★ Optimisme Baru Ketahanan Energi Pengumuman bertuliskan 'Premium Habis' dipasang di SPBU di Jakarta
Subsidi BBM capai ratusan triliun. Kuota pun dikhawatirkan jebol.
Ruangan itu berukuran 10x15 meter persegi. Terletak di lantai 3 sebuah gedung BUMN di sektor energi. Tak ada yang istimewa.
Layaknya sebuah ruang pertemuan, perabotan standar tertata rapi. Puluhan meja bundar tersusun dalam beberapa kelompok.
Namun, pada Selasa 14 Oktober 2014, ruangan itu penuh sesak. Sebagian besar orang yang memenuhi ruangan berbusana rapi.
Hari itu, rencana besar digulirkan. Bertajuk “Skenario Bandung”, puluhan
pakar dan pelaku di sektor energi berkumpul, arahnya satu, memperkuat
ketahanan energi nasional melalui optimisme baru.
Poin penting dari “Skenario Bandung” itu adalah adanya prakarsa yang
menumbuhkan optimisme baru, penguatan, dan pemberdayaan sektor energi
nasional.
"Memahami skenario-skenario untuk mengetahui berbagai tantangan yang
bisa jadi muncul kelak sangat penting, khususnya bagi perencanaan
pembangunan," kata Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UK4), Kuntoro Mangkusubroto, Selasa 14 Oktober
2014.
Kuntoro mengatakan, skenario-skenario yang dirumuskan bisa digunakan
untuk menghasilkan perencanaan yang tepat guna memperkuat ketahanan
energi nasional. Sebab, kepastian keamanan dan ketersediaan energi bagi
masa depan adalah isu krusial bagi pemerintah sekaligus pembangunan
ekonomi.
Sebaliknya, kata dia, ketidakmampuan dalam beradaptasi terhadap
perubahan energi yang mungkin timbul, bisa berakibat fatal bagi masa
depan energi Indonesia. Ujung-ujungnya, pertumbuhan industri strategis
tak berjalan. Harganya pun bisa berubah.
Ya, isu energi telah menjadi sangat penting. Selama puluhan tahun,
permasalahan energi selalu menjadi tema sentral. Maklum, produk yang
dihasilkan langsung menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat. Dari
kebutuhan listrik, gas, hingga bahan bakar minyak (BBM).
Senin, 20 Oktober 2014, Indonesia mempunyai pemimpin baru. Presiden dan
Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, resmi dilantik di
hadapan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Era baru
pemerintahan pun dimulai, banyak pekerjaan rumah yang harus segera
diselesaikan. Tak terkecuali di sektor energi.
Selama satu dasawarsa terakhir, di masa Pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, sektor energi mengalami pasang surut. Banyak prestasi
dicapai, meski tak sedikit perlu pembenahan.
Dewan Energi Nasional bahkan mengingatkan, ketahanan energi di dalam
negeri cukup mengkhawatirkan. Pasokan energi hanya cukup untuk 20 hari.
Itu pun dikategorikan cadangan operasional, bukan cadangan penampungan.
Terlepas dari kondisi itu, selama dua periode kepemimpinan SBY, banyak warisan energi yang ditinggalkan.
Pengendalian BBM Bersubsidi
Dua bulan jelang berakhirnya masa Pemerintahan SBY, kebijakan
pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi digulirkan. Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Jero Wacik, mengeluarkan
kebijakan untuk menjaga kuota BBM bersubsidi selama 2014 tidak melebihi
kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR.
Kebijakan itu beralasan, mengingat hingga semester pertama 2014,
realisasi penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 22,91 juta kilo liter
(KL). Jumlah ini lebih tinggi dari kuota yang direncanakan sebanyak
22,81 juta KL. Sementara itu, pada periode sama 2013 mencapai 22,74 juta
KL.
