Foto cdi.anu.adu.au |
Kamis, 1 Oktober 2009, 560 anggota DPR RI periode 2009-2014 mengucapkan sumpah dan jabatan di Gedung MPR/DPR. Anggota dewan bersedia menjalankan kewajiban, akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kehidupan demokrasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
Ironisnya, sejumlah pihak masih menyangsikan kesungguhan dan kinerja anggota dewan hasil Pemilu Legislatif 2009. Padahal sejatinya, banyak anggota DPR yang memiliki track record cukup baik.
Di antara keraguan akan kinerja anggota dewan, ada secercah harapan. Dalam formasi anggota DPR-RI, sosok vokal, Sidarto Danusubroto, kembali mendapat kepercayaan untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Anggota tertua DPR RI 2009-2014 ini terpilih di daerah pemilihan Jawa Barat VIII, mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Mantan ajudan Presiden Soekarno ini, sejak 1999 menduduki kursi wakil rakyat hingga tiga periode. Purnawirawan polisi bintang dua ini dikenal tegas dan konsisten membela institusi DPR. Bagi Sidarto, banyak pihak telah memberikan stigma dan pemahaman yang keliru tentang kinerja DPR RI secara keseluruhan.
Tidak terkecuali pernyataan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan DPR sebagai taman kanak-kanak. Khusus menyikapi pernyataan Gus Dur tersebut, Sidarto meluncurkan buku bertajuk “DPR Bukan Taman Kanak-Kanak”, bertepatan dengan ulang tahun Sidarto yang ke-70.
Pertimbangan Sidarto, “olok-olok” Gus Dur itu bisa menjadi stigma atas kinerja DPR 1999-2004 secara keseluruhan. Meskipun buku itu diarahkan kepada Gus Dur, Sidarto tidak balik menyebut Gus Dur kekanak-kanakan. Bahkan secara tidak langsung, Sidarto justru tidak menampik adanya anggota DPR yang memang kekanak-kanakan. Hal itu menjadi bukti bahwa, Sidarto adalah politisi yang santun dan menjunjung tinggi falsafah Jawa.
Kendati dikenal sebagai politisi yang santun, mantan Kapolda Jawa Barat ini dikenal sangat keras dan tegas menyikapi hal-hal yang menyangkut kedaulatan negara. Hal itu tidak lepas pergulatan panjang “manusia tiga zaman” ini dalam mengabdi kepada negara. Di era Orde Lama, Sidarto menjadi ajudan Presiden Soekarno hingga di akhir kekuasaan Soekarno. Pada era kekuasaan Soeharto, Sidarto sempat menjabat sebagai Kapolda Sumatra Bagian Selatan dan Kapolda Jawa Barat. Sedangkan di era reformasi, Sidarto memilih berkiprah di dewan perwakilan rakyat.
Di Komisi I DPR RI, Sidarto sering bersuara lantang menyangkut harga diri bangsa. Sidarto sempat meminta TNI menembak langsung, pesawat atau kapal Tentara Diraja Malaysia yang beberapa kali memasuki wilayah NKRI. Menurut Mantan Kepala Badan Kerjasama Internasional Kepolisian (Interpol) ini, pelanggaran batas wilayah merupakan bukti bahwa Indonesia belum memiliki kemampuan dalam mengatasi pelanggaran wilayah NKRI. Untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu, Sidarto meminta kemampuan alutsista TNI semakin ditingkatkan. Sidarto mempunyai obsesi, TNI bisa diandalkan sebagai alat pertahanan.
Sidarto berkesempatan menjadi anggota pansus berbagai perundang-undangan yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan. Di antaranya, UU Kepolisian (UU 2/2002), UU Pertahanan (UU 3/2002), UU TNI (UU 34/2004), bahkan menjadi Wakil Ketua Pansus UU Anti Terorisme (UU 15/2000).
