Mereka menilai rencana Prabowo merusak rencana sistem pertahanan Indonesia Jet tempur Euro Fighter Typhoon Austria yang jarang digunakan karena keterbatasan anggaran (facebook) ★
Sejumlah anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan penolakannya terhadap rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membeli pesawat tempur bekas asal Austria. Pembelian pesawat tempur jenis Eurofighter Thypoon itu dianggap berisiko merusak peta jalan kerja sama pembuatan pesawat tempur dengan Korea Selatan.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, menyatakan pemerintah Indonesia berpotensi diembargo sejumlah negara jika meneruskan ambisi membeli pesawat bekas dari Austria. "Kita sedang merintis prototype pesawat tempur melalui kerja sama KFX/IFX (Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment) yang seharusnya bisa dikembangkan," ucap Hasanuddin kepada Tempo, kemarin.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama membangun jet tempur KFX/IFX dengan pemerintah Korea Selatan sejak 2009. Proyek ini seharusnya direncanakan berjalan hingga 2026 dengan nilai proyek mencapai US$ 8 miliar. Porsi pembagian pembiayaan 20 persen untuk Indonesia dan 80 persen ditanggung Korea Selatan. Pada 2018, Indonesia sempat mengajukan negosiasi ulang terkait dengan persoalan pembiayaan, ongkos produksi, pemasaran, alih teknologi, hingga hak kekayaan intelektual pembuatan jet tempur.
Menurut Hasanuddin, Indonesia bercita-cita dapat membangun sendiri jet tempur yang setara dengan pesawat siluman F-22 Raptor dan F-35 buatan Amerika Serikat. Pengembangan proyek membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk mewujudkan pesawat prototipe buatan Indonesia. Rencana pembelian pesawat tempur bekas asal Austria dianggap dapat merusak proyek besar Indonesia membangun jet tempur.
Pembelian pesawat bekas juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, yang berkaitan dengan transfer teknologi dalam setiap pengadaan dan pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) perang. Menurut dia, undang-undang itu mensyaratkan bahwa alutsista sebagian besar harus diproduksi di dalam negeri. Termasuk menyediakan kebutuhan pemeliharaan untuk kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan.
Ilustrasi KFX/IFX [istimewa]
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, menambahkan, seharusnya setiap pembelian alutsista disesuaikan dengan rencana sistem pertahanan komprehensif yang menjadi kebijakan pemerintah Indonesia selama ini. "Beli pesawat, tank, senjata serbu, semua itu harus ada dasarnya. Apalagi beli pesawat tempur udara jenis superfighter," kata Willy, kemarin.
Dia khawatir pembelian pesawat bekas justru akan mengubah strategi pertahanan Indonesia yang semula aktif menjadi ofensif. Apalagi masalah pertahanan sangat berkaitan erat dengan kebijakan politik luar negeri. Willy menganggap rencana Prabowo membeli pesawat bekas tergesa-gesa dan tidak didahului kajian komprehensif yang terintegrasi dengan sistem pertahanan nasional.
Menurut Willy, pesawat tempur jenis Eurofighter Typhoon merupakan pesawat yang sejenis dengan Sukhoi Su-35 yang selama ini dimiliki Indonesia. Pembelian ini dianggap tak efisien karena berkaitan dengan mekanisme perawatan. Sebelumnya, Indonesia menyiapkan peralatan, pelatihan, suku cadang, dan berbagai hal lain yang dipasok untuk kebutuhan Sukhoi Su-35. "Kalau beli model yang berbeda, maka belanja untuk perbaikan, perawatan, suku cadang, dan lainnya juga akan beda."
Wakil Ketua Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kharis Almasyhari, menyatakan belum mendengar secara resmi kabar pembelian pesawat bekas tersebut. Hal ini lantaran DPR memiliki keterbatasan dalam fungsi pengawasan anggaran pada satuan tiga atau belanja teknis. "Mau beli apa-apa kan tidak perlu izin Komisi I. Kami hanya menyetujui anggarannya, tapi tidak sampai satuan tiga," ucap Kharis.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, menyatakan pembelian pesawat bekas tersebut baru wacana dan belum masuk Rencana Strategis Kementerian Pertahanan 2020. "Itu masih dalam penjajakan. Pesawat itu didapatkan nyaris gratis, tapi perlu di-upgrade, seperti mesinnya, kemampuan tempur, dan dilihat kelayakan pakainya sejauh mana,” kata dia.
Meski demikian, setiap pembelian alutsista mensyaratkan transfer teknologi ke Indonesia. Hal ini untuk mendukung rencana kemandirian pertahanan di Indonesia. Jika hal itu ada, pembelian pesawat tempur bekas bisa dilakukan, tentunya atas persetujuan parlemen. DPR juga perlu melihat teknis klausul kerja sama jual-beli antara Indonesia dan Austria. “Yang terpenting hal itu tidak menyebabkan kerugian negara,” kata dia.