Kenaikan volume BBM bersubsidi ini antara lain disebabkan oleh
pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Asosiasi Industri
Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam 3 tahun terakhir, rata-rata angka
penjualan mobil mencapai 1,1 juta unit per tahun, sedangkan motor 7,6
unit per tahun. Sementara itu, untuk 2014, target penjualan mobil adalah
1,25 juta unit dan motor 8 juta unit.
Meskipun telah dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada Juni
2013, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi
telah mengakibatkan migrasi pengguna BBM non subsidi ke BBM subsidi.
Kondisi itu diperparah dengan masih terdapat penyalahgunaan BBM
bersubsidi, khususnya jenis solar.
Menyikapi kondisi itu, pemerintah kemudian bertindak cepat. Kebijakan
pengendalian tertentu diterapkan, dengan mengimplementasikan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan BBM yang
antara lain melarang penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas,
pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan transportasi laut non pelayanan
rakyat serta non perintis.
Perkiraan penghematan dari implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 1
Tahun 2013 ini adalah 0,46 juta KL. Perinciannya, bensin 0,15 juta KL,
sedangkan solar 0,31 juta KL.
BPH Migas pun melakukan pengawasan dengan target penghematan penggunaan BBM bersubsidi jenis minyak solar sebanyak 0,50 juta KL.
Selanjutnya, program konversi BBM ke bahan bakar gas juga diperkirakan
memberikan penghematan terhadap penggunaan premium sebesar 0,09 juta KL.
Saat ini, terdapat 27 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan 2 mobile refueling unit (MRU) di Jabodetabek, Jawa Timur, dan Palembang.
Selain itu, pengurangan Nozzle BBM public service obligation (PSO) yang
dilaksanakan di 59 kota/kabupaten siap BBM PSO diharapkan dapat
memberikan penghematan 0,95 juta KL dengan rincian bensin 0,67 juta KL
dan solar 0,28 juta KL.
Harga BBM Bersubsidi
Presiden SBY bukannya tidak berupaya untuk menekan subsidi BBM. Pada
2005, ketatnya ruang fiskal yang diwariskan Megawati membuat SBY harus
menaikkan premium dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter.
Kemudian, ketika mini krisis di Indonesia pada 2008, pada Mei, premium kembali dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter.
Namun, harga premium sebesar Rp 6.000 tersebut hanya bertahan beberapa
bulan. Pada November 2008, SBY menurunkan harga premium menjadi Rp 5.500
per liter. Selanjutnya, pada Desember tahun yang sama, premium
diturunkan kembali menjadi Rp 5.000 per liter.
Tidak berhenti di situ, pada awal 2009, yang diketahui menjelang masa
jabatan SBY berakhir dan masuk masa kampanye pemilihan presiden baru
periode 2009-2014, SBY kembali menurunkan harga BBM menjadi Rp 4.500 per
liter.
Harga tersebut bertengger hingga 2013, dengan perjuangan yang keras
meminta izin ke DPR, harga premium dinaikkan kembali menjadi Rp 6.500
per liter.
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin besar, mengakibatkan
kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai program percepatan dan
perluasan program perlindungan sosial terkendala. Khususnya yang
berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan
infrastruktur.
Sementara itu, subsidi BBM pada kenyataannya justru dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat menengah atas. Untuk itu, pemerintah telah
berusaha agar tekanan yang berasal dari kenaikan konsumsi BBM bersubsidi
dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat.
Langkah-Iangkah seperti penghematan dan pengendalian belanja pemerintah,
optimalisasi penerimaan negara serta pengendalian BBM bersubsidi dan
konversi BBM bersubsidi ke gas telah dan akan terus dilakukan.
Meski demikian, langkah-Iangkah tersebut belum mencukupi untuk membiayai
kenaikan konsumsi BBM bersubsidi yang merupakan dampak dari pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa melakukan opsi kebijakan
penyesuaian harga BBM bersubsidi.
Harga BBM bersubsidi di Indonesia saat ini sebenarnya sudah termasuk
salah satu yang terendah di negara tetangga, sehingga berpotensi adanya
penyelundupan.
