Bandung Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budi Santoso
memiliki visi membangkitkan kejayaan industri pesawat terbang sipil dan
militer Indonesia.
Bangkit dari keterpurukan pasca berhentinya suntikan dana pemerintah di 1998, PT DI harus terseok-seok mencari uang. Budi yang menjadi Dirut untuk periode kedua sejak 2007 ini melihat, industri penerbangan global telah berubah. Pihaknya tidak bisa lagi berdiri sendiri dalam mengembangkan pesawat.
"Mengerjakan sendiri dengan risiko nama nggak terkenal atau kita kerjasama dengan orang lain sehingga branding bagus. PT DI harus mengikuti realitas dunia. Perusahaan nggak ada yang sendiri. Airbus saja dengan beberapa negara. Boeing juga nggak semua dikerjakan sendiri. Malah mereka beli (komponen pesawat) dari anak usaha Airbus," tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PT DI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).
Menurutnya, PT DI belajar banyak pasca krisis ekonomi yang menghantam Indonesia di 1998. Budi yang merupakan mantan Dirut PT Pindad serta pencipta senapan otomatis SS-2 dan panser Anoa ini bertutur, PT DI tidak lagi boleh tergantung terhadap suntikan modal pemerintah, melainkan harus berpikir menjadi sebuah korporasi perusahaan pesawat terbang yang fokus pada pasar.
"Sederhananya, prioritas pertama membuat PT DI kompetitif dibandingkan perusahaan lain terutama dalam produksi. Kita nggak jual desain, kita jual barang. Itu harus dibuat dengan yang kompetitif. Ini yang kita lakukan saat ini," tambahnya.
Pihaknya juga tak ingin mengembangkan produk yang sangat tergantung secara langsung dengan dukungan 100% dari pemerintah. "Kita perkuat PT DI menjadi persahaan bukan perusahaan riset, mudah-mudahan tidak tercampur politik. Pengalaman buruk begitu Pak Harto berhenti, program hancur semua. PT DI ini kita inginkan jadi terbesar. Tidak terlalu tergantung faktor politik," tambahnya.
PT DI ke depan tidak mau lagi menjual mimpi, melainkan menghasilkan produk berdasarkan kemampuan. Selain itu, PT DI secara bertahap sedang merancang pesawat penumpang berbadan kecil, yakni N-219 sebagai satu produk hasil rancangan sendiri.
Meskipun tak ingin bergantung pada pemerintah, ia berharap alokasi subsidi BBM yang besar (Rp 300 triliun) bisa diperuntukkan untuk membantu mengembangkan pesawat.
"Kita harus punya produk sendiri. Kalau kita bangun pesawat sendiri. Kita bangun pesawat yang senilai US$ 2 miliar. Kita akan cari partner," cetusnya.
Bangkit dari keterpurukan pasca berhentinya suntikan dana pemerintah di 1998, PT DI harus terseok-seok mencari uang. Budi yang menjadi Dirut untuk periode kedua sejak 2007 ini melihat, industri penerbangan global telah berubah. Pihaknya tidak bisa lagi berdiri sendiri dalam mengembangkan pesawat.
"Mengerjakan sendiri dengan risiko nama nggak terkenal atau kita kerjasama dengan orang lain sehingga branding bagus. PT DI harus mengikuti realitas dunia. Perusahaan nggak ada yang sendiri. Airbus saja dengan beberapa negara. Boeing juga nggak semua dikerjakan sendiri. Malah mereka beli (komponen pesawat) dari anak usaha Airbus," tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat PT DI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).
Menurutnya, PT DI belajar banyak pasca krisis ekonomi yang menghantam Indonesia di 1998. Budi yang merupakan mantan Dirut PT Pindad serta pencipta senapan otomatis SS-2 dan panser Anoa ini bertutur, PT DI tidak lagi boleh tergantung terhadap suntikan modal pemerintah, melainkan harus berpikir menjadi sebuah korporasi perusahaan pesawat terbang yang fokus pada pasar.
"Sederhananya, prioritas pertama membuat PT DI kompetitif dibandingkan perusahaan lain terutama dalam produksi. Kita nggak jual desain, kita jual barang. Itu harus dibuat dengan yang kompetitif. Ini yang kita lakukan saat ini," tambahnya.
Pihaknya juga tak ingin mengembangkan produk yang sangat tergantung secara langsung dengan dukungan 100% dari pemerintah. "Kita perkuat PT DI menjadi persahaan bukan perusahaan riset, mudah-mudahan tidak tercampur politik. Pengalaman buruk begitu Pak Harto berhenti, program hancur semua. PT DI ini kita inginkan jadi terbesar. Tidak terlalu tergantung faktor politik," tambahnya.
PT DI ke depan tidak mau lagi menjual mimpi, melainkan menghasilkan produk berdasarkan kemampuan. Selain itu, PT DI secara bertahap sedang merancang pesawat penumpang berbadan kecil, yakni N-219 sebagai satu produk hasil rancangan sendiri.
Meskipun tak ingin bergantung pada pemerintah, ia berharap alokasi subsidi BBM yang besar (Rp 300 triliun) bisa diperuntukkan untuk membantu mengembangkan pesawat.
"Kita harus punya produk sendiri. Kalau kita bangun pesawat sendiri. Kita bangun pesawat yang senilai US$ 2 miliar. Kita akan cari partner," cetusnya.
● Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.