Malari, Buah Perseteruan 2 Jenderal?
Jakarta ♼ Jenderal Soemitro pulang dari Aljazair pada 9 September 1973. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) itu menerima laporan soal kampus-kampus yang resah.
Para aktivis mahasiswa turun ke jalan, memprotes dominasi asing dalam perekonomian Indonesia. Asing saat itu terutama merujuk ke Jepang. Kelak, aksi-aksi itu berpuncak pada 15 Januari 1974 ketika 'Malari' meletus.
Namun, ada laporan lain yang jauh lebih penting; Dokumen Ramadi. Pihak yang menyampaikannya adalah Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) Jenderal Sutopo Juwono.
Dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1998), Soemitro mengaku tak pernah mendengar nama Ramadi, apalagi mengenalnya.
"Menyesal saya tidak sempat mendapatkan dokumen tersebut namun isi dokumen katanya menokohkan saya, Soemitro, untuk diperhadapkan dengan Pak Harto sebagai rivaal," ujar Soemitro di buku itu.
Jelas, isi dokumen itu menyudutkan Soemitro. Ia dianggap hendak mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soeharto, Bapak Orde Baru.
Sutopo Juwono menginformasikan, Ramadi dekat dengan Mayjen Soedjono Hoemardani, salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Ramadi adalah pensiunan kolonel yang dijadikan pimpinan di Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) oleh Soedjono.
Selain Soedjono, Soeharto juga memiliki Aspri lain, yaitu Letnan Jenderal Ali Moertopo. Pada masa itu, konon, menjadi rahasia umum bahwa ada semacam persaingan di antara Soemitro dan Ali Moertopo untuk berebut pengaruh ke Soeharto.
Sejak medio 1960-an, Ali Moertopo memimpin Operasi Khusus (Opsus). Indonesianis asal Australia, Harold Crouch, mengatakan Opsus adalah lembaga yang bekerja untuk kepentingan presiden.
Berada langsung di bawah Soeharto, Opsus punya wilayah kerja nyaris tanpa batas. Opsus, misalnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan di Timor-Timur atau konfrontasi dengan Malaysia. Ini lembaga superbody, termasuk dalam soal pencarian dana operasi.
Tapi, Opsus juga bisa 'bermain' untuk menentukan siapa yang harus menjadi ketua Dewan Mahasiswa (DM). Dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (2011), Hariman Siregar mengaku dirinya bisa menjadi Ketua Ketua DM Universitas Indonesia berkat campur tangan Opsus.
"“Pendukung saya sebenarnya, ya, GMNI, PMKRI, GDUI, dan Pak Ali Moertopo,” ujar Hariman menceritakan perjuangannya mendapatkan kursi Ketua DM UI.
Tapi, Hariman kemudian tak mau didikte begitu saja oleh Ali Moertopo dan orang-orang Opsus. Ia memilih sejumlah tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai staf di DM UI. Padahal, orang-orang Opsus sudah wanti-wanti agar Hariman tidak melibatkan aktivis HMI.
Paling telak, ia memilih Judilherry Justam, Ketua Komisariat HMI UI, sebagai Sekjen DM UI. "Gara-gara Hariman memilih Judil sebagai sekjen, bukan aktivis binaan Opsus, para petinggi Opsus marah besar," tutur Gurmilang Kartasasmita di buku Hariman dan Malari. Gurmilang sendiri ditunjuk sebagai wakil ketua II.
Soemitro bukan tak tahu UI disusupi Opsus. Itu sebabnya, saat road show untuk meredakan amarah para mahasiswa pada akhir 1973, ia melewatkan UI.
Dalam analisa Crouch, Soemitro memanfaatkan demonstrasi anti-Jepang untuk melemahkan pengaruh Ali Moertopo dan Soedjono yang dikenal akrab dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Dalam demo itu, rumah Ali Moertopo di Matraman dilempari mahasiswa dengan batu. Teriakan "Bubarkan Aspri" juga terdengar dari mulut para demonstran.
Pada siang hari, 15 Januari 1974, situasi mulai tak terkendali. Saat para mahasiswa melakukan apel di kampus Universitas Trisakti, Jakarta Barat, sekelompok orang tak dikenal mulai melakukan perusakan dan pembakaran di kawasan Senen.
Soemitro, selalu penanggung jawab tertinggi keamanan, seperti ditampar keras. Ia pun melakukan penyelidikan. Kesimpulannya, kerusuhan didalangi Soedjono, dan terutama, Ali Moertopo.
Namun, pihak Ali Moertopo menyatakan, kader-kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masjumi menjadi aktor intelektual kerusuhan tersebut. Pemerintah lebih percaya versi ini.
Dari kalangan tua, sosok seperti Sarbini Sumawinata (yang juga mertua Hariman) dan Soedjatmoko, dicokok. Dari kaum muda, mereka yang ditangkap adalah Sjahrir, Marsillam Simanjuntak, Tawang Alun, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, dan sejumlah aktivis lain.
Tak lama setelah Malari, Soemitro mundur dari Pangkopkamtib. Soeharto menawarinya jabatan duta besar Amerika Serikat namun Soemitro menolak. Ali Moertopo dan Soedjono? Aspri dibubarkan.
