Benteng Belanda yang kini jadi markas Polisi di Kediri Penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI tahun 1948 di Kediri. ©2014 Merdeka.com
Jika kita memasuki Mako Polres Kediri Kota di Jalan KDP Slamet 2 atau dulu orang mengenalnya dengan Kantor Polwil Kediri, maka jangan lupa ketika melewati gerbang masuk, menengok ke atas. Ada tertera angka 1835 di pintu gerbang, angka tersebut sering menimbulkan pertanyaan, angka apakah tersebut?
Berikut ini investigasi merdeka.com dari berbagai data yang diperoleh baik dari sumber di Indonesia dan Belanda (Olivier Johanes).
Pasca perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) Belanda mengalami kerugian material yang begitu banyak. Bahkan boleh dibilang dalam perang tersebut Belanda bangkrut. Meski Belanda tetap menganggap Indonesia sebagai negara jajahan, hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Salah satu usaha untuk meminimalisir agar kekuatan rakyat tidak menjadi-jadi dan semakin merugikan, Belanda melakukan strateginya membangun pusat pemerintahan di beberapa daerah, salah satunya membentuk kantor karesidenan.
Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan. Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja. Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak.
Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an. Kata karesidenan berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Sebuah karesidenan dikepalai oleh residen, yang berasal dari Bahasa Belanda Resident. Di atas residen adalah Gubernur Jenderal, yang memerintah atas nama Raja dan Ratu Belanda.
Di Kediri, Belanda tidak hanya membangun kantor karesidenan (regentschappen) saja, tetapi juga membangun kelengkapannya. Antara lain tempat tinggal resident dan kantor Societet Brantas dan lainnya.
Meski belum ditemukan dokumentasi yang pasti mengenai tahun pembangunan Benteng Belanda di Kediri, kemungkinan benteng ini dibangun oleh Belanda sesudah Perang Jawa (1825-1830). Hal ini terlihat dari angka tahun yang tertera di pintu masuk Mako Polres Kediri Kota.
Di peta lama, benteng ini disebut dengan kata Belanda 'Blokhuis' yang berarti fortifikasi berbentuk persegi empat. Lokasinya cukup strategis di tepi barat Sungai Brantas.
Selain itu fungsi benteng ini untuk mengawasi kesibukan lalu lintas di Sungai Brantas, yang dulu berfungsi untuk transportasi air dan lalu lintas di jembatan yang sudah direncanakan tahun 1854 dan akhirnya diwujudkan pada 18 Maret 1869 (Jembatan Lama).
Hingga pada abad ke-19, bekas benteng Belanda di Kediri ini berubah fungsi menjadi kantor pemerintahan. Menurut dokumentasi kolonial yang tersimpan, gedung direnovasi dan atap diperbarui di tahun 1890.
Di gedung ini didirikan antara lain kantor residen dengan staf, kantor kepala dinas pengawas hutan, dan kantor kadaster. Karesidenen Kediri di Jawa Timur, pada zaman Hindia Belanda, dibatasi berdasarkan wilayah, timur oleh Pasuruan, di sebelah barat oleh Madiun, di utara oleh Surabaya, dan di selatan dengan Samudra Hindia.
Dari catatan data kolonial penduduk asli Kediri hampir sepenuhnya Jawa. Mereka rata-rata bekerja sebagai petani dengan hasil utamanya beras dengan hasil yang maksimal yakni 2.798 per hektar.
Selain itu mereka juga menanam tebu, kapas, kopi, kakao, singkong, kacang tanah dan kelapa. Ibu kota Kediri terletak di tepian Sungai Brantas dan Kediri juga merupakan salah satu pusat dari industri gula di masa kolonial.[hhw]
Jika kita memasuki Mako Polres Kediri Kota di Jalan KDP Slamet 2 atau dulu orang mengenalnya dengan Kantor Polwil Kediri, maka jangan lupa ketika melewati gerbang masuk, menengok ke atas. Ada tertera angka 1835 di pintu gerbang, angka tersebut sering menimbulkan pertanyaan, angka apakah tersebut?
Berikut ini investigasi merdeka.com dari berbagai data yang diperoleh baik dari sumber di Indonesia dan Belanda (Olivier Johanes).
Pasca perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) Belanda mengalami kerugian material yang begitu banyak. Bahkan boleh dibilang dalam perang tersebut Belanda bangkrut. Meski Belanda tetap menganggap Indonesia sebagai negara jajahan, hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Salah satu usaha untuk meminimalisir agar kekuatan rakyat tidak menjadi-jadi dan semakin merugikan, Belanda melakukan strateginya membangun pusat pemerintahan di beberapa daerah, salah satunya membentuk kantor karesidenan.
Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). Tidak di semua provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan. Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja. Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak.
Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga tahun 1950-an. Kata karesidenan berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Sebuah karesidenan dikepalai oleh residen, yang berasal dari Bahasa Belanda Resident. Di atas residen adalah Gubernur Jenderal, yang memerintah atas nama Raja dan Ratu Belanda.
Di Kediri, Belanda tidak hanya membangun kantor karesidenan (regentschappen) saja, tetapi juga membangun kelengkapannya. Antara lain tempat tinggal resident dan kantor Societet Brantas dan lainnya.
Meski belum ditemukan dokumentasi yang pasti mengenai tahun pembangunan Benteng Belanda di Kediri, kemungkinan benteng ini dibangun oleh Belanda sesudah Perang Jawa (1825-1830). Hal ini terlihat dari angka tahun yang tertera di pintu masuk Mako Polres Kediri Kota.
Di peta lama, benteng ini disebut dengan kata Belanda 'Blokhuis' yang berarti fortifikasi berbentuk persegi empat. Lokasinya cukup strategis di tepi barat Sungai Brantas.
Selain itu fungsi benteng ini untuk mengawasi kesibukan lalu lintas di Sungai Brantas, yang dulu berfungsi untuk transportasi air dan lalu lintas di jembatan yang sudah direncanakan tahun 1854 dan akhirnya diwujudkan pada 18 Maret 1869 (Jembatan Lama).
Hingga pada abad ke-19, bekas benteng Belanda di Kediri ini berubah fungsi menjadi kantor pemerintahan. Menurut dokumentasi kolonial yang tersimpan, gedung direnovasi dan atap diperbarui di tahun 1890.
Di gedung ini didirikan antara lain kantor residen dengan staf, kantor kepala dinas pengawas hutan, dan kantor kadaster. Karesidenen Kediri di Jawa Timur, pada zaman Hindia Belanda, dibatasi berdasarkan wilayah, timur oleh Pasuruan, di sebelah barat oleh Madiun, di utara oleh Surabaya, dan di selatan dengan Samudra Hindia.
Dari catatan data kolonial penduduk asli Kediri hampir sepenuhnya Jawa. Mereka rata-rata bekerja sebagai petani dengan hasil utamanya beras dengan hasil yang maksimal yakni 2.798 per hektar.
Selain itu mereka juga menanam tebu, kapas, kopi, kakao, singkong, kacang tanah dan kelapa. Ibu kota Kediri terletak di tepian Sungai Brantas dan Kediri juga merupakan salah satu pusat dari industri gula di masa kolonial.[hhw]
♞ Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.