Aktivis Indonesia Ini Pernah Ditahan di Kamp Nazi Anggota partai American Nazi memberikan salam khas Hitler dalam aksi partai tersebut di Pennsylvania, 25 September 2004. Sejumlah kelompok kecil Neo Nazi kerap bermunculan di sejumlah negara. William Thomas Cain/Getty Images
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menemukan bangkai kapal selam Jerman (biasa disebut Unterseeboot atau U-boat) di Laut Jawa. Di badan kapal tersebut ditemukan lambang Nazi. Hal tersebut memunculkan banyaknya spekulasi ihwal hubungan Nazi dengan Indonesia.
Majalah Tempo pada September 2006 menulis tentang sosok Parlindoengan Loebis (1910-1994). Ketua Perhimpoenan Indonesia periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dia pimpin itu gencar melawan fasisme Jerman.
Ia diciduk dua polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat prakteknya sebagai dokter di Amsterdam. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Leiden, Belanda, itu dibawa ke Euterpestraat, markas Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman.
Sejak itu, lelaki berdarah Batak itu harus meringkuk di empat kamp konsentrasi Nazi selama empat tahun: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Selain Parlindoengan, ada nama Djajeng Pratomo yang juga aktivis Perhimpoenan Indonesia. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut sebagai kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal.
Pada 18 Januari 1943, rumah Djajeng Pratomo dan rekannya sesama mahasiswa Moen Soendaroe digerebek oleh Sicherheitsdienst (tentara Nazi). Djajeng diangkut dengan truk ke Kamp Vaught. Ia kemudian dijebloskan ke Kamp Dachau.Tahanan Nazi Asal Indonesia: Bangkai Jadi Rebutan Seorang wanita berjalan melewati gerbang utama bekas kamp konsentrasi di Dachau, Jerman, tanpa pintu bertuliskan slogan Nazi "Arbeit macht frei" yang dicuri, Senin 3 November 2014. REUTERS/Michael Dalder
Mendiang Parlindoengan Loebis dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, bercerita soal kengerian yang dia rasakan selama dalam masa penahanan. Saat itu, sekitar April 1945, para tawanan kamp konsentrasi menuju Kota Wittstock, Jerman, untuk menyerah kepada tentara Sekutu. Perjalanan ini memakan waktu sekitar sepuluh hari.
Parlindoengan menuturkan tawanan yang tak bisa berjalan akan ditembak mati. Sepanjang perjalanan itu, ia mengaku melihat enam sampai delapan kali adegan seorang tawanan ditembak, jumlahnya tentu saja lebih banyak. "Pada hari pertama ada 800 tawanan mati," katanya seperti dikutip Majalah Tempo edisi September 2006. Parlindungan meninggal pada 1994 dalam usia 84 tahun.
Bahkan, dalam wawancara itu dia menuturkan, saat di perjalanan ada adegan para tahanan berebut memakan bangkai kuda di pinggir jalan. Banyak tahanan yang memakan daging kuda itu mentah-mentah. "Sampai-sampai ada yang masuk ke perut kuda untuk mendapat dagingnya dan keluar dengan mulut, muka, dan kepala, yang penuh dilumuri darah," katanya seperti dikutip Majalah Tempo.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bisa bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Sudah sejak di Jakarta Parlindoengan aktif dalam dunia politik. Ia berhubungan dengan para pelajar nasionalis yang getol membangkitkan kesadaran politik kalangan muda. Pada 1932, saat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Leiden, Belanda, ia bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia.
Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman.Dokter Indonesia Ini Diciduk oleh Tentara Nazi Sebuah gedung Pelatihan Pemuda Hitler yang kosong semenjak Jerman kalah dari Uni Soviet. Gedung-gedung sepeninggalan Nazi dibiarkan kosong tak berpenghuni yang telah dimakan jaman. dailymail.c.ouk
Parlindoengan Loebis (1910-1994), seorang dokter, dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, bercerita soal kengerian yang dirasakan selama masa penahanan. Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Pada era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman.