Bintang mereka masih terang. Ali Moertopo lalu menjabat Wakil Kepala Bakin, sedangkan Soedjono menjadi anggota Dewan Stabilisasi Ekonomi.(Yus)
Jakarta ♼ Jenderal Soemitro pulang dari Aljazair pada 9 September 1973. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) itu menerima laporan soal kampus-kampus yang resah.
Para aktivis mahasiswa turun ke jalan, memprotes dominasi asing dalam perekonomian Indonesia. Asing saat itu terutama merujuk ke Jepang. Kelak, aksi-aksi itu berpuncak pada 15 Januari 1974 ketika 'Malari' meletus.
Namun, ada laporan lain yang jauh lebih penting; Dokumen Ramadi. Pihak yang menyampaikannya adalah Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) Jenderal Sutopo Juwono.
Dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1998), Soemitro mengaku tak pernah mendengar nama Ramadi, apalagi mengenalnya.
"Menyesal saya tidak sempat mendapatkan dokumen tersebut namun isi dokumen katanya menokohkan saya, Soemitro, untuk diperhadapkan dengan Pak Harto sebagai rivaal," ujar Soemitro di buku itu.
Jelas, isi dokumen itu menyudutkan Soemitro. Ia dianggap hendak mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soeharto, Bapak Orde Baru.
Sutopo Juwono menginformasikan, Ramadi dekat dengan Mayjen Soedjono Hoemardani, salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Ramadi adalah pensiunan kolonel yang dijadikan pimpinan di Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) oleh Soedjono.
Selain Soedjono, Soeharto juga memiliki Aspri lain, yaitu Letnan Jenderal Ali Moertopo. Pada masa itu, konon, menjadi rahasia umum bahwa ada semacam persaingan di antara Soemitro dan Ali Moertopo untuk berebut pengaruh ke Soeharto.
Sejak medio 1960-an, Ali Moertopo memimpin Operasi Khusus (Opsus). Indonesianis asal Australia, Harold Crouch, mengatakan Opsus adalah lembaga yang bekerja untuk kepentingan presiden.
Berada langsung di bawah Soeharto, Opsus punya wilayah kerja nyaris tanpa batas. Opsus, misalnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan di Timor-Timur atau konfrontasi dengan Malaysia. Ini lembaga superbody, termasuk dalam soal pencarian dana operasi.
Tapi, Opsus juga bisa 'bermain' untuk menentukan siapa yang harus menjadi ketua Dewan Mahasiswa (DM). Dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (2011), Hariman Siregar mengaku dirinya bisa menjadi Ketua Ketua DM Universitas Indonesia berkat campur tangan Opsus.
"“Pendukung saya sebenarnya, ya, GMNI, PMKRI, GDUI, dan Pak Ali Moertopo,” ujar Hariman menceritakan perjuangannya mendapatkan kursi Ketua DM UI.
Tapi, Hariman kemudian tak mau didikte begitu saja oleh Ali Moertopo dan orang-orang Opsus. Ia memilih sejumlah tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai staf di DM UI. Padahal, orang-orang Opsus sudah wanti-wanti agar Hariman tidak melibatkan aktivis HMI.
Paling telak, ia memilih Judilherry Justam, Ketua Komisariat HMI UI, sebagai Sekjen DM UI. "Gara-gara Hariman memilih Judil sebagai sekjen, bukan aktivis binaan Opsus, para petinggi Opsus marah besar," tutur Gurmilang Kartasasmita di buku Hariman dan Malari. Gurmilang sendiri ditunjuk sebagai wakil ketua II.
Soemitro bukan tak tahu UI disusupi Opsus. Itu sebabnya, saat road show untuk meredakan amarah para mahasiswa pada akhir 1973, ia melewatkan UI.
Dalam analisa Crouch, Soemitro memanfaatkan demonstrasi anti-Jepang untuk melemahkan pengaruh Ali Moertopo dan Soedjono yang dikenal akrab dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Dalam demo itu, rumah Ali Moertopo di Matraman dilempari mahasiswa dengan batu. Teriakan "Bubarkan Aspri" juga terdengar dari mulut para demonstran.
Pada siang hari, 15 Januari 1974, situasi mulai tak terkendali. Saat para mahasiswa melakukan apel di kampus Universitas Trisakti, Jakarta Barat, sekelompok orang tak dikenal mulai melakukan perusakan dan pembakaran di kawasan Senen.
Soemitro, selalu penanggung jawab tertinggi keamanan, seperti ditampar keras. Ia pun melakukan penyelidikan. Kesimpulannya, kerusuhan didalangi Soedjono, dan terutama, Ali Moertopo.
Namun, pihak Ali Moertopo menyatakan, kader-kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masjumi menjadi aktor intelektual kerusuhan tersebut. Pemerintah lebih percaya versi ini.
Dari kalangan tua, sosok seperti Sarbini Sumawinata (yang juga mertua Hariman) dan Soedjatmoko, dicokok. Dari kaum muda, mereka yang ditangkap adalah Sjahrir, Marsillam Simanjuntak, Tawang Alun, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, dan sejumlah aktivis lain.
Tak lama setelah Malari, Soemitro mundur dari Pangkopkamtib. Soeharto menawarinya jabatan duta besar Amerika Serikat namun Soemitro menolak. Ali Moertopo dan Soedjono? Aspri dibubarkan.
Bintang mereka masih terang. Ali Moertopo lalu menjabat Wakil Kepala Bakin, sedangkan Soedjono menjadi anggota Dewan Stabilisasi Ekonomi.(Yus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.