Sudah hampir sebulan, gudang amunisi TNI AL di Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang awal Maret lalu meledak, dibangun kembali. Insiden ini menewaskan 1 orang dan melukai 86 lainnya. Direncanakan, sarana-prasarana yang akan dibangun meliputi kantor satuan berupa gedung 3 lantai, gudang amunisi low explosive, mess perwira, dan masjid.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Marsetio mengatakan, penataan ulang ini merupakan salah satu upaya TNI AL dalam menciptakan fasilitas dan sarana tempat kerja yang memadai dan representatif bagi prajurit dan PNS TNI AL di Pondok Dayung. Oleh Karena itu pembangunan kembali harus sesuai standard.
Masalahnya, gudang di pondok Dayung ini tak memenuhi syarat lagi sebagai basis militer. Maklum, gudang amunisi itu sudah berfungsi sejak era kolonial Belanda. Pada saat itu Pelabuhan Tanjung Priok belum sesibuk sekarang. Adapun kini, tidak jauh dari Pondok Dayung ada proses bongkar muat barang.
Mantan Kepala staf TNI AL Laksamana (Purn), Achmad Sutjipto pernah mengatakan, Pondok Dayung sejak awal dirancang untuk pangkalan siaga. Artinya, jika ada hal-hal darurat yang butuh evakuasi, bisa dilakukan dari Pondok Dayung. Masalahnya, tak ada pangkalan Induk yang memenuhi syarat di Kawasan Barat. Akibatnya, fasilitas yang seharusnya diadakan untuk pangkalan induk "ditumpuk" di Pondok Dayung.
Secara fisik, sarana Pondok Dayung juga bermasalah. Tak cuma gangguan sekring yang bisa terjadi lagi, seperti diduga memicu ledakan gudang itu Maret lalu, Namun beberapa bulan sebelumnya, KRI Teluk Peleng, Kaprang buatan tahun 1978, juga tenggelam di Pondok Dayung diduga karena menabrak pilar beton di bawah air.
Ironisnya, tanpa rusakpun Pondok Dayung tak memadai sebagai pangkalan. Komando Armada RI Kawasan Barat yang bermarkas di DKI Jakarta tak punya pangkalan memadai seperti Armada RI Kawasan Timur (Armatim) di Surabaya. Pondok Dayung hanya bisa menampung 6-8 kaprang. Fasilitas pun tak memadai. Pangkalan Armatim? disana bisa menapung 80 Kaparang.
Pangkalan tidak sekedar jadi parkir kapal. Namun, di pangkalan ada fungsi perbaikan, latihan, dan rekreasi. Belum lagi jika ada diplomasi militer yang butuh pangkalan AL. Seperti saat Panglima Armada ke-7 AL AS Vice Admiral Scott H Swift datang, dengan kapal USS Blue Ridge, Juni 2013.
Kapal itu bersandar di pelabuahan kontainer Tanjunbg Priok. Resepsi untuk Navy Brotherhood dilakukan di atas kapal di dermaga yang kiri-kanannya penuh tripleks untuk menutup kontainer. Saat itu Scott memuji TNI sebagai kesatuan berkelas dunia.
Mantan Panglima TNI Laksamana (purn) Agus Suhartono mengakui, ada beberapa kajian agar Armabar punya pangkalan yang memenuhi syarat. Alternatifnya, reklamasi Pondok Dayung atau pembuatan pangkalan baru di Teluk Ratai, Lampung namun belum ada tanda-tanda pembangunan pangkalan.
"Tidak ada anggaran" kata Marsetio, yang mengakui pentingnya pangkalan untuk Armabar. Aneh tapi nyata. berpuluh tahun armada laut negara maritim tak punya pangkalan, bahkan menurut data direncanakan pun belum.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Marsetio mengatakan, penataan ulang ini merupakan salah satu upaya TNI AL dalam menciptakan fasilitas dan sarana tempat kerja yang memadai dan representatif bagi prajurit dan PNS TNI AL di Pondok Dayung. Oleh Karena itu pembangunan kembali harus sesuai standard.
Masalahnya, gudang di pondok Dayung ini tak memenuhi syarat lagi sebagai basis militer. Maklum, gudang amunisi itu sudah berfungsi sejak era kolonial Belanda. Pada saat itu Pelabuhan Tanjung Priok belum sesibuk sekarang. Adapun kini, tidak jauh dari Pondok Dayung ada proses bongkar muat barang.
Mantan Kepala staf TNI AL Laksamana (Purn), Achmad Sutjipto pernah mengatakan, Pondok Dayung sejak awal dirancang untuk pangkalan siaga. Artinya, jika ada hal-hal darurat yang butuh evakuasi, bisa dilakukan dari Pondok Dayung. Masalahnya, tak ada pangkalan Induk yang memenuhi syarat di Kawasan Barat. Akibatnya, fasilitas yang seharusnya diadakan untuk pangkalan induk "ditumpuk" di Pondok Dayung.
Secara fisik, sarana Pondok Dayung juga bermasalah. Tak cuma gangguan sekring yang bisa terjadi lagi, seperti diduga memicu ledakan gudang itu Maret lalu, Namun beberapa bulan sebelumnya, KRI Teluk Peleng, Kaprang buatan tahun 1978, juga tenggelam di Pondok Dayung diduga karena menabrak pilar beton di bawah air.
Ironisnya, tanpa rusakpun Pondok Dayung tak memadai sebagai pangkalan. Komando Armada RI Kawasan Barat yang bermarkas di DKI Jakarta tak punya pangkalan memadai seperti Armada RI Kawasan Timur (Armatim) di Surabaya. Pondok Dayung hanya bisa menampung 6-8 kaprang. Fasilitas pun tak memadai. Pangkalan Armatim? disana bisa menapung 80 Kaparang.
Pangkalan tidak sekedar jadi parkir kapal. Namun, di pangkalan ada fungsi perbaikan, latihan, dan rekreasi. Belum lagi jika ada diplomasi militer yang butuh pangkalan AL. Seperti saat Panglima Armada ke-7 AL AS Vice Admiral Scott H Swift datang, dengan kapal USS Blue Ridge, Juni 2013.
Kapal itu bersandar di pelabuahan kontainer Tanjunbg Priok. Resepsi untuk Navy Brotherhood dilakukan di atas kapal di dermaga yang kiri-kanannya penuh tripleks untuk menutup kontainer. Saat itu Scott memuji TNI sebagai kesatuan berkelas dunia.
Mantan Panglima TNI Laksamana (purn) Agus Suhartono mengakui, ada beberapa kajian agar Armabar punya pangkalan yang memenuhi syarat. Alternatifnya, reklamasi Pondok Dayung atau pembuatan pangkalan baru di Teluk Ratai, Lampung namun belum ada tanda-tanda pembangunan pangkalan.
"Tidak ada anggaran" kata Marsetio, yang mengakui pentingnya pangkalan untuk Armabar. Aneh tapi nyata. berpuluh tahun armada laut negara maritim tak punya pangkalan, bahkan menurut data direncanakan pun belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.