✈ Pernah terlibat dalam misi Trikora dan Dwikora ✈ Pesawat Ganet TNI AL [Puspenerbal]
73 tahun silam, embrio kekuatan udara TNI Angkatan Laut (TNI AL) mulai terbentuk ketika diresmikannya Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950.
Staf Penerbangan kemudian berubah menjadi Dinas Penerbangan ALRI (kini Puspenerbal) pada 17 Juni 1956.
Untuk mengisi kekuatan Puspenerbal, pemerintah Indonesia menjalin komunikasi dengan pemerintah Inggris untuk mendapatkan pesawat patroli maritim dan antikapal selam Gannet. Kontrak pembeliannya ditandatangani tahun 1957.
Selanjutnya pada 1959, TNI AL mulai mengirimkan para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham, Inggris.
Mereka yang dikirim di antaranya adalah Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.
Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk dengan sayap utama yang bisa dilipat dan memiliki kail pengait di bawah ekor untuk kebutuhan pendaratan di dek kapal.
Akan tetapi, Indonesia tidak memperoleh jenis tersebut, dimana sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat.
TNI AL memperoleh versi AS.1 & T.2 bekas pakai AL Inggris (Royal Navy) yang telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 dan T.5.
Meski menyandang kode AS.4 dan T.5, spesifikasi Gannet TNI AL berbeda dengan milik AL Jerman dan Australia yang memperolehnya dari jalur produksi baru.
Dari 18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih, yaitu model T.5 dan sisanya model AS.4 yang merupakan versi antikapal selam (ASW).
Sebagai pemburu kapal selam, AS.4 dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan di bomb bay di perutnya yang gendut.
Selain itu, pesawat ini juga mempersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta radar pencarian yang bisa ditarik ke dalam pada bagian bawah belakang pesawat.
AS.4 diawaki oleh tiga orang, yakni pilot, navigator merangkap pengamat, serta operator radio-radar yang duduk terpisah yang menghadap ke belakang ekor pesawat.
Sebagai penggeraknya, Gannet generasi awal didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley yang menggerakkan bilah model baling-baling tumpuk dan berputar berlawanan arah.
Sementara, Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru lebih bertenaga yakni versi Double Mamba Mark 101 mencapai 3.035 SHP.
Daya ini lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 yang menghasilkan daya 2.950 SHP.
Dua Gannet pengiriman pertama tiba di Surabaya pada tahun 1960. Kemudian secara bertahap disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit.
Kemudian, seluruh pesawat berbadan gembul ini dimasukkan dalam Skwadron Udara 100 antikapal selam yang bermarkas di Morokrembangan, Surabaya.
Belum genap dua tahun berdinas, Gannet AS 4 disertakan dalam operasi Trikora. Pesawat dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan melindungi laut sekitar Sulawesi hingga Laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.
Usai misi Trikora, Gannet AS.4 kembali memenuhi panggilan tugas. Kali ini dalam operasi Dwikora pada tahun 1964-1966.
Tugasnya adalah mengawasi perairan di sepanajang perbatasan Singapura hingga Selat Karimata. Pesawat ditempatkan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Gannet AS.4 juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia.
Setelah berdinas selama satu dasawarsa, di awal tahun 1970-an, Puspenerbal memutuskan menon-aktifkan seluruh Gannet karena faktor usia dan kelangkaan suku cadang. -RBS-
73 tahun silam, embrio kekuatan udara TNI Angkatan Laut (TNI AL) mulai terbentuk ketika diresmikannya Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950.
Staf Penerbangan kemudian berubah menjadi Dinas Penerbangan ALRI (kini Puspenerbal) pada 17 Juni 1956.
Untuk mengisi kekuatan Puspenerbal, pemerintah Indonesia menjalin komunikasi dengan pemerintah Inggris untuk mendapatkan pesawat patroli maritim dan antikapal selam Gannet. Kontrak pembeliannya ditandatangani tahun 1957.
Selanjutnya pada 1959, TNI AL mulai mengirimkan para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham, Inggris.
Mereka yang dikirim di antaranya adalah Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.
Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk dengan sayap utama yang bisa dilipat dan memiliki kail pengait di bawah ekor untuk kebutuhan pendaratan di dek kapal.
Akan tetapi, Indonesia tidak memperoleh jenis tersebut, dimana sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat.
TNI AL memperoleh versi AS.1 & T.2 bekas pakai AL Inggris (Royal Navy) yang telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 dan T.5.
Meski menyandang kode AS.4 dan T.5, spesifikasi Gannet TNI AL berbeda dengan milik AL Jerman dan Australia yang memperolehnya dari jalur produksi baru.
Dari 18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih, yaitu model T.5 dan sisanya model AS.4 yang merupakan versi antikapal selam (ASW).
Sebagai pemburu kapal selam, AS.4 dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan di bomb bay di perutnya yang gendut.
Selain itu, pesawat ini juga mempersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta radar pencarian yang bisa ditarik ke dalam pada bagian bawah belakang pesawat.
AS.4 diawaki oleh tiga orang, yakni pilot, navigator merangkap pengamat, serta operator radio-radar yang duduk terpisah yang menghadap ke belakang ekor pesawat.
Sebagai penggeraknya, Gannet generasi awal didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley yang menggerakkan bilah model baling-baling tumpuk dan berputar berlawanan arah.
Sementara, Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru lebih bertenaga yakni versi Double Mamba Mark 101 mencapai 3.035 SHP.
Daya ini lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 yang menghasilkan daya 2.950 SHP.
Dua Gannet pengiriman pertama tiba di Surabaya pada tahun 1960. Kemudian secara bertahap disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit.
Kemudian, seluruh pesawat berbadan gembul ini dimasukkan dalam Skwadron Udara 100 antikapal selam yang bermarkas di Morokrembangan, Surabaya.
Belum genap dua tahun berdinas, Gannet AS 4 disertakan dalam operasi Trikora. Pesawat dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan melindungi laut sekitar Sulawesi hingga Laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.
Usai misi Trikora, Gannet AS.4 kembali memenuhi panggilan tugas. Kali ini dalam operasi Dwikora pada tahun 1964-1966.
Tugasnya adalah mengawasi perairan di sepanajang perbatasan Singapura hingga Selat Karimata. Pesawat ditempatkan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Gannet AS.4 juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia.
Setelah berdinas selama satu dasawarsa, di awal tahun 1970-an, Puspenerbal memutuskan menon-aktifkan seluruh Gannet karena faktor usia dan kelangkaan suku cadang. -RBS-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.