Penghapusan Subsidi Listrik
Pada sektor kelistrikan, guna mempertahankan kelangsungan pengusahaan
penyediaan tenaga listrik, Pemerintahan SBY menghapus subsidi listrik
melalui penyesuaian tarif tenaga listrik untuk golongan pelanggan
tertentu.
Upaya itu dilakukan untuk peningkatan mutu pelayanan kepada konsumen,
peningkatan rasio elektrifikasi, serta mendorong subsidi listrik yang
lebih tepat sasaran. Sesuai Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009,
pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik
untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Penghapusan subsidi listrik melalui penyesuaian tarif tenaga listrik itu
dilakukan secara bertahap untuk golongan pelanggan tertentu, yaitu
golongan pelanggan industri menengah (I-3) yang non go public, golongan
pelanggan rumah tangga (R-1 1.300 VA, R-1 2.200 VA, dan R-2 3.500 VA s.d
5.500 VA), golongan pelanggan pemerintah (P-2 di atas 200 kVA), dan
penerangan jalan umum (P-3) setiap dua bulan yang diberlakukan mulai 1
Juli 2014.
Saat ini, tantangan yang dihadapi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
adalah bagaimana cara untuk mempercepat rasio elektrifikasi, dengan tiap
tahun terdapat minimal 3 juta sambungan baru. Pada 2013, konsumsi
listrik telah mencapai 876 kWh/kapita dan akan terus meningkat hingga
1.300 kWh/kapita pada 2020.
Kondisi itu perlu segera diantisipasi, sehingga dibutuhkan kesiapan
penyediaan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan konsumsi listrik
sebesar 7-8 persen, dan permintaan tenaga listrik sekitar 9 persen per
tahun atau penambahan daya sekitar 5.000 MW.
Hingga Desember 2013, rasio elektrifikasi di Indonesia mencapai 80,51 persen dan meningkat 13 persen dalam tiga tahun terakhir.
Sebuah pekerjaan besar bagi BUMN di sektor kelistrikan itu. Dengan belanja modal Rp 50 triliun per tahun, PLN dan semua stakeholder harus bekerja keras untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan.
Beberapa di antaranya adalah pembangunan proyek transmisi listrik 500
kilovolt (kV) Sumatera dan transmisi interkoneksi listrik Sumatera-Jawa.
Kedua proyek yang dicanangkan pembangunannya oleh Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung itu dinilai strategis untuk
memperkuat pasokan listrik ke Sumatera dan menghubungkan listrik antara
Sumatera dan Jawa.
“Proyek transmisi 500 kV trans Sumatera ini seperti interkoneksi Jawa-Bali,” ujar Chairul.
Proyek transmisi 500 kV Sumatera itu membentang sepanjang sisi timur
Pulau Sumatera. Jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi ini akan
berfungsi sebagai “jalan tol listrik” Sumatera yang menyalurkan tenaga
listrik dari pusat-pusat pembangkit ke pusat-pusat beban di Pulau
Sumatera.
Total beban puncak di Sumatera saat ini sekitar 4.483 MW dan beban
listrik di Sumatera tumbuh rata-rata 10 persen per tahun. Pembangunan
jaringan transmisi ini akan memperkuatan sistem kelistrikan Sumatera dan
juga secara signifikan akan mengurangi pemakaian BBM sebagai bahan
bakar pembangkit listrik.
Proyek transmisi 500 kV Sumatera ini merupakan proyek pembangunan
transmisi pertama yang menggunakan skema pembiayaan serta pembangunan
penuh dilakukan oleh developer, dan selanjutnya dalam jangka panjang
akan dimiliki PLN.
Bila semua tahap pembangunan ini selesai, ditargetkan pada 2020 telah
tersedia “jalan tol listrik” Sumatera yang menghubungkan Muara Enim di
Sumatera Selatan hingga Medan di Sumatera Utara.
Pemurnian Mineral di Dalam Negeri
Kebijakan yang ikut memukul perusahaan tambang besar ini, menjadi salah satu aturan yang banyak disorot.
