Komitmen pemerintah untuk memajukan industri pertahanan harus diikuti
dengan dukungan peraturan perundang-undangan yang memadai. Dengan
demikian, industri pertahanan dalam negeri tidak terombang - ambing oleh
situasi politik yang berkembang.
Regulasi itu juga harus mengatur mengenai ketentuan yang harus dipenuhi apabila terpaksa melakukan impor alat utama sistem senjata (alutsista). Saat ini, DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Industri Pertahanan. Diharapkan, UU ini nantinya akan menjamin pemberdayaan industri pertahanan nasional karena akan mengikat para user untuk membeli alutsista dari dalam negeri.
Selain itu juga, mengatur soal sinergitas antarindustri strategis maupun industri pertahanan. Anggota Komisi I DPR Susaningtyas Kertopati mengatakan, klausul tentang komitmen untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri harus dimasukkan dalam RUU yang sedang dibahas itu. Dengan adanya regulasi yang mengikat, maka ada jaminan bahwa pelaksanaan pemberdayaan industri pertahanan bisa stabil dan tidak terpengaruh perubahan sistem politik maupun kepemimpinan negara.
“Political support bagi industri pertahanan merupakan hal penting karena tanpa itu, industri pertahanan semata khayalan teknologi,”ujarnya. UU Industri Pertahanan juga mesti mengatur ketentuan jika pemerintah terpaksa melakukan impor alutsista. Misalnya, mengenai keharusan adanya proses alih teknologi (Transfer of Technology/ToT). Jika ini diatur,maka ToT bisa lebih terjamin pelaksanaannya. Saat ini pemerintah sedang gencar membeli produk alutsista dari berbagai negara,seperti tank tempur utama Leopard dari Jerman, pesawat tempur Sukhoi dari Rusia, pesawat tempur ringan T-50 dari Korea Selatan.
Juga ada hibah pesawat tempur F-16 asal Amerika Serikat dan pesawat angkut Hercules dari Australia. Adapun rencana yang sudah mulai direalisasi seperti Super Tucano asal Brasil. Susaningtyas menuturkan, semua pembelian itu harus ada proses alih teknologi dan untuk menjamin bahwa proses itu dilaksanakan, maka perlu diikat dalam UU. Tanpa ada pengaturan yang jelas, pemerintah bisa dianggap memiliki dualisme pembangunan.
Di satu sisi berjuang mewujudkan kemandirian alutsista dalam negeri dengan memberdayakan industri pertahanan, di sisi lain terus memesan produk alutsista luar negeri.“Jangan sampai didominasi dengan barang impor,”ujarnya. Dia menambahkan, akan lebih baik jika ada integrasi dukungan antara pemerintah, parlemen, dan masyarakat dalam struktur kebijakan yang dapat dimplementasikan secara baik.
“Seperti di Spanyol, mereka serius melakukan riset untuk pengembangan teknologi dan negara mendukungnya,”paparnya. Bahkan di Spanyol, tambahnya, juga menggodok metode jual-belinya sedemikian rupa. Sehingga, hal ini akan memberikan keuntungan bagi negara tanpa mengurangi kepercayaan pihak pembeli.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menuturkan, pembangunan industri pertahanan akan diperkuat dengan pembentukan undang-undang. Undang-undang ini diharapkan menjadi landasan pembuatan aturan-aturan turunan yang bisa dijadikan naungan bagi pembangunan industri pertahanan ke depan.
Regulasi itu juga harus mengatur mengenai ketentuan yang harus dipenuhi apabila terpaksa melakukan impor alat utama sistem senjata (alutsista). Saat ini, DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Industri Pertahanan. Diharapkan, UU ini nantinya akan menjamin pemberdayaan industri pertahanan nasional karena akan mengikat para user untuk membeli alutsista dari dalam negeri.
Selain itu juga, mengatur soal sinergitas antarindustri strategis maupun industri pertahanan. Anggota Komisi I DPR Susaningtyas Kertopati mengatakan, klausul tentang komitmen untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri harus dimasukkan dalam RUU yang sedang dibahas itu. Dengan adanya regulasi yang mengikat, maka ada jaminan bahwa pelaksanaan pemberdayaan industri pertahanan bisa stabil dan tidak terpengaruh perubahan sistem politik maupun kepemimpinan negara.
“Political support bagi industri pertahanan merupakan hal penting karena tanpa itu, industri pertahanan semata khayalan teknologi,”ujarnya. UU Industri Pertahanan juga mesti mengatur ketentuan jika pemerintah terpaksa melakukan impor alutsista. Misalnya, mengenai keharusan adanya proses alih teknologi (Transfer of Technology/ToT). Jika ini diatur,maka ToT bisa lebih terjamin pelaksanaannya. Saat ini pemerintah sedang gencar membeli produk alutsista dari berbagai negara,seperti tank tempur utama Leopard dari Jerman, pesawat tempur Sukhoi dari Rusia, pesawat tempur ringan T-50 dari Korea Selatan.
Juga ada hibah pesawat tempur F-16 asal Amerika Serikat dan pesawat angkut Hercules dari Australia. Adapun rencana yang sudah mulai direalisasi seperti Super Tucano asal Brasil. Susaningtyas menuturkan, semua pembelian itu harus ada proses alih teknologi dan untuk menjamin bahwa proses itu dilaksanakan, maka perlu diikat dalam UU. Tanpa ada pengaturan yang jelas, pemerintah bisa dianggap memiliki dualisme pembangunan.
Di satu sisi berjuang mewujudkan kemandirian alutsista dalam negeri dengan memberdayakan industri pertahanan, di sisi lain terus memesan produk alutsista luar negeri.“Jangan sampai didominasi dengan barang impor,”ujarnya. Dia menambahkan, akan lebih baik jika ada integrasi dukungan antara pemerintah, parlemen, dan masyarakat dalam struktur kebijakan yang dapat dimplementasikan secara baik.
“Seperti di Spanyol, mereka serius melakukan riset untuk pengembangan teknologi dan negara mendukungnya,”paparnya. Bahkan di Spanyol, tambahnya, juga menggodok metode jual-belinya sedemikian rupa. Sehingga, hal ini akan memberikan keuntungan bagi negara tanpa mengurangi kepercayaan pihak pembeli.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menuturkan, pembangunan industri pertahanan akan diperkuat dengan pembentukan undang-undang. Undang-undang ini diharapkan menjadi landasan pembuatan aturan-aturan turunan yang bisa dijadikan naungan bagi pembangunan industri pertahanan ke depan.
Sumber: SINDO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.