Jerman dalam sejarah penaklukannya di beberapa negara di Eropa mempunyai beberapa kamp konsentrasi penahanan. Kamp ini dibuat untuk menahan musuh-musuh politik yang ideologinya bertentangan dengan Nazi.
Adalah Buchenwald yang merupakan satu di antara kamp konsentrasi utama di Jerman. Sejak 1933, Nazi mulai membangun kamp-kamp konsentrasi kecil, sebagian besar terletak di sekitar Berlin. Tempat yang digunakan adalah bekas tangsi militer, pabrik yang sudah ditinggalkan, bekas gudang, dan bekas istana kuno. Puluhan kamp itu digunakan Nazi untuk menyekap lawan-lawan politiknya. Khususnya orang komunis, juga yang dicap komunis.
Kamp Buchenwald mulai dibangun pada musim panas 1937. Buchenwald, sekitar 300 kilometer dari Frankfurt, merupakan kawasan hutan di kaki bukit Ettersberg, Wiemar, Jerman Tengah. Selama berabad-abad Wiemar dikenal sebagai kota budaya. Di kota itulah pujangga Wolfgang van Goethe dan komponis Johann Sebastian Bach bermukim.
Awalnya, Buchenwald digunakan sebagai tempat menahan lawan-lawan politik Nazi. Namun belakangan, kaum Yahudi, gipsi, homoseksual, dan residivis dijebloskan ke kamp konsentrasi itu. Paling tidak, sekitar 250 ribu orang dari berbagai negara pernah ditahan di kamp itu hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Pada 1944, sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini, sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata dengan tanah. Yang masih tersisa, beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpanan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah yang dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.
Kamp konsentrasi Buchenwald kini telah menjadi obyek wisata sejarah. Dibuka untuk umum setiap hari, kecuali Senin. Begitu juga dengan sepuluh bekas kamp konsentrasi lain di Jerman yang dijadikan museum. Antara lain, kamp Dacau, kamp Neuengamme di Hamburg, dan kamp Sachenhausen-Oranienburg dekat Berlin.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menemukan bangkai kapal selam Jerman (biasa disebut Unterseeboot atau U-boat) di Laut Jawa. Di badan kapal tersebut ditemukan lambang Nazi. Hal tersebut memunculkan banyaknya spekulasi ihwal hubungan Nazi dengan Indonesia.
Majalah Tempo pada September 2006 menulis tentang sosok Parlindoengan Loebis (1910-1994). Ketua Perhimpoenan Indonesia periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dia pimpin itu gencar melawan fasisme Jerman.
Ia diciduk dua polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat prakteknya sebagai dokter di Amsterdam. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Leiden, Belanda, itu dibawa ke Euterpestraat, markas Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman.
Sejak itu, lelaki berdarah Batak itu harus meringkuk di empat kamp konsentrasi Nazi selama empat tahun: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Selain Parlindoengan, ada nama Djajeng Pratomo yang juga aktivis Perhimpoenan Indonesia. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut sebagai kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal.
Pada 18 Januari 1943, rumah Djajeng Pratomo dan rekannya sesama mahasiswa Moen Soendaroe digerebek oleh Sicherheitsdienst (tentara Nazi). Djajeng diangkut dengan truk ke Kamp Vaught. Ia kemudian dijebloskan ke Kamp Dachau.Tahanan Nazi Asal Indonesia: Bangkai Jadi Rebutan Seorang wanita berjalan melewati gerbang utama bekas kamp konsentrasi di Dachau, Jerman, tanpa pintu bertuliskan slogan Nazi "Arbeit macht frei" yang dicuri, Senin 3 November 2014. REUTERS/Michael Dalder
Mendiang Parlindoengan Loebis dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, bercerita soal kengerian yang dia rasakan selama dalam masa penahanan. Saat itu, sekitar April 1945, para tawanan kamp konsentrasi menuju Kota Wittstock, Jerman, untuk menyerah kepada tentara Sekutu. Perjalanan ini memakan waktu sekitar sepuluh hari.
