Ketika Jakarta Dijilat Api pada 15 Januari 1974
Jakarta ♼ Kabar kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka didengar para mahasiswa. Tanaka akan berada di Jakarta pada 15-17 Januari 1974. Sejak akhir 1973, para mahasiswa rajin menggelar aksi menyoal dominasi asing, khususnya Jepang, dalam perekonomian Indonesia.
Inilah awal kerusuhan yang kelak dikenal sebagai 'Malapetaka 15 Januari' atau Malari. Inilah kerusuhan terbesar kedua di era Orde Baru, hanya kalah dari kerusuhan Mei 1998. Juga, menjadi penanda penting berakhirnya 'bulan madu' mahasiswa dan rezim Soeharto.
Beberapa hari lagi, genap 40 tahun peristiwa tersebut meletus. Pada hari-hari itu, Hariman Siregar belum genap 24 tahun. Ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Jabatannya mentereng: Ketua Dewan Mahasiswa UI.
Menurut Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro, Dewan Mahasiswa UI minta waktu berdialog dengan Tanaka.
"Baik saya atur," kata Soemitro seperti dikutip dari Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1998). Soemitro dekat dengan mahasiswa sesudah melakukan road show ke sejumlah kampus untuk meredam amarah mereka.
Soemitro lalu menghubungi Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Setelah melalui negosiasi, akhirnya Tanaka menyatakan bersedia berdialog. Waktunya: 16 Januari 1974.
Ia lalu menghubungi Laksamana Sudomo, Wakil Pangkopkamtib, untuk menghubungi Hariman. Namun, setelah bertemu Hariman, Sudomo kembali dengan jawaban, "Pak Mitro, dialog diganti dengan dialog jalanan."
Tapi, seperti diceritakan dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (2011), para mahasiswa sempat berdialog dengan Presiden Soeharto pada 11 Januari 1974. Hadir di sana delegasi 34 dewan mahasiswa perguruan tinggi se-Jawa.
Dalam pertemuan 2 jam itu, Hariman menyampaikan Petisi 24 Oktober 1973. Isinya, pertama, mengingatkan kepada pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, dan politisi agar meninjau kembali strategi pembangunan, sehingga terjadi keseimbangan bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebobrokan, dan ketidakadilan.
Kedua, meminta rakyat segera dibebaskan dari tekanan ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Ketiga, lembaga penyalur pendapat masyarakat harus kuat dan berfungsi serta masyarakat mesti mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk berpendapat dan berbeda pendapat.
Pada Senin 14 Januari 1974 malam, Tanaka tiba di Jakarta. Jalan menuju Lapangan Udara Utama Halim Perdanakusumah diblokir mahasiswa. Menteri-menteri yang hendak menjemput tak diberi jalan.
Keesokan harinya, sejak pagi, meledak aksi demonstrasi mahasiswa se-Jawa di Jakarta. Hariman dan ribuan sejawatnya berjalan dari kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Titik pertemuan dengan mahasiswa lain adalah Monas.
Poster-poster diangkat. Di antaranya bertuliskan, “Menerima Tanaka = Menerima Kolonialis”, “Tolak Dominasi Ekonomi Jepang”, dan “Ganyang Antek-Antek Kolonialis Jepang.”
Lewat tengah hari, mahasiswa kembali ke kampus UI Salemba. Setiba di kampus, menjelang sore, terdengar kabar bahwa kawasan pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dibakar sekelompok massa. Senen terletak kira-kira 5 kilometer dari Salemba.
Menurut mantan Rektor UI Prof. Mahar Mardjono, bakar-bakaran telah terjadi sekitar pukul 11.00 ketika mahasiswa dari berbagai universitas itu masih melakukan apel di kampus Trisakti.
Pada Rabu, 16 Januari, kerusuhan berlanjut. Larangan berkumpul di siang hari tidak dipatuhi massa.
Dalam kerusuhan dua hari itu, Menteri Pertahanan dan Keamanan /Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan DPR pada 21 Januari 1974 menyatakan, 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 gedung rusak atau terbakar, dan 160 kilogram emas raib dari sejumlah toko perhiasan.
Pihak keamanan juga mengumumkan, 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap. Aksi pembakaran terjadi di daerah Roxy, Cempaka Putih, Glodok, Jalan Sudirman, dan Matraman. Api paling dahsyat melahap kawasan Senen.
Pada 21 Desember 1974, Hariman divonis 6 tahun. Ia dianggap terbukti melakukan subversi. Meski tidak terbukti menjadi penggerak kerusuhan, menurut hakim, Hariman mestinya mafhum, sejak akhir 1973, Jakarta dilanda gelombang demonstrasi. Karena kelalaian Hariman, terjadilah pembakaran dan perusakan.