Pemerintahan era SBY menyatakan, guna menindaklanjuti amanat UU No. 4
Tahun 2009, khususnya terkait dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian
mineral, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Inti dari peraturan pemerintah itu adalah pemegang kontrak karya dan
pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang melakukan
kegiatan penambangan mineral logam, hanya diperbolehkan melakukan
penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu, jika telah melakukan
kegiatan permurnian.
Artinya, sejak 12 Januari 2014, pemegang IUP operasi produksi dan
pemegang kontrak karya dilarang melakukan penjualan bijih (raw
material/ore) ke luar negeri.
Hasil pengolahan dalam bentuk konsentrat tembaga, pasir besi, bijih
besi, seng, timbal, dan mangan diperbolehkan dijual ke luar negeri
hingga fasilitas pemurnian selesai paling lambat tiga tahun sejak
Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 diundangkan.
Otoritas terkait, khususnya Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian
Keuangan, pun siap mengawal aturan itu. "Pokoknya, per tanggal 12
Januari jam 00.00 WIB, semua mineral mentah tidak boleh diekspor,"
ungkap Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.
Beberapa perusahaan tambang besar, seperti PT Newmont Nusa Tenggara, pun
ikut cemas. Mereka terhambat dalam mengekspor mineral mentahnya.
Newmont beralasan, larangan ekspor mineral mentah memicu kerugian bagi perusahaan.
Bahkan, Newmont dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara
Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang berbadan hukum Belanda,
pada Selasa 1 Juli 2014, sempat mengajukan gugatan ke arbitrase
internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait dengan larangan
ekspor itu.
Mereka menyebut adanya regulasi pemerintah itu, mengakibatkan
dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan
kesulitan serta kerugian ekonomi terhadap para karyawan Newmont,
kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Meskipun, Newmont akhirnya mencabut gugatan arbitrase mereka di
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
setelah pemerintah membuka negosiasi formal dan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Newmont.
Renegosiasi Harga Gas Tangguh
Momentum “keberhasilan” di era Pemerintahan SBY juga terlihat dalam
renegosiasi harga jual gas LNG Tangguh, Papua. Tim renegosiasi
pemerintah Indonesia dan pembeli dari Fujian, Tiongkok, sepakat untuk
besaran harga jual gas itu.
Terhitung mulai 1 Juli 2014, harga jual gas LNG Tangguh ke Fujian
berubah menjadi US$ 8 per mmbtu (juta british thermal unit) dari
sebelumnya US$ 2,7 per mmbtu. Batasan maksimum harga JCC (Japan Crude
Cocktail /harga acuan minyak mentah Jepang) yang sebelumnya sebesar US$
38/bbl, kini ditiadakan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, saat itu, Jero Wacik,
menjelaskan, pada 2006, sempat dilakukan renegosiasi. Pihak penjual dan
pembeli sepakat untuk menaikkan harga batas atas JCC menjadi US$ 38/bbl.
Dengan kenaikan harga JCC, maka harga gas Tangguh meningkat menjadi US$
3,3 per mmbtu.
Pada 2010, kembali terjadi renegosiasi, namun tidak berhasil mencapai
kesepakatan harga. Selanjutnya, pada 2012, usai bertemu dengan Presiden
China Hu Jintao, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, saat itu, Jero Wacik,
untuk melakukan renegosiasi harga gas Tangguh yang dijual ke Fujian,
karena menurut Presiden masih belum fair, di tengah harga minyak dunia
yang terus berubah harganya.
“Amendment agreement kontrak baru ditandatangani pada 20 Juni
2014. Kita sepakati harga gas yang baru, ini merupakan kesepakatan yang
luar biasa," ujar Jero.
Kontrak LNG Tangguh merupakan kontrak ekspor LNG ke Provinsi Fujian,
Tiongkok yang disahkan pada 2002 dan masih berlangsung hingga saat ini.
Perjanjian penjualan gas Tangguh itu ditandatangani Presiden Megawati
pada 2002 dengan mematok harga flat yang sangat murah, yaitu US$ 3,3 per
juta british thermal unit (MMBTU) selama 20 tahun.