Sejumlah anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan penolakannya terhadap rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membeli pesawat tempur bekas asal Austria. Pembelian pesawat tempur jenis Eurofighter Thypoon itu dianggap berisiko merusak peta jalan kerja sama pembuatan pesawat tempur dengan Korea Selatan.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, menyatakan pemerintah Indonesia berpotensi diembargo sejumlah negara jika meneruskan ambisi membeli pesawat bekas dari Austria. "Kita sedang merintis prototype pesawat tempur melalui kerja sama KFX/IFX (Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment) yang seharusnya bisa dikembangkan," ucap Hasanuddin kepada Tempo, kemarin.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama membangun jet tempur KFX/IFX dengan pemerintah Korea Selatan sejak 2009. Proyek ini seharusnya direncanakan berjalan hingga 2026 dengan nilai proyek mencapai US$ 8 miliar. Porsi pembagian pembiayaan 20 persen untuk Indonesia dan 80 persen ditanggung Korea Selatan. Pada 2018, Indonesia sempat mengajukan negosiasi ulang terkait dengan persoalan pembiayaan, ongkos produksi, pemasaran, alih teknologi, hingga hak kekayaan intelektual pembuatan jet tempur.
Menurut Hasanuddin, Indonesia bercita-cita dapat membangun sendiri jet tempur yang setara dengan pesawat siluman F-22 Raptor dan F-35 buatan Amerika Serikat. Pengembangan proyek membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk mewujudkan pesawat prototipe buatan Indonesia. Rencana pembelian pesawat tempur bekas asal Austria dianggap dapat merusak proyek besar Indonesia membangun jet tempur.
Pembelian pesawat bekas juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, yang berkaitan dengan transfer teknologi dalam setiap pengadaan dan pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) perang. Menurut dia, undang-undang itu mensyaratkan bahwa alutsista sebagian besar harus diproduksi di dalam negeri. Termasuk menyediakan kebutuhan pemeliharaan untuk kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan.
Ilustrasi KFX/IFX [istimewa]
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, menambahkan, seharusnya setiap pembelian alutsista disesuaikan dengan rencana sistem pertahanan komprehensif yang menjadi kebijakan pemerintah Indonesia selama ini. "Beli pesawat, tank, senjata serbu, semua itu harus ada dasarnya. Apalagi beli pesawat tempur udara jenis superfighter," kata Willy, kemarin.
Dia khawatir pembelian pesawat bekas justru akan mengubah strategi pertahanan Indonesia yang semula aktif menjadi ofensif. Apalagi masalah pertahanan sangat berkaitan erat dengan kebijakan politik luar negeri. Willy menganggap rencana Prabowo membeli pesawat bekas tergesa-gesa dan tidak didahului kajian komprehensif yang terintegrasi dengan sistem pertahanan nasional.
Menurut Willy, pesawat tempur jenis Eurofighter Typhoon merupakan pesawat yang sejenis dengan Sukhoi Su-35 yang selama ini dimiliki Indonesia. Pembelian ini dianggap tak efisien karena berkaitan dengan mekanisme perawatan. Sebelumnya, Indonesia menyiapkan peralatan, pelatihan, suku cadang, dan berbagai hal lain yang dipasok untuk kebutuhan Sukhoi Su-35. "Kalau beli model yang berbeda, maka belanja untuk perbaikan, perawatan, suku cadang, dan lainnya juga akan beda."
Wakil Ketua Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kharis Almasyhari, menyatakan belum mendengar secara resmi kabar pembelian pesawat bekas tersebut. Hal ini lantaran DPR memiliki keterbatasan dalam fungsi pengawasan anggaran pada satuan tiga atau belanja teknis. "Mau beli apa-apa kan tidak perlu izin Komisi I. Kami hanya menyetujui anggarannya, tapi tidak sampai satuan tiga," ucap Kharis.
Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, menyatakan pembelian pesawat bekas tersebut baru wacana dan belum masuk Rencana Strategis Kementerian Pertahanan 2020. "Itu masih dalam penjajakan. Pesawat itu didapatkan nyaris gratis, tapi perlu di-upgrade, seperti mesinnya, kemampuan tempur, dan dilihat kelayakan pakainya sejauh mana,” kata dia.
Meski demikian, setiap pembelian alutsista mensyaratkan transfer teknologi ke Indonesia. Hal ini untuk mendukung rencana kemandirian pertahanan di Indonesia. Jika hal itu ada, pembelian pesawat tempur bekas bisa dilakukan, tentunya atas persetujuan parlemen. DPR juga perlu melihat teknis klausul kerja sama jual-beli antara Indonesia dan Austria. “Yang terpenting hal itu tidak menyebabkan kerugian negara,” kata dia.
♞ Koran Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.