Parlindoengan menuturkan tawanan yang tak bisa berjalan akan ditembak mati. Sepanjang perjalanan itu, ia mengaku melihat enam sampai delapan kali adegan seorang tawanan ditembak, jumlahnya tentu saja lebih banyak. "Pada hari pertama ada 800 tawanan mati," katanya seperti dikutip Majalah Tempo edisi September 2006. Parlindungan meninggal pada 1994 dalam usia 84 tahun.
Bahkan, dalam wawancara itu dia menuturkan, saat di perjalanan ada adegan para tahanan berebut memakan bangkai kuda di pinggir jalan. Banyak tahanan yang memakan daging kuda itu mentah-mentah. "Sampai-sampai ada yang masuk ke perut kuda untuk mendapat dagingnya dan keluar dengan mulut, muka, dan kepala, yang penuh dilumuri darah," katanya seperti dikutip Majalah Tempo.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bisa bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Sudah sejak di Jakarta Parlindoengan aktif dalam dunia politik. Ia berhubungan dengan para pelajar nasionalis yang getol membangkitkan kesadaran politik kalangan muda. Pada 1932, saat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Leiden, Belanda, ia bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia.
Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman.Dokter Indonesia Ini Diciduk oleh Tentara Nazi Sebuah gedung Pelatihan Pemuda Hitler yang kosong semenjak Jerman kalah dari Uni Soviet. Gedung-gedung sepeninggalan Nazi dibiarkan kosong tak berpenghuni yang telah dimakan jaman. dailymail.c.ouk
Parlindoengan Loebis (1910-1994), seorang dokter, dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, bercerita soal kengerian yang dirasakan selama masa penahanan. Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Pada era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman.
Jerman dalam sejarah penaklukannya di beberapa negara di Eropa mempunyai beberapa kamp konsentrasi penahanan. Kamp ini dibuat untuk menahan musuh-musuh politik yang ideologinya bertentangan dengan Nazi.
Adalah Buchenwald yang merupakan satu di antara kamp konsentrasi utama di Jerman. Sejak 1933, Nazi mulai membangun kamp-kamp konsentrasi kecil, sebagian besar terletak di sekitar Berlin. Tempat yang digunakan adalah bekas tangsi militer, pabrik yang sudah ditinggalkan, bekas gudang, dan bekas istana kuno. Puluhan kamp itu digunakan Nazi untuk menyekap lawan-lawan politiknya. Khususnya orang komunis, juga yang dicap komunis.
Kamp Buchenwald mulai dibangun pada musim panas 1937. Buchenwald, sekitar 300 kilometer dari Frankfurt, merupakan kawasan hutan di kaki bukit Ettersberg, Wiemar, Jerman Tengah. Selama berabad-abad Wiemar dikenal sebagai kota budaya. Di kota itulah pujangga Wolfgang van Goethe dan komponis Johann Sebastian Bach bermukim.
Awalnya, Buchenwald digunakan sebagai tempat menahan lawan-lawan politik Nazi. Namun belakangan, kaum Yahudi, gipsi, homoseksual, dan residivis dijebloskan ke kamp konsentrasi itu. Paling tidak, sekitar 250 ribu orang dari berbagai negara pernah ditahan di kamp itu hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Pada 1944, sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini, sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata dengan tanah. Yang masih tersisa, beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpanan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah yang dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.
Kamp konsentrasi Buchenwald kini telah menjadi obyek wisata sejarah. Dibuka untuk umum setiap hari, kecuali Senin. Begitu juga dengan sepuluh bekas kamp konsentrasi lain di Jerman yang dijadikan museum. Antara lain, kamp Dacau, kamp Neuengamme di Hamburg, dan kamp Sachenhausen-Oranienburg dekat Berlin.
★ Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.