Nilai kontrak ini sangat jauh di bawah harga pasaran internasional LNG
saat ini, yaitu sekitar US$ 20 per MMBTU. Bahkan, lebih rendah dari
harga di ladang gas lain, seperti LNG Bontang yang diekspor ke Jepang.
Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rakhmanto, menilai,
salah satu pencapaian yang dinilai berhasil di era Pemerintahan SBY
adalah renegosiasi harga gas Tangguh. Meskipun, kesepakatan itu dinilai
biasa, karena selama empat tahun boleh dikaji ulang.
“Pencapaian di sektor energi pasti ada. Tapi, jika dilihat, tantangan di
sektor energi lebih cepat pertumbuhannya dibanding pencapaian itu
sendiri,” ujar dia kepada VIVAnews.
Namun, dia mengingatkan masih besarnya subsidi BBM yang dikhawatirkan
tembus di atas Rp300 triliun. Bahkan, kuota BBM bersubsidi juga
diperkirakan jebol tahun ini.★ Jalan Siput Internet di Era SBY Ilustrasi penggunaan internet.
Penapisan ikut dituding sebagai penyebab koneksi lemot.
Sebut
saja namanya Wati. Lulusan sekolah menengah atas ini ingin berbakti
pada kampung halamannya di Pulau Buru dengan melamar menjadi calon
pegawai negeri sipil (CPNS). Ada beberapa posisi CPNS yang dibuka.
Pendaftaran CPNS dilakukan secara online.
Namun, kampungnya di pelosok pulau di Provinsi Maluku itu tak memiliki
koneksi Internet yang memadai. Wati lalu meminta tolong pada sepupunya
yang bermukim di Kota Ambon untuk mendaftarkannya melalui Internet di
Ibu Kota Provinsi Maluku itu.
Tapi, “Di Ambon, juga susah Internet, harus cari warung Internet,” kata
Donny BU, peneliti senior di Information and Communication Technology
(ICT) Watch, ditemui VIVAnews pada awal Oktober 2014 ini. Sepupu Wati
pun pergi ke warung Internet. Ternyata, warnet sudah penuh dengan orang
yang sibuk mendaftarkan diri atau kenalan menjadi CPNS.
Wati akhirnya berhasil mendaftarkan diri. Namun, dia menemukan kenyataan
pahit, kebanyakan yang mendaftarkan diri untuk posisi CPNS di Pulau
Buru berasal dari luar kampungnya.
Jadi, kata Donny, alih-alih efisiensi dan menghindarkan korupsi dengan
pendaftaran secara online, yang muncul justru kesenjangan dan
inefisiensi baru. “Pemerintah bicara e-government, tapi infrastruktur
tidak ada, yang ada ya kesenjangan,” kata pengajar di Universitas Bina
Nusantara itu.
Kesenjangan Digital
Hingga akhir 2013, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) mencatat pengguna Internet Indonesia menembus angka 71,19 juta,
meningkat 19 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah itu, menurut Ketua
Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Samuel
Abrijani Pangerapan, baru 28 persen dari populasi Indonesia, masih jauh
dari target 50 persen populasi seperti tercantum dalam Millennium
Development Goals pada 2014.
Penetrasi Internet tertinggi di Jakarta, 42,8 persen. Terendah, Papua
Barat dengan hanya 15 persen. Secara umum, kata Samuel, penetrasi
Internet di kawasan timur Indonesia sangat kecil, jauh di bawah
rata-rata nasional.
Dan sebagian besar koneksi Internet itu mengandalkan jaringan telepon
seluler atau nirkabel 2G atau 3G. Masyarakat Telematika (Mastel)
menyatakan, hanya 3 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses pita
lebar atau generasi keempat. Dan jelas, akses ini terbatas di kota-kota
besar di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tak mengherankan, kecepatan Internet di Indonesia tergolong parah di
skala global. Tahun 2014, kecepatan rata-rata adalah sekitar 2,5
megabite per detik (Mbps) alias urutan ke-101 dari seluruh negara.