Tidak saja konsisten mengusung isu kedaulatan negara, Sidarto memiliki perhatian khusus dalam masalah penegakan hak asasi manusia. Tidak salah jika, Sidarto dipercaya sebagai Ketua Pansus Peradilan HAM Ad-Hoc (UU 26/2000) dan Ketua Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/KKR (UU 27/2004).
UU KKR mungkin menjadi produk monumental untuk mengukur kesungguhan purnawirawan Polri ini dalam penegakan HAM tanpa pandang bulu. Tidak saja terkait substansi, tetapi juga resistensi dari kalangan sosial politik atau masyarakat luas yang merasa terganggu dengan diungkapkannya kebenaran kejadian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurut Sidarto, bangsa Indonesia perlu sejarah dan hukum yang tidak untuk pembenaran, melainkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran. UU KKR dibentuk untuk mengembalikan hak kewarganegaraan dari sebagian warga yang dihilangkan haknya oleh pemerintahan Orde Baru.
Sejatinya, Sidarto sendiri mengalami perlakuan serupa selepas menjadi ajudan Presiden Soekarno. Sidarto menjadi ajudan Bung Karno antara tanggal Februari 1967 sampai Maret 1968. Antara 1970-1973, Sidarto dibebaskan dari tugas-tugas operasional, dihambat karir dan kenaikan pangkat. Serta mengalami interogasi berkaitan dengan tugas di Istana oleh Team Teningpolsat dan Teperpu Jakarta. Hingga akhirnya pada 1973, mendapat SK Security Clearence dari Kapolri.
Sidarto juga tahu persis bagaimana Bung Karno mengalami penderitaan karena diasingkan dan diisolasi di Paviliun Istana Bogor, di Batutulis, hingga di Wisma Yaso. Justru dari Bung Karno lah, Sidarto belajar memahami gagasan kebangsaan dan sikap patriotik.
Memang, akhirnya UU KKR yang telah diundang pada tanggal 6 September 2004 itu dicabut pada 2006, melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sidarto akan kembali mengayuh idialisme-nya sesuai dengan cita-citanya sebagai patriot sejati. Berikutl wawancara INTELIJEN dengan mayor jenderal (purn) polisi tersebut, pada Oktober 2009 di Jakarta, khususnya soal terorisme dan penanganannya di ndonesia.
Habitat Radikalisme di RI Ribuan
Polemik tentang penanganan terorisme semakin menguat seiring dengan berbagai operasi penyergapan teroris pasca teror “Bom Marriot II”. Muncul kesan terjadi perebutan kewenangan antara polisi dan militer. Siapa sebenarnya yang paling berhak menangani terorisme?
Secara universal teroris merupakan tindak pidana. Di mana setelah terjadi aksi teror akan dilakukan penangkapan, pengledahan, penyitaan hingga berita acara untuk pro justicia. Semua itu diatur dalam UU Anti Terorisme yang dibuat untuk menjawab adanya Bom Bali I.
UU Anti Terorisme memang masih heavy kepada penegakan hukum. Salah satunya, polisi bisa menahan tersangka teroris selama satu minggu. Dalam ketentuan pidana, penahanan hanya satu kali 24 jam, sementera penangkapan satu minggu. Semua itu menjadi hak penyidik.
Kasus terorisme di semua negara ditangani oleh kepolisian. Di Malaysia, semuanya ditangani oleh Kepolisian Diraja Malaysia. Kecuali di Filipina selatan, yang dinyatakan sebagai daerah darurat militer. Demikian juga di Patani, Thailand.
Khusus di Indonesia, ada satu dorongan agar TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme?
Titik berat tugas TNI tetap kepada upaya prevention. Namun, jika polisi sudah tidak mampu menangani TNI bisa diturunkan, atau gabungan TNI-Polri. Demikian halnya di daerah darurat militer, jelas bukan tugas polisi. TNI diturunkan dalam drama penyanderaan, misalnya seperti kasus pembajakan Garuda Woyla ataupun teror di Mumbai. Namun, apabila sudah masuk ke wilayah pro justicia, tetap menjadi kewenangan polisi.
