya dan keluarga saya. To the bitter end!.
Saya kumpulkan istri dan anak-anak saya:
"Papa tidak mempunyai uang banyak. Tidak ada 1 Miliar. Tapi apa yang kita alami, menyinggung harga diri papa sebagai perwira tinggi. Kita terus berdoa, pasti Tuhan Allah dengan cara-caraNya sendiri akan mengeluarkan kita dari masalah kita!"
Ironi, ya memang ironi. 10 tahun jadi Gubernur NTT tidak berusaha membangun rumah di Jakarta untuk hari tua. Hanya satu alasan: kepercayaan dan kesetiaan terhadap janji (tidak tertulis) almameter, melalui Pangab Benny Moerdani.
Diposkan oleh Erwin Parikesit (Kaskuser)
Selamat Hari Natal 2012
Ceritanya bagus,buat di cerita sinetron aj pak..
BalasHapusmantap,, inspiratip sekali,,,sy jga bangga karena sdh bercerita sedikit tentang sumba barat kebetulan itu kampung halaman saya...
BalasHapusKisah heroik seorang anak bangsa yang berani dan jujur.
BalasHapusSemata-mata berjuang demi nusa dan bangsa serta kemanusiaan.
Layak menjadi suri tauladan bagi generasi mendatang.
Yang saking jujurnya....sampai-sampai mengalami pengusiran dari rumah yang telah ditempatinya selama masa pengabdiaannnya terhadap bangsa dan negara.
Ironis...memang !...bak Habis manis......sepah dibuang.....
Hormat..... untuk pak Ben Mboi......!!!!!!!!!