Posisinya jauh di bawah Singapura yang menduduki peringkat 21, Malaysia
di urutan ke-69, dan Vietnam di posisi 90. Sementara itu, urutan
pertamanya diduduki oleh Korea Selatan dengan kecepatan rata-rata 24,6
Mbps.
Padahal, kata Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa, koneksi pita lebar
berkorelasi positif dengan produk domestik bruto sebuah negara. "Dalam
studi yang dilakukan Bank Dunia pada 2009, sudah dinyatakan bahwa setiap
kenaikan 10 persen penetrasi TIK (Broadband atau pita lebar) akan
meningkatkan Produk Domestik Bruto sebesar 1,38 persen," katanya, Selasa
26 Agustus 2014.
Indonesia, kata Setyanto, sebenarnya bisa menjadi salah satu negara yang
mengambil manfaat ekonomi dari keberadaan kemajuan teknologi. Indonesia
bisa meraih keuntungan, seperti pada sektor pembangunan, bisnis,
transportasi, perdagangan, kesehatan, dan pendidikan yang saat ini
membutuhkan telekomunikasi di dalamnya.
"Pengguna internet Indonesia sudah mencapai angka 75 juta, 80 persennya
berusia antara 15-55 tahun dan pada umumnya, kita masih menggunakan
jaringan nirkabel (wireless) jadi sinyalnya ndut-ndutan," ucapnya.
Pengguna Internet Indonesia menembus angka 71,19 juta, meningkat 19 persen dari tahun sebelumnya (VIVAnews/Amal Nur Ngazis)
Perpres Pita Lebar
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tahun 2010,
Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar program Pusat Layanan
Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan
(M-PLIK). Berbekal dana Universal Service Obligation (USO) yang berasal
dari para penyelenggara jasa Internet sebesar Rp2,4 triliun, pemerintah
mencoba memperluas akses Internet ke pelosok-pelosok dengan menghadirkan
koneksi Internet yang mengandalkan satelit.
Sepanjang 2010-2012, diadakan 5.748 unit PLIK dan 1.907 MPLIK. Hasilnya,
sebagian bekerja dengan baik, namun sebagian besar justru menyisakan
masalah. Ada yang tak efektif karena tak ada sumber daya listrik,
kondisi lokal yang sulit dijangkau, korupsi, penyalahgunaan, dan
sebagainya.
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat sampai kemudian membentuk Panitia Kerja
untuk mengusut proyek ini. “Ditemukan banyak penyimpangan dalam
pelaksanaannya,” kata anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya, April 2013.
DPR juga merekomendasikan Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit proyek ini.
Anggota Komisi I dari Fraksi PDIP Helmy Fauzi mengungkapkan temuan panja
di sejumlah daerah mengindikasikan program itu salah sasaran. Menurut
dia, banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya bahkan menimbulkan
kekisruhan dengan pemerintah daerah setempat.
“Misalnya, dalam satu peresmian ditandatangani oleh bupati dengan
seremoni, tetapi berikutnya bupati tidak tahu ke mana barang itu. Itu
salah satu contoh,” ujarnya kepada VIVAnews.
Temuan lain, program layanan internet kecamatan ini diperjualbelikan,
sehingga bergeser fungsinya dari upaya menciptakan komunikasi Internet
yang murah untuk masyarakat menjadi semacam warnet biasa. “Yang
kadang-kadang perangkat komputernya digunakan untuk main game, dan
tempatnya justru di pusat-pusat perkotaan dekat dengan warnet-warnet
biasa. Itu misalnya di Bangka Tengah, Bangka Belitung,” kata dia.
Kementerian Kominfo tidak memungkiri ada persoalan di lapangan dalam
pelaksanaan proyek itu. Tifatul Sembiring, Menteri Kominfo, juga telah
menjelaskan soal program ini di depan DPR. Dan sampai akhir masa jabatan
Tifatul yang mundur dua pekan sebelum masa jabatan habis karena
terpilih sebagai anggota DPR, kasus PLIK/MPLIK ini menggantung.