Saat ini muncul kekhawatiran, bahwa kewenangan berlebihan yang diberikan kepada Densus 88 bisa disalahgunakan. Salah satunya kejar target pengungkapan kasus terorisme, sehingga muncul kejanggalan-kejanggalan. Salah satu kecenderungan menembak mati tersangka?
Dari 466 tersangka teroris yang ditangkap yang mati hanya 14. Terorisme adalah extra ordinary crime, sehingga hukuman yang dijatuhkan bukan satu-satunya penangkal aksi terorisme yang baik. Faktanya, dari 192 terpidana yang dihukum 3-5 tahun, setelah bebas kembali lagi ke habitatnya. Misalnya, Urwah yang baru keluar dari penjara kembali terlibat dalam aksi terorisme. Semua itu terjadi karena memang belum ada undang-undang tentang deradikalisasi.
Polisi sudah melakukan upaya untuk menangkap hidup-hidup tersangka teroris, untuk itu setiap penyergapan membutuhkan waktu yang lama. Di sisi lain, meskipun sudah diperintahkan menyerah, tersangka memilih mati dengan melawan petugas.
Polisi yang lama menggrebek adalah menangkap hidup-hidup. Warning untuk menyerahkan diri sudah dilakukan. Teroris memilih mati. Bagi mereka melakukan perlawanan, mati adalah salah satu pilihan.
Penanganan terorisme dengan jalan deradikalisasi tidak optimal karena semata-mata belum adanya aturan perundangan terkait hal tersebut?
Dalam deradikalisasi fungsi lembaga pemasyarakatan harus optimal. Setelah bebas dari lembaga, terpidana harus bisa kembali ke masyarakat, bukan ke habitat. Semua itu tidak ada jaminan karena undang-undang deradikalisasi belum ada. Dalam hal ini, semua harus terlibat untuk meluruskan pencerahan tentang arti jihad. Departemen Agama harus bisa menjelaskan bahwa jihad dalam keadaan damai tidak dibenarkan apalagi melakukan teror terhadap bangsa sendiri.
Persemaian subur gerakan radikal adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial serta kebodohan. Itulah yang menjadi ladang subur gerakan teroris, sehingga calon pengantin bom bunuh diri di Indonesia sangat banyak. Noordin M Top sulit ditangkap karena habitat terorisme di Indonesia jumlahnya ribuan.
Selain undang-undang deradikalisasi, saat ini diperlukan aturan baru yang melarang ormas yang menjadi persemaian gerakan radikal. Demikian juga ormas yang menggelar pelatihan ala militer harus dilarang. Kewajiban bela negara diatur oleh negara tidak bisa dibuat ormas.
Untuk menghadang terorisme ada usulan agar Desk Anti Teror di Menkopolhukam dikembangkan menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme?
Pembentukan badan nasional akan memerlukan dana yang cukup besar. Bahkan mungkin tidak efektif menangkal terorisme. Penanganan terorisme di bawah Densus 88 sudah cukup efektif. Selama ini Indonesia dipuji sebagai salah satu negara yang berhasil mengungkap terorisme.
Polisi mengembangkan scientific crime investigation untuk membongkar kasus terorisme. Untuk mengungkap kasus teroris, Densus 88 memiliki ahli yang menyidik TKP. Polisi mengembangkan triangle of evidance, yakni harus ditemukannya korban, saksi dan bukti. “Crime Never Perfect”, kejahatan selalu terbongkar karena manusia tidak sempurna, sehingga selalu meninggalkan jejak.
Terorisme merupakan transnational crime, di mana penanganannya dilakukan oleh interpol. Melalui interpol, red notice disebarkan di seluruh dunia. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan kerjasama interpol, yang anggotanya polisi di seluruh dunia. Tidak mungkin suplai informasi diberikan kepada badan di luar kepolisian.
Dalam kasus terorisme, lembaga lain di luar kepolisian terkesan tidak dilibatkan. Bahkan fungsi koordinasi di desk anti teror tidak berjalan?