Mengenai pembakaran dan perusakan itu, seperti dikutip dari Hariman dan Malari, pria kelahiran 1 Mei 1950 tersebut mengatakan, “Berbagai aksi pembakaran dan perusakan oleh massa itu sudah di luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya sudah mikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa."(Yus)
Jakarta ♼ Kabar kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka didengar para mahasiswa. Tanaka akan berada di Jakarta pada 15-17 Januari 1974. Sejak akhir 1973, para mahasiswa rajin menggelar aksi menyoal dominasi asing, khususnya Jepang, dalam perekonomian Indonesia.
Inilah awal kerusuhan yang kelak dikenal sebagai 'Malapetaka 15 Januari' atau Malari. Inilah kerusuhan terbesar kedua di era Orde Baru, hanya kalah dari kerusuhan Mei 1998. Juga, menjadi penanda penting berakhirnya 'bulan madu' mahasiswa dan rezim Soeharto.
Beberapa hari lagi, genap 40 tahun peristiwa tersebut meletus. Pada hari-hari itu, Hariman Siregar belum genap 24 tahun. Ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Jabatannya mentereng: Ketua Dewan Mahasiswa UI.
Menurut Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro, Dewan Mahasiswa UI minta waktu berdialog dengan Tanaka.
"Baik saya atur," kata Soemitro seperti dikutip dari Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1998). Soemitro dekat dengan mahasiswa sesudah melakukan road show ke sejumlah kampus untuk meredam amarah mereka.
Soemitro lalu menghubungi Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Setelah melalui negosiasi, akhirnya Tanaka menyatakan bersedia berdialog. Waktunya: 16 Januari 1974.
Ia lalu menghubungi Laksamana Sudomo, Wakil Pangkopkamtib, untuk menghubungi Hariman. Namun, setelah bertemu Hariman, Sudomo kembali dengan jawaban, "Pak Mitro, dialog diganti dengan dialog jalanan."
Tapi, seperti diceritakan dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (2011), para mahasiswa sempat berdialog dengan Presiden Soeharto pada 11 Januari 1974. Hadir di sana delegasi 34 dewan mahasiswa perguruan tinggi se-Jawa.
Dalam pertemuan 2 jam itu, Hariman menyampaikan Petisi 24 Oktober 1973. Isinya, pertama, mengingatkan kepada pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, dan politisi agar meninjau kembali strategi pembangunan, sehingga terjadi keseimbangan bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebobrokan, dan ketidakadilan.
Kedua, meminta rakyat segera dibebaskan dari tekanan ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.
Ketiga, lembaga penyalur pendapat masyarakat harus kuat dan berfungsi serta masyarakat mesti mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk berpendapat dan berbeda pendapat.
Pada Senin 14 Januari 1974 malam, Tanaka tiba di Jakarta. Jalan menuju Lapangan Udara Utama Halim Perdanakusumah diblokir mahasiswa. Menteri-menteri yang hendak menjemput tak diberi jalan.
Keesokan harinya, sejak pagi, meledak aksi demonstrasi mahasiswa se-Jawa di Jakarta. Hariman dan ribuan sejawatnya berjalan dari kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Titik pertemuan dengan mahasiswa lain adalah Monas.
Poster-poster diangkat. Di antaranya bertuliskan, “Menerima Tanaka = Menerima Kolonialis”, “Tolak Dominasi Ekonomi Jepang”, dan “Ganyang Antek-Antek Kolonialis Jepang.”
Lewat tengah hari, mahasiswa kembali ke kampus UI Salemba. Setiba di kampus, menjelang sore, terdengar kabar bahwa kawasan pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dibakar sekelompok massa. Senen terletak kira-kira 5 kilometer dari Salemba.
Menurut mantan Rektor UI Prof. Mahar Mardjono, bakar-bakaran telah terjadi sekitar pukul 11.00 ketika mahasiswa dari berbagai universitas itu masih melakukan apel di kampus Trisakti.
Pada Rabu, 16 Januari, kerusuhan berlanjut. Larangan berkumpul di siang hari tidak dipatuhi massa.
Dalam kerusuhan dua hari itu, Menteri Pertahanan dan Keamanan /Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan DPR pada 21 Januari 1974 menyatakan, 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 gedung rusak atau terbakar, dan 160 kilogram emas raib dari sejumlah toko perhiasan.
Pihak keamanan juga mengumumkan, 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap. Aksi pembakaran terjadi di daerah Roxy, Cempaka Putih, Glodok, Jalan Sudirman, dan Matraman. Api paling dahsyat melahap kawasan Senen.
Pada 21 Desember 1974, Hariman divonis 6 tahun. Ia dianggap terbukti melakukan subversi. Meski tidak terbukti menjadi penggerak kerusuhan, menurut hakim, Hariman mestinya mafhum, sejak akhir 1973, Jakarta dilanda gelombang demonstrasi. Karena kelalaian Hariman, terjadilah pembakaran dan perusakan.
Mengenai pembakaran dan perusakan itu, seperti dikutip dari Hariman dan Malari, pria kelahiran 1 Mei 1950 tersebut mengatakan, “Berbagai aksi pembakaran dan perusakan oleh massa itu sudah di luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya sudah mikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa."(Yus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.