Selain PLIK/MPLIK, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
menyadari perlunya koneksi pita lebar ini. Di awal pemerintahan, pada
2009, SBY telah mencanangkan “Indonesia Tersambung” dari Sabang sampai
Merauke. Mei 2013, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring
meresmikan groundbreaking pembangunan jaringan fiber optic broadband atau pita lebar Palapa Ring Sulawesi-Maluku-Papua di kantor PT Telkom Ternate.
Palapa Ring ini adalah pembangunan jaringan serat optik dan telah
menyambungkan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia yaitu Sumatera,
Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk tahap Sulawesi Papua Cable System
ini akan memakan biaya lebih kurang Rp 2 triliun yang sepenuhnya
dikerjakan PT Telkom Indonesia Tbk.
Menjelang akhir masa kepresidenan, SBY mengeluarkan Peraturan Presiden
No 96 Tahun 2014 tentang panduan strategis dalam percepatan dan
perluasan pembangunan pitalebar (Broadband) di wilayah Indonesia periode
2014-2019. Perpres ini kemudian ditindaklanjuti Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
dengan meluncurkan Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) 2014-2019.
RPI mengatur lima sektor prioritas pembangunan pita lebar yang
ditetapkan, yaitu e-pemerintah, e-kesehatan, e-pendidikan, e-logistik,
dan e-pengadaan. Investasi yang diperkirakan hingga 2019 mencapai Rp 278
triliun atau sebesar 0,46 persen dari pendapatan domestik bruto.
Kontribusi APBN dalam investasi tersebut diperkirakan sebesar 10 persen,
sedangkan sisanya diharapkan dari sektor swasta.
Targetnya, pada 2019, prasarana pita lebar dalam bentuk akses tetap
diharapkan sudah menjangkau wilayah perkotaan, 71 persen rumah tangga.
Sementara itu, di daerah pedesaan diharapkan dapat menjangkau 49 persen
rumah tangga yang ada.
"Infrastruktur broadband ini khususnya untuk meningkatkan produktivitas
dari sisi ekonomi,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Armida
Alisjahbana, di acara peluncuran RPI, Rabu 15 Oktober 2014.
Wakil Menteri PPN/Bappenas, Lukita Dinarsyah Tuwo, menyatakan, setiap 10
persen penetrasi Internet di negara berkembang akan meningkatkan 1,5
persen produktivitas pekerja di negara tersebut. Setiap 10 persen
peningkatan penetrasi Internet, mendorong 1,38 persen pertumbuhan
ekonomi di negara berkembang, sedangkan di negara maju sebesar 1,2
persen.
"Apabila desa-desa kita dan saudara-saudara kita di daerah terpencil
mempunyai akses Internet, kreativitas yang baik, daya saing meningkat
dan kesenjangan akan menurun," kata Lukita.
Namun, pakar teknologi informasi, Onno W Purbo, berpendapat lain soal
konektivitas yang lemot ini. Onno W. Purbo mengatakan, secara logika
internet mempunyai kecepatan yang tinggi, karena fiber optiknya ada di
"depan hidung", jadi tinggal "menarik" saja.
Menurut Onno, meskipun koneksi pita lebar sudah menjangkau seluruh
wilayah Indonesia, jika server masih berpusat di Amerika, maka koneksi
tetap bisa lamban. Belum lagi, koneksi ke server di Amerika itu pun
masih pula harus melewati Singapura sebagai hub untuk Asia Tenggara.
Blokir dan Penapisan
Penapisan juga dituding sebagai penyebab koneksi lemot. Undang-undang
Informatika dan Transaksi Elektronik mengatur, penyedia jasa Internet
bertanggung jawab atas konten yang melalui infrastrukturnya. Para
penyedia jasa Internet harus menggunakan filter untuk menyaring laman
atau konten yang dianggap menyebarkan pornografi, perjudian, atau yang
dianggap membahayakan atau melanggar hukum.