Penggrebekan teroris ataupun kelompok lainya cukup unik. Setiap operasi maksimal hanya boleh diketahui oleh tiga orang, Kapolri, Komandan Densus 88 dan komandan lapangan. Di luar itu tidak boleh ada yang tahu, lebih dari tiga orang pasti akan bocor operasi itu. Bocornya bisa saja oleh internal polisi.
Semakin panjang rantai koordinasi yang dilibatkan tingkat kebocoran semakin tinggi. Dalam rapat koordinasi, biasanya yang dimasukkan hal yang umum-umum. Setelah rapat, rencana operasi pasti bocor.
Kerjasama interpol rawan intervensi kepentingan negara lain. Misalnya, masuknya dana asing dalam penanganan terorisme?
Bantuan dana memang dari luar negeri, karena dana operasi selalu tidak mencukupi. Sebagai contoh, di Akpol Semarang didirikan sekolah anti teror Asia Pasifik yang mendapatkan grant sebesar US$ 40 juta dari Australia, untuk operasional. Sekolah tersebut instruktur ataupun siswanya berasal dari banyak negara.
Akibat intervensi asing dalam penanganan terorisme, gerakan teroris justru mengarahkan aksi teror di Indonesia. Stigma bahwa Indonesia pro AS akan semakin menguat?
Memang ada satu stigma bahwa Indonesia cenderung pro AS/barat. Gerakan anti AS juga diarahkan kepada pemerintahan pro AS. Hal yang berbeda terjadi ketika Soekarno menjadi presiden. Bung Karno terancam dibunuh justru karena terang terangan melawan AS. Setidaknya Bung Karno sudah sembilan kali gagal dibunuh. Tak salah jika Khadafi, Hugo Chaves, Ahmadinejad, dan Evo Morales menggangap Soekarno sebagai maha guru. Yang berani menghadapi AS dari Asia hanya Bung Karno, sehingga dijadikan target utama badan intelijen AS.
Langkah idial seperti apa yang bisa dilakukan untuk menangkal terorisme di Indonesia?
Pertama, ormas yang mewadahi radikalisme dan main hakim sendiri harus dilarang. Kedua, penerapan single identity number (SIN), diikuti dengan reward dan punishment bagi kepala desa, kapolsek, danramil dan babinsa, terkait pelaksanaan SIN. Ketiga, deradikalisasi harus lintas departemen agar bekas teroris tidak kembali ke habitatnya.
Biodata
Nama:
Mayjen Pol (Purn) Drs Sidarto Danusubroto, SH
Tempat/Tgl Lahir:
Pandeglang, 11-Juni-1936
Agama:
Islam
Pendidikan Umum
- SR Pujokusuman, Yogyakarta (1949)
- SMPN 1, Yogya (1952)
- SMA Negeri VI, Yogyakarta (1955)
- Ujian Negara Sarjana Hukum (1965)
Pendidikan Polri
- Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta (1962)
- Police Academy Washington DC, USA (1964)
- Special Army Warfare School, Ft Bragg USA (1964)
- Instructor School, US Naval Training Scholl, Norfolk, USA (1965)
- Seskopol (1969-1970)
- Seskogab (1977)
Riwayat Pekerjaan
- Ajudan Presiden RI, (1967-1968)
- Kapolres Tangerang, (1974-1975)
- Kadispen Polri, (1975-1976)
- Kepala Interpol, (1976-1982)
- Kepala Satuan Komapta Polri, (1982-1985)
- Wakapolda Jawa Barat, (1985-1986)
- Kapolda Sumbagsel, (1986-1988)
- Kapolda Jawa Barat, (1988-1991)
- Anggota DPR RI Komisi II (1999-2002)
- Anggota DPR RI Komisi I (2002)
- Wakil Ketua Komisi I DPR RI (2005-2006)
- Wakil Ketua BKSP DPR RI (2006-2009)
- Anggota DPR RI Komisi I (2009-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.