Sebagian besar penyedia jasa Internet menggunakan filter DNS Nawala yang dikelola Yayasan Nawala Nusantara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membangun daftar hitam situs
negatif sendiri yang diberi nama Trust Positif. ICT Watch melaporkan,
per Maret 2014, untuk kategori “pornografi internasional”, terdapat
744.032 domain dan 54.795 situs yang masuk dalam daftar hitam. Jika
Nawala memiliki prosedur keluhan, Trust Positif ini hanya menyediakan
alamat e-mail aduan. Jika sebuah situs masuk daftar hitam, penyedia jasa
Internet wajib menindaklanjutinya.
Alhasil, sejumlah situs baik-baik turut menjadi korban blokir penyedia
karena masuk dalam daftar yang disusun Kominfo ini. Situs
www.malesbanget.com misalnya, ikut kena blokir karena mengandung kata
“male” dan “bang”, dua kata yang terasosiasi dengan pornografi dalam
Bahasa Inggris.
Namun, sejumlah konten atau situs yang banyak dikeluhkan masyarakat juga
masih tetap eksis. ICW Watch misalnya, pernah melaporkan sebuah video
yang berisi ceramah seorang pemuka Front Pembela Islam (FPI) yang
menyatakan “halal membunuh anggota Jemaat Ahmadiyah”. Namun, video ini
tetap beredar di situs YouTube.
ICT Watch sudah berusaha mencari tahu siapa penyusun daftar hitam di
Trust Positif ini. Dan investigasi itu gelap, berujung di birokrasi
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Sudah dia yang kasih izin, dia yang awasi, dia yang blokir, powerful
sekali,” kata Donny BU, peneliti senior ICT Watch. “Apa bedanya dengan
Deppen 2.0,” kata Donny menyebut singkatan nama Departemen Penerangan
yang di masa Orde Baru bisa menentukan nyawa penerbitan.
Penerapan berlebihan UU ITE ini bukan saja menimpa situs atau domain.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat, sejak
UU No 11 Tahun 2008 itu berlaku, sudah lebih dari 60 kasus kriminalisasi
atas apa yang dilakukan orang di ranah online atau Internet. Rata-rata,
mereka dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 (1) yang
mengatur soal pencemaran nama baik.
Seseorang bisa dijerat karena informasi atau komentar di Facebook,
Twitter, status BlackBerry Messenger, pesan singkat, dan komentar di
berita di media online.
Ancaman pidananya tak main-main. Penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda
maksimum Rp 1 miliar. Untuk dibandingkan, pasal 310 (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, ancaman hukumannya maksimal 1 tahun 4 bulan
penjara atau denda maksimal Rp 4.500.
Dua kali sudah pasal-pasal di UU ITE ini digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menolak menghapuskan aturan itu, karena
menilai nama baik, martabat atau kehormatan seseorang adalah
kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana dan konstitusi.
Tahun 2009, MK juga menyatakan sanksi yang lebih besar di UU ITE itu
wajar, karena mengingat distribusi dan penyebaran informasi lewat
Internet lebih cepat, berjangkauan luas dan memiliki dampak masif.
Langkah terakhir, setelah dilobi, Kominfo bersedia mengajukan revisi
atas UU ITE tersebut, namun DPR menolak melakukannya.
Awal Oktober 2014 ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi yang prihatin dengan UU ITE ini, kemudian bersepakat untuk
kembali mengajukan revisi. ICT Watch, SAFENET, Elsam, Aliansi Jurnalis
Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan beberapa lembaga lainnya
berhimpun membentuk Koalisi Internet Tanpa Ancaman (KITA).
“Pilihannya, apakah merevisi sejumlah pasal dalam Undang-undang ITE atau
mengajukan draf rancangan undang-undang baru,” kata Wahyudi Djafar,
juru bicara KITA. Mereka berharap banyak pemerintahan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla nanti lebih serius memperhatikan isu Internet ini